Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13| REMEDY

"Hai,"

Rahang Galuh terjatuh bebas kala ia mendapati Karim di depan ruangannya.

Sudah lewat beberapa hari sejak mereka bertemu terakhir kali. Hanya beberapa pesan yang bertanya kabar dan obrolan ringan tentang aktivitas sehari-hari, selain itu tidak ada lagi. Tapi kini, lelaki itu mendadak muncul di tempat kerjanya.

Karim masih memakai kemeja kerja berwarna biru. Lengannya dilipat hingga ke siku. Sebuah ransel kerja bertengger di punggungnya. Agaknya ia sedang berjalan menuju ruangan Galuh tepat ketika wanita itu keluar dari sana.

"Bang?" Galuh menemukan suaranya. "Habis jenguk temannya?"

Karim tidak menjawab hingga mereka berhadapan dalam jarak yang cukup dekat. Terlalu dekat hingga aroma khas lelaki itu mulai menyerang indra penciumannya. Galuh mundur beberapa senti.

Bendera siaga satu, Galuh. Itu artinya, dia harus mulai berhati-hati baik pada lelaki di hadapannya maupun pada harapannya sendiri.

"Iya," jawab Karim santai. "Baru saja mau ke tempatmu. Mau makan siang?"

Galuh melirik jam tangannya. Waktu memang sudah memasuki jam makan siang. Namun, dia masih punya tugas besar hari ini.

"Aku masih ada kerjaan, Bang," ucap Galuh tersenyum. "Maaf, ya."

"Lama?" Karim mengerutkan kening. "Sebenarnya masih ada agenda jenguk teman yang lain."

"Oh ya? Siapa? Siapa tahu aku tahu," kata Galuh mulai berjalan dengan Karim ada di sampingnya.

"Adik tingkatku waktu kuliah dulu. Anaknya masuk rumah sakit katanya," jawab Karim. "Namanya Galang. Cuma, aku nggak tau nama anaknya. Seharusnya kemarin ada jenguk bareng teman yang lain. Tapi waktu itu aku di kampus."

Karim tidak tahu saja, jika ada satu detak jantung yang terlewat kala Karim mengatakannya. Langkah kaki wanita itu melambat, sementara cengkraman jemari pada buku di dekapannya kian mengerat.

Karim...mengenal Galang?

"Kenapa?" Karim yang menyadari Galuh agak tertinggal di belakang, kini melambatkan langkahnya.

Galuh menggelengkan kepala. Sesaat, dirinya takut akan kemungkinan Galang bercerita tentang masa lalu mereka pada Karim. Sesaat saja, karena setelahnya Galuh sadar dia tidak perlu pusing tentang itu.

"Aku tahu," ucap Galuh akhirnya. "Aku memang mau ke bangsalnya. Hari ini dia udah boleh pulang."

"Kebetulan sekali," kekeh Karim ringan. "Memang dia sakit apa?"

Galuh melirik Karim. "Teman-teman Abang, nggak ada yang kasih tahu? Itu...aku nggak berhak gembar-gembor tentang status pribadi pasien."

Karim tersenyum kecil sembari melirik wanita yang berjalan di sebelahnya. "Informasi yang ada di grup, Galang bilang anaknya sesak nafas."

"Oh..." celetuk Galuh singkat.

"Setelahnya ada acara?" tanya Karim lagi.

Galuh menggeleng dalam diam.

"Mau makan siang bareng? Di cafe depan aja, gimana?"

Lagi, Galuh mengangguk tanpa bersuara. Sikap bungkam Galuh membuat Karim mengerutkan kening lagi. Pasalnya, wajah gadis itu jadi seperti banyak pikiran.

"Galuh, kalau memang nggak ada waktu, jangan sungkan," ucap Karim akhirnya. "Kita masih punya banyak waktu."

"Eh?" Galuh menoleh pada Karim. Wanita itu berdehem dan tersenyum." Bisa, Abang. Aku cuma kepikiran pasien aja. Tapi aku memang mau makan siang setelah ngurus yang ini, kok."

Pada kenyataannya, Galuh ragu jika mereka masih akan memikirkan makan siang setelah hal-hal yang mungkin terjadi. Galuh menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Mengapa dia merasa takut kala Karim bertemu Galang? Apapun reaksi Karim, itu tidak penting untuknya.

Begitu, kan?

Langkah kaki keduanya beriringan hingga memasuki Bangsal Anak. Sampai di depan meja perawat, Galuh berhenti.

"Di kamar nomor sembilan, Bang. Aku di sini sebentar," Galuh memberitahu kala Karim ikut berhenti di belakangnya.

Lelaki itu mengangguk dan berjalan ke pintu nomor sembilan, lalu menghilang.

"Abang lo, Luh?" Tanya Zeta. "Ganteng, eh?"

Galuh hanya mengangkat bahu. "Mau lihat rekamnya Syaira, dong. Udah siap-siap pulang?"

Zeta menuju rak di belakangnya, memilah beberapa berkas lalu menarik sebuah berkas atas nama Syaira.

"Iya," jawabnya. "Dokter menilai kondisinya udah stabil, jadi udah boleh pulang. Gue juga empet ih lihat mamanya. Sombong banget. Kalau jalan di depan kita ya, ngedangak itu dagunya. Heran, kalau lehernya kepuntir kan pasien kita nambah satu."

Galuh mendengus pelan, namun tidak berkata apapun.

"Edema hilang, berat badan naik, udah nggak ada sariawan, luka kerongkongan sembuh dan konsistensi feses bagus," lanjut Zeta. "Makan juga udah bisa lancar, kan?"

"Udah. Kemarin udah dicoba pakai makanan biasa dia mau," ucap Galuh mencatat status kesehatan Syaira yang terakhir.

"Iya sih, walau nyuapinnya sampai satu jam baru kelar," kekeh Zeta. "Gue lihat sendiri Syairanya emang bandel banget kalau makan. Bikin si Bubu itu ikut lari kesana kesini sambil bawa tiang infusnya. Gue jadi ngeri lihatnya. Gimana kalau kecabut, coba? Ngilu, uy."

Galuh tidak bisa menahan kekehannya kala mendengar ocehan Zeta.

"Udah ya, gue ke sana dulu," pamit Galuh meninggalkan Zeta.

Galuh menuju kamar nomor sembilan dan mendapati wajah-wajah familier di sana. Syaira dan kedua orangtuanya, Retno, Alexa, Pak Danar, Sena, serta Karim. Syaira sedang berbicang dengan Retno di sisi ruangan, Galang dan Karim bercakap entah tentang apa, sementara Sarah terlibat pembicaraan dengan Danar.

"Nte!" seru Syaira tersenyum lebar kala Galuh memasuki ruangan, membuat seluruh wajah di sana menoleh ke arah Galuh.

"Hai, Syaira," balas Galuh tersenyum tipis. Infus anak itu sudah dilepas. Ia kini memakai dress selutut tanpa lengan dengan rok yang mengembang. Tampak lucu sekali dengan rambutnya yang dikepang dua, meskipun terlihat agak menyedihkan karena rambut Syaira terlihat jauh lebih sedikit dan lebih tipis dibanding balita sehat manapun yang pernah Galuh lihat. Kedua tangannya memeluk Kiki. Syaira jelas terlihat lebih berisi dan ceria dibanding pertama kali masuk kemari, meskipun berat badannya masih dibawah normal.

Karim tersenyum padanya, yang dibalas Galuh dengan singkat sebelum dirinya mendekati Danar dan memberikan lembaran konseling pada pria itu. Sarah menatap Galuh tanpa ekspresi, lalu ia meraih Syaira dalam gendongannya sebelum menarik lengan Galang agar menghadap Galuh. Lebih tepatnya, ia dan tiga yang lain. Sementara Karim melangkah keluar.

"Jadi seperti yang sudah dikatakan, kondisi Syaira sudah melewati masa kritis. PR kalian tinggal menaikkan berat badan Syaira hingga masuk ke dalam batas normal. Pastikan Syaira dipantau setiap bulannya. Silahkan lewat Posyandu maupun bidan atau dokter. Dan ini," Danar menyerahkan beberapa leaflet kepada Sarah. "adalah daftar bahan makanan pantangan bagi Syaira, karena dia punya gastritis kronis yang akan sering kambuh jika tidak hati-hati. Kita bertemu lagi minggu depan. Surat kontrol sudah ada di lobi bersama berkas yang lain. Ada pertanyaan? Bu Sarah?"

Karena Danar pastilah menyadari bahwa selama ia memberi penjelasan panjang tadi, manik mata Sarah tidak pernah lepas dari Galuh. Galuh bisa melihat sendiri betapa kuatnya cengkraman Sarah pada tangan Galang, seolah Galuh akan mencurinya kapan saja dari hadapan Sarah. Sementara Galang sendiri terlihat lelah. Ia hanya menatap mereka bertiga dengan wajah tanpa ekspresi.

"Tidak ada," ucap Sarah pendek. Ia kembali menatap Danar. Wanita itu melepaskan tangan Galang dan mengulurkan tangannya pada Galang. "Terima kasih, Pak...Danar?"

Danar balas menjabat tangannya dengan ramah. "Sama-sama. Tolong dipantau terus," ucapnya melepas jabat tangan mereka.

"Pasti," ucap Sarah tersenyum ramah pada Danar, lalu ia kembali meraih Galang dan berputar angkuh di hadapan Galuh. "Ayo, Mas. Kita pulang. Retno!"

"I-iya, Bu!" seru Retno terlonjak hingga ponsel yang sedari tadi menyita fokusnya terjatuh ke lantai. Dengan wajah merah padam, Retno meraihnya dan menyeret koper Syaira. Ia melewati mereka bertiga dengan badan yang membungkuk sebelum menghilang di belakang tiga orang tadi.

"Hah...," keluh Sena menggosok pelipisnya. "Akhirnya, satu kasus berat kita selesai. Tinggal pasien HIV di bangsal isolasi, yaaa...delapan, pula. Haahh..."

Galuh terkekeh. "Pengabdi Masyarakat, Na."

"Kalian cuma punya urusan sama makanannya, cintaku. Sini, urusan sama darahnya, sekretnya, fesesnya," rengek Alexa membuat Sena menepuk pundaknya dengan simpati.

"You've done well. Tinggal saya yang harus melengkapi berkas buat laporan ke dewan, ini," celetuk Danar mengusap wajahnya."Kalian, pastikan APD selalu on waktu masuk ruang isolasi."

"APD, ya..." gumam Sena kala mereka mengikuti Danar keluar ruangan.

"Sarung tangan sama masker, sih," tukas Galuh. "Akhir-akhir ini makin banyak pasien AIDS di RS kita."

"Ya gimana, free sex udah menjangkit seluruh lapisan masyarakat, Luh. Walaupun teorinya HIV nggak cuma ditularkan lewat hubungan badan, tapi data menunjukkan hampir 99% pasien kita pernah berhubungan bebas tanpa pengaman," keluh Alexa.

Sena mengangguk di sebelahnya, dengan kecemasan yang sama. Namun langkahnya terhenti kala mereka tiba di lobi perawat. Di sana, Galuh melihat Sarah dan Karim sedang bercengkrama ringan, sementara Galang, Syaira dan Retno sudah tidak nampak lagi.

"Iya, kemarin baru saja promosi jabatan," ucap Sarah terkekeh pada Karim. "Coba kalau Mas Karim nggak keluar dari DJP--"

"Mas?" bisik Sena syok. "Mas?!"

Galuh tidak berkomentar. Dia sedang bergulat dengan dirinya sendiri yang tiba-tiba jengkel dengan cara Sarah memanggil Karim.

"Nggak nyangka aja ternyata Mas Karim ini pernah kerja di Kantor Madya tempatku dulu. Waktu itu penerimaan hampir seratus persen, ya. Hebat banget, padahal targetnya tinggi. Masih punya salinan berkasnya, Mas? Boleh pinjam buat aku pelajari?" kata Sarah lagi, masih dengan tawa dan nada yang antusias. Sementara Karim berterima kasih dengan sopan.

Mereka berdua menoleh kala Sena dan Galuh mendekat. Sarah, tentu saja menatap Galuh dengan tatapan dingin di balik wajah datarnya. Sena membalas Sarah dengan tatapan dingin yang terlihat seribu kali lebih jahat. Sementara Galuh hanya memandangi Karim yang beranjak dari duduknya.

"Hai, udah selesai?" Karim mengangguk singkat pada Sena, yang sepertinya memutuskan untuk tidak menggubris Sarah. Ia membalas sapaan Karim dengan singkat dan menyeret Alexa untuk menyambangi Zeta.

Galuh mengangguk. "Udah. Aku ambil tas dulu di ruangan, gimana?"

"Sure," Karim menjawab, lalu menoleh kembali pada Sarah. "Itu udah lama, jadi berkas-berkasnya sudah saya buang semua. Saya duluan."

Galuh sama sekali tidak tertarik untuk menatap Sarah. Wanita itu melenggang lebih dulu menuju pintu bangsal dengan Karim berjalan ringan di belakangnya, meninggalkan Sarah yang menatap punggung mereka dengan ternganga dan merasa diabaikan.

"Abang memang nggak balik lagi ke kantor? Kelihatannya agak santai," tanya Galuh ketika mereka berjalan bersama di lorong.

"Udah selesai," kata Karim. "Sabtu begini kerjaan nggak terlalu banyak. Habis ini tinggal ke kampus aja."

"Hmm...memang teman Abang siapa yang dirawat di sini?"

"Ragil. Tahu? Yang masih pemulihan gara-gara kecelakaan tunggal itu?"

"Eh, yang jarinya..." Galuh merinding sendiri kala teringat pasien yang kehilangan jarinya karena kecelakaan tunggal kala dia berangkat kerja dengan motornya.

Karim mengangguk. "Dia ada diabetes, kan? Katanya, perawatan lukanya memang lama."

Galuh meringis. Informasi tentang pasien tentulah hanya berhak diberikan dokter pada pasien maupun keluarga pasien. Namun, sepenuhnya menjadi tanggungjawab pasien untuk menceritakannya pada orang lain. Itu di luar kuasa para pegawai Rumah Sakit.

"Kami kerjasama untuk penelitian
tahun ini," celetuk Karim mengedik pada ransel di belakangnya. "Nggak bisa berhenti bahkan dengan kondisi dia yang demikian."

Galuh mengangguk. Diam-diam
merasa lega kala Karim masih berbicara normal padanya.

Tapi kelegaan itu tidak lama. Karena tepat saat itu, Galang muncul dari koridor di samping mereka.

Langkah dua lelaki itu otomatis berhenti. Dan Galuh bisa melihat keterkejutan Galang kala ada Karim di sampingnya.

"Butuh bantuan? Kayaknya barang-barang tadi agak banyak," tanya Karim ketika mereka berdua berhadapan.

Sejenak, tatapan Galang tertahan pada Galuh sebelum ia menatap Karim.

"Nggak perlu, Bang. Istriku masih di sana?" tanya Galang yang diangguki Karim.

"Gue duluan, kalau begitu. Kasihan anakku kalau nunggu lama." Galang kembali menatap Galuh, yang sedari tadi tidak menampakkan ekspresi apapun selain ketenangan yang nyata. Ia mengedik tanda menyapa, lantas berlalu.

"Dia juniorku," Karim memberitahu Galuh. "Nggak nyangka aja masih bisa ketemu. Alumnus STAN nyebar dari Sabang sampai Merauke."

Galuh hanya menanggapinya dengan senyum. Informasi itu bukan sesuatu yang baru untuknya. Mereka meneruskan langkah, membentuk siluet serasi yang menuai lirikan beberapa orang kala berpapasan dengan mereka. Pada si wanita tinggi nan anggun berseragam biru dengan rok span selutut dan heels sopan yang membingkai sempurna kaki jenjangnya. Pada si lelaki berwajah maskulin yang berjalan di sampingnya dengan sikap posesif meskipun kedua tangannya tersimpan di dalam saku.

Sementara pria yang baru saja berjalan menjauhi keduanya, kini mengusap rambutnya dengan kasar.

Dia menolak merasa bersalah pada Galuh. Dia menolak merasa bersalah karena telah melakukan hal-hal di luar batas dengan Sarah saat dia sendiri masih menjadi suami Galuh. Di mata Galang, adalah haknya mengejar satu-satunya wanita yang ia cintai. Seperti apa yang banyak dielukan lagu manapun tentang cinta, dia benar-benar akan menerabas sebuah batas demi bisa bersama Sarah.

Tapi rasa bersalah itu hadir untuk alasan yang berbeda. Dia tidak bisa menampik fakta bahwa dia telah menyakiti Galuh. Wanita yang kini mampu menghadapinya dengan tenang itu, dulu pernah hancur di hadapannya. Dia tidak mampu berbuat apapun untuk luka yang sudah tertoreh di sana. Dia hanya berharap Galuh memahaminya. Memahami pilihannya untuk hidup bahagia dengan wanita yang ia cintai.

Sarah masih di atas segalanya. Walaupun rasa menggebu itu telah banyak berkurang, hanya Sarah wanita yang bertahta di hatinya dari dulu hingga sekarang.

Hanya saja setelah bertemu Galuh lagi, dia tidak bisa menahan diri untuk membandingkan keduanya. Membandingkan hidupnya yang sekarang dengan hidup yang dipenuhi dengan kalimat 'jika dengan Galuh'. Sebab jawaban Galuh beberapa hari lalu hanya menambah kekecewaannya pada Sarah.

Kata Galuh, dia orang yang kurang bersyukur. Tapi, Galang hanya ingin hidup bahagia dengan orang yang ia cintai. Apakah permohonannya terlalu tinggi hingga semesta enggan mengabulkannya?

***

"Abang dulu di DJP?"

Galuh membuka percakapan sementara menunggu pesanan mereka.

"Hm..." Karim mengangguk. "Dulu, alumnus STAN paling banyak ada di DJP."

Galuh mengerutkan kening, sementara lelaki itu mengangkat alis.

"Berarti sempat jadi PNS?" Galuh bertanya lagi, dan kembali Karim mengangguk.

Lelaki itu bertopang dagu pada satu tangan, mengamati Galuh.

"Kenapa?" pancing Karim. Karena nyatanya, dia toh sudah bisa meraba penyebab kening wanita itu berkerut seperti ini.

Bukannya menjawab, Galuh juga ikut bertopang dagu dengan satu tangan, menatap lelaki di hadapannya.

"Jarang sekali ada orang yang keluar dari PNS," celetuk Galuh lagi. "Sementara banyak orang akan bersyukur bisa jadi PNS, perpajakan pula."

Nada wanita itu sama sekali jauh dari nada ofensif. Galuh murni ingin tahu, maka Karim tersenyum kecil.

"PNS atau bukan, tujuan kita sama-sama cari rejeki. Dan jangan salah, angka resign di DJP cukup tinggi," jawab Karim. "DJP punya agenda mutasi buat semua pegawainya, dan aku nggak mungkin bawa Mama kemanapun aku pergi dengan keadaan Mama yang seperti sekarang. Sementara Mama nggak punya siapapun lagi selain aku."

Galuh menyimak Karim. Memperhatikan kala lelaki itu tersenyum tipis.

"Not an easy decision, as you said," ucap Karim berusaha tidak terlalu tenggelam pada tatapan ingin tahu manik mata legam di hadapannya. "Tapi kalau bicara tentang prioritas, itu nggak terlalu berat. Rezeki bisa dicari dimanapun. Tapi Tiyana Dewiratri cuma ada satu."

Cara Karim berbicara tentang Mamanya terlihat begitu hangat. Membuat Galuh bisa merasakan betapa sayang lelaki itu pada ibundanya.

"Berarti keluar dari DJP lalu ke Centauri?" tanya Galuh lagi.

Karim mengangguk lagi. "Dulu dia salah satu Wajib Pajak di kantor tempatku kerja. Waktu aku keluar, mereka menawari posisi akuntan khusus Kepengurusan Pajak. Jadi ya sudah. Kerja sambil ambil S1."

Galuh tersenyum. "Rezeki sekali ya."

Karim tertawa pelan dan mengangguk. "Padahal waktu itu nggak pernah kepikiran kerja di perusahaan besar karena masih D1. Rencana saat itu gabung dengan firma Konsultan Pajak sambil ambil S1."

Ada rasa ikut berbahagia kala lelaki di depannya mengatakan itu semua dengan nada penuh syukur. Dia jadi bisa membayangkan saat itu pasti Karim sedang menghadapi pilihan yang berat.

"Niatmu kan karena Mama, Bang. Pasti dimudahkan," kata Galuh tulus. "Nggak minat ambil S2?"

Karim menanggapinya dengan senyum kecil. "Baru selesai setahun lalu."

Galuh mengangguk maklum. "Itu Abang sekali."

"Begitu, ya?" Karim tertawa pelan. Matanya masih meneliti Galuh, sementara ia sangat berhati-hati kala memilih kata-kata. "Kamu belum kepikiran menikah, Luh?"

Galuh menatap Karim beberapa saat, kemudian tersenyum.

"Aku masih lelah, Bang," jawabnya diiringi tawa singkat, berusaha mengimbangi rasa berat yang mendadak saja menghimpit dadanya.

Sementara Karim berusaha mencerna jawaban Galuh yang diluar prediksi. Apa itu artinya, wanita ini baru saja patah hati?

"Maaf," ucap Karim kala menyadari mungkin pertanyaannya justru membebani wanita itu.

Mendengarnya, Galuh mengibaskan tangan.

"Nggak papa, Abang. Nggak sampai segitunya," Galuh mengalihkan tatapannya keluar jendela kala matanya memanas. "Cuma...itu bukan keputusan yang bisa aku ambil dengan mudah."

Wanita itu mengatupkan mulutnya kuat-kuat kala rasa sakit yang berusaha ia tepikan kini justru menyeruak keluar. Dia masih ingat rasanya ketika Galang mengaku tentang semuanya. Dia masih ingat bagaimana seluruh darahnya membeku kala Sarah datang di hadapannya dalam kondisi hamil, menceritakan semuanya dan memberi bukti tentang tes DNA itu.

Galuh menghirup nafas kuat-kuat. Tidak, dirinya saat ini tidak lagi menangis gara-gara memori itu. Sudah lama dia berdamai dengan rasa sakitnya.

Galuh kembali menoleh ke depan, lalu ingat jika dia sedang tidak sendirian. Karim masih di seberang meja, mengamatinya entah sejak kapan.

Galuh berdehem. Berharap Karim tidak menyadari gestur Galuh yang sedang dikuasai ingatan jahat beberapa waktu lalu.

Harapan yang sia-sia sebenarnya. Karena Karim Mahaputera adalah orang yang teliti.

"Abang sendiri gimana? Masih punya achievement lain selain berkeluarga?" tanya Galuh kemudian, berusaha mengalihkan atensi Karim hanya agar laki-laki itu tidak lagi menatapnya sefokus ini.

Karim memandangi iris pekat itu beberapa saat, lalu menghembuskan nafas panjang. Sepersekian detik, lelaki itu berkalkulasi. Lalu akhirnya ia mengambil keputusan.

"Menunggu lelahmu pergi," ucap Karim."Gimana menurutmu?"

Seluruh intelegensi Galuh tidak mampu menerjemahkan kalimat Karim ke dalam banyak arti kecuali satu. Ia dibuat terdiam, terkunci pada manik legam yang menatapnya lekat tanpa segurat canda.

Dan demi pemahaman, rasa panas yang membakar pipi serta rasa takut akan Karim yang mengetahui masa lalunya, Galuh dengan senang hati mengibarkan bendera siaga dua.






*TBC*

DJP : Direktorat Jenderal Pajak

Selamat malam

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro