17| REMEDY
Beware
.
.
.
----
"Aku mati aja!"
"Sudah, sudah...jangan ngomong gitu. Besok kita bicara sama keluarganya Niko."
Galuh hanya terdiam melihat ibu dan anak perempuannya. Kentara sekali si Ibu tengah menahan diri agar tidak ikut menangis kala Putri, anaknya, menangis hingga terisak di pelukannya.
Kegiatan konseling tidak pernah menjadi sesuatu yang ringan. Karena dia tidak hanya berhadapan dengan penyakit pasien saja, namun juga kondisi psikologis sang pasien. Menghimbau seseorang untuk merubah pola berpikirnya, adalah sesuatu yang berat. Apalagi jika pasien tengah berada dalam tahap denial.
Seperti Putri, si wanita di depannya yang saat ini seperti hantu karena tidak lagi punya semangat untuk hidup. Dia wanita berusia 22 tahun, punya pekerjaan mapan, berpenampilan modis, cantik meskipun kini agak pucat, dan baru satu bulan lalu dinyatakan positif terkena HIV.
Putri masuk dengan diagnosa bronkitis, panas tinggi, diare yang tidak sembuh-sembuh, penurunan berat badan yang cukup signifikan, dan sariwan menutupi hampir seluruh permukaan lidahnya. Karena satu minggu lagi dia hendak menikah, dia ingin sembuh sesegera mungkin. Tanpa pernah tahu jika hasil lab akan menunjukkan dia sudah terpapar HIV stadium III.
Putri menggeleng, membuat beberapa titik air matanya berjatuhkan. "Niko udah ngomong sama aku, Ma. Dia mau kita batal nikah. Kemarin dia udah ngebatalin undangannya."
Si Ibu hanya terdiam dengan bibir bergetar. Dipeluknya lagi Putri, kali ini dengan beberapa air mata lolos dari pelupuk mata. Ia menghela nafas panjang dan menoleh pada Galuh.
"Gimana tadi, Bu?" tanyanya parau meskipun nada tegar masih ia pertahankan. "Anak saya harus...makan gimana?"
Galuh berdehem. Ia kembali membaca leaflet di tangannya. "Semua makanan boleh. Terutama buah dan sayur agar membantu daya tahan tubuhnya. Kalau baru diare, rasa makanan disesuaikan agar tidak terlalu tajam, seperti mengurangi merica dan santan. Kalau sariawannya kambuh atau ada luka di kerongkongan, bisa makan bubur dulu. Yang penting, obatnya diminum secara teratur."
"Kenapa..." bisik Putri, pasalnya Galuh yakin selama konseling ini, dia tidak pernah mendengarkannya. Putri sibuk dengan dunianya sendiri. "Kenapa dia ninggalin gue! Katanya dia cinta sama gue! Dasar cowok pembohong!"
"Putri, nak...udah--" Si Ibu menyahut tubuh anaknya dan memeluknya erat. Persetan dengan menahan diri, sepertinya. Sebab kini sang ibu juga tengah menangis kala melihat kondisi putrinya.
Sementara itu Galuh terdiam. Dia mendengar sendiri pengakuan Putri jika dia melakukan seks bebas bahkan sejak dirinya masih SMA. Ketika dia sudah dipinang saja, dia mengakui jika dia sempat berhubungan bukan dengan calon suaminya. Katanya, saat itu dia terbawa suasana. Sementara Galuh tahu, virus HIV yang sudah menginfeksi tidak langsung menunjukkan gejala yang berarti. Butuh beberapa lama, bahkan bisa mencapai hitungan tahun sampai akhirnya gejala spesifik virus itu nampak. Itu berarti, mungkin saja Putri sudah tertular bertahun lalu dan tidak menyadarinya selama ini. Itu juga berarti, berapa banyak lelaki di luar sana yang tertular penyakit HIV tanpa mereka sadari. Karena HIV sudah bisa menulari bahkan ketika masih dalam tahap stadium satu.
"Bu--" Putri memanggil, dengan suara yang rendah sekali. Ia menatap Galuh dengan pandangan mengiba. "Hasil ujinya pasti salah, Bu. Selama ini saya selalu pakai pengaman. Mana mungkin bisa kena?"
"Mbak," ucap Galuh selembut mungkin. "Pengaman tidak pernah bisa benar-benar 'mengamankan' seratus persen. Selalu ada kemungkinan tertular, sekecil apapun peluangnya."
"Tapi itu nggak mungkin," isak Putri bergetar. Ia menangkupkan tangannya ke mulut. "Selama ini saya menerapkan safe sex. Selalu nggak mau kalau diajak berhubungan tanpa pengaman, Mbak. Itu nggak mungkin bisa...iya kan, Ma? Berarti ada yang salah sama hasilnya kan?"
Putri memandangi ibunya dengan putus asa, seolah ingin ibunya mengangguk sehingga dirinya bisa lega. Tapi si ibu hanya menggeleng sambil menangis.
"NGGAK MUNGKIN!" teriak Putri lepas kendali. Ia menunjuk Galuh dengan jari telunjuknya, melotot. "LO...LO SALAH! KALIAN SALAH! RUMAH SAKIT NGGAK BECUS! NGGAK BISA BEDAIN MANA YANG PENYAKITAN DAN MANA YANG BUKAN!"
Ia melemparkan barang apapun yang ada di meja ke arah Galuh. Galuh menghindar sembari berusaha ikut menenangkan Putri. Hingga akhirnya, wanita itu menjambret cutter dan berhasil mengenai lengan bagian dalam Galuh. Galuh terkejut kala rasa perih muncul dari sana. Ia refleks menjauh dan menutupi lukanya dengan tangan yang lain. Tidak dalam, hanya sebuah sayatan tipis untungnya. Tapi berhasil membuat darah merembes dari sana.
"Lo tuh cewek kayak gue!" bisik Putri pada Galuh yang mundur ke dinding sementara Putri mengacungkan cutter padanya. Sang ibu, kini menekap mulut dan terbelalak. Ia mencoba menahan Putri, namun anak perempuannya justru menepis tangan sang Ibu dengan tangan yang memegang cutter. Tentu saja, si Ibu jadi makin ketakutan. Putri kembali mendelik pada Galuh. Rambut yang tadinya rapi kini terurai hingga sebagian menutupi wajahnya.
"Bisa-bisanya lo setuju waktu gue divonis kena HIV! Mana mungkin! MANA MUNGKIN! HAH!"
Putri membanting cutter ke lantai dan menangis keras. Wanita itu melolong, meraung dan menjambak rambutnya sendiri dengan tatapan nanar. Sementara si ibu berusaha menenangkannya, Galuh cepat-cepat meraih ponsel dan menelfon Antony.
"Mas, butuh bantuan nih. Di ruang konseling. Iya, sekarang." Galuh berkata cepat pada Antony, salah satu security Rumah Sakit. Setelahnya, ia menyingkirkan cutter dari jangkauan Putri dan membantu si Ibu menahan Putri yang hendak berlari keluar.
Selama dirawat hampir satu bulan ini, Putri sepertinya kesulitan menerima keadaan dirinya. Belum lagi si calon suami yang sepertinya langsung membatalkan rencana pernikahan mereka kala mengetahui calon istrinya mengidap HIV.
Antony datang bersama security lain. Dibantu sang Ibu yang sepertinya sudah nyaris pingsan, keempat orang itu keluar dari ruangan.
Galuh cepat-cepat mencari kassa dan obat antiseptik. Wanita itu menutul-nutul lukanya beberapa saat hingga darah berhenti meskipun sayatan itu masih memerah. Setelahnya, ia terhenyak di punggung kursi. Putri bukan satu-satunya penderita HIV yang kesulitan menerima kondisi dirinya. Galuh pernah dilempar dengan kunci mobil tepat di wajah oleh bapak-bapak penderita HIV kala mereka melakukan konseling. Saat itu, Galuh sendiri yang berlari ke luar ruangan karena ia lebih takut bapak-bapak itu kalap dan melakukan hal-hal yang mengerikan padanya.
Galuh memijit pelipisnya sembari menghembuskan nafas lelah. Meskipun secara teoritis HIV bisa disebabkan oleh penggunaan jarum suntik, dari ibu ke janin, dan transfusi darah, namun aktivitas seksual yang beresiko menjadi penyebab utama kasus HIV di Indonesia. Menggarisbawahi kata 'beresiko', banyak orang menghimbau agar melakukan seks yang aman, dalam arti memakai pengaman. Padahal, pengaman itu sendiri tidak pernah diklaim mampu seratus persen 'mengamankan' seseorang dari terkena PMS (penyakit Menular Seksual) maupun dari kehamilan. Galuh tidak pernah membaca dalam jurnal, artikel atau bacaan apapun yang berani memberi klaim bahwa kondom memberi keamanan seratus persen. Padahal, kondom diklaim mempunyai tingkat keamanan paling tinggi. Dia hanya memberi tingkat keamanan sekitar sembilan puluh delapan persen. Sementara dua persennya merupakan taruhan.
Jadi bagi Galuh, safe sex pun selalu punya kemungkinan tertular sebanyak 2%. Dan ketika yang bertransmisi dalam 2% itu adalah HIV, tidak ada lagi tombol untuk mengulang waktu.
Galuh membanting diri di kursinya kala ia sudah kembali ke Instalasi. Wanita itu mengusap wajah, tampak lelah padahal masih pukul sebelas pagi. Tapi hari ini, dia sudah berkutat dengan pasien-pasien yang agak 'sulit' sejak pukul sembilan pagi.
Wanita itu menepuk-nepuk wajahnya. Dia masih punya tugas membuat laporan pengadaan bahan makanan untuk hari ini.
"Gimana konselingnya?" Kanya masuk ke ruangannya, lalu duduk di hadapannya sambil membawa camilan. Ia menyodorkannya pada Galuh. "Mau?"
"Thanks." Galuh mengambil segenggam keripik singkong dan mengamatinya. "Lancar. Ini yang lo jual di toko?"
Kanya mengangguk. "Testing. Kurang tipis, nggak?"
Galuh mencoba beberapa, lalu mengunyah dengan kening berkerut saat menilai tingkat kerenyahan si keripik saat digilas oleh giginya. Galuh menggeleng.
"Udah pas sih daripada yang kemarin. Nggak ketebelan tapi juga nggak gampang remuk. Rasa sama aromanya juga enak, daun jeruknya kerasa. Lolos UCR." Galuh mengangguk-angguk sembari memakan beberapa keripik singkong lagi.
Kanya tertawa mendengar komentar Galuh. UCR atau Uji Cita Rasa adalah metode pengujian subyektif pada suatu produk makanan. Biasanya kala mereka menerapkan menu baru, UCR sudah pasti dilakukan.
Saat itu, Farida masuk ke ruangan Galuh dengan sumringah.
"Yah, lo bawa makanan nggak bilang-bilang, Nya? Mau," rengek Farida menarik kursi dari ruangannya sendiri dan duduk di samping Kanya. "Sini coba gue UCR."
"Hm, gimana? Udah layak jual?" tanya Kanya antusias. "Gue masih ada abon Lele, sebenernya. Tapi gue masih belum bisa ngilangin amisnya."
"Abon Lele? Lo mau ngebidik itu jadi produk?" Farida bertanya seraya mengerutkan kening, sementara Galuh menunggu jawaban sembari mengunyah.
Kanya mengangguk. "Gue lihat itu jadi peluang, sih. Soalnya, konsumsi ikan daerah kita masih rendah banget. Ingat Bu Susi bilang apa? 'Yang nggak makan ikan, saya tenggelamkan!'."
Tiga wanita itu tertawa.
"Lele murah dan berlimpah. Proteinnya juga tinggi, kan. Makanya, kalau bisa gue mau bikin abon Lele. Kalau penerimaan masyarakat bisa bagus, produk itu bisa punya nilai jual tinggi. Cuma masalahnya, daging Lele lembut, beda sama daging sapi. Jadi gampang hancur," tukas Kanya mengerucutkan bibir.
"Nggak masalah, sih. Dicoba aja dulu. Gue pernah makan abon Lele. Rasanya enak, kok," timpal Galuh.
"Heem, daripada bikin abon jamur kayak produk lo sebelumnya? Mahal gila!" Farida berkomentar di antara kunyahannya.
"Ya gimana, jamur banyak airnya. Gue beli sekilo yang bisa gue jadiin abon berapa ons, coba? Bahan baku jamur sendiri udah mahal, sih," jawab Kanya mengingat produk abon jamur yang berhenti diproduksi karena permasalahan biaya.
"Na!" seru Farida tiba-tiba. "Sena! Lo nggak jamuran di situ dari tadi?"
Suara derap langkah kaki segera terdengar dari ruangan paling ujung. Dan benar saja, Sena muncul di ambang ruangan Galuh. Wajahnya kuyu dan dia memberengut. Ia duduk di samping Farida, memaksa temannya untuk bergeser agar menyediakan tempat baginya. Lalu, ia meraih beberapa keripik juga.
"Gue baru pusing sama pasien di bangsal Isolasi," jawab Sena. "Inget pasangan cowok cewek yang dua-duanya positif HIV itu? Bisa aja ngomongnya sama gue waktu gue tanya riwayat aktivitas seksnya."
Galuh mengangguk. "Yang masih mahasiswa itu? Yang dua-duanya juga kena Sipilis itu? Memang kenapa?"
"Gue kasih tahu biar kalian siap siaga kalau ngasih konseling ke mereka. Mereka bilangnya, seks adalah hak mereka. Kebebasan mereka. Mereka toh ngelakuin itu atas dasar suka sama suka. Orang lain nggak berhak nge-judge mereka benar atau salah, padahal gue nggak tanya macem-macem. Gue cuma ngisi form," jawab Sena berusaha menenangkan diri. "Ya, oke. Mana pernah sih gue ikut campur kalau masalah prinsip orang? Cuma masalahnya, mereka sekarang menyesal dan nangis-nangis ke gue, minta kepastian kalau minum ARV virus itu akan hilang. Waktu gue bilang ARV cuma bisa bikin virus itu terhambat, mereka maki-maki gue!"
Sena mengelus pelipisnya, dan semua tahu jika wanita bertubuh mungil itu akan meledak sebentar lagi.
"Nggak, astaga, gue sama sekali nggak nyalahin mereka. Tapi gini, lo udah mahasiswa, udah gede, udah bisa mikir. Lo juga udah dapat warning, udah dapat edukasi, udah dapat banyak penyuluhan. Terus lo kekeuh ngelakuin itu dengan alasan itu hak lo. Terus waktu lo kena, lo nangis-nangis nyesel sementara lo udah tahu resikonya dari dulu dan malah nyalahin gue?" Sena melotot sambil meremas keripik singkong di tangannya. "Aduh, situ sehat?"
***
Galuh jadi bertanya-tanya, apa rasanya sebegini menyenangkan kala Sena menemukan Sakti di lobi Rumah Sakit dulu sekali.
Karena, Galuh tidak bisa menahan senyumnya saat menemukan Karim ada di lobi Rumah Sakit, duduk di sana dengan fokus ada pada ponsel. Sudah satu minggu sejak mereka bertemu muka. Sisanya, hanya terisi telfon maupun berbalas pesan.
"Nggak masuk lagi?" Galuh bertanya sembari mendekati laki-laki itu. Karim mendongak, lalu berdiri.
"Masih jam segini. Siapa tahu kamu belum selesai," jawabnya ringan sembari mengantongi kembali ponselnya. "Mau makan di mana?"
"Umm...di kafe depan aja, gi-"
"Nte!"
Keduanya menoleh kala suara familiar itu terdengar. Syaira berlari dari lorong ke arahnya dengan wajah bersinar. Ia memakai dress pendek berwarna pink dengan rok mengembang dan rambut yang dibiarkan tergerai. Kiki memantul-mantul di pelukannya saat ia berlari ke arah Galuh. Di belakangnya, Galang dan Sarah mengikuti.
"Oh, kontrol hari ini?" tanya Galuh tersenyum sopan. "Gimana kabarnya, Syaira?"
"Iya, sama dokter Gina. Sudah membaik. Berat badannya juga naik," jawab Galang gugup. Lelaki itu beberapa kali mencuri pandang ke arah Karim, yang berdiri di samping Galuh tanpa berkata apapun kecuali menatapnya dengan datar.
"Mas Karim, gimana kabarnya?" Sarah mengulurkan tangan pada Karim dengan ramah.
Manik mata legam Karim berpindah pada Sarah. Lelaki itu menatapnya beberapa saat, lalu membalas uluran tangannya dengan singkat. "Baik. Maaf, kami duluan."
Galuh hendak mengucapkan sesuatu kala Karim meraih tangannya. Lelaki itu menyelipkan jemari Galuh di antara jemarinya, menggenggamnya erat sebelum membimbing Galuh keluar dari lobi. Melihatnya, Galuh menggigit bibir. Sebab raut wajah Karim sedikit berubah.
"Abang--"
"Sebentar saja, Galuh. Sebentar saja," desis Karim dengan wajah yang masih kaku tanpa menoleh ke arah Galuh. Ia hanya berjalan cepat menuju trotoar.
Karim berhenti di tepi jalan raya. Ia melepaskan genggamannya dan menghadapi perempuan itu. Diamatinya Galuh beberapa saat, sementara Galuh hanya menatapnya dengan heran. Karim menghirup nafas panjang untuk menenangkan diri, lalu ia tertawa pelan.
"You beat me," gumamnya sebelum mengedik ke kafe di seberang jalan. "Ayo."
Keduanya menyebrang jalan, tanpa menyadari dua pasang mata masih mengamatinya dari tadi.
"Kenapa orang secakap dia rela resign?" gumam Sarah tidak habis pikir. "Dia bisa masuk ke jajaran tinggi DJP kalau mau. Karirnya secemerlang itu."
"Aku dengar dia resign karena ibunya," balas Galang. "Nggak rugi sih. Dia kerja di Centauri, salah satu WP terbesar kita. Gajinya tiga kali lebih besar daripada gaji plus tunjangan yang dia dapat kalau masih kerja di DJP."
Sarah mendengus meremehkan. Resign karena ibunya adalah alasan yang tidak bisa ia mengerti. Toh, ibunya bisa dititipkan pengasuh atau panti jompo sekalian. Semua orang adalah individu yang bebas.
"Jadi, Galuh sama Karim?" tanya Sarah. "Udah tiga tahun dan baru sekarang nyari gantinya kamu. Sesulit itu dia lepasin kamu, Mas."
Galang menghembuskan nafas lelah. "Sarah, mau sampai kapan kamu menjadikan itu masalah? Sudah aku bilang berapa kali, kami berpisah baik-baik. Dia nggak pernah ganggu kita."
"Hmph! Kamu pikir aku mau percaya begitu aja sama orang yang pernah selingkuh?" remeh Sarah berjalan lebih dulu mengikuti Syaira yang sudah berlarian di depannya. "Kita ini tinggalnya jauh, Mas. Apa jaminanmu bisa terus setia sementara Galuh yang pernah kamu nikahi saja sedekat ini sama kamu?"
Galang menggeram. Ia menatap Sarah tidak terima. "Sarah, I broke my vow just for you. Bukannya itu cukup jadi bukti kalau cuma kamu wanita yang aku inginkan?"
Sarah mengedikkan bahu. "It only proved that you're a liar. Sekarang, kamu jadi agak mengerikan di mataku."
Galang mengusap rambutnya dengan frustasi.
"Berhenti berpikiran macam-macam. I love you, it's enough," gumam Galang melembutkan suaranya. Ia meraih pinggang Sarah, mengecup sisi kepala istrinya dengan sayang. Namun Sarah mendengus meskipun ia membiarkan Galang memeluknya.
"Kamu tahu, Mas? akhir-akhir ini aku jadi sedikit takut," bisik Sarah. "Pikirkan sebentar aja. Kamu bisa tidur sama aku sementara istri kamu baru hamil di rumah, kamu bahkan bisa melanggar janji pernikahanmu sama dia. Kamu pernah membuktikan kamu bisa melakukan hal sejahat itu."
Sarah menoleh singkat ke arah Galang.
"Bisa jadi suatu saat nanti, kamu selingkuh di belakangku, kamu melanggar janji pernikahanmu sama aku. Semakin aku pikirkan, aku semakin yakin kamu bisa melakukannya. It scared me."
"Sarah, aku nggak bakal ngelakuin itu," balas Galang berusaha menenangkan Sarah. "I promise, I'll never leave you."
Namun Sarah mendengus lagi. Wanita itu melepaskan pelukan Galang dengan sedikit kasar. "Berjanji? Memangnya seberapa dalam makna janji itu buat kamu? Kamu pernah melanggar janjimu dan kamu berjanji sama aku? You kidding me?"
"Sarah, sebenarnya maumu itu apa?" geram Galang putus asa. Karena sungguh, saat ini dia berada pada keadaan paling menjemukan di sepanjang pernikahannya dengan Sarah. Setiap hari, ada saja sesuatu yang mereka ributkan. Contohnya, hal kecil seperti ini.
Sarah menggeleng. Matanya bergetar kala menatap Galang."Aku juga nggak ngerti, Mas. Ini udah bikin aku takut sejak pertama kita nikah. Aku pikir awalnya, aku bakal tentram saat kita bareng lagi. Tapi, semakin ke sini aku semakin takut kalau orang yang pernah berkhianat akan berkhianat lagi suatu saat nanti. Memangnya apa alasan kamu dulu nikah sama aku kalau bukan karena Syaira?"
"Aku nikahin kamu karena aku cinta sama kamu!" geram Galang.
Sarah tertawa. "Cinta? Mas, cinta itu bisa hilang seiring waktu! Kalau suatu saat rasa cintamu sama aku udah hilang, bisa jadi kamu pergi, kan? Semudah itu buat kamu."
"Godammit, Sarah. Kamu kebanyakan mikir!" bentak Galang pada akhirnya.
"Itu karena aku merasa nggak aman!" balas Sarah tidak kalah tinggi. Mata wanita itu berkaca. "Aku ngerasa insecure sama keberadaan Galuh yang berada sedekat ini sama kamu, sementara aku ada jauh di seberang sana! Siapa yang tahu apa yang akan kamu lakukan, kan? Aku nggak bisa percaya sama kamu meski nyatanya aku benar-benar ingin percaya, Mas. Tapi, kamu pernah berkhianat! Walaupun itu karena aku, itu nggak mengubah fakta bahwa kamu pernah berani melanggar janji pernikahan! Kamu semudah itu mengatakan sumpah!"
Galang ternganga. "Darimana kamu bisa berpikiran begitu? Sarah, aku nggak bakal mengkhianati kamu-"
"Udahlah Mas! Nyatanya selama tiga tahun ini aku berusaha berdamai sama rasa takutku. Tapi itu sulit, karena kamu pernah berkhianat!" ucap Sarah tajam. "Ayo pulang! Pesawatku harus berangkat satu jam lagi!"
Mendengarnya, Galang terbelalak. "Astaga, kamu mau balik lagi? Kamu baru di rumah tiga hari!"
Sarah menepis tangan Galang dari lengannya. "Aku punya tanggungjawab di sana, Mas. Kamu jangan kayak anak kecil begini. Ayo pulang dan antar aku ke bandara!"
Untuk pertama kalinya dalam pernikahan mereka, Galang berada pada titik yang sangat melelahkan hingga rasanya ingin berhenti.
Sarah adalah satu-satunya wanita yang ia cintai. Namun ia tidak bisa menampik jika rasa kecewa nyatanya mampu mengikis rasa yang tadinya terasa agung menjadi sesuatu yang tidak lagi sama.
Semakin hari, wanita itu kian berbeda. Tidak ada lagi Sarah yang melayaninya dengan manis seperti dulu. Tidak ada lagi Sarah yang memeluknya penuh kasih sayang seperti dulu. Wanita itu, tidak lagi berbicara penuh kelembutan seperti dulu. Bahkan selama tiga hari mereka di rumah, tidak ada sesi percintaan yang panas karena Sarah berkata dia sedang lelah.
Setiap hari dia hanya menemukan dirinya sendiri terbangun dari ranjang, mandi, makan, kerja, pulang, tidur. Begitu saja tanpa ada Sarah di sisinya. Tanpa ada telfon yang sedikit melunturkan rindunya. Lama-lama, dia tidak lagi merasa rindu. Hatinya, sudah terlalu lelah mengharap.
Galang mulai bosan. Ia mulai letih, sesak dan tertekan. Pernikahan yang ia idamkan tidak pernah terwujud sempurna. Dan perkataan Sarah tentang ketidakpercayaannya pada Galang, hanya menambah beban Galang saja.
*TBC*
MWAHAHAHAHA 😈😈😈
Eeee...Babang Kayim cuma nyempil 😭
See you next day, bubye ❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro