Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11| REMEDY

"Aku nggak pernah bilang kalau dia nampar aku."

Adalah kalimat pertama yang Sarah katakan ketika mereka keluar dari ruang setelah sidang semi formal yang digelar untuk membahas aduan Galang.

Sementara Galuh sudah berjalan tanpa memperdulikan Galang yang sedari tadi memasang wajah sangat canggung. Jelas sekali wajahnya baru saja terpukul di ruang sidang. Dia, yang sangat berapi-api mengadukan adanya kekerasan dari pihak rumah sakit, terbungkam seketika kala Sarah sendiri berkata bahwa Galuh tidak menamparnya.

"Kamu sendiri yang menyimpulkan semaumu. Jadi jangan salahkan aku kalau kamu mempermalukan diri sendiri," masih didengarnya suara Sarah berkata. "Dan minta maaf? Kenapa aku harus minta maaf? Dia yang mau nampar aku! Harusnya dia yang minta maaf!"

"Duh, ngeri gue lihat dia," tukas Kanya berjalan di samping Galuh. "Cruel. Cewek mengerikan yang nggak bisa menghargai suami. Padahal Galang ngaduin itu karena disangkanya lo nampar dia."

"Biarin aja. Sumpah gue puas banget lihat mukanya Galang. Kayak...ditampar istri sendiri, gitu." Farida terkekeh senang. "Apalagi ketika Galuh nggak bisa disalahkan karena dia diprovokasi."

"Pakai ngaduin segala, lagi. Sekali lihat aja gue tahu pipi Sarah nggak bengkak. Emang Galang aja yang matanya kelilipan pantat landak sampai nggak bisa lihat apa-apa," tukas Kanya.

"Tapi..." Rina berbicara lamat-lamat," itu tuh...sengaja, ya nggak sih? Si Sarah itu...juga nggak beres. Kenapa dia nggak langsung bilang sama Galang kalau Galuh nggak nampar dia? Kenapa ngomongnya justru di sidang tadi?"

"Mungkin dia pakai seni playing victim," Sena muncul di antara mereka dengan mendekap beberapa berkas. "Dia kepingin Galang lihat Galuh sebagai orang yang jahatin dia. Mungkin saat itu juga dia bertingkah sebagai korban. Tapi dia nggak nyangka aja masalah bakal dibawa seserius ini. Dia nggak bisa menghindar setelah kita minta bantuan dokter buat menilai bengkak di pipi dia sebagai barang bukti. Belum lagi Dokter Yogi assessment dia, dia udah bilang duluan kalau dia nggak ditampar. Cih! Dan Galang ngaduin dengan kesimpulan ngawur gitu? Yang ada dia yang malu karena nggak ngerti tabiat istri sendiri."

Farida mendengus. "Dia kan anggota BBB."

"HA? SECAKEP BULU HIDUNGNYA DIMAS BECK AJA NGGAK ADA LHOH!!" Kanya syok dengan penuturan Farida.

"BBB, Bucin Buncit nan Bego, Nya. Bukan sinema remaja jaman dulu. Dan.. dari awal gue ketemu si nyai itu juga, gue bisa ngerasain orang seperti apa dia,"

"Betul. Nurutin enaknya doang, eneg di belakang," timpal Rina mengangguk serius. "Galuh, sumpah ya, lo nggak rugi apa-apa lepasin orang kayak dia. Nggak ada kagum-kagumnya gue sama dia."

"Sudah, sudah..." Suara Danar terdengar kala pria itu ikut mengimbangi langkah mereka. "Teman kalian itu berusaha untuk terus maju. Tugas kalian, mendorong dia dengan dukungan. Bukannya menarik dia balik pakai omongan-omongan yang nggak penting."

Semuanya mengangkat alis kala melihat Danar bergegas mendekati Jenny, dokter kandungan RS mereka yang seharusnya sudah mengambil cuti hamil.

"Kan udah dibilang, nggak perlu kesini," ujar Danar cemas kala Jenny mendekati mereka dengan perutnya yang membesar.

"Nggak papa. Aku cemas sama kasus ini, soalnya," Jenny mengibaskan tangannya pada Danar. "Jadi, gimana tadi?"

"Lancar. We got what we deserve," jawab Danar meraih pinggang istrinya. "Sudah, ayo ke ruangan aja. Saya duluan, ya. Kalian jangan ngomong yang aneh-aneh. Dan Galuh, you really are my profesional dietitian."

"Oke Pak Danar! Kita juga bakal dukung Pak Danar buat terus maju, bukannya narik balik pakai omongan yang nggak penting. Iya kan, Na?" Seru Farida menoleh pada Sena dengan wajah polos penuh dosa.

"Ha? Apa hubungannya?" Sena mengerutkan kening karena Farida menghardiknya tiba-tiba.

"Ck! Nggak perlu. Saya udah maju," dengus Danar jengkel. Ia melirik kesal pada Jenny yang sudah terpingkal di sampingnya. "Kamu jangan ketawa, ya."

"Apasih, Nar. Tertawa adalah hak semua orang. Kamu nggak boleh senewen. Cepet tua ntar dikira anakmu kamu kakeknya. Udah ayo ke ruanganmu. Daaa semuanya. Galuh, keep on your spirit, okay?"

Galuh yang sedari tadi hanya terdiam, kali ini terkekeh geli.

"Apasih?" Sena bertanya penasaran. "Apasih? Kok gue nggak ngerti? Emang Pak Danar pernah punya kasus kayak Galuh?"

"Ah mbuh lah," Kanya kesal setengah mati. "Sebel deh sama Sena."

Sena mencebik. Ia meraih lengan Galuh dan mengajaknya berjalan lebih dulu dengan langkah kesal.

"Kan gue nggak ngerti," gerutu Sena pelan.

Galuh tertawa. Iya, beberapa tahun lalu drama Si Sena Yang Tidak Peka vs Atasan Yang Kelewat Pemalu selalu jadi wacana hangat di Instalasi Gizi.

Setelah drama itu selesai, justru dirinyalah yang jadi wacana.

Galuh menunduk, tersenyum kecil pada keramik yang ia lalui satu per satu.

"Eh iya sampai lupa. Waktu itu lo diantar cowok ke ruangan, kan?" tanya Sena. "Siapa?"

Tanpa bisa ditahan, ingatan tentang jemari Karim yang menyentuh lembut pipinya muncul.

"Dia kenalan gue dari kecil. Udah gue anggap Abang sendiri, sih..." gumam Galuh berusaha setengah mati menahan hawa panas yang mulai menguar dengan lancang.

Galuh melirik Sena yang sedari tadi diam saja. Ternyata, wanita itu sedang menatapnya dengan senyum sok tahu hingga terlihat sangat menyebalkan.

"Pipinya kenapa Luh?" tanya Sena mendadak tertarik. "Perasaan yang ditampar sebelah sini, kenapa dua-duanya jadi merah gitu?"

"Sena, udah deh..." tukas Galuh jengkel sembari membuang wajahnya.

Sena terkekeh. Wanita mungil itu menggoyangkan lengannya dengan main-main.

"Kapanpun lo butuh telinga, lo selalu punya gue." Sena bicara dengan hangat.

Galuh tersenyum kecil, merasa sangat berterima kasih. Sena adalah satu-satunya orang yang tahu permasalahan Galuh dan Galang dari awal pertama. Alasannya sederhana. Sena bukan perempuan penggemar gosip yang suka membocorkan rahasia kemana-mana. Untuk itu, dia merasa nyaman bercerita apapun pada Sena.

"Lo pernah kasih pertanyaan sama gue. Ingat, nggak?" tanya Galuh pelan. "Dulu, waktu gue kasih lo undangan."

"Eh, apa ya?" Sena mengernyit, sementara Galuh berdecak.

" 'Kalau hati bisa semudah itu dibolak-balik, gimana bisa gue percaya sama pasangan gue? ' " ucap Galuh mengulang kata yang pernah Sena ucapkan. "Bagi gue, pertanyaan lo tuh mengerikan, Na. Karena gue merasa seolah lo tau ketakutan gue selama ini. Gue ketakutan karena...walaupun gue udah lama sama Galang dan kita bahkan memutuskan untuk menikah, ada sesuatu tentang dia yang nggak bisa gue sentuh. Gue tahu Galang sering ngeliatin fotonya Sarah. Gue tahu dia punya tempat khusus buat foto-fotonya Sarah di ponsel yang dia kunci, dimana gue sendiri nggak boleh ngebuka itu. Gue tahu jauh di dalam hati gue, kalau cinta Galang buat Sarah itu masih ada. Itu bikin gue takut."

Galuh menjeda dan Sena masih terdiam. Namun ia tahu, Sena mendengarkan.

"Gue selalu mencoba minta dia ngehapus fotonya Sarah atau apapun foto yang berkaitan sama dia. Yang ada, dia malah marah sama gue. Dia bilang, kalau gue masih maksa dia ngehapus foto Sarah, itu artinya gue nggak percaya sama dia. Jadi, ya udah. Gue diem. Toh, dia bilang Sarah udah masa lalu. Dia bilang dia cinta gue, sayang gue dan berani ngelamar gue di depan Papa. Gue cuma berharap seiring waktu yang akan kita jalani sama-sama, dia bisa lupa sama Sarah. Gue ngandelin kepercayaan gue sama dia. Kepercayaan yang gue sadar banget kalau aslinya itu cuma cara gue buat menipu diri sendiri."

Galuh menghela nafas panjang. Bertanya-tanya sejak kapan membahas hal ini jadi seringan obrolan di sore hari?

"Permintaanmu buat ngehapus foto Sarah itu menurutku udah bener, Luh. Menurut gue, hal pertama yang harus dilakukan untuk move on itu menyingkirkan segala macam barang yang bisa bikin lo mengingat-ingat rasa sama dia." Sena berkata. "Lagipula bagi gue, percaya itu nggak sama dengan menutup mata. Justru karena lo percaya sama pasangan lo, lo musti nyari bukti kalau dia pantas dipercaya."

"Katakanlah, gue dulu terlalu takut ditinggal Galang." Wanita itu mendengus sebal. "Pernah secinta itu gue sama dia."

Sena terkekeh pelan. "Udahlah...jangan dipikirin lagi. Sekarang, gimana? Lo udah punya jawaban buat pertanyaan gue waktu itu?"

"Susah, sih...butuh beberapa waktu buat berdamai sama kenyataan kalau pertanyaan setan lo itu justru penting banget buat dicari jawabannya," Galuh tertawa. "Jawaban gue simpel. Gue...cuma harus lebih berhati-hati aja ke depannya."

Galuh menunduk lagi.

"Gue pernah secinta itu sama seseorang. Tapi kayaknya gue lupa cara menghargai diri gue sendiri. Itu kenapa, gue justru nipu diri. Padahal kalau gue lebih berani sedikit aja waktu itu, mungkin jalan hidup gue bisa berbeda."

Galuh tersenyum kecil kala Sena membelai bahunya dengan lembut.

"Takut, ya?" tanya Sena cemas.

"Pasti lah, Na," tukas Galuh tertawa. "Suami gue ngehamilin cewek lain padahal pernikahan kita belum ada enam bulan. Lo pasti tahu gimana rasa takut gue jadi batu sandungan buat melangkah ke depan. Lo pasti bisa pahami itu lebih dari siapapun."

Sena menghirup nafas panjang dan mengangguk paham. Ia mencuri pandang ke arah Galuh, berusaha memilah kata-katanya dengan tepat.

"Luka kayak gitu, selalu bikin kita jadi nggak mudah percaya sama cowok," sambung Sena.

"Gue setuju," gumam Galuh. "Gue pernah ada di level itu. Dimana gue berpikir semua cowok itu brengsek. Tapi nggak lama."

"Oh? Wah..." Sena menatapnya berbinar. "Kenapa?"

"Karena Papa gue," Galuh menjawab. "Singkatnya, gue jadi saksi seberapa sayang Papa sama Mama bahkan sampai sekarang. Gue bisa ngerasain sendiri betapa intimnya interaksi mereka berdua. Kasih sayang di antara Mama Papa itu intens banget sampai kita yang jadi anak-anaknya ngerasa aman. Waktu Mama divonis kena kanker, gue lihat sendiri gimana hancurnya Papa."

Galuh menghirup nafas panjang.

"Di waktu-waktu terakhir Mama, Papa nggak ngizinin siapapun ada di samping Mama selain dia. Waktu akhirnya kita masuk lagi, Mama udah nggak ada. Cuma ada Papa yang nangis sambil nyiumi tangan Mama. He just...loves her too much." ucap Galuh tercekat. "Pernah gue tanya, kenapa Papa bisa sesetia itu sama Mama. Kata Papa, berkomitmen itu seni. Seni saling menghargai, seni bertanggung jawab, seni berterima kasih, dan seni mengendalikan diri. Komitmen itu bisa dijalankan dengan nalar, bukan sesuatu yang ajaib dan bisa terjadi tanpa diupayakan. Karena itu, gue jadi percaya masih ada laki-laki pintar di luar sana, yang bisa memegang komitmen sampai seteguh Papa. Gue cuma harus lebih hati-hati aja."

"Bagus," ucap Sena. Sesuatu dalam suara Sena membuat Galuh menoleh padanya, dimana dia mendapati ternyata Sena tengah tersenyum dengan mata berkaca. "Lo selangkah lebih maju dari gue yang dulu, Luh. Karena bahkan Ayah gue sendiri bukan figur yang bisa memberi rasa aman sama gue. Bagus banget kalau lo udah sadar akan hal itu."

Sena terkekeh sambil mengusap pipinya dengan ibu jari.

"Lo punya kemampuan selfhealing yang kuat," ucapnya tulus. "Gue bahagia banget lihat lo bisa ketawa lagi. Ngurusi katering, ngurusi kerjaan dengan serius. God... lo beneran cewek tangguh."

"Gue punya lo," kata Galuh lembut. "Gue punya Papa, Harun, Kanya, Farida, Rina, dan banyak orang yang mendukung gue."

Sena tertawa. "Kayak yang Pak Danar bilang tadi, kita ini cuma bisa ngedukung lo. Itu bukan titik kritis yang bikin lo bisa bangkit. Keputusan untuk bangkit atau nggak, itu ada di lo. Selalu ada di lo. Lo kudu nemuin alasan tersendiri kenapa lo harus bangkit. Lo bisa kok, mengabaikan dukungan kita dan memilih terpuruk lalu nyalahin Galang sebagai cowok brengsek yang udah bikin lo menderita. Tapi lo juga bisa memilih ninggalin kenangan buruk lo dan fokus berjuang ke depan. Ibaratnya kayak siswa kelas tiga SMA, lah. Lo ikut les sana sini, ikut tambahan pelajaran sana sini, tapi lo sendiri males-malesan buat memahami materi, sama aja kan jadinya."

"Kira-kira butuh cowok nggak, Na?" tanya Galuh tiba-tiba. "Banyak yang bilang 'makanya cepetan cari cowok bla bla bla,' menurut lo gimana?"

Sena mengerucutkan bibir. "Menurut gue, sebenernya bukan butuh cowok atau nggak, tapi butuh dukungan atau nggak. Dukungan itu berguna, jelas. Dan, dukungan itu nggak mesti dari cowok. Bisa dari siapapun, Papa lo, misalnya. Keluarga, temen-temen, lingkungan sekitar, atau bahkan buku-buku motivasi yang lo baca. Semisalpun kebetulan lo merasa nyaman sama cowok yang tiba-tiba aja hadir di lingkaran hidup lo, ya itu berarti dia bisa mendukung lo dengan caranya. Karena nyatanya, banyak yang mendekat tanpa bisa kasih kita dukungan, kan?" celetuk Sena.

Galuh mengangguk-angguk saja. Toh dia sudah memahami konsep ini dari lama. Dia hanya ingin mendengar opini Sena saja.

Saat itu, ponselnya berdering. Galuh membaca nama si penelfon, dan ia melirik Sena yang masih berjalan dengan tenang di sampingnya.

Yah, dia bisa percaya wanita di sebelahnya ini, kan?

"Halo Bang," sapa Galuh.

"Galuh, gimana lukanya?" tanya Karim dari seberang sana.

Iya, setelah kejadian itu, Karim jadi sering menanyakan keadaannya.

"Udah sembuh total," jawab Galuh mengelus pipinya sendiri. "Beneran. Udah nggak kerasa sakit juga."

"Let me see you, then. Ada waktu malam ini?" Karim bertanya lagi.

Galuh menggigit bibirnya kala Sena dengan sengaja melambatkan langkah dan bergabung dengan yang lain. Sejelas itukah?

"Eh...malam ini aku ada agenda," gumam Galuh kala mengingat janjinya untuk menemani Harun menemui pembimbingnya. "Sorenya aja, gimana?"

"It's okay," Karim menjawab dengan ringan. "Ada saran mau kemana?"

"Kampung Laut?" usul Galuh menahan cengiran kala mengingat menu gulai ikannya yang tersohor. Sungguh, dia sangat penasaran bagaimana caranya bisa membuat gulai ikan yang sedemikian kaya rasa, tidak amis dan tidak ada bau tanah. Ada sesuatu di dalam resep itu yang membuatnya mempunyai aroma khas. "Abang ada alergi seafood?"

"Nggak ada. Oke, agenda kita sore ini adalah Kampung Laut. Jadi, pulang seperti biasa?"

"Iya," jawab Galuh tersenyum.

"Sip," balas Karim ringan. "Galuh, seragam kamu pakai rok atau celana?"

"Ha?" Galuh mengerjap. Dia tidak salah dengar, kan? Galuh menunduk dan menatap celana kain panjang merah muda yang menjadi seragamnya hari ini. " Celana, kenapa?"

"Keberatan nggak kalau kali ini pakai motor?"

"Eh? Nggak," balas Galuh masih bingung dengan pertanyaan Karim.

"Ya sudah, ketemu nanti, ya,"

"Iya,"

Galuh memandangi layar ponselnya dan menghela nafas panjang. Sungguh, apa Karim benar-benar berpikir dia akan keberatan naik motor sementara sehari-hari saja dia sendiri pengguna sepeda motor?

***

"Hai,"

"Abang, kenapa di sini?" Galuh terkejut melihat Karim sudah berdiri di depan ruangan kala dirinya hendak keluar.

"Jemput kamu," jawab Karim bingung. "Eh, nggak boleh kesini, ya?"

Galuh mengenakan jaketnya dan mulai berjalan sebelum menjawab pertanyaan Karim.

"Boleh boleh aja sih, Bang. Cuma, kalau kejauhan bisa nunggu di lobi aja. Untung ini aku langsung pulang. Kalau masih nanti, gimana? Abang mau berdiri di sini sampai jam berapa, coba?"

"Oh, begitu," ucap Karim. "Soalnya aku nggak sabar buat memastikan sesuatu. Permisi,"

Raut wajah Karim menjadi serius ketika ia menahan tangan Galuh agar berhenti di tepi koridor. Lalu dengan tangan yang lain, laki-laki itu meraih tengkuk Galuh dan menyipit.

"B-Bang Karim," geram Galuh ketika menyadari wajah mereka yang begitu dekat. Galuh refleks menarik diri, namun Karim menahannya.

"Hmm, udah nggak ada bekas," gumam Karim mengamati dengan lekat pipi Galuh. Lalu, ia menyapukan ujung ibu jarinya di sana dan mengawasi ekspresi Galuh. "Sakit?"

"Nggak--nggak sakit!" Galuh mendorong dada Karim agar menjauh dengan sangat tidak santai. "Nggak sakit lagi, Abang. Udah sembuh."

"Iya, kayaknya begitu," celetuk Karim masih melirik ke pipi Galuh meskipun tangannya kini sudah kembali berada di sisi tubuhnya. "Baguslah."

"Iya, udah bagus kok," tukas Galuh saling menggosokkan telapak tangannya dengan canggung. Sebab telapak tangannya baru saja merasakan tekstur kokoh dada lelaki itu.

Sekarang, telapak tangannya terasa geli. Galuh menggertakkan gigi. Kenapa harus dada, sih?

Sementara bagi Karim, kata 'bagus' artinya dia masih bisa menahan diri untuk tidak memperpanjang masalah ini. Mungkin, Galuh sedang ada masalah pribadi dan dia belum berhak ikut campur. Walaupun dia tidak yakin masih bisa menahan diri jika di lain waktu, Galuh mendapat luka yang sama.

"Memang nanti malam ada agenda apa?" tanya Karim setelah mereka keluar dari gedung.

"Harun minta ditemani ke dosen pembimbing," jawab Galuh.

"Jauh?"

"Nggak, cuma setengah jam dari rumah. Udah janji aja sih, Bang. Kemarin dia bantu aku antar pesanan ke tempat yang lumayan jauh sampai ganggu waktu kencannya dia," kekeh Galuh. "Jadi dia nagih imbalan. Soalnya dosen pembimbing yang ini galaknya nggak manusiawi."

Karim mengangguk tanda mengerti. Ia membimbing Galuh menuju sebuah motor sport hitam tanpa fairing di jajaran parkir pengunjung Rumah Sakit.

"Abang biasa pakai motor, ya?"

Karim mengangguk seraya menuntun motor agar keluar dari barisan.

"Mobil cuma kadang saja. Lebih praktis pakai motor," jawab Karim memakai helm fullface-nya. "Dan, mobil baru masuk bengkel."

"Nggak masalah, Bang. Memang mobilnya kenapa?" tanya Galuh memakai helmnya sendiri. Ada beberapa helai rambut yang menempel di pipi Galuh, namun sepertinya tidak disadari wanita itu.

Karim mengalihkan pandangan dari Galuh ketika dorongan untuk membelai pipinya terasa sangat mendesak. Ia mencengkram kuat stang motor demi melepas sensasi aneh di telapak tangannya, lalu mengedik pada Galuh.

"Kemarin habis ditabrak anak sekolah waktu dipakai Pak Wiwid. Untung anak sekolahnya nggak papa," jelas Karim. "Udah pakai jaket? Ayo naik."

Galuh mematuhinya dengan antusias. Meletakkan tas di antara mereka, Galuh mencengkram erat pegangan motor di belakangnya.

***

Mengherankan bagaimana alam juga bisa mengalami mood swing seperti manusia. Padahal matahari bertahta dengan jumawa ketika mereka keluar sore tadi. Sekarang, hujan lebat mendera bumi dengan kejam.

Galuh masih duduk di kursinya seraya memandang ke luar jendela. Obrolan mereka diisi Galuh yang sibuk menganalisis bumbu dalam gulai ikan yang dipesannya, tentang pekerjaan Karim dan hal-hal kecil yang menarik untuk dibahas hingga tanpa terasa mereka sudah menghabiskan waktu lebih dari yang seharusnya.

Sekarang sudah hampir pukul delapan malam. Janjinya dengan Harun masih satu jam lagi.

Jendela itu berembun. Sementara di bagian luarnya, butiran air hujan menghantam tiada henti hingga jejak-jejak air tidak sempat tercipta. Sore sirna dalam pekat, seolah matahari memutuskan untuk beristirahat lebih awal. Bahkan dengan dirinya berada di dalam ruangan saja, hawa dingin menggigit setiap inci kulitnya.

"Masih deras. Kayaknya belum bisa reda di waktu dekat," ucap Karim kembali dari toilet. Laki-laki itu menangkupkan jaketnya di atas tubuh Galuh yang sudah lebih dulu terbungkus jaket wanita itu.

"Bang, nggak perlu--"

"Pakai saja, Luh. Pipimu pucat," Karim meliriknya sebelum sibuk dengan ponselnya. "Udah hampir satu jam, ini. Kita pulang sebentar lagi."

Galuh menatap Karim yang hanya memakai kemeja kerja berlengan pendek berwarna biru tua. Tapi...memang rasanya hangat. Galuh meraih jaket Karim, mengeratkannya ke tubuh hingga samar tercium wangi yang Karim sekali.

"Jangan dipaksa, Bang. Masih lebat banget ini," gumam Galuh mengamati keadaan di luar. Dia yakin jarak pandang mereka mungkin hanya berjarak beberapa meter saking lebatnya hujan.

"Kamu punya janji sama Harun satu jam lagi, kan?"

"Iya, sih. Tapi kalau keadaannya memaksa..." Galuh mengedik ke sekitar.

"Jangan. Kita juga belum minta izinnya Om Gandhi. Jadi kamu belum boleh pulang malam-malam," jawab Karim, sementara Galuh memutar bola mata.

"I am 28, by the way," tukas Galuh agak jengkel.

"Dan aku laki-laki, Galuh," jawab Karim. "Aku bisa hajar siapapun laki-laki yang membawa anak gadisku pulang malam-malam tanpa seizinku, sebesar apapun dia."

"Dengan syarat dan ketentuan berlaku," sambung Galuh yang membuat alis Karim terangkat. Galuh mengangkat bahu. "Siapa tahu memang anak perempuanmu baru ada halangan di jalan, lalu dia ketemu temannya dan mengantarnya pulang, mana bisa Abang main hajar seenaknya, kan?"

Karim terdiam sesaat, kemudian mengangguk sambil terkekeh kecil. Lelaki itu berdiri dan mengantongi ponselnya. "Bisa diterima. Ayo pulang, taksinya udah nunggu di depan."

Tentu saja Galuh mengernyit.

"Taksi? Abang pesan taksi?"

"Iya. Hujannya mungkin sampai malam. Mantelku mantel baju dan cuma satu," ucap Karim di samping Galuh.

"Oh...terus motornya ditinggal di sini?" Galuh bertanya lagi. Karim hanya tersenyum. Sampai di teras rumah makan itu, Galuh melihat taksi berwarna biru laut sudah menunggu.

Pak Karim?" tanya si pengemudi. Karim mengangguk.

Galuh masuk lebih dulu dan menelaah situasi. Ada identitas dan nomor plat mobil di dashboard. Juga, data taksi lengkap yang tertera di punggung kursi depan. Dia cukup familier dengan perusahaan penyedia taksi ini, jadi sepertinya aman.

Galuh bergeser hingga keseberang untuk memberi ruang bagi Karim. Tapi yang ada, Karim justru menutup pintu taksinya.

"Minta tolong ya, Pak," kata Karim pada si pengemudi.

"Lhoh, Bang?!" seru Galuh mulai panik. "Abang nggak ikut?"

"Aku bawa motor, Galuh," ucapnya lembut. "

Galuh buru-buru bergeser dan menurunkan kaca mobil, lalu menjejalkan kepalanya keluar. "Bang, tapi ini hujan--"

Karim membungkukkan badan hingga wajah mereka jadi sedemikian dekat. Galuh mengerjap dan sedikit menarik kepalanya.

"Aku bisa pakai jas hujan," kata Karim. "Langsung pulang saja, ya? Besok aku antar ke Rumah Sakit. Kasih kabar kalau sampai rumah. Kalau nggak, nanti perusahaan taksinya bisa aku gugat."

"Jangan khawatir, Pak. Istrinya aman sama saya," ucap si Bapak Pengemudi dengan pasti.

Karim tersenyum. "Iya, titip ya Pak. Ke alamat yang tadi. Ditutup jendelanya Luh, nanti airnya masuk semua."

Galuh hanya bisa ternganga kala Karim melambai pada taksi yang mulai berjalan. Sebelum taksi itu sempat keluar dari area rumah makan, ia masih bisa melihat Karim mengeluarkan ponsel dan memotret ke arah taksi yang ia tumpangi.

"Maaf, Mbak. Jendelanya bisa ditutup?" ucap Bapak Pengemudi dengan ramah.

"Ah! Iya." Galuh buru-buru menutup jendelanya agar air tidak masuk dan membasahi kursinya.

Bapak Pengemudi memanggilnya lagi, bertanya kembali tentang alamat tujuan mereka, dan Galuh membenarkan. Galuh tidak mungkin memintanya kembali ke Rumah Sakit sebab rutenya tidak searah. Dan lagi, kalaupun dia sedang dalam kondisi normal, dia lebih memilih memesan taksi daripada pulang naik motor dalam situasi hujan lebat dan berangin seperti ini.

"Jalan Katamso ditutup, ada pohon tumbang, katanya," sang Pengemudi membuka percakapan. "Cendrawasih juga, gardu listrik kesambar petir. Kita pakai jalur yang lain, gimana Mbak?"

"Iya Pak, nggak papa. Nggak perlu buru-buru," kata Galuh. Dua jalan itu, adalah jalan yang biasa ia lewati jika hendak pulang. Pohon tumbang dan gardu listrik tersambar petir? Seberapa ganas amarah alam sore ini?

Galuh menatap cemas ke luar jendela. Hampir tidak terlihat apapun saking lebatnya guyuran hujan. Wanita itu bersedekap, merusaha mereguk kehangatan lebih banyak. Namun yang ada, aroma musk justru terhirup olehnya.

"Lhoh iya jaketnya!" pekik Galuh terbelalak pada dirinya sendiri, dimana jaket Karim yang kebesaran masih membalut tubuhnya.

"Dasar masokis!" geram Galuh cemas setengah mati kala memikirkan Karim menembus hujan badai hanya dengan mantel dan kemeja di tubuhnya.

Masih menggerutu, Galuh membawa lengannya ke bawah hidung dan menciumi wangi musk itu dengan main-main. Wangi yang menghantarkan memorinya memutar ulang kebersamaan mereka hari ini. Lalu ketika ia teringat ekspresi Karim saat laki-laki itu membungkukkan badan di luar jendela hingga Galuh bisa melihat betapa pekatnya manik mata Karim, pipi Galuh memanas tanpa ampun.

Wanita itu menenggelamkan diri ke dalam jaket Karim sembari menutupi wajahnya.

Demi detak jantung yang mulai berulah, sepertinya dia harus memasang bendera siaga satu.

*TBC*

Jadi mikir gimana rasanya kelilipan pantat landak, hmm...

Selamat malam semuanya, semoga berbahagia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro