15| REMEDY
Mobil berhenti di depan halaman rumah milik salah satu teman sejawat mereka. Rumah ini digunakan sebagai titik kumpul sebelum mereka pergi ke tempat Bakti Sosial. Empat bus sudah berjajar rapi di luar halaman, sementara beberapa rekan sejawat tengah berkumpul di halaman rumah.
Indra tengah berusaha melemaskan jemarinya yang kaku karena mencengkram jok terlalu lama kala Karim membanting pintu mobil dengan keras. Punggung tegap itu menjauh ke arah rumah.
"Rim, bentar!"
Dengan terburu, Indra segera membuka pintu mobil dan berlari meraih pundak Karim. Tapi Karim menepisnya, tepisan yang terasa seperti pukulan telak di pergelangan tangan Indra hingga pria plontos itu mengumpat meskipun kembali mengikuti Karim. Dia harus menenangkan temannya sebelum Karim bertemu Galang. Tapi Indra tahu doanya tidak terkabul ketika justru Galang muncul dan langsung menghampiri Karim.
"Bang, udah sampai?" tanya Galang yang memakai pakaian sama seperti yang lain. "Sarapan dulu, kalau gitu--"
"Kita bicara." Karim memotong perkataan Galang. "Ferdy, gue pinjem ruangan lo."
Ferdy, adalah teman satu angkatan mereka yang menjadi pemilik rumah. Bapak dua anak itu menoleh dari lawan bicaranya.
"Ada sih, di lantai atas pojok kanan itu ruang kerja gue," jawab Ferdy. "Kenapa emang?"
Karim mengangguk samar. "Galang, kita perlu bicara. Ikut gue."
Indra hanya menatap pasrah pada mereka berdua kala Galang mengikuti Karim dengan wajah kebingungan. Karim akan terlihat mengerikan kala lepas kendali. Pria plontos itu ingat kala mereka masih mahasiswa dan menjadi teman satu kamar kos. Lelaki itu pernah menghajar begal yang menjambret tas tangan mendiang kakak perempuannya hingga Diana jatuh dari motor dan kepalanya terluka. Empat begal, dua diantaranya membawa clurit dan Karim membuat mereka terkapar hanya dalam lima menit.
"Ada masalah apa, Dra? Kayaknya tadi waktu berangkat wajahnya belum sepet begitu." Ferdy menyenggol Indra yang masih saja berkacak pinggang meskipun dua orang tadi sudah lama menghilang di puncak tangga.
Indra menghembuskan nafas dan menyentil mulutnya berkali-kali. Sekarang dia tahu mengapa mulut bisa jadi begitu berbahaya. Ia menatap Ferdy dan menepuk pundaknya dengan simpati.
"Gue doain semoga ruang kerja lo nggak hancur, eh."
Sementara di lantai dua, Galang mengikuti Karim memasuki ruangan yang ditunjuk Ferdy.
"Mau ngomong apa, Bang?"
Galang mengerutkan kening kala Karim memutar kunci ruangan kerja Ferdy. Agaknya, Karim sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Tapi ia mengedik pada Galang, menyuruhnya duduk. Galang mematuhinya sementara Karim sendiri duduk di hadapannya.
Karim menatap Galang beberapa saat, lalu bersandar di kursi.
"Istri nggak ikut?" tanya Karim membuat Galang mengernyit. Pasalnya, nada lelaki itu terdengar dingin.
"Nggak, dia berangkat kerja kemarin sore setelah Syaira keluar dari Rumah Sakit," tanya Galang waspada. "Kenapa tanya tentang Sarah?"
Karim kembali terdiam. Galang bisa melihat bagaimana jakun itu bergerak beberapa kali, sementara kedua tangan kini mengepal dalam sedekapnya.
"Galuh yang kemarin sama gue itu, mantan istrimu?" tanya Karim lagi, dan kali ini Galang mengerti.
"Oh..." Galang bergumam canggung. "Iya. Lo...beneran sama dia, Bang? Gue lihat kalian bareng kemarin waktu di RS."
Karim mengangguk singkat.
"Baguslah," ucap Galang lirih. "Paling nggak, dia nggak menderita lagi setelah kami cerai."
"Kenapa cerai?" tanya Karim mengawasi manik mata Galang tanpa berkedip, membuat Galang menelan ludah dan bertanya-tanya sampai sejauh mana lelaki di hadapannya ini tahu. Karim adalah salah satu senior yang dia hormati. Beberapa kali Galang terbantu oleh Karim dan membuatnya segan pada lelaki itu. Maka kala mereka berhadapan seperti ini, rasanya canggung juga.
Galang menghembuskan nafas panjang.
"Karena setelah gue ketemu Sarah lagi, ternyata gue masih menginginkan dia," jawab Galang membalas tatapan Karim. "Gue masih secinta itu sama dia. Memangnya gue bisa apa kalau hati gue masih milih dia, Bang?"
"Lalu kenapa nikahin Galuh?" tanya Karim.
"Karena...ya karena gue anggap Galuh bisa ngilangin cinta gue sama Sarah. Dalam beberapa hal, Galuh mirip Sarah. Cantik, curvy, mandiri..." Galang melirik Karim. "Gue emang pernah cinta Galuh sampai memutuskan nikahin dia. Tapi ternyata cinta gue buat Sarah masih lebih besar. Dia satu-satunya wanita yang bisa buat gue segila itu."
Mata legam itu masih menatapnya dengan dingin, sampai-sampai Galang bertanya-tanya apa salahnya hingga Karim menatap dia seolah ingin membantingnya saat itu juga.
"Lo gugat cerai Galuh ketika dia hamil, itu yang gue dengar."
Galang mengangguk. "Sarah juga baru hamil, Bang. Posisinya saat itu rentan tekanan psikologis. Dia banyak dapat hujatan bahkan dari keluarga gue sendiri. Tadinya gue mau nyembunyiin itu semua sampai Galuh lahiran, tapi ternyata Sarah juga hamil. Gue nggak mungkin ninggalin Sarah, Bang. Dia butuh gue."
Mendadak saja, bercak kemerahan menutupi pandangan Karim kala sesuatu bergemuruh di dadanya. Wanita itu, seberapa banyak luka yang dia tanggung?
"Apa Galuh ngelakuin kesalahan fatal?" tanya Karim lagi. "Gue nggak habis pikir, Galang. Alasanmu terlalu kekanakan."
Wajah Galang mengerut tidak terima. "Galuh istri yang baik. Dia selalu masakin gue, bawain bekal buat gue, dan teman ngobrol yang nyaman. Sebagai istri, dia nggak kurang. Tapi gue punya alasan sendiri, Bang. Dan gue harap lo hormati keputusan gue."
Karim masih menatapnya. Tapi Galang bisa melihat sendiri bagaimana nadi semakin tegang di punggung tangannya yang bersedekap. Rahang lelaki itu mengeras.
"Gue tahu, lo juga pasti berpikir kalau apa yang gue lakuin itu salah, kan? Nggak papa, gue udah biasa dihakimi begitu," celetuk Galang kala melihat reaksi Karim.
"Menurut lo itu nggak salah?" tanya Karim dengan nada semakin dingin meskipun gesturnya masih tenang.
Galang mendengus pelan. "Bang, ayolah. Masa pikiran lo juga masih kolot, sih?"
"Ini bukan masalah kolot atau bukan, Galang. Jawab aja."
Galang berdecak. Agaknya dia mulai kesal. "Gue cuma mau hidup bahagia dengan wanita yang gue inginkan, Bang. Kenapa kalian memandang gue sehina itu? Memangnya apa yang salah kalau gue memperjuangkan kebahagiaan gue--UGH!"
Galang terjengkang dari kursi kala Karim meninju sisi kepalanya. Lelaki itu terperangah, ia terbelalak pada Karim yang berdiri tepat di sampingnya dengan nafas memburu.
"Salahmu ada tiga," Karim meraih tangan Galang dan menariknya berdiri meskipun sekujur tubuh lelaki itu masih bergetar. "Menyakiti orang lain, melanggar janji di depan Tuhan dan berselingkuh. Memangnya makna pernikahan buat lo itu apa?"
Galang mengerjap, lalu mengernyit. "Apa penting? Sepanjang kita saling cinta, itu udah cukup."
"Lo masih perlu banyak belajar," gumam Karim tanpa berminat merasa kasihan pada pipi Galang yang sekarang merah padam. "Jawab, pernah nampar Galuh?"
Mendengarnya, Galang menelan ludah.
"Itu karena gue ngelihat dia--"
"Gue tanya, pernah nampar Galuh?"
"Bang, lo harus tahu situasinya--"
Perkataan itu tidak pernah selesai karena Galang keburu terlempar ke seberang ruangan. Galang terbelalak kala sudut bibirnya kini robek dan berdarah. Karim mendekatinya dengan tiga langkah lebar.
"Bang, lo kudu dengerin alasan gue! Gue ngira dia udah nampar Sarah--"
"Mari kita ikuti aturan lo, Galang. Kenapa gue harus peduli? It doesn't matter if someone hurt as long as I am happy," ujar Karim datar.
Sekali lagi, Galang terdorong hingga membentur dinding oleh pukulan Karim. Lelaki itu merosot ke lantai. Karim berjongkok di samping Galang yang terengah. Wajah lelaki itu kini mulai tidak berbentuk. Kedua pipinya lebam dengan bibir yang bengkak dan mata menyipit. Nafasnya memburu dan ia berjengit kala Karim meraih kaus Galang dan membantu lelaki itu berdiri.
"Suatu saat nanti, ada masanya lo harus belajar menanggung tanggungjawab yang sudah lo ambil, suka atau tidak," ucap Karim. "Kalau lo masih bebal, lo akan dipaksa belajar oleh keadaan."
Karim berbalik menuju pintu dengan emosi yang belum mereda. Dia masih perlu bertemu--
"Kenapa lo juga ikut-ikutan menghakimi gue, Bang? lo, diantara banyak orang yang pikirannya terbuka, kenapa ikutan nyumpahin gue?" Galang berseru dengan suara yang gemetar. Selama ini, sudah cukup dia menerima pengasingan bahkan oleh keluarganya sendiri. "Gue cinta Sarah, itu yang terpenting di hidup gue! Masalah Galuh, gue bisa apa? Gue nggak bisa ngebahagiain banyak orang--"
Kalimat dengan nada putus asa itu menghilangan kesabaran terakhir yang dimiliki Karim. Berbalik, ia menghantam Galang dengan sekuat tenaga. Galang terhuyung, ia berusaha menangkis Karim. Yang ada, Karim meraih lengan Galang, berbalik lalu menariknya ke depan hingga Galang melayang di atas tubuhnya dan terbanting keras di lantai.
"Gue nggak pernah menyalahkan keinginan lo, Lang. Gue menyayangkan cara yang lo pilih untuk mencapai keinginan itu." Karim kembali menegakkan badan. Seluruh tubuhnya gemetar. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Matanya tertancap pada Galang yang kini meringis kala nyeri di punggung berkuasa.
Karim membuang nafas dan menyugar rambutnya, frustasi. Ia berbalik dan membuka pintu dengan kasar. Meninggalkan Galang yang merasa punggungnya remuk hingga ia tidak bisa melakukan apapun kecuali menggeliat di lantai.
Karim menuruni tangga dengan cepat dan melempar kunci mobil pada Indra yang masih berdiri di kaki tangga.
"Dia butuh P3K," gumam Karim melewatinya dengan cepat.
"Oh, berarti nggak parah," Indra berkata dengan lega. Sebab jika parah, bukan P3K lagi yang dibutuhkan. Tapi UGD. "Lo mau kemana, Rim? Kita udah harus berangkat--"
"Gue nggak ikut, Dra," jawab Karim berjalan menuju motornya, meninggalkan Indra yang berdiri gelisah sebelum ia berbalik ke mobil yang tadi dipakainya dengan Karim dan mengambil kotak P3K yang sudah mereka siapkan.
"Aku masih lelah, Bang."
Karim mencengkram stang motornya. Wajah menegang dan laju darahnya bergemuruh di gendang telinga. Demi apapun, hal yang ia ketahui tentang Galuh hari ini cukup membuatnya kacau.
Ia menghela nafas demi menenangkan diri, lalu menghidupkan motornya. Masih satu hal lagi yang perlu ia lakukan. Semuanya harus selesai hari ini.
***
"Galuh, tunasnya patah,"
Suara berat Gandhi membuat fokusnya kembali pada tunas anggrek yang sedang ia japit menggunakan pinset. benar saja, sekarang tunas itu patah jadi dua.
"Ah!" seru Galuh cemas. "Yah!"
Gandhi yang saat itu juga sedang memindahkan bibit anggrek dari dalam botol ke pot, hanya menggelengkan kepala. Pasalnya, ini sudah tunas ke empat yang dipatahkan anak perempuannya.
"Percuma. Dibuang saja."
Galuh meringis. Ia mengikuti instruksi Gandhi, lalu kembali meraih pinset panjangnya dengan tangan yang dibalut sarung tangan berkaret. Menyesali tunas yang patah tadi, karena siapa tahu dia bisa tumbuh menjadi Cattleya yang cantik dan mempunyai nilai jual tinggi.
Pagi setelah urusan katering selesai, Galuh pulang. Minggu begini, biasanya dia akan membantu Gandhi mengurusi penangkaran anggreknya. Ayah dan anak itu duduk di teras depan rumah, diantara pot-pot, berbotol bibit anggrek, plastik arang serta sekam yang bertebaran di sekitar. Gerimis mulai turun sejak beberapa menit lalu, membuat cuaca begitu muram dan hawa dingin mulai mencekam.
"Banyak pikiran?"
Galuh mengangkat wajahnya kala suara Gandhi terdengar. Ayahnya sedang menunduk, berkonsentrasi menancapkan sebuah tunas di tengah-tengah pot yang sudah diisi media. Meski begitu, Galuh tahu Gandhi sedang bertanya padanya.
Galuh kembali meraih sebuah tunas dengan ujung pinsetnya.
"Is it okay if I wanna start again, Pa?" gumam Galuh pelan. "Relationship."
Mendengarnya, Gandhi mengangkat wajah. Ia mengamati anak perempuannya yang terlihat malu dan bersikeras memandangi tunas anggrek di tangannya.
"Randi?"
Galuh menatap ayahnya, terperangah.
"Eh, kok Bang Randi?" tanya Galuh terkejut.
Gandhi hanya mengangkat bahu. "Harun sering cerita tentang dia. Kamu juga pernah diantar pulang sama dia waktu ban motormu bocor."
Galuh memutar bola mata. "Bukan dia, Papa. Bang Randi baik, tapi...aku nggak nyaman."
Galuh berhenti sampai di situ, tidak berminat mengatakan pada Gandhi bahwa Randi sering sekali memegang bagian tubuhnya bahkan ketika mereka tidak sengaja bertemu. Galuh bukan perempuan naif, tapi dia punya standar sendiri tentang kesopanan. Sikap Randi yang terlalu mudah menyentuhnya cukup membuatnya risih.
"Ada banyak hal yang bisa kamu jadikan pelajaran, Galuh," kata Gandhi akhirnya. "Kalau memang kamu sudah merasa siap, suruh dia ketemu Papa."
Galuh memandangi Gandhi yang kembali menunduk dan berkonsentrasi pada tanaman anggreknya.
"Pa, dulu waktu Mama masih ada, Papa pernah tertarik sama wanita lain?" tanya Galuh lagi.
Lagi-lagi, Gandhi mengangkat wajah. Lelaki dengan gurat wajah yang mulai dimakan usia itu menatap anak perempuannya beberapa saat, lalu tersenyum kecil.
"Pernah," jawab Gandhi. "Tapi nggak lama."
Galuh mengerutkan kening. "Hm, kenapa?"
"Karena apa yang membuat Papa tertarik dengan wanita itu, sudah dipunyai Mamamu," kata Gandhi lagi. "Cantik, mamamu punya paras yang menarik, mirip seperti kamu. Perhatian, kalau Mamamu nggak perhatian, Papa sudah kurus kering dari dulu. Cerdas, Mamamu wanita yang cerdas. Dia ahli dalam manajemen waktu. Sebenarnya, banyak orang yang kurang bersyukur saja."
"Gimana kalau ternyata dia punya sesuatu yang Mama nggak punya?" tanya Galuh lagi.
"Papa nggak pernah bilang Mamamu orang yang sempurna." Gandhi berkata. "Ada banyak hal yang membuat Papa kadang kecewa sama Mamamu. Tapi Mayang juga punya banyak hal yang membuat Papa semakin menyayanginya."
"Tertarik sampai tahap tergila-gila, menginginkan wanita itu sampai berpikir untuk berpisah sama Mama?"
Senyum kecil terbit di sudut bibir Gandhi. Ia kembali menatap Galuh.
"Nggak pernah," jawab Gandhi. "Galuh, Papamu ini punya otak untuk berfikir. Mamamu itu wanita yang berjalan dengan tangguh di samping Papa. Dia memberi Papa putri dan putra yang manis seperti kalian, sebodoh apa Papa mau mengorbankan bahagia yang sudah terbukti dengan bahagia yang belum pasti?"
Galuh terdiam. Wanita itu mengawasi Gandhi yang kembali menanamkan satu tunas di dalam pot dengan penuh konsentrasi.
"Sayang banget sama Mama, Pa?"
Gandhi mengangguk lagi, dan ia bisa melihat sorot mata itu menghangat.
"Mamamu adalah satu-satunya perempuan yang Papa sayang, karena Papa menempatkannya demikian. Memberi garis tegas pada wanita lain yang ingin mendekat, itu juga cara menjaga posisi Mamamu di hati Papa."
"Eh, pernah ada?" tanya Galuh terkejut. Pasalnya, selama ini orangtuanya terlihat sangat harmonis.
Gandhi mengangguk. "Dosen juga. Dan tahu kalau Papa sudah berkeluarga. Mamamu pun juga pernah. Pria di tempat kerjanya. Kita saling cerita kalau sudah demikian."
Galuh memandangi Gandhi, yang mengulum senyum kala Galuh menatapnya dengan dahi berkerut.
"Batas-batas di antara pasangan akan melebur seiring waktu kalau kalian selalu berusaha, Galuh. Akan ada saat dimana kalian berada pada tingkat paling tinggi dari saling memahami," ucap Gandhi sabar. "Papa sudah pernah bilang, komitmen itu seni. Seni saling menghargai, seni bertanggung jawab, seni berterima kasih dan seni mengendalikan diri."
Galuh menelan ludah karena dadanya terasa sesak. Dia tahu seberapa besar kehilangan yang dialami Gandhi ketika Mayang tiada. Galuh sampai takut kalau-kalau Papanya depresi. Tapi, Gandhi berhasil melewati masa kehilangan itu dengan baik.
"Jadi, siapa?" tanya Gandhi seraya meraih segenggam sekam. "Kalau bukan Randi, si--"
Perkataan Gandhi disela oleh derum motor yang belakangan menjadi familiar di telinga Galuh. Ayah dan anak itu menoleh, mendapati sebuah motor hitam memasuki pekarangan rumah dan berhenti tepat di depan teras dimana Galuh dan Gandhi duduk.
Galuh, tentu saja ternganga. Sebab dia tahu pasti siapa sosok di balik helm fullface yang menerabas hujan hingga kausnya basah begini.
Karim melepas helmnya. Ia melirik Galuh beberapa saat sebelum memasuki teras dan mendekati Gandhi.
"Om," sapa Karim. Sementara Gandhi mengerutkan kening.
"Siapa? Mahasiswa saya?" tanya Gandhi karena dia tidak merasa mengenali pemuda gagah itu.
"Pa---"
"Saya Karim, Om. Putranya Tiya, dulu kita tinggal di perumahan yang sama," ucap Karim sementara Galuh menelengkan kepala.
Lelaki ini kenapa? Wajahnya kelihatan agak mengerikan.
"Tiya..."
"Anaknya Tante Tiya, Pa. Abang Karim yang dulu sering ngajarin anak-anak Matematika." Galuh akhirnya berdiri. "Bang, kenapa di sini? Bukannya katanya ada reuni?"
Karim ganti menatap Galuh, namun ia hanya menggeleng singkat.
Sementara Gandhi kini mengawasi dua anak itu, dan sedikit pemahaman meresapinya.
"Karim Mahaputera? Anaknya Takka?" Gandhi memastikan.
"Iya, Om."
Gandhi mengangguk-angguk singkat dan berusaha berdiri. Galuh segera menyodorkan lengannya untuk Gandhi saat tubuh itu terhuyung, begitu juga Karim.
"Nak Karim, sudah besar sekarang. Mirip sekali dengan ayahmu." Gandhi akhirnya menghadap Karim. "Udah lama nggak ketemu. Kenapa bisa tahu kita pindah kemari?"
Sementara pertanyaan yang sama tengah menggema di kepala Galuh. Wanita itu mengamati Karim, yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.
Ah!
Apa jangan-jangan ada sesuatu yang cacat di kateringnya? Dia mau mengajukan komplain!
Seketika, raut wajah Galuh menjadi cemas. Ia melirik Karim yang sedang bercakap dengan Gandhi. Apa kesalahan di makanan yang ia buat begitu besar sampai-sampai Karim marah begini? Lihat saja, wajah yang biasanya ramah itu kini kaku seperti batu.
"Ada yang perlu saya bicarakan, Om," ucapan Karim menarik perhatian Galuh. Membuatnya tambah cemas saja. Apa Karim akan mengadukan makanan gagalnya pada Gandhi? Apakah makanannya membuat 200 orang itu keracunan?!
"Oh..." Gandhi mengamati Karim beberapa saat, lalu mengangguk. "Masuk saja. Galuh, tanam sisanya di pot. Botol lain kapan-kapan saja."
"Ng...iya, Pa." Galuh buru-buru mengangguk. Gandhi berjalan lebih dulu ke dalam rumah, sementara Karim mengikutinya.
"Abang," panggil Galuh takut-takut. Wanita itu meraih kaus Karim kala lelaki itu lewat di depannya dan membuat Karim berhenti melangkah. "Bang, mau ngobrol apa sama Papa?"
Mata legam Karim menatap Galuh tanpa kata. Wajah lelaki itu pucat dengan bibir berwarna ungu, mungkin karena menerabas gerimis entah sejauh apa. Rambut di tengkuknya lembab dan kausnya basah di bagian depan.
"Kamu."
Dan dengan begitu, Karim kembali mengikuti Gandhi. Sementara sesuatu yang lain, kini mulai merasuki pikiran Galuh.
Apa mungkin...
Galuh menatap tunas anggrek di tangannya yang tiba-tiba gemetar. Hari ini Karim bertemu Galang. Bisa saja Galang bercerita semuanya pada Karim mengingat kemarin ia melihat Karim dan Galuh bersama. Pikir Galuh sambil bersusah payah meraih dua tunas anggrek yang tersisa di dalam botol dan menempatkannya masing-masing di dalam pot.
Padahal dia akan bercerita tentang itu pada Karim di pertemuan mereka yang selanjutnya. Tapi, harusnya Galuh tahu rahasia selalu punya cara untuk menunjukkan diri.
Dan Karim, terlihat semarah ini. Galuh mengerjapkan mata kala merasa matanya memanas. Wanita itu bergegas membereskan pernak-pernik media dan memasukkannya ke dalam pekarangan anggrek milik Gandhi yang berupa sepetak tanah dengan kelambu yang menaunginya.
Galuh menggelengkan kepala. Belum tentu Karim kesini karena dia sudah mengetahui masa lalu Galuh, kan? asumsi itu muncul di otaknya karena semenjak kesepakatan mereka kemarin, hal yang sangat dipikirkan Galuh adalah reaksi Karim kala mengetahui masa lalunya. Ada banyak hal yang mungkin terjadi, maka Galuh berusaha menenangkan diri.
Wanita itu membersihkan diri dan bergegas masuk rumah melalui pintu samping. Ia menuju dapur untuk membuat dua gelas teh hangat.
"Siapa Mbak?"
Harun memasuki dapur dengan wajah bangun tidur. Kaus longgarnya kusut dan rambut awut-awutan. Harun menguap dan membuka kulkas dengan malas. Semalam, ia pulang malam karena mengurusi skripsinya.
"Tamu," jawab Galuh pelan.
Harun memutar bola mata. Ia menutup kulkas dan bersandar di sana, menggigit apel sembari mengawasi kakak perempuannya.
"Gue tahu kalau itu tamu. Tapi siapa? Gue belum pernah tahu," ucap Harun.
Galuh tersenyum kecil. "Lo pernah ketemu, Run. Waktu masih kecil, lo pernah jatuh karena ngikutin Mbak main layangan. Dia ngegendong lo sampai rumah, ingat?"
"Ha?" Harun mengerutkan kening.
Galuh hanya membiarkan Harun dan segala pikirannya. Wanita itu mengangkat nampan, sejenak dia bimbang. Namun Galuh meyakinkan diri bahwa asumsinya belum pasti terbukti. Lagipula, bibir Karim yang berwarna keunguan cukup membuatnya cemas juga. Ia melirik sepanci penuh kolak pisang yang dibuatnya tadi pagi. Ingatkan Galuh untuk kembali menghangatkannya nanti.
"...mana dengarnya?" suara Gandhi samar terdengar kala Galuh berjalan menuju ruang tamu.
"Teman, dia satu kantor dengan Galang." Kalimat Karim membuat Galuh terhenti. "Dan saya sudah mengkonfirmasi dari Galang tentang pernikahan mere---"
Karena saat itu, Galuh berbalik. Seluruh tubuhnya bergetar pelan. Ia harus mencengkram erat pegangan nampan agar benda itu tidak terjatuh dari tangannya.
"Harun, tolong kasih depan." Galuh menyodorkan nampan itu pada Harun yang masih bersandar di kulkas menikmati apelnya.
"Hm? Muka gue kusut gini Mbak," tukas Harun dengan pipi menggembung.
Galuh berdehem. "Mbak masih mau ngurusi yang lain. Kamu, tolong taruh ini di depan."
Harun mendengus. Pemuda itu melempar bagian tengah apel tepat ke tempat sampah sebelum meraih nampan dari tangan Galuh dan keluar ruangan.
Sementara, Galuh sendiri sibuk menenangkan diri. Wanita itu bertumpu pada tepi pantry, meredam gemetar yang terasa dari hati sampai ke kaki. Mata Galuh memanas, namun digigitnya bibir kuat-kuat. Dengan tangan masih gemetar, ia memanaskan kolak pisangnya dalam api kecil.
Bukankah memang sudah seharusnya dia tahu? Batin Galuh pelan. Sekarang ataupun nanti, Karim berhak tahu. Apapun reaksinya, itu berada di luar kuasa Galuh.
Hanya saja, rasanya memang sedikit sakit. Galuh mengusap matanya dan tertawa pelan. Memangnya apa yang dia harapkan? Terkadang dunia tidak berputar seperti apa yang ia pinta, kan? Galuh sudah terbiasa berbesar hati.
Ia mengaduk pelan, membatin apakah Harun punya baju seukuran Karim hanya agar Karim tidak kedinginan. Galuh memaklumi Karim yang terlihat buru-buru dan menatapnya dengan...kecewa, mungkin. Mengingat dia tidak banyak bicara bahkan ketika Galuh bertanya.
Galuh tidak pernah memandang rendah dirinya. Baginya, apapun yang dia putuskan adalah hal terbaik untuk dirinya sendiri. Jadi, dia tidak pernah menganggap menyetujui permintaan Galang untuk berpisah adalah sebuah kesalahan. Dia tidak punya alasan untuk merasa rendah diri. Tapi dia tahu, stigma di masyarakat masih begitu kuat untuk status seperti dirinya. Akan selalu ada orang yang memperlakukannya berbeda baik secara persepsi maupun praktikal. Mungkin saja, Karim merupakan salah satu orang yang menganut stigma itu. Dan jika nanti lelaki itu menganggapnya beban, Galuh akan memilih mundur daripada memperjuangkan apapun yang telah mereka sepakati.
Karena, dia memang masih lelah.
Sebuah tangan, menyelusup di bawah lengannya yang sedang mengaduk kolak pisang dan memutar kenop kompor hingga api mati.
"Santannya pecah, Luh."
Seluruh bulu kuduk Galuh berdiri kala mendengar suara Karim tepat di samping telinganya. Ia berputar cepat dan mendapati Karim sudah mundur beberapa langkah meskipun kini lelaki itu berdiri tepat di hadapannya dengan penampilan yang masih kacau.
Galuh menelan ludah kala manik legam itu hanya menatapnya tanpa suara.
"Hai," sapa Galuh tersenyum kecil meskipun ia merasa bibirnya bergetar pelan. "Jadi, akhirnya Abang tahu. Padahal rencananya aku mau kasih tahu minggu depan waktu kita ketemu lagi. Hal seperti itu...butuh waktu, tapi kayaknya aku memang nggak boleh berahasia sama kamu."
Masih terdiam, lelaki itu mengangguk meskipun matanya tidak pernah meninggalkan Galuh. Wanita itu memalingkan wajah kala matanya memanas tanpa ampun. Galuh berjalan ke wastafel hanya agar kakinya tidak lemas di tempat.
"I've warned you," gumam Galuh pelan memunggungi Karim kala ia mencuci tangan. Lalu, ia mematikan keran dan berputar menghadapi Karim. "It is okay if you wanna walk away."
Karim masih terdiam. Diam yang menyiksa Galuh.
"Merendahkan diri sendiri?" tanya Karim akhirnya membuka suara. Ia mengambil satu langkah menuju Galuh.
"Aku nggak pernah merendahkan diri sendiri hanya gara-gara ini, Bang," ucap Galuh sedikit tidak terima.
"Kalau begitu, kamu memandang rendah aku? Cara berpikirku?" Karim mendekat lagi, masih bertanya dengan nada yang sama hingga Galuh meraih tepi pantry di belakangnya.
"Aku nggak merendahkan kamu," geram Galuh kala manik legam tanpa keramahan itu makin mendekat.
"Begitukah? Lalu kenapa bilang seperti itu?" bisiknya tepat di depan Galuh hingga wanita itu semakin merapat diri di pantry. Karim menunduk, memerangkap Galuh dalam tatapannya. "Apa artinya, kalau begitu? Kenapa aku harus pergi?"
"Memangnya apa alasanmu untuk tetap tinggal?" tanya Galuh pahit. "Sebelum kamu menyesal, lebih baik mundur aja, Bang."
"Dear, you disgrace me," gumamnya. "I have many reasons to stay, why should I walk away?"
Tentu saja, Galuh membeku. Sementara, Karim menghirup nafas panjang.
"Maaf. Aku banyak tanya tentang suami, tentang menikah sama kamu. Aku nggak tahu," ucap Karim pelan. "Aku udah tahu dari Galang, dan aku ke sini untuk tahu semuanya dari Papa kamu. Dari Om Gandhi, aku tahu bagaimana kamu berusaha selama tiga tahun ini."
Karim yakin Galuh mampu mendengar getar dalam suara yang tidak mampu ia tahan. Sebab kini ketika ia menatap mata Galuh, Karim seolah bisa membayangkan bagaimana Galuh saat Galang mengatakan kebenaran. Bagaimana terpuruknya dia kala Sarah datang. Bagaimana menderitanya dia kala kecelakaan itu terjadi. Bagaimana kehilangannya dia ketika anaknya tiada.
Seketika, ia ingin sekali kembali menghajar Galang.
Gandhi bercerita dengan kepedihan yang berusaha pria itu tahan, bagaimana Galuh berusaha bangkit selama ini. Karim ingat jelas, bagaimana sepasang mata berkeriput itu berkaca kala bercerita tentang Galuh yang pulang ke rumah tengah malam, kehujanan dan sepatu yang patah demi membangun kateringnya.
Wanita ini sudah berusaha untuk bangkit, Karim tidak meragukan itu. Dan begitu saja, rasa sayang untuknya menjadi berkali lipat lebih besar. Sebab sekarang, perempuannya mampu berdiri tegak dan menghadapinya dengan berani seperti ini.
Galuh meremas tepi pantry kala Karim merengkuh pipinya, merangkumnya dalam telapak tangan lebar yang terasa hangat sebelum mendaratkan kecupan singkat di kening wanita itu.
"You're strong woman, Galuh. You've done well. It only makes me love you more," bisik Karim mengusap ringan keningnya.
Galuh yakin saat ini jantungnya meledak jadi serpihan.
"Aku anggap kesepakatan kita kemarin adalah tanda niatmu untuk mencoba lagi, apa aku salah?"
Galuh mengerjap karena matanya memanas dengan cepat. Wanita itu hendak menjawab, namun rasa tercekat di kerongkongan membuat suaranya urung keluar. Maka, Galuh hanya bisa menggeleng.
Melihatnya, Karim tersenyum kecil.
"Katamu masih lelah, kan?" tanyanya lembut. "Kalau begitu, kita akan jalan pelan-pelan. Ini kesepakatan kita selanjutnya."
*TBC*
🎵
Could you believe
I could be different
I'll be the difference
I'll lift you high
And I understand
Your hesitation
My reputation
It's no surprise
🎵
Soundtrack : Different way-Lauv
Tbh, ini salah satu lagu yang jadi cikal bakal Remedy, hahaha. Gegara denger ini jadi ada bisikan-bisikan halus gitu. Suaranya lembut, kayak menghayati banget ditambah melodinya catchy uwuuwuu ❤❤
Selamat malam ❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro