16| REMEDY
Beware...
.
.
.
-----
"Terus Bang Randi dikemanain?"
Harun tiba-tiba saja masuk kamar dan menghempaskan diri di atas ranjang Galuh. Ia menoleh dengan tatapan tidak terima. Sementara Galuh yang sedang mengikat rambut setelah mandi sore itu, melirik Harun dari cermin meja rias.
"Memang Bang Randi kenapa?" tanya Galuh sembari meraih ponsel dan memasukkannya ke dalam sling bag miliknya.
"Kalau ketemu gue tanya melulu kenapa pesannya nggak pernah dibales," keluh Harun. "Kenapa sih, Mbak? Padahal Bang Randi orangnya baik. Di mata gue, dia gentleman abis."
Galuh paham. Memang, tidak sulit mengagumi Randi. Sebutlah dari fisik saja, lelaki itu sudah mencuri banyak perhatian. Pekerjaan dan pembawaan dirinya yang dewasa, jelas menambah sisi prestisius Randi. Dalam beberapa kali kesempatan ketika mereka bertemu, Galuh bisa menilai jika wawasan lelaki itu luas. Mungkin karena banyak kasus yang ia tangani. Bagi Harun, Randi adalah salah satu senior yang ia kagumi. Ia banyak belajar dari Randi dan Randi pun juga tidak segan membantu Harun.
Hanya saja, Galuh enggan berkata pada Harun bahwa Randi adalah lelaki yang kurang sopan. Sebut saja, seluruh pengalaman Galuh selama ini benar-benar mengajarkannya untuk berhati-hati.
"Bilang aja Mbak sekarang udah sama Bang Karim. Nggak ada sembarangan bales chat dari cowok lain," jawab Galuh mencari-cari dompetnya. "Dan, kenapa lo nggak nyoba kenalan sama dia?"
Harun mengangkat telapak tangannya ke atas, mengamatinya dengan main-main. "Agak canggung sih. Maksud gue, dia kenal gue sementara gue nggak ingat dia."
Galuh terkekeh. Ia menemukan dompetnya di bawah tumpukan buku-buku, lalu memasukkannya ke dalam sling bag. "Soalnya dulu lo masih balita. Kemana-mana masih pakai popok sampai pantatnya berat gitu."
Harun mendengus tidak puas. "Nggak mau kasih Bang Randi kesempatan lagi? Dia beneran nunggu lo deh kayaknya. Paling nggak, nunggu dia ngadep Papa, gitu?"
Galuh hanya tersenyum kecil tanpa menjawab. Wanita itu mengacak rambut Harun pelan dan keluar kamar. Sementara, Harun masih telentang di kasur dengan pemikiran tentang laki-laki yang hari ini mendadak muncul di rumahnya.
Karim, katanya. Di sudut terjauh memorinya, Harun mengenali nama itu. Hanya saja, tidak ada satu kenangan pun yang bisa dengan jelas mengingatkannya tentang Karim. Lelaki itu basah kuyup tanpa Harun tahu alasannya. Tampak serius membicarakan sesuatu dengan Gandhi kala ia mengantarkan minuman untuk mereka. Perawakannya tegap dengan tatapan tegas, sepertinya bukan orang yang suka basa-basi.
Tapi tetap saja, dia lebih mendukung Randi. Dia sudah lama mengenal Randi dan menilai jika lelaki itu lebih cocok untuk kakaknya.
Sementara, Galuh memakai jaketnya sembari berjalan pelan menyusuri tangga.
Pipinya segera bersemu kala mengingat kejadian di dapur tadi. Saat ini saja, dahinya jadi terasa panas. Galuh menggertakkan gigi dan menggosok keras dahinya, berusaha menghilangkan bekas ilusi dari kecupan Karim. Ternyata saat itu, Gandhi memang memberi waktu bagi Karim berbicara dengan Galuh.
Karim pamit pulang setelah berkata akan kemari lagi dan mengantar Galuh ke katering. Karena, mereka punya banyak bahan pembicaraan mengingat kesepakatan mereka yang baru.
Wanita itu menemukan dua lelaki berbeda usia tengah bercengkrama di ruang tamu. Karim duduk di sana, dengan kaus lengan pendek berwarna putih bergaris hitam. Tampak santai dipadu dengan celana hitam panjang. Wajahnya terlihat lebih segar daripada tadi. Sepertinya amarah juga sudah pergi, sebab wajah ramah itu kini kembali.
Ini, adalah kali pertama Galuh mendapati Karim dalam penampilan kasual. Karena mereka terbiasa bertemu setelah kerja sehingga ia lebih sering melihat Karim dalam pakaian kerjanya. Sekarang setelah Karim berpenampilan seperti ini, Galuh dan scanner tidak tahu malu di kepalanya jadi menyadari jika bentuk tubuh lelaki itu memang bagus. Matanya mengamati dengan teliti bagaimana lengan atas itu terisi massa otot yang terbentuk dengan sesuai. Bukan tipikal overgrown seperti para binaragawan, tapi cukup berbentuk hingga membuat Galuh penasaran apa lelaki ini rutin berolahraga.
"Sekarang?"
Suara Gandhi menyudahi pengamatan Galuh. Galuh berdehem dan mengangguk, berusaha menghindari tatapan Karim karena saat ini dia sedang sangat canggung.
"Dah Papa," pamit Galuh mengecup pipi kanan dan kiri Gandhi.
"Hmm...hati-hati," pesan Gandhi pada Karim yang berpamitan setelah Galuh.
Gandhi menghela nafas. Dipandangi sejenak putrinya, lalu menepuk pelan puncak kepala Galuh sebelum berbalik dan masuk rumah.
Galuh terdiam seraya mengawasi punggung yang sedikit bungkuk itu menghilang ke dalam rumah. Ia cukup tahu apa arti sendu yang terbayang di mata Gandhi. Sebab mungkin baginya, memberi kesempatan pada Karim bukanlah hal yang mudah mengingat kepercayaannya pernah dikoyak oleh orang yang ia beri amanah yang sama.
"Ada yang belum dibawa?"
Suara Karim menyadarkan Galuh. Wanita itu menggeleng dan berbalik menuju mobil dengan Karim di sampingnya. Aroma lelaki itu segera saja menjadi aroma favorit Galuh beberapa hari belakangan. Seperti berjalan di tengah hutan basah dengan aroma kayu yang khas namun segar. Kesannya menyenangkan, menenangkan dan sedikit sensual.
"Nggak mudah ya, Luh?"
Tiba-tiba Karim bertanya saat mobil keluar dari pekarangan rumah.
"Hm? Apa?"
Karim menoleh padanya, tersenyum tipis.
"Om Gandhi," jawabnya.
Galuh menggigit bibir bawah dan menggeleng.
"Buat kami, itu nggak akan pernah jadi mudah Bang." Galuh menjawab dengan sesak di dada. "Papa dulu udah percaya banget sama Galang."
Karim menghirup nafas panjang demi melemaskan jemarinya. Sebab saat ini dia masih sangat sensitif dengan nama itu.
"Gimana dengan kamu?"
Galuh terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil.
"Masa penolakan yang nggak terkontrol itu udah lewat buatku, Bang. Boleh dibilang, saat ini aku udah dalam tahap tenang. Udah merelakan yang lalu-lalu. Jadi, aku udah lebih bisa berpikir jernih kalau mau memulai lagi," jawab Galuh ringan.
Karim mengangkat alis. "Apa itu artinya kita bisa lari? Aku perlu lamar kamu besok?"
Galuh menggembungkan pipinya, meskipun dia yakin rona merah kini tengah menjalar di sana. Karim tertawa pelan.
"Kalau begitu, kita akan pelan-pelan aja. Tanya apapun yang mau kamu tanyakan."
Galuh melirik Karim yang fokus pada jalanan di depan, lalu berdehem.
"Kamu tahu semua resikonya setelah kamu bilang seperti yang tadi itu, Bang," ucap Galuh beberapa saat kemudian. "Bukan berarti aku merendahkan kamu. Itu...apapun yang kamu ambil, itu keputusan pribadimu. Sebelum kita melangkah lebih jauh, sebelum ada ikatan yang lebih dalam, aku mau kamu memikirkan semuanya baik-baik. Aku nggak akan nyalahin kamu."
Karim melirik Galuh beberapa saat.
"Begini. Bagian mana tentang kamu yang kamu anggap memberatkanku?"
Galuh terdiam sejenak, lalu menggigit bibir.
"Aku udah pernah nikah."
"Memang salahnya dimana?" tanya Karim lagi. "Kamu dimiliki laki-laki dangan cara yang benar, lalu suatu saat dia menyakiti kamu. Kalian berpisah dengan cara yang baik juga. Coba, bagian mana yang harusnya memberatkanku?"
Galuh menggigit bibirnya semakin keras.
"Memori," jawab Galuh pelan. "Dan mungkin...seks. Jangan berpura-pura kamu nggak paham bagian itu. Banyak orang nggak mau dapat pasangan yang sudah pernah melakukan seks dengan orang lain."
"Aku nggak bisa utak-atik memori kamu, Galuh. Lucu sekali kalau memori kamu tentang masa lalu aku jadikan masalah. Kecuali, kalau memang kamu belum bisa move on," ucap Karim.
Galuh mengangguk pelan. Sungguh, dia memahami rambu-rambu ini. Karena, menjalin hubungan dengan orang yang belum move on sepenuhnya adalah hal yang penuh resiko. Dia sendiri sudah membuktikannya.
"Kamu tahu apa yang aku pikirkan setelah tahu kalau dia selingkuh? Kalau dia ternyata masih menginginkan Sarah sebesar itu?" Galuh bergumam pelan. "Bisa jadi bukan aku yang ada di pikirannya setiap kita having sex."
Galuh melirik Karim, yang ternyata juga menoleh ke arahnya berhubung mereka tengah berhenti di lampu merah.
"Kekecewaanku sama dia sebesar itu. Kepercayaanku sama dia serusak itu. Dan rasa sakitku karena dia sebesar itu. Itu, cukup menghapus rasa apapun yang pernah ada buat dia," ujar Galuh. "Jadi praktisnya, aku memang udah move on."
Karim terdiam beberapa saat. Lelaki itu berkonsentrasi menjalankan mobil kala lampu menjadi hijau.
"Dendam?" tanya Karim lagi.
Kali ini Galuh tertawa. Ia meraih hiasan mobil di atas dashboard yang berbentuk baymax versi mini.
"Aku udah titipkan semua dendamku sama Tuhan karena aku sibuk sama diri sendiri," ucap Galuh di sela tawanya. "Dendam itu bukan hal yang enteng. Aku nggak mau nambahin beban dengan pikiran 'apa dia nggak bahagia dengan pilihannya?', 'apa dia nyesel udah ninggalin gue?', 'apa nanti dia ketabrak kereta sampai mati karena udah nyelingkuhin gue?'. Buat apa? Aku masih punya bahagia yang perlu aku usahakan."
Diliriknya wanita dengan rambut bercepol yang sedang menyentuhi kepala plontos si baymax dengan gemas. Galuh berpenampilan santai dengan kaus dan celana jeansnya. Rambut panjangnya yang sedikit bergelombang, ia satukan dalam bentuk cepol seadanya. Justru memberikan kesan menarik dan manis dengan beberapa rambut terjatuh di sisi kepala dan tengkuknya. Lalu, lelaki itu tersenyum.
Kehadiran wanita ini terasa pas ada di sebelahnya. Dia menyukai aroma segar buah-buahan yang selalu ia cium kala Galuh ada di dekatnya. Dia menyukai bagaimana mereka bercengkrama dengan antusias seperti ini.
"Dan tentang seks, aku juga nggak bisa berbuat apa-apa. Karena dulu, kalian pernah jadi suami istri." Karim melanjutkan dengan tenang. "Aku punya banyak waktu buat bikin memori baru di otak kamu, kan?"
Galuh melirik Karim yang masih fokus mengemudi.
"Nggak mau sama mereka aja, Bang? Gadis dan belum pernah ngelakuin seks?" gumam Galuh.
"Haruskah?"
Galuh terdiam lagi, membuat Karim menghela nafas kembali.
"Ini pembahasan yang bakal jadi paradoks. Aku udah menjelaskan sama kamu pandanganku. Kamu dimiliki dengan cara yang baik, berpisah dengan cara yang baik, dan kamu mau memulainya kembali, itu udah cukup buatku." Karim berucap. "Aku menilai kamu bisa jadi istri yang baik untukku, anak yang baik untuk ibuku dan ibu yang baik untuk anakku. Dan aku menginginkan kamu. Itu cukup jadi alasan kenapa aku pilih kamu. Masa lalu dan gimana cara kamu menghadapinya, itu cuma jadi bukti kalau kamu memang setangguh itu, sekuat itu. Jelas, itu poin plus kamu di mataku."
Karim mengatakannya dengan tenang, namun ketegasan itu tersirat tanpa ragu. Sementara, Galuh mengalihkan pandangan ke samping jendela kala pipinya memanas, lagi.
***
"Terima kasih sudah memesan di katering kami." Galuh tersenyum sopan pada klien terakhir yang mengambil pesanan mereka.
Ia mengawasi mobil van itu pergi, lalu balik masuk ke dapur.
"Kamar mandi dimana, Luh?" Karim muncul di belakangnya. Lelaki itu membawa handuk dan kaus yang masih terlipat.
Galuh mengedik ke atas. "Di atas, Bang. Kan udah dibilang nggak usah bantu. Di sini nggak mungkin nggak kena bau masakan."
Namun yang ada, Karim justru tertawa pelan.
"Aku ikut mandi, ya."
Galuh mengangguk. Iya, Karim membantu mereka di Dapur karena pesanan sore ini lumayan banyak. Galuh menciumi bau badannya sendiri, lalu memutuskan jika dia juga butuh ganti baju.
"Mbak Galuh, kita balik duluan ya. Mendung banget."
Aria, Wanda dan Amel berpamitan dengan tergesa.
"Nggak nginep sini aja?" tanya Galuh mengerutkan kening. "Udah malem, mendungnya ngeri gitu."
"Nggak, Mbak. Banyak tugas," jawab Aria buru-buru.
"Makan dulu?"
"Ng...takutnya hujan Mbak. Udah gludug-gludug dari tadi."
"Dibungkus aja. Wanda, bungkusin gih buat bertiga. Yang banyak buat besok pagi sekalian."
"Nggak nginep sini aja? Besok pagi-pagi biar gue sama Iyas antar. Kayaknya mau hujan besar lho, Mel. Nanti kosan lo jebol kayak kemarin gimana?" ujar Catra melepas celemeknya.
Amel menggeleng. "Besok gue praktek lapangan. Banyak yang perlu gue siapin dan tolong doanya jangan jelek gitu dong!"
Catra mencebik.
"Lo sama Iyas nginep?" Aria menimpali seraya membantu Wanda.
"Hm," Catra mengangguk. "Mau ngawasin Bu Bos sama Pak Dosen."
Galuh yang sedang membereskan berbagai peralatan memasak, mendengus pelan. Catra tergelak.
"Males kalau keujanan di jalan," tukas Catra melepas celemeknya. "Lagian besok kita masuk siang. Mau ke tempat Pak Karim dulu aja. Temenin gue ya, Yas."
Iyas, yang sedari tadi bungkam kala mengambil makan malam, mengangguk. Pemuda jangkung itu mengambil tempat di lobi, lalu makan tanpa suara.
"Dadah Mbak. Besok ada job pagi, kan?" pamit Amel meraih tas ranselnya sendiri.
"Iya. Hati-hati."
Setelah membersihkan dapur, Galuh melepas celemeknya dan naik ke lantai dua. Ia mengambil kaus bersih dari dalam ransel dan duduk di sofa saat Karim keluar dari lorong kamar mandi dan duduk di sampingnya. Wangi segar menguar dari tubuh lelaki itu.
Galuh berdecak dan ganti duduk di hadapan Karim, membelakangi kipas angin."Jangan dekat-dekat, Bang. Aku bau masakan. Bawa kaus?"
"Selalu sedia di mobil kalau ada keadaan darurat," jawab Karim mengawasi Galuh yang tengah mengurai dan kembali mencepol rambutnya tinggi-tinggi.
"Baru dipakai Catra?" tanya Galuh lagi, merujuk pada kamar mandi. Karim mengangguk.
Galuh mengipasi dirinya sendiri. Sungguh, hawa sering menjadi gerah ketika hujan belum turun. Padahal lewat jendela di belakang sofa, Galuh bisa melihat mendung kelam tengah menggantung.
Galuh melirik cemas ke luar jendela. "Anak-anak udah sampai belum, ya? Ck!"
"Hm? Siapa?"
"Itu, cewek-cewek. Kontrakan yang dua dekat sini, si Amel yang agak jauh. Semoga aja langsung pada balik." Galuh mengedik meskipun raut gelisah masih menghiasi wajahnya. "Anak-anakku itu, anak rantau semua. Jauh dari rumah. Makanya, kalau pulang pas cuaca begini aku jadi khawatir. Mending nginep di sini sekalian justru nggak papa."
Sementara, perhatian Karim justru tersita pada raut gelisah wanita di depannya. Lelaki itu mengangguk singkat.
"Nanti ditelfon aja."
Galuh mengangguk singkat. "Iya."
Saat itu, Iyas muncul di puncak tangga. Ia mengedik sopan pada keduanya, lalu duduk di pojok ruangan beralaskan tikar. Biasanya, disanalah basecamp Iyas dan Catra. Mereka berdua sudah menganggap Dapur sebagai tempat tinggal kedua, sehingga tidak heran jika ada beberapa baju mereka yang sengaja ditinggalkan di sini, ditumpuk dalam sebuah keranjang rapi. Galuh membiarkannya. Karena, dia paham sekali rasanya belajar di kota orang.
Sementara Galuh masih sibuk mengipasi diri dengan wajah gelisah sembari mengutak-atik ponselnya, Karim bertopang dagu dan menatap wanita di hadapannya.
"Udah selesai?" tanya Galuh pada Catra yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil tersampir di lehernya. "Bang, aku mandi dulu, ya."
"Hm..." gumam Karim tanpa beralih posisi. Manik mata kelamnya mengikuti punggung Galuh hingga menghilang di lorong kamar mandi.
"Beneran sama Bu Bos?" Suara Catra terdengar kala bocah itu duduk di sampingnya. "Bu Bos banyak yang naksir, termasuk mamang-mamang telur yang sering kasih pasokan ke sini. Tapi kayaknya standar Bu Bos tinggi, ya? Sampai umur segini belum nikah juga."
Karim menoleh cepat ke arah Catra.
"Mamang-mamang telur masih sering ke sini?" tanya Karim.
"Masih, dia kan pemasok telur. Tapi sekarang aku tahu kenapa Bu Bos nggak pernah nanggapi dia," Catra terkekeh.
"Hm, sejak kapan kamu di sini?" tanya Karim lagi.
"Udah lebih dari satu tahunan." Catra mengingat-ingat. "Waktu itu aku diajak Amel. Walau beda kampus, tapi dulu kita satu SMA. Ya udah sih, malahan bisa dapat uang."
Karim terdiam lagi. Suara ceburan samar terdengar dari arah kamar mandi.
"Aku kira bakalan dapat bos cewek yang udah tua dan galak, suka kasih perintah," Catra tertawa kecil. "Tapi mungkin udah rejeki. Bu Bos orangnya baik. Aku sama Iyas dibolehin nginep di sini, dapat makan gratis, mandi juga boleh, dan nggak potong gaji. Kadang aku nganggep Bu Bos kayak kakakku sendiri. Jadi nggak ngerasa asing di kota orang."
Karim mengangguk, masih saja mengawasi lorong menuju kamar mandi dengan tatapan yang tidak mampu ia pahami. Catra yang sudah selesai mengeringkan rambutnya dengan kipas angin, berpindah ke samping Iyas. Mendorong-dorong temannya menggunakan kaki agar Iyas segera mandi.
Saat itu, Galuh keluar. Ia sudah berganti dengan kaus longgar berwarna hitam. Celana jeans membebat kaki jenjangnya hingga sebatas betis. Ketika Karim sadar jika dia terlalu mengawasi rambut di tengkuk yang masih basah itu, dia harus mengakui jika wanita itu cantik sekali.
"Masih ada acara apa lagi?" tanyanya ketika Galuh duduk di hadapannya.
Galuh menggeleng seraya menghidupkan laptopnya.
"Nggak ada, sih. Cuma mau input hari ini," ucap Galuh ringan. "Habis ini kita makan, terus tinggal ngobrol aja."
Karim melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam.
"Kita makan lalu pulang, ya?"
"Eh?" Galuh terkejut. "Katanya mau ngobrol?"
Karim tersenyum kecil. Alih-alih menjawab, lelaki itu berpindah duduk di samping Galuh dan mengawasi file excel yang dibukanya.
Seketika, Karim mengerutkan kening.
"Ini 'buku besar'mu?"
"Ng, iya." Galuh mengangguk. "Banyak sih, jadi banyak sheet-nya."
Dia menyayangi wanita ini, sungguh. Tapi melihat bagaimana kacaunya susunan excel di depannya, seketika jiwa akuntan yang sudah ditempa sejak lama menggeliat tidak terima.
"Sini aku buatkan yang lebih simpel," ucap Karim mengambil alih laptop Galuh. "Setelah ini, kita pulang."
"Lhoh, kok gitu? Bukannya tadi udah pamit Papa?" protes Galuh.
Karim tertawa pelan. "Kita masih punya banyak waktu, kan?"
Galuh menatap Karim lama, sepertinya merasa tidak terima. Dan Karim, benar-benar menahan diri agar jemarinya tidak berlari pada kening yang berkerut itu.
"Ya udah, nggak papa. Udah malam juga sih." Akhirnya Galuh berkata. "Aku ambilin makan sekalian aja ya. Sebentar."
Karim, yang duduk di lantai dengan laptop di atas meja mengangguk singkat. Ia mengawasi Galuh yang menghilang di tangga, lalu berkonsentrasi pada excel kacau di depannya.
"Dia banyak dapat tekanan dari lingkungan. Kamu tahu bagaimana lingkungan menilai keadaan anakku. Bahkan jika dia pulang malam saja, banyak suara yang pasti menyakitinya."
Bukan berarti Karim ingin segera menyudahi kebersamaan mereka. Dia ingin mengobrol di sini, berdua. Memberi kesempatan wanita itu untuk mengenalnya, juga sebaliknya.
Hanya saja, dia tidak ingin perempuannya tersakiti lebih banyak lagi.
*TBC*
Bubye ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro