Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20| REMEDY

Curah hujan mencapai puncaknya menjelang akhir tahun. Membuat setidaknya bangsal anak selalu penuh oleh anak-anak yang mengalami demam maupun flu.

Tidak terkecuali mereka yang ada di Instalasi Gizi.

Dengan jaket dan syal yang membalut erat lehernya, Kanya masuk ke bilik Galuh dan duduk di hadapannya. Wanita itu meletakkan sebuah undangan di atas meja Galuh.

"Hundhanghan huwe." Kanya berkata sengau dengan hidung yang memerah dan mata berair. Wanita itu menunjuk Galuh. "Hlo hudu blangkhat, khey?"

Dan setelahnya, ia keluar dari ruangan.

Galuh meraih undangan itu dan ia terkekeh kecil. Dia pernah bertemu calon suami Kanya. Seorang dokter bedah dari Rumah Sakit di kota sebelah bernama Adnan.

Masih di akhir bulan. Galuh mengerucutkan bibir sembari memainkan undangannya. Dia berencana mengajak Karim tadi, tapi...

"Kepingin. Kamu?"

"Duh," rengek Galuh menenggelamkan wajahnya di lipatan lengan.

Dia tahu meskipun Karim tidak mengatakannya, laki-laki itu jelas menginginkan kepastian hubungan mereka. Demi masa remaja Galuh yang penuh drama, dia sadar sekali 'digantung' itu tidak enak. Kebersamaan butuh sebuah kepastian agar mereka tahu sampai mana hati boleh berharap.

Lelaki itu terlalu banyak menahan diri, dan Galuh tidak pernah tahu sampai kapan dia bersedia berjalan di samping Galuh yang masih labil begini. Walaupun dia berkata akan jalan pelan-pelan, pada kenyataannya hubungan mereka memang penuh dengan ketidakjelasan sampai kapan ia akan memberi kepastian. Dan pada titik ini, Karim punya hak untuk pergi demi bahagianya sendiri.

"Galuh, makan yuk? Laper," Farida tiba-tiba saja masuk ke ruangan Galuh. "Ke warung bakso yang di dekat barbershop sana itu lho, Luh. Lo nggak ngerti menu barunya yang lagi tren?"

Demi mendengar istilah 'menu baru', antusiasme Galuh langsung bangkit.

"Apa?" tanyanya langsung.

"Bakso gulung," ucap Farida tersenyum lebar. "Lucu kan? Penasaran kan? Gue juga. Ayo ke sana ya? Ya ya ya?"

Setengah jam kemudian, semangkuk bakso komplit mengepul di hadapan mereka berdua. Galuh membolak-balik dengan sumpitnya. Benar-benar komplit. Ada bakso halus, bakso urat, bakso tahu, bakso pangsit dan bakso gulung yang sudah terbelah jadi dua.

"Kreatif," puji Farida yang sudah mencicipi bakso gulungnya. "Daging cincangnya enak, eh? Manis gitu. Jadi pas banget ketemu gurihnya si bakso. Astaga! Ini enak!"

Jika beberapa isian bakso adalah telur, urat dan sebagainya, maka bakso gulung ini diisi oleh daging cincang yang digulung dengan omelet tipis sebelum dibalut oleh adonan bakso. Tiga kombinasi rasa itu jelas menimbulkan kelezatan tersendiri bagi lidah. Galuh jadi tergoda untuk memasukkannya ke dalam salah satu menu.

"Jauh dari indekos gue," gerutu Farida. "Ini aja kalau gue nggak lihat instagramnya anak perawat, gue nggak bakal tahu. Masukin ke daftar camilan deh Luh. Atau di-UCR dulu sama anak-anak."

Galuh mengangguk singkat. Wanita itu mengipasi dirinya sendiri kala kombinasi pedas, panas dan suhu ruangan yang tinggi membuatnya berkeringat.

"Luh, yang sama lo itu, calon ya?" tanya Farida dengan bibir memerah. Gadis itu menenggak es jeruk dengan sangat tidak elegan. "Gila, pedes banget."

"Umm," nah, harus menjawab apa Galuh sekarang? "Belum, sih."

Farida mengerutkan kening. "Belum? Lhah, memang kalian nggak ada niatan ke sana?"

Galuh membiarkan pertanyaan itu menggantung kala ia tengah mengunyah baksonya.

"Mungkin, dianya udah," gumam Galuh pelan. "Gue yang belum yakin."

"Hmm..." Farida meringis. "I-ya sih...gue paham. Sori."

Galuh melambaikan tangannya. "Nggak masalah. Gue cuma belum...yah, kayak gitu bukan perkara mudah buat gue, Da."

Farida mengulurkan tangan membelai bahunya. "Hei, gue paham. Yang tahu apa yang terbaik buat lo, kan lo sendiri, Luh."

Galuh mengangguk, berterima kasih atas pengertian temannya.

"Gue kadang merasa jahat," gumam Galuh akhirnya. "Kayak...ngegantung dia sementara sebagian diri gue juga udah pingin memastikan apapun yang ada di depan kami."

Galuh menghirup nafas dalam. "Dan kalaupun dia ngerasa capek, gue juga nggak akan nyalahin dia."

Farida mengernyit, sebab di matanya, kalimat Galuh terdengar berkebalikan dengan raut wajah yang ia tunjukkan.

"Bohong, ah," kekeh Farida. "Hati lo protes lho. Mukanya nggak rela gitu."

Galuh menatap Farida beberapa saat, lalu terkekeh kala matanya memanas.

"Gue tuh pinginnya ditunggu sampai gue beneran yakin, Da," ucap Galuh akhirnya tidak mampu menahan air matanya. "Tapi gue tahu, sikap gue pasti bikin dia capek. Gue sendiri nggak bisa memastikan sampai kapan dia kudu nunggu. Dan gue tahu, gue nggak bisa nyalahin dia kalau semisal dia mau pergi."

"Tapi lo nggak mau dia pergi," bisik Farida pada Galuh. Galuh mengangguk.

Gadis itu akhirnya meletakkan sumpit dan mengusap kedua bahu Galuh dengan lembut. Wajahnya penuh kecemasan karena kini beberapa orang menoleh ke arah mereka meski mereka duduk di bangku paling pojok.

Tapi persetanlah dengan orang lain. Mereka tidak berhak menatap Galuh dengan pandangan memicing seperti iti, tidak ketika temannya yang pendiam ini tengah berusaha menelaah perasaannya.

Galuh menunduk dengan bahu terguncang, dan Farida kehilangan nafsu makan kala melihat Galuh yang demikian.

Demi apapun, dia bisa merasakan dilema yang tengah diradakan temannya.

Membusuk saja Galang di dasar neraka! Geram Farida kesal setengah mati. Farida tidak pernah mengumpat sampai separah ini. Tapi melihat Galuh yang demikian, dia benar-benar membenci Galang sampai ke tulang-tulangnya.

"Jangan dipaksa kalau memang lo belum siap, Luh," gumam Farida akhirnya. "Gini, gue nggak akan menampik kalau konsekuensi dari sikap lo ini mungkin kehilangan dia. Tapi, itu akan jauh lebih baik daripada lo memaksakan diri."

Galuh mengangguk. Wanita itu mengangkat wajahnya yang masih sembab. Ia meraih tisu dan membersihkan wajahnya, masih terisak meskipun sudah lebih tenang.

"Ah, apaan sih gue, pake nangis segala," gumam Galuh menggerutu. Dia malu sendiri menyadari beberapa orang mencuri pandang padanya.

Farida terkekeh pelan.

"Halah, biarin. Setelah ini juga mereka nggak bakal ketemu lo lagi. Mereka nggak akan ingat lo siapa. Ngapain diurusin?" Farida menepuk bahu Galuh, menenangkannya.

Galuh tertawa singkat, ia mengusap pipinya dan meneruskan melahap bakso, walaupun kini rasanya tidak lagi sama.

Bolehkah,

Bolehkah jika Galuh egois sedikit lebih lama?

"Enak, sih. Tapi ternyata bikin dompet gue menjerit," gumam Farida penuh penyesalan ketika mereka selesai membayar. "Oke, gue bakal masukin ini ke daftar makanan eksklusif gue. Soalnya gue nggak yakin nggak bakal kesini lagi, hehe."

Galuh mengangguk setuju kala mereka melangkah keluar. Dirinya agak kaget juga. Satu porsi ditambah kerupuk dan segelas jus hampir setara dengan satu porsi makanan di Kampung Laut.

"Tapi worth it." Galuh bersungut-sungut. "Enak dan kelihatan banget kualitasnya. Daging semua lho itu tadi, Da. Tempatnya juga cathcy gini. Salah lo ngajak gue siang-siang. Harusnya buat ma--"

Karena saat itu, Galuh yang sedang berusaha mengeluarkan motor dari jajaran parkir menyisir jalan raya di belakangnya tanpa minat. Lalu sesuatu yang familiar memasuki pandangannya.

Punggung tegap yang sangat ia hafal, sedang berjalan memasuki restoran Korea yang berada tepat di hadapan warung bakso yang baru saja ia kunjungi, bersama seorang wanita.

Itu Karim. Galuh tidak mungkin salah mengenali siluet punggungnya. Karim mengenakan pakaian kerjanya, sementara si wanita tampak santai dengan kemeja flanel dan celana jeans panjang. Mereka tampak tengah bercengkrama sebelum akhirnya menghilang dari pandangan Galuh.

"Eh bentar deh. Ponsel gue ketinggalan!" Pekikan Farida menyadarkan Galuh. Farida yang sudah memakai helm di kepalanya, berlari ke dalam dengan tergesa. Sementara Galuh segera mengalihkan pandangan dan berkonsentrasi mengeluarkan motornya dibantu tukang parkir.

"Untung masih ada!" Farida keluar dengan wajah bercahaya dan satu tangan menenteng ponselnya. Wanita itu menyerahkan beberapa lembar uang pada Pak Parkir sebelum naik di belakang Galuh. "Yuk cus!"

"Eh, iya," gumam Galuh menyalakan motornya dan berusaha fokus pada jalanan.

Galuh hafal jadwal mengajar Karim. Selasa, Kamis dan Sabtu. Di tiga hari itu, jadwal Karim sangat padat hingga tidak bisa diganggu. Maka ketika hari Selasa dan dia ada di sini, di suatu tempat yang jauh dari kampusnya, Galuh jadi bertanya-tanya.

***

Pegawai baru mereka bernama Devi. Berbeda dengan lima yang lain, Devi hanya tiga tahun di bawah Galuh dan lulusan SMK tataboga. Wanita itu sudah berkeluarga dan bertempat tinggal tidak jauh dari katering. Dia berpotensi menjadi pegawai tetap, berbeda dengan lima anak-anaknya yang masih berstatus mahasiswa.

Galuh pikir, sudah mulai saatnya dia memikirkan perkembangan kateringnya. Sebab tidak bisa dipungkiri, bisnisnya mulai dikenal banyak orang. Dia mulai menuai banyak pesanan untuk beragam acara. Terkadang dia akan kewalahan jika pesanan bentrok dengan jam kerjanya di Rumah Sakit. Maka, Devi ini akan ia jadikan tampuk kekuasaan kedua setelah dirinya. Itu artinya, gajinya akan lebih besar daripada anak-anak lain.

"Gimana dengan kendaraannya, Mbak?" tanya Devi saat hari pertamanya di sini. Galuh meminta Devi naik ke atas menemuinya.

"Kita belum punya kendaraan sendiri. Tapi selama ini kita pakai mobilku dulu," jelas Galuh pada wanita muda berwajah keibuan di hadapannya. "Ada yang ditanyakan?"

"Um, saya boleh bawa Eva kesini nggak, Mbak?" tanya Devi enggan. "Itu...kadang suami saya ikut bosnya ngerjain proyek di luar kota. Bisa sampai berhari-hari."

Galuh mengangguk.

"Boleh. Memang Eva kelas berapa?"

"Masih tiga tahun, Mbak. Belum bisa saya tinggal," jawab Devi lembut.

"Oh boleh, boleh banget. Nggak masalah. Ada lantai dua, biasanya anak-anak pada istirahat di sini juga," jawab Galuh ramah. "Ayo ke bawah. Hari ini lihat kerjanya kita dulu, biar terbiasa."

Devi mengangguk, sangat berterima kasih pada bos barunya yang ternyata ramah dan baik hati.

Tanpa pernah tahu jika pikiran bosnya kini bercabang dua. Dia setengah berharap Karim menelfon dan memberi kabar jika dia sedang dalam perjalanan ke Dapur seperti yang sering ia lakukan jika tengah tidak sibuk.

Jika Karim tidak kemari, itu tandanya dia sedang sibuk sekali.

Ah! Galuh menggeleng keras dan menepuk pipinya. Dia masih punya tugas memperkenalkan Devi pada kateringnya. Galuh harus fokus pada pesanan sore ini sembari memberitahu apapun pada Devi semua hal yang ia perlu tahu. Maka, dia menyingkirkan sejenak tentang Karim dari pikirannya.

***

Dua jam memudian, Galuh menyerah. Dia paling tidak suka termakan asumsi. Maka setelah memastikan pesanan siap untuk diambil, Galuh berlari ke lantai dua.

"Galuh, ada apa?" tanya Karim tidak lama kemudian.

Galuh tidak langsung menjawab. Wanita itu menelan ludah. Karena ternyata, dia begitu lega mendengar suara Karim.

Astaga. Dia rindu si lelaki tanpa basa-basi ini.

"Abang, seharian sibuk, ya?" balas Galuh berusaha biasa. Ia duduk di kursinya.

"Begitulah," jawab Karim ringan. "Kenapa, Galuh? Ada masalah di katering?"

Sibuk, katanya. Dia sibuk--

Galuh memejamkan mata.

"Tadi siang aku makan siang. Di warung bakso yang baru nge-hits itu. Di dekat barbershop, depannya resto Korea," ucap Galuh. "Dan aku lihat Abang di situ."

"Oh iya?" Galuh bisa membayangkan bagaimana lelaki itu mengakat alisnya saat ini. "Bisa kebetulan gitu, ya? Iya, tadi aku makan di situ. Gimana kalau kapan-kapan kita coba?"

"Boleh," gumam Galuh. "Sama siapa, Bang?"

"Hm? Sama teman-teman," jawab Karim. "Jadi, kapan? Besok minggu?"

Teman-teman itu jamak.

Galuh menggigiti bibirnya. Dia tahu akan lancang jika di bertanya, tapi masa bodoh. Jika dia tidak segera menghentikan asumsi ini, dia yakin dirinya bisa terus dihantui oleh pikiran-pikiran negatif yang sangat merusak.

"Aku lihat Abang sama cewek. Jalan berdua di situ," ucap Galuh pelan.

Dan Karim terdiam.

"Galuh," panggil Karim lembut. Agaknya, lelaki itu sudah tahu apa yang terjadi. "Dia temanku di Centauri. Kami ke sana untuk membahas masalah perjanjian dengan salah satu distributor kami. Is it okay for you?"

Sedetik, dua detik...

Setengah menit.

"Oh..."

"Hmm...gimana? Udah nggak cemburu?"

"Abang," desis Galuh dengan wajah memanas. Walaupun tidak bisa dipungkiri, gelombang kelegaan menggulungnya tanpa ampun hingga sesaat Galuh ingin menangis saja.

Karim tertawa pelan. "Is it okay if I say I love you?"

Galuh menggigit bibirnya kuat-kuat kala bibirnya tertarik ke atas.

God, she miss him so badly.

"Okay. Udah ya. Aku ke Dapur dulu. Bye."

Tanpa mendengar balasannya, Galuh mematikan ponsel dan menghempaskan tubuhnya di meja. Wanita itu mengubur wajahnya dalam telapak tangan sementara kakinya bergoyang antusias.

"Gue gila!" bisik Galuh menyingkap poninya dan berdiri. Cengiran lebar masih terhias di wajahnya."Gue gila, ck!!"

"BU BOS, PESANANNYA UDAH MAU DIAMBIL!"

Galuh terlonjak, lalu ia segera berlari ke bawah.

Benar saja, seorang wanita berparas cantik dengan hijab panjang tersenyum ramah padanya. Galuh meminta nota pemesanannya sebagai bukti, lalu mempersilahkannya mengambil kardus yang sudah siap di lobi.

"Ayo dibantu," pinta Galuh pada anak-anak dan Devi di dapur.

Mereka mematuhi Galuh untuk membantu membawa seluruh kardus itu ke sebuah mobil yang sudah menunggu di depan.

"Ya ampun, untung Mbak Devi udah gabung sama kita. Ini tadi pesanan paling hectic yang pernah kita bikin selama ini," ucap Amel menghempaskan diri di sofa lobi.

Catra dan yang lain mengangguk. Sementara Devi hanya tersenyum ramah.

"Eh, Mbak Devi rumahnya di mana? Indekosku sama Wanda di daerah sini juga lho, Mbak?" tanya Aria penasaran.

"Oh ya? Rumahnya Mbak di daerah Medoro. Gang belakang perempatan pertama belok kanan. Kalian kos dimana?" tanya Devi antusias.

"Oh, daerah Medoro," Aria mengangguk paham. "Kita masih ke dalam, ya kan Da? Daerah Parit Besar sana."

Devi mengangguk. Sementara mereka bercengkrama, Catra yang duduk di sebelah Galuh mendekatinya.

"Bu, Pak Karim emang punya adek, ya?" tanyanya sembari melahap sisa camilan di baki. "Ajaib deh. Kakak adek dosen semua."

"Eh...emang iya dia punya adek?" sahut Galuh mengerutkan kening. "Setahuku dia anak satu-satunya. Memang adeknya siapa? Mungkin sepupu?"

Catra mengerjap. "Oh, tadi waktu di perpustakaan aku ketemu Pak Karim sama perempuan, dosen juga kata Pak Karim. Aku kira adeknya soalnya dia manggil Pak Karim pakai embel-embel 'Mas'. Kelihatan akrab gitu. Namanya--Melisa."

Catra nyengir pada Galuh yang membeku.

"Bu Melisa. Sepupu, ya? Ngajar dimana?"

***

Bohong.

Karim membohonginya.

Wanita yang ada di restoran Korea dengannya tadi adalah Melisa.

Tubuh Galuh segera mendingin. Wanita itu sendirian di katering sementara yang lain sudah pulang sejak satu jam lagi. Guntur maha dahsyat bergemuruh, mengiringi hujan lebat yang mengguyur bumi.

Dengan jemari gemetar, Galuh yang duduk di sofa di lantai dua kini meraih ponselnya.

Satu, dua, tiga, empat bahkan lima panggilan tidak dihiraukan lelaki itu.

Jantung Galuh berpacu. Kenyataan jika Karim berbohong padanya, cukup membuat sesuatu dalam dadanya yang masih rawan kini seperti ditinju lagi, dihancurkan lagi. Ia sungguh berusaha menahan diri agar tidak menangis.

Apa--apa Karim sudah tidak kuat lagi berjalan di sampingnya? Pelan-pelan seperti perkataannya? Apakah lelaki itu sedang bersiap meninggalkannya karena tidak kunjung memberi kepastian padanya?

"Halo, Galuh?" suara Karim terdengar tergesa.

"A--" Galuh menelan ludah karena kerongkongannya kini tercekat. "Abang, dimana?"

"Aku di--"

"Buka, Mas. Nggak bisa--"

"Mel--"

Klik

Galuh memutus sambungan tanpa berfikir.

Mel.

Melisa.

Getar di tangannya membuat Galuh kembali menunduk. Nama Karim tertera di layar ponsel.

"Galuh--"

"Abang, kamu bohong," bisik Galuh. "Itu tadi Melisa, ya? Melisa mantanmu?"

Demi seluruh pengalaman buruk yang Galuh dapatkan, Galuh tidak akan segan bertanya apapun demi mendapat kepastian.

"Ap--Iya, tapi Galuh, ini bukan seperti--"

"Yang ada di pikiranku?" sambung Galuh pelan. "Yang tadi di restoran Korea itu juga dia, kan? Kenapa harus bohong segala?"

"Galuh, bukan begitu. Kamu masih di katering, kan? Aku kesitu, ya?"

"Abang?" panggil Galuh lembut meskipun kini seluruh tubuhnya gemetar. "Kalau udah nggak kuat, bilang. Aku nggak papa."

Karim terdiam beberapa saat.

"Maksud kamu apa, Luh?" geramnya pelan.

Galuh menggigit bibirnya kala isakan sudah bersiap di ujung lidah.

"Salahku juga, sih. Nggak kasih kepastian sampai selama ini." Galuh mengusap matanya. "Kita belum terikat apa-apa. Nggak papa kalau Abang mau pergi."

"Berhenti mikir macam-macam. Kamu jangan pulang dulu. Kita harus bicara."

Namun Galuh menggeleng.

"Udahlah, Bang. Bener atau bukan, yang jelas kamu udah bohong tentang cewek di restoran tadi."

"Mereka orang yang berbeda, Galuh," didengarnya Karim menghela nafas. "Tolong, kamu jangan kemana-mana. Kita bicara, oke?"

Galuh terisak kecil. Dia tahu sekali, mendengarkan adalah hal yang diperlukan untuk meluruskan sebuah kesalahpahaman. Jika memang ini kesalahpahaman, bukankah dia harus mendengarkan Karim?

"Kesini," bisik Galuh. "Kamu...kesini. Jangan lama-lama."

"Iya. Kamu jangan kemana-mana."

Dan Galuh mematikan ponsel. Setelahnya ia berjongkok sembari menenggelamkan wajah di telapak tangannya, menangis.

Kebohongan adalah hal yang dia benci. Sebenci itu sampai rasanya tulang belulangnya bisa meleleh. Sebenci itu sampai rasanya Galuh ingin berteriak sekuat tenaga.

Kenapa Melisa ada di sana? Apa yang dilakukan Karim malam-malam begini dengan Melisa?

"Kami udah beberapa kali tidur bersama. Jadi aku yakin ini anak Galang. Aku punya buktinya."

Sebuah denyut menyakitkan hadir kembali di dada Galuh. Membuatnya menekankan telapak tangan di sana sementara ia menangis tertahan.

Dia tidak bisa. Dia perlu menenangkan diri. Apapun itu, mereka akan bicara besok saja.

Besok, di rumah.

Galuh mengirimkan pesan itu pada Karim sebelum melemparkan ponselnya di sofa. Dia akan mandi, lalu pulang. Persetan dengan hujan lebat yang tengah mendera.

Seluruh pikirannya kacau. Galuh tidak bisa berkonsentrasi pada apapun sementara kilasan masa lalu menderanya tanpa ampun. Ia keluar dari kamar mandi, memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas sebelum menyambar jaket dan turun.

Galuh memejamkan mata, berusaha menenangkan diri meski nyatanya ia masih terisak dan tangisnya belum reda. Seluruh tubuhnya gemetar. Tapi dia ingin pulang saja, ingin bertemu Gandhi.

Galuh mengusap mata dan membuka pintu.

Lalu membeku.

Karena Karim berdiri di sana, basah kuyup dengan mata memerah yang menatap tajam pada Galuh. Entah karena hujan, atau karena sesuatu yang lain. Dadanya naik turun dengan cepat, sementara bibirnya kini membiru.

Sudah berapa lama ia berada di luar?

"We need to talk," bisiknya mengambil satu langkah mendekat. "Right here, right now."



*TBC*

Hope you enjoy, bubye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro