12| REMEDY
Karim menutup pintu garasi sebelum membuka pintu rumah utama, meredam gelegar guntur dan kilat petir yang masih saja meraja malam itu. Bahkan dengan mantel yang menutup rapat tubuhnya, air hujan tetap berhasil menyusup saking lebatnya hujan mengguyur bumi.
Laki-laki itu menyugar rambutnya dengan kasar dan melangkah ke dalam.
"Ma," sapa Karim begitu masuk ke ruang tengah. Tiya berbaring di atas sofa dengan wajah menghadap ke televisi, sementara Anita dan Rania tertidur pulas di karpet dengan piyama bermotif doraemon yang identik membalut keduanya.
"Kenapa tidur di bawah?" tanya Karim mengerutkan kening.
"Mereka di sini dari maghrib tadi." Tiya mengangkat tubuhnya dan duduk di sofa. Ia mengedik ke arah si kembar dengan raut wajah cemas. "Rumahnya Pak Wiwid atapnya jebol, Rim. Kayaknya pohon yang di belakang rumah itu kena petir."
Mendengarnya, Karim mengangguk. Rumah Pak Wiwid hanya berjarak beberapa rumah dari rumah mereka.
"Pak Wiwid gimana?" tanya Karim berjongkok di samping Anita dan membopongnya tanpa kesulitan.
"Nggak papa. Pas kejadian mereka di sini, kok. Coba nanti kamu kesana, siapa tahu butuh bantuan," pinta Tiya mengawasi Karim yang membopong Anita menuju salah satu kamar.
"Lhoh, Mas Karim udah pulang? Mau apa, Mas? Teh? Kopi? Jahe anget?" Asih yang baru saja keluar dari dapur dengan membawa segelas jahe hangat untuk Tiya bertanya padanya.
"Nggak perlu, Bi," ucap Karim keluar kamar. "Rumah gimana?"
Wajah Asih terlihat sangat cemas kala meraih Rania dalam dekapannya. Karim mendekatinya dan memberi isyarat agar memberikan Raina padanya.
"Kamarnya mereka ini yang parah. Buku sekolahnya pada basah, banyak yang ketimpa kayu juga," jawab Asih memberikan Rania ke gendongan Karim.
"Buku bisa dibeli lagi. Yang penting selamat," ujar Karim ketika membawa Rania ke kamar yang sama dengan Anita. Bisa dibilang, kamar ini adalah kamar mereka jika keduanya menginap di rumah ini. Rania menggeliat kala Karim menidurkannya di samping Anita, lalu berguling ke samping hingga tubuh mereka berhadapan dalam posisi meringkuk yang identik.
Karim mengamati dua bocah SD yang tertidur pulas itu, lalu meraih ponsel dari dalam ranselnya. Dia jelas cemas akan keadaan rumah Pak Wiwid. Namun saat ini, ada sesuatu yang perlu ia pastikan lebih dulu.
Karim mendapati beberapa pesan dan panggilan tidak terjawab di layar ponselnya. Semuanya dari Galuh. Ia membaca pesan terlebih dahulu.
Abang, udah sampai. Udah pulang, Bang?
Bang? Udah pulang?
Astaga Bang Karim! Ini udah jam berapa, coba? Kalau udah pulang balas, ya
Senyum samar terulas di sudut bibir laki-laki itu. Tanpa berlama-lama, ia menelfon kembali panggilan dari Galuh.
"Galuh, sudah sampai rumah?" tanya Karim keluar dari kamar. Diliriknya Tiya dan Asih yang masih bercengkrama serius di depan televisi, lalu bergegas menuju kamarnya sendiri.
"Udah dari tadi, Bang. Abang udah sampai rumah?" suara cemas jelas terdengar dari wanita itu.
"Udah, baru aja. Lancar kan tadi?" balas Karim.
Laki-laki itu meletakkan ponsel di atas meja kerjanya dan mengaktifkan mode loudspeaker. Ia menurunkan tas ransel lalu melepas kemeja dan kaus tipisnya yang basah hingga dirinya bertelanjang dada. Ia melepas ikat pinggang dan menyampirkannya di atas handle treadmill miliknya.
"Iya, lancar kok. Ini...kenapa Bang Karim baru sampai rumah?" tanya Galuh lagi. "Ini...lama, Bang."
Karim yang saat itu tengah mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil, tidak mampu menahan senyumnya.
"Tadi beberapa kali putar balik. Banyak pohon tumbang, katanya."
"Oh, iya sih. Tadi aku juga sempat ganti jalur," gumam Galuh. "Makasih ya, Bang. Ini...jaketnya kebawa."
"Iya, pantes tadi dingin banget di jalan."
"Abang!" geram Galuh, membuat Karim jadi bertanya-tanya bagaimana wajah gadis itu saat ini.
Karim tertawa pelan. Ia menoleh ke arah jendela kala kilat menarik perhatiannya. "Kamu jadi pergi sama Harun?"
"Nggak jadi. Cuacanya baru begini," gumam Galuh yang diam-diam disyukuri Karim. "Besok nggak perlu antar, Bang. Aku diantar Harun aja. Lagipula, aku berangkat pagi. Mau ke katering dulu."
Usapan Karim terhenti. Lelaki itu menerawang sejenak, lalu lanjut mengeringkan rambutnya. "Benar?"
"Iya," suara Galuh terdengar begitu lembut di telinganya. "Bang, ini...jaketnya?"
"Jaketnya dibawa dulu aja," jawab Karim. "Aku mandi dulu, ya. Kamu sehat, kan?"
"Iya, sehat. Sudah gih, sana mandi keburu masuk angin nanti," tukas Galuh.
"Hmm...selamat malam, Galuh,"
"Iya."
Karim melirik ponsel kala sambungan terputus, lalu laki-laki itu menghadap ke jendela. Bayangan pria bertubuh tegap hanya dengan celana panjang tergantung di pinggang terpantul dari sana. Ia masih terus mengusap rambutnya dengan handuk kering, membuat otot bisep dan otot perutnya bergelombang pelan mengikuti gerakan tangan. Namun, mata legam Karim menerawang pada tembok pekarangan yang berhadapan langsung dengan jendela kamar.
Sudah sejak lama ketika hanya ada Tiya di hidupnya. Namun kehadiran Galuh berhasil membuat Karim mempertimbangkan dengan serius tentang pendamping hidupnya.
Bagi Karim, seluruh waktu yang ia habiskan bersama Galuh bukan hanya sekedar menghabiskan waktu bersama. Dia berusaha mengenalnya, berusaha mengenali gadis yang berhasil mengacaukan kewarasannya beberapa minggu belakangan. Karena dia tahu sekali, semakin dia menginginkan wanita ini, semakin dia tidak mampu peduli pada apapun lagi.
Galuh wanita yang baik, mandiri dan sopan. Wanita itu pintar berpenampilan, namun tidak berlebihan. Karim suka cara wanita itu berjalan, terlihat anggun dan cantik di saat yang bersamaan. Karim juga suka ketika gadis itu tersenyum. Terlihat manis dengan bentuk gigi yang tidak biasa ditambah lekuk cantik bibirnya. Dia menyukai cara Galuh menatapnya saat mereka sedang berdiskusi akan suatu hal, terlihat berbinar, antusias dan penuh percaya diri. Serta, hal-hal tidak terjelaskan lainnya yang membuat gadis itu istimewa. Termasuk rasa hangat yang menjalar di dada kala Karim melihatnya, maupun debar mengkhawatirkan yang membuat Karim ingin sekali menyentuhnya.
Hampir sebagian waktu, gerak-gerik gadis itu penuh dengan ketenangan. Tapi tadi ketika ia merasa panik, wajahnya justru terlihat sangat manis. Rasanya, nyaman ketika membayangkan Galuh ada bersamanya di setiap hari. Terlalu nyaman sampai rasanya menjengkelkan ketika dia tidak bisa bertindak lebih dari seorang teman. Terlalu nyaman hingga tidak sekali dua kali bayangan Galuh dengan anak mereka mampir dalam lamunan-lamunannya. Terlalu nyaman sampai-sampai seluruh tulangnya ngilu kala membayangkan Galuh bersama laki-laki lain.
Dia jelas menginginkan hubungan yang lebih dari sekedar teman makan malam dengan Galuh. Dia akan memberi jeda satu dua kali kencan lagi sebelum dia mengutarakan niatnya pada Galuh untuk menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius.
Karim melangkah maju dan meraih gorden untuk menutup jendela kamar. Lelaki itu menyampirkan handuk ke pundaknya, lalu keluar menuju kamar mandi. Dia masih harus pergi ke rumah Pak Wiwid untuk melihat keadaan di sana.
***
Dini hari terasa begitu dingin. Hujan badai semenjak kemarin sore masih menyisakan gerimis kecil yang cukup memaksa Harun mengaktifkan wiper mobil. Pemuda itu masih jengkel karena Galuh membangunkannya pagi-pagi buta dan memintanya mengantar ke Rumah Sakit untuk mengambil motor. Tapi rasa sayang Harun pada kakak perempuannya terlalu besar hingga Harun lebih memilih menelan semua protesnya. Lagipula, dia bisa melanjutkan tidur di Dapur.
Sembari menguap, Harun melirik ke kiri. Galuh sudah terjaga sepenuhnya. Wajah kakaknya polos tanpa polesan apapun. Rambut yang biasa tertata rapi kini hanya dicepol seadanya. Kakaknya sedang menunduk, membaca notes kecil di tangannya dengan serius.
"Jam segini emang udah ada anak-anak?" tanya Harun mengusir kantuknya.
Galuh mengangguk tanpa menoleh. "Ada Catra sama Iyas, tadi malam izin nginep gara-gara hujan. Aria pamit karena sakit, Wanda sama Amel udah perjalanan ke sana."
"Oh, Wanda si cewek pendiem dan Amel yang pakai kacamata itu," ucap Harun mengingat-ingat. "Emang pesanan buat jam berapa sih, Mbak? Ini masih jam empat dan lo bangunin gue pakai air bekas cuci beras. Tega astaga."
Mendengarnya, Galuh terkekeh. "Buat jam tujuh. Dua pesanan, ini. Mumpung lo ikut, bantuin deh. Gue bayar."
Harun menguap lagi. "Bukannya gue nggak mau bantuin, Mbak. Tapi sumpah, gue baru bisa tidur jam dua. Ngantuk banget. Gue jasa antar aja deh."
Galuh mengamati wajah Harun, yang memang terlihat lelah sekali. Wanita itu mengulurkan tangan lalu mengacak lembut rambut adiknya.
"Makasih ya," kata Galuh tersenyum. Harun mendengus kecil, namun tidak mengatakan apapun.
Radio di dashboard adalah satu-satunya yang bersuara hingga akhirnya mereka sampai di Rumah Sakit. Setelah mengeluarkan motornya dibantu Satpam Rumah Sakit, Galuh menuju kateringnya dengan Harun mengikuti di belakang.
Sesampainya di Dapur, Galuh bergegas menyiapkan apapun yang perlu disiapkan. Sementara Harun masuk dengan terhuyung dan menjatuhkan diri di sofa di lantai dua.
"Woh, tumben ikut, Run!" seru Catra yang masih mengucek matanya. Ia yang bergelung di dalam sleeping bag di lantai, terbangun karena panggilan Galuh. Di sebelahnya, Iyas menggeliat dalam sleeping bag miliknya meskipun belum membuka mata. "IYA BU BOS! CUCI MUKA BENTAR BIAR GANTENG--ADUH WOOOI!"
"Lo berisik!" geram Harun menatap Catra dengan mata setengah menutup.
"Nggak pakai remote juga kali, Run! Duduh..." rintihnya mengusap keras sisi kepalanya.
"Catra! Iyas! Potong gaji, nih!" Suara Galuh terdengar lagi dari bawah.
"Ehh...jangan Bu Bos! Anak rantau ini masih perlu remah-remah rupiah buat ibu kos!" seru Catra langsung berdiri dan menyeret Iyas hingga sleeping bag anak itu ikut terseret di ujung tangga sebelum akhirnya Iyas berhasil meloloskan diri.
Harun menghembuskan nafas kasar, lalu kembali menjatuhkan diri di sofa. Tugasnya masih sekitar dua jam lagi. Lebih baik dia berusaha meraih kembali kenikmatan dunia bernama tidur sebelum suara Galuh menghancurkan mimpi-mimpi indahnya.
"Nyamm..."
***
Segala hiruk pikuk dapur yang dimulai sejak pukul empat kini mereda kala kardus terakhir sudah berada di lobi. Itu artinya, pekerjaan mereka selesai untuk pagi ini.
Catra, Iyas, Amel dan Wanda sedang menikmati sarapan, Harun masih tertidur nyenyak di sofa sementara Galuh sudah siap dengan baju kerjanya.
Galuh duduk di ruangannya, mengulas kembali bahan-bahan yang perlu dibeli untuk pesanan sore nanti. Rambut wanita itu masih dicepol, meskipun kini cepolan itu sudah agak mengendur hingga beberapa helai rambut terlepas dan terjatuh ringan di pundaknya. Rambut di pelipisnya masih agak basah, mengingat dia baru saja selesai mandi dan belum sempat berias diri. Matanya sedang serius pada layar laptop di depannya kala telfon dari Iyas menyela.
"Mbak, bisa terima klien?" tanya Iyas dengan nada datarnya.
"Oke, silahkan naik," ucap Galuh cepat.
Wanita itu sedikit kelabakan kala mengingat penampilannya yang pasti berantakan. Galuh cepat-cepat mengambil sisir dan mengikat rambutnya dalam ikatan ekor kuda. Tak lupa ia sedikit mengoleskan liptint agar terlihat lebih segar.
Galuh sedang menata mejanya agar terlihat lebih rapi kala suara ketukan sepatu beradu dengan lantai terdengar semakin dekat.
"Jadi yang di kartu nama itu beneran namamu."
Galuh mengangkat wajah kala suara familier terdengar di telinganya. Lalu ia mengangkat bahu.
"Silahkan duduk."
Galang mematuhi Galuh dan duduk di hadapannya. Laki-laki itu terdiam kala Galuh masih menunduk dan menulis sesuatu entah apa.
"Jadi, mau pesan buat apa?" tanya Galuh membuka percakapan. Wanita itu menyodorkan buku menu padanya, lalu mengangkat kepala hingga mereka berhadapan.
Galang masih bungkam, sementara dirinya sendiri sudah dikuasai oleh rasa canggung dan bersalah sejak pertama kali masuk ke dalam ruangan ini.
"Maaf," ucap Galang akhirnya.
Galuh, yang tidak menyangka akan perkataan Galang justru mengernyit.
"Kenapa?" tanya Galuh mengerutkan kening.
Galang tersenyum canggung. "Tamparan. Gue...minta maaf."
"Oh, kirain apa," gumam Galuh. "Lo kesini cuma mau bahas itu?"
"Lo nggak marah, Luh?" tanya Galang mengusap wajahnya dengan frustasi. "Gue beneran minta maaf. Sikap gue nggak pantes banget--"
"Lo tuh cuma wali pasien, Lang. Wali pasien yang kurang ajar dan nggak bisa bersikap sopan," potong Galuh datar. "Kalau lo kesini cuma mau bahas itu, mending lo pergi aja, deh. Gue masih banyak kerjaan."
"Gue beneran mau pesan," tukas Galang buru-buru menahan buku menu yang hendak diambil Galuh.
Galuh mendengus samar, lalu kembali meletakkan buku menu di hadapan Galang. Wanita itu meraih sesuatu dan sudah bersiap dengan pulpennya.
"Pesan apa? Jumlah berapa? Atas nama?" tanya Galuh.
Galang menatap Galuh yang menunduk. Beberapa anak rambut di pelipisnya terlihat masih basah. Mengingatkan Galang akan Galuh yang sudah mandi pagi-pagi sekali, dengan tubuh moleknya yang hanya terbalut handuk...
Shit!
Galang berdehem.
"Minggu besok itu, bisa? Pagi banget sekitar jam enam. Snack pagi sama sarapan, sekitar 200 an orang," jawab Galang melirik apa yang ditulis Galuh. "Atas namaku."
"Khusus atau umum?"
"Hm?"
"Pesananmu itu, apa ada pantangan? Kayak untuk alergi, misal?" Galuh memperjelas.
"Oh, nggak perlu. Ini buat acara reuni," jawab Galang segera.
Galuh menulis sesuai dengan yang dikatakan Galang. "Silahkan dilihat dulu. Atau udah tau mau pesan yang paket apa?"
Galang menunjuk dua paket menu dengan cepat. Galuh mengangguk lagi.
"Minggu pagi tanggal 30, 200 porsi snack dan paket makan pagi, atas Nama Sagara Galang Wicaksono." Galuh membaca. "Pesanan sudah diterima. Terima kasih sudah memesan di sini."
Galuh menutup percakapan. Ia kembali menghadap laptopnya untuk memasukkan data. Namun dari sudut matanya, Galang tetap bergeming di tempat duduk.
"Ada perlu lagi?" tanya Galuh akhirnya. Sebab dia tahu, tatapan Galang tidak beralih darinya sejak tadi.
"Lo buka katering gini, kenapa?" tanya Galang dengan suara pelan. "Gaji lo kurang, ya?"
Galuh yakin, wajahnya ternganga lebar saking anehnya pertanyaan Galang.
"Hah!" decak Galuh tidak percaya. "Udahlah Lang. Sana keluar."
"Lo kekurangan finansial setelah kita cerai?" tanya Galang lagi dengan nada...prihatin. Dan itu benar-benar membuat Galuh jengkel.
"Memangnya kalau gue punya usaha sampingan, lo bakal melihat gue dari sisi itu, gitu?" tanya Galuh agak sakit hati. "Duh Lang, lo tuh terlalu merendahkan."
"Ya kalau nggak, emang apalagi alasannya?" tukas Galang. "Memang lo nggak capek udah kerja masih ngurus usaha? Buat apa lo susah payah cari duit kalau pada dasarnya lo udah cukup sama kerjaan tetap lo?"
"Oh God, I hate that statement. Lo nggak berhak menilai hidup gue." Galuh berkata dengan rasa jengkel yang sudah sampai di ubun-ubun.
Sementara itu, Galang justru mendengus meskipun ia tidak berkomentar lagi. Dia sendiri jengkel untuk beberapa alasan. Kala bibir itu terlihat begitu menggoda tanpa bisa ia raba, misalnya.
"Maaf, sekali lagi. Tapi gue minta lo paham perasaan Sarah. Dia memang belum terima kenyataan kalau kita pernah menikah," gumam Galang lebih pelan.
"Bukan urusan gue," tukas Galuh cepat hingga Galang melotot. "Lo mau disini sampai jam berapa?"
"Gue...rada lelah. Sarah selalu sibuk sama kerjaannya dia dan Syaira masih rewel banget," kata Galang beberapa saat kemudian. "Pingin ngobrol aja sama lo."
"Ini kantor, ngomong-ngomong. Bukan tempat ngobrol. Gue sebentar lagi mau berangkat."
"Anak gue kapan keluar dari RS?" Galang tetap duduk di kursinya dengan keras kepala.
"Mungkin satu mingguan lagi. Kondisinya bisa membaik dengan cepat kalau kalian benar-benar mematuhi kami." Galuh menggertakkan gigi.
"Ya gimana, gue udah capek pulang kantor, Luh. Masa gue nggak bisa mempercayakan Syaira sama istri gue?" tanya Galang pelan.
"Sekali lagi, itu bukan urusan gue. Gue cuma mau bilang dampak dari kalian yang nggak mematuhi penanganan RS, kondisi Syaira bisa semakin lama pulih. Itu artinya, kita belum bisa memulangkan dia," tukas Galuh datar.
Galang berdecak tidak puas.
"Gue...mau tanya sesuatu, sebenernya." Galang berkata lagi. "Kepingin tahu apa pendapat lo tentang ini. Dulu, apa lo beneran mau ikut gue kemanapun gue ditempatkan?"
Galuh kembali menatap Galang. Sejenak, hening melingkupi keduanya. Lalu Galuh mengangguk.
"Kenapa?" tanya Galang frustasi. Karena, Sarah tidak akan pernah setuju dengan ide mengikuti Galang kemanapun laki-laki itu ditempatkan.
Galuh meletakkan pulpennya. Ia duduk bersandar pada punggung kursi, menatap Galang.
"Kita pernah bahas ini," ucap Galuh tenang. "Sebelum nikah, kita pernah bahas ini, Lang. Lo lupa?"
Galang memijit pelipisnya. "Gue ingat, Luh. Gue cuma...pingin tahu apa yang ada di pikiran lo. Kenapa lo mau-maunya pergi bareng gue ninggalin pencapaian lo selama ini."
"Karena lo suami gue."
Jawaban penuh ketenangan dari Galuh membuat Galang kembali menatap wanita itu. Galuh memandangnya tanpa ragu. Wajahnya terlihat damai, tanpa beban yang pasti pernah ada di hatinya.
"Pekerjaan gue memang suatu pencapaian, gue akui itu. Dan nggak akan pernah mudah lepasin itu semua setelah selama ini," sambung Galuh. "Tapi setelah kita punya tujuan menikah, gue tahu sekali apa yang bakal kita hadapi ke depannya. Ketika gue memutuskan menikah sama lo, gue tahu ada kemungkinan lo minta gue resign dan ikut kemanapun lo pergi."
Galang terdiam.
"Setelah kita menikah, prioritas gue udah bukan lagi hidup gue sendiri. Tapi tentang lo, tentang keluarga, tentang kebahagiaan pernikahan kita. Itu prinsip gue. Gue tahu, ada banyak hal sepele yang akan jadi besar ketika kita LDR, dan gue nggak mau hubungan pernikahan kita jadi ajang coba-coba. Gue pahami itu, maka gue setuju," jawab Galuh masih dengan tenang. "Lagipula, gue masih bisa cari duit. Ngebangun katering gini, misalnya. Usaha yang ketika gue pindah ngikutin lo, dia bisa gue awasi dari jauh. Atau, usaha on line."
"Lo...udah pikirin itu masak-masak," ucap Galang menarik kesimpulan. Galuh mengangguk.
"Sematang itu rencana gue ketika gue setuju buat lo nikahin, Lang. Siapa sih pasangan yang nggak mau kumpul bareng suami atau istrinya? Kalaupun sekarang mereka LDR, mereka pasti berharap suatu saat nanti mereka akan bersama. Sementara kondisi kita sangat memungkinkan untuk hidup bareng," gumam Galuh menarik nafas. "Tapi kayaknya, lo memang nggak pantas nerima seluruh pengabdian gue sebagai istri."
Lelaki itu menelan ludah, kemudian memalingkan wajah kala ia tidak kuat menerima tatapan tenang Galuh.
"Kenapa Sarah nggak pernah punya pikiran kayak lo?" gumamnya pelan. "Semuanya akan lebih mudah kalau aja dia berpikir begitu."
Galuh menghembuskan nafas panjang.
"Lo tuh orang yang nggak bisa beryukur." Ucapan Galuh membuat Galang kembali menatapnya dengan tatapan tidak terima. "Lo nggak ingat apa yang lo ucapin tentang Sarah? Lo bilang dia hidup lo, kan? Lo bilang, lo nggak bisa hidup tanpa dia. Lo bilang, dia adalah satu-satunya wanita yang akan lo perjuangkan nggak peduli apapun rintangannya, karena lo masih secinta itu sama dia."
Galang menatap Galuh yang masih saja menatapnya dengan tenang. Padahal dia tahu, dulu waktu dia mengatakannya, wajah itu terlihat sangat menderita.
"Dan lo membuktikannya, Galang. Lo terabas batas-batas suci demi bisa kembali sama dia, dan lo berhasil," sambung Galuh pahit. "Kenapa lo masih mengeluh di depan gue?"
Galang tertawa sedih.
"Dia memang satu-satunya wanita yang gue cinta sampai sedalam itu, Luh. Tapi bukan berarti gue imun sama rasa sakit yang dia kasih. Bukan berarti gue nggak kesepian setiap dia balik kerja ke luar pulau. Bukan berarti gue nggak ngerasa kurang akan kasih sayang dari istri gue. Dammit, gue juga bisa sehaus itu!"
"Aduh, terus urusannya sama gue itu apa sih, Lang? Maksud gue, gue sama sekali nggak peduli sama masalah keluarga lo," gerutu Galuh jengkel setengah mati. "Sana ngobrol sama Sarah! Jangan sama gue! Udah ya, gue mau siap-siap. Pesanan jam lima udah bisa diambil. Dan, lo harus udah pergi sebelum gue balik dari kamar mandi!"
Galuh berdiri dengan emosi seraya meraih pouchbag dari almari plastik di sampingnya.
Pemandangan yang membuat permasalahan tentang Sarah bergeser sejenak dari pikiran Galang. Sebab kini, mata lelaki itu justru terpaku pada lekuk tubuh mantan istrinya. Rasanya sudah lama sekali kala dia melihat Galuh berbusana kerja dengan wajah yang masih polos setelah mandi. Galuh yang demikian, terlihat sangat minta diterkam.
Dia pernah merasakan betapa lembut kulit itu di bawah sapuan jemarinya. Galang meneguk ludah tanpa sadar, ketika gundukan di dada Galuh masih terlihat begitu menantang. Lelaki itu menjilat bibir bawahnya kala menatap bibir ranum wanita itu. Bibir yang pernah memekik kesakitan pada malam pertama pernikahan mereka, menjadi saksi jika hanya dialah lelaki yang pernah menjamah Galuh hingga sejauh itu. Matanya semakin nyalang ketika menyusuri tengkuk Galuh, tempat dimana dulu wajahnya sering bersembunyi sementara Galuh bersuara lirih di samping telinganya--
Ketidakwarasan laki-laki itu sirna kala sebuah hantaman mendarat di rahangnya.
"LO NGAPAIN DI SINI?!" Geram Harun pada Galang yang limbung. Pemuda dengan rambut yang masih awut-awutan itu menatap Galang dengan benci. Kedua tangannya terkepal. Melangkah lebar, ia meraih kerah Galang dan kembali melancarkan satu hantaman lagi.
"BRENGSEK RUN!" seru Galang melepaskan diri. "Lo nggak sopan!"
"Persetan sopan sama lo!" Harun kembali meraih kerah Galang dan menyeretnya pergi dari hadapan Galuh. "Keluar!"
Galang kembali menepis tangan Harun dari kemejanya. Harun menggeram, namun Galang melirik Galuh yang sama sekali tidak bereaksi akan hal yang baru saja terjadi. Wanita itu justru berjalan melewati mereka.
"Luh, gue bisa batalin pesanan gue kalau pegawai lo nggak profesional gini!" ancam Galang pada punggung Galuh yang menjauh.
Galuh berhenti, lalu berbalik menghadap Galang dengan wajah datar.
"Batalin aja. Gue nggak rugi," tukas Galuh menahan Harun. "Jadi, fix gue batalin?"
Galang menggeram. Sial! Dia yakin dia tidak akan punya waktu lagi untuk mencari katering lainnya sementara dia sangat sibuk oleh urusan kantor dan Syaira.
"Jangan," kata Galang akhirnya. "Gue...balik dulu!"
"Setan! Mbak, ngapain dia di sini? HAH?" Suara Harun masih terdengar kala Galang pergi dari hadapan mereka.
"Udah, sana siap-siap antar pesanan!"
Galang menghembuskan nafas kasar. Ia mengabaikan tatapan ingin tahu dari pemuda-pemudi yang mungkin saja mendengar keributan tadi.
Sesampainya di samping mobil, lelaki itu menyapu wajahnya dengan frustasi.
Sisi lelakinya begitu haus saat ini, sementara Sarah sedang kembali ke kantornya untuk tiga hari ke depan. Jangankan telfon untuk meredam rindu. Membalas pesan dari Galang hanya dilakukan Sarah begitu dia pulang kerja. Itupun hanya dengan kalimat-kalimat pendek, sekenanya dan bernada sangat malas, karena Sarah berkata ia lelah setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan di kantor. Maka akibatnya, Galang sendiri juga merasa malas untuk menelfon Sarah. Dia yakin dia hanya akan mendapat gumaman dan gerutuan dari Sarah seperti yang sudah sudah, padahal dia sedang sangat ingin mengobrol dengan wanitanya setelah seharian dia juga sibuk bekerja.
Sulit mengakui, bahkan pada dirinya sendiri. Jika gelora menggebu, membara dan membutakan yang pernah dia rasakan untuk Sarah kini justru mulai...memudar.
*TBC*
ehe...
Selamat malam...Happy reading ❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro