Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10| REMEDY

"Salah asuhan."

Zeta, si Perawat Bangsal Anak itu bertopang dagu dengan satu tangan dan mengawasi Galuh yang sedang membolak-balik Rekam Medis.

"Hm?" Galuh mengerutkan kening. "Kenapa tiba-tiba ngomongin judul sinetron?"

"Anak yang kukira anakku ternyata memang anak dari satu-satunya anak laki-laki mertuaku," tukas Zeta dengan serius sampai-sampai Galuh ingin menamparnya dengan bendel Rekam Medis saking datarnya wajah itu ketika bicara.

"Apa sih?" Galuh tertawa. "Ini masih pagi, tolong."

"Gue makin mempertanyakan kualitas tontonan Indonesia. Berhubung tadi malem gue diracuni Alexa sama sinetron Indonesia, gue jadi bertanya-tanya kenapa Sandy si tupai disensor sementara acara dangdut ataupun talkshow yang menampilkan belahan dada dan paha-paha justru diloloskan. Padahal, udah jelas mana yang bisa membangkitkan syahwat mana yang nggak. Yaahh...kecuali kalau ada yang nepsu gegara lihat Sandy telanjang sih, gue bakal maklum. Belum lagi adegan sinetron Indonesia yang kadang diluar nalar. Lebih logis ada laut di dalam lautnya Spongebob ketimbang dokter yang memvonis pasiennya meninggal cuma karena dia nggak merasakan hembusan nafasnya. Man, buat apa metode RJP?" Zeta, si perawat itu menggerutu. "Dan gue yakin banget, Orangtuanya Syaira kena racun sinetron saking dramanya mereka."

"Memangnya kenapa?" kekeh Galuh geli. Pasalnya, ia tidak pernah bertemu Sarah lagi setelah pertemuan mereka tiga hari lalu. Tidak ada yang berubah. Dia hanya bertemu dengan Retno setiap kali dia berkunjung di bangsal Syaira, yang berakhir dengan dirinya menyuapi Syaira saking sibuknya Retno.

"Uwuuu...kita tadi malam dapat tontonan drama gratis, live pula," tawa Zeta. "Tadi malem, orangtuanya Syaira berantem hebat banget di lorong depan sana. Pas itu sih, gue sama Alexa baru aja pulang beli makan. Kayaknya, Papanya Syaira minta Mamanya Syaira buat resign atau apalah gitu. Yang jelas, dia minta istrinya berhenti kerja biar lebih fokus jaga Syaira."

Zeta mengeluarkan ponselnya dan memutar sebuah video di hadapan Galuh. Tidak butuh waktu lama untuk Galuh mengenali dua lakon di sana. Sarah berdiri bersedekap, tampak tidak puas dengan Galang yang menatapnya emosi.

"Mas, mana mungkin aku resign? Kamu tahu kan impianku tentang karir?"

Tampak Sarah menatap Galang dengan tidak percaya.

"Oh...video yang itu,"

Zeta dan Galuh menoleh kala Alexa, perawat yang lain bergabung dengan mereka dan terkekeh.

"Lihat aja sih, Luh. Pembelajaran buat kita sebagai calon istri," lanjut Alexa ikut melihat video. Galuh hanya diam saja. Mereka berdua baru bergabung satu tahun yang lalu dan masa lalu Galuh bukanlah hal yang patut digembar-gemborkan.

"Aku nggak mungkin resign cuma untuk jaga Syaira. Dia punya Retno yang jaga dia. Dia punya kamu yang lebih dekat sama dia. Kenapa nyalahin aku kalau dia sakit? Harusnya yang salah itu kamu, yang nggak bisa jaga dia!"

"Sarah...kamu jangan egois! Dia anak kamu, kita butuh kamu di sini!" Galang memijit hidungnya. Kentara sekali laki-laki itu lelah luar biasa.

"Aku nggak mau, ya, kamu ngelarang-ngelarang aku buat nggak kerja cuma gara-gara keluarga! Buat apa aku sekolah tinggi-tinggi kalau ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga?" tukas Sarah marah. "Tolong Mas, bersikap profesional! Jangan kayak anak-anak! Aku yakin Syaira nantinya bisa beradaptasi!"

"Sarah, aku suami kamu. Jangan melawan, bisa tidak?! Hormati aku sebagai kepala keluarga kita!" hujam Galang dengan kemarahan yang makin menjadi.

"Dan aku istri kamu! Aku bukan pembantu kamu yang bisa kamu perintah ini itu! Aku juga punya mimpi, Mas!" balas Sarah tidak mau kalah.

"Kenapa keras kepala sekali! Kamu anggap aku itu apa? Kamu anggap anakmu itu apa? Dia berhak dapat kasih sayang kamu!"Galang meninggikan suaranya hingga Sarah terlihat terkejut. Sepertinya, laki-laki itu telah murka.

Saat itu, Sarah terdiam beberapa saat. Kemudian ia merengkuh wajah Galang dengan kedua tangannya, memaksa wajah laki-laki itu agar menatap padanya.

"Aku cinta kamu, Mas. Aku juga sayang Syaira. Tapi melepas karirku, kamu tahu aku nggak bisa. Karir ini segalanya buat aku," ucapnya dengan lebih pelan dan memohon.

Galang mendengus. Ia menepis kasar tangan Sarah dan berbalik pergi. Meninggalkan Sarah yang berdiri seorang diri.

Zeta menarik ponselnya dan berkata, "Terus habis itu, Papanya Syaira pergi. Tampangnya kayak mau ngebunuh orang sampai kita yang sembunyi di semak-semak aja takut kalau ketahuan. Dia kayaknya marah, sih. Keluar nggak ngerti kemana dan nggak balik-balik sampai sekarang."

Zeta berdecak. "Harusnya kita langsung panggil satpam, yaa..."

"Mas Antoni tahu, kok," kekeh Alexa menyebut satpam muda berbadan kekar itu. "Tapi dibiarin soalnya mereka cekcok di lorong sepi. Kasih kesempatan siapa tahu masalahnya bisa kelar, katanya."

Galuh mengangguk-angguk, namun tidak berkomentar. Sekali lagi, itu bukan urusannya.

"Gue ke dalam dulu," pamit Galuh memulai inspeksi paginya.

"Tiati ya. Jangan sampai ikutan main drama," bisik Alexa, yang hanya dibalas Galuh dengan dengusan geli.

Seperti biasa, ia akan menempatkan Syaira dalam urutan terakhir kunjungannya. Sembari berjalan menuju ruang rawat Syaira, ia menyiapkan lembar observasi di clipboard.

Namun langkahnya terhenti ketika Galuh membuka pintu kamar Syaira.

Aroma menyengat langsung menyergap hidungnya. Sarah di sana, sedang duduk di samping tempat tidur dengan kaki saling bertumpu. Pagi ini, ia memakai rok sebatas lutut dengan wedges tinggi menghiasi kaki jenjangnya. Tangannya menopang sebuah notebook sementara kedua matanya yang dibingkai kacamata menatap serius ke arah notebook itu.

Tapi bukan itu yang menyita perhatian Galuh. Adalah Syaira, yang duduk di atas tempat tidur sedang menyantap mi goreng dengan lahap.

Oh, jangan menipu diri dengan berharap bahwa mi itu adalah mi goreng biasa. Galuh kenal aroma tajam yang menguar di udara.

"Sarah, Syaira makan apa?" tanya Galuh ketika melihat makanan dari rumah sakit tidak tersentuh sama sekali.

"Oh, kamu," celetuk Sarah mengangkat wajah. "dia nggak doyan makanan Rumah Sakit."

"Kamu tahu alasan kenapa dia belum boleh sembarangan makan?" tanya Galuh lagi. Sungguh, dia tidak habis pikir. "Dia baru saja mengalami edema. Itu artinya, cairan dalam tubuhnya perlu dijaga agar tetap seimbang. Dan kamu kasih dia mi instan yang punya kadar natrium tinggi? Bahkan kami harus berhati-hati kasih dia cairan. Apa Pak Danar belum kasih tahu?"

"Cerewet sekali," tukas Sarah akhirnya berdiri di hadapannya. "Kamu lebih memilih dia kelaparan?"

"Ada opsi yang lebih baik," Galuh mengedik ke arah sup ayam di atas nakas, makanan dari Rumah Sakit. "Dia mau makan, Sarah. Kamu cuma perlu sabar aja."

"Aku bukan wanita yang punya banyak waktu luang," ucapnya mengerling ke arah notebook-nya. "Syaira rewel kalau makan dan Retno baru pulang ambil pakaian ganti. Sebaiknya kamu diam saja daripada Syaira nggak mau makan."

Saat itu, Syaira menoleh ke arahnya dan tersenyum lebar.

"Nte...Kiki nggak mam wotel!" serunya menarik Kiki mendekat. Sementara Galuh, sama sekali tidak punya daya untuk tertawa.

Semua kerja keras mereka untuk menstabilkan kondisi Syaira bisa hancur hanya karena ini. Konsistensi cairan dalam tubuh memang selabil itu. Apalagi, Syaira baru pulih dari edema.

"Aku lihat kamu perhatian sekali pada anakku." Sarah melangkah ke depan Galuh, menghalangi pandangannya pada Syaira dan bersedekap. Ia mengangkat dagu karena kali ini, tinggi mereka tidak sejajar. "Apa kamu menganggapnya anakmu, karena dia anak Galang?"

Galuh menatapnya tidak percaya. Wanita itu menghirup nafas panjang.

"Tolong, ini terakhir kalinya dia makan makanan dari luar. Dia masih dalam masa observasi." Galuh berusaha tidak terbawa suasana. "Belum banyak, kan? Kamu bisa singkirkan itu, kamu suapi dia--"

"God," Sarah terkekeh. "Kamu benar-benar menganggapnya anakmu, ternyata."

"Sarah, ayo diskusi tentang keadaannya Syaira saja--"

"Apa kamu melihat Galang dalam diri Syaira? Hm? Kamu membayangkannya seperti anak kamu?"

Galuh mengepalkan tangannya.

"Sarah, ini bukan waktunya--"

"Oh, lalu kapan? Apa kamu berharap aku membiarkan saja kamu berandai-andai kalau Syaira itu anakmu dan kamu merawatnya dengan penuh kasih sayang?" tanyanya sambil memicingkan mata. "Dengan Galang yang ada di sini, apa kamu berhalusinasi kalian adalah sebuah keluarga kecil dan bahagia?"

Mulut Galuh terkatup. Sesuatu mulai merambat naik dan menguasai rongga dadanya. Ia berbalik. Sebaiknya dia menjauhi perempuan berbahaya ini--

"Mau kemana?" seru Sarah menarik kembali lengan Galuh hingga wanita itu kembali ke hadapannya. Ia menatap Galuh dengan dingin. "Aku ingatkan sekali lagi, Galuh. Syaira anakku. Anakku dengan Galang. Anakmu sudah nggak ada! Dia sudah mat--"

Karena saat itu, Sarah memalingkan wajah dengan mata terpejam kala telapak tangan Galuh terangkat tinggi.

Nafas Galuh tersengal. Bercak kemerahan menguasai pandangannya. Kemarahan dan rasa tidak terima menguar dari dalam dirinya. Tapi di tengah bisikan setan itu, ujung matanya menangkap wajah Syaira yang terbelalak ketakutan. Galuh berhasil menahan diri walau nyaris saja dia menampar perempuan ini.

"SARAH!"

Galuh tidak sempat menghindar. Bahkan, dia tidak sempat menoleh kala sesuatu yang keras mendarat di pipinya hingga ia terhuyung.

Galuh memegang pipinya yang terasa perih. Telinganya berdengung, dia harus bertumpu pada pegangan tempat tidur untuk mencegah tubuhnya tersungkur di lantai. Perlahan, ia menoleh.

Galang berdiri di sana, meraih Sarah dalam pelukannya dan menatap Galuh dengan murka. Ia menunjuk Galuh dengan jari telunjuknya.

"Kurang ajar kamu, Luh! Kamu apakan Sarah?"

Mulut Galuh terkunci. Dia gemetar luar biasa. Wanita itu menatap Sarah yang masih saja bersembunyi di dada Galang sementara lengan laki-laki itu mendekapnya dengan erat.

Galuh kembali menatap Galang yang masih menatapnya dengan selaksa murka, lalu ia keluar ruangan tanpa kata.

Galuh mengurai rambutnya, memastikan pipinya bisa tersamarkan dengan baik sebelum dia berani melewati para perawat dan keluar dari bangsal. Ia menunduk dalam dan berusaha menyembunyikan wajahnya sebaik mungkin dari pandangan orang-orang. Pipinya terasa perih, panas dan menebal. Galang tidak main-main ketika menamparnya. Dia yakin pipinya kini sudah mulai membengkak.

Galuh memeluk clipboard di dadanya dengan kedua tangan bersilang. Jantungnya berdentum kencang. Darah terpompa cepat hingga sekujur tubuhnya terasa panas. Ia berusaha mengatur nafas, namun tetap saja rasa sesak itu datang tidak terkira. Pelupuk mata wanita itu menebal dengan cepat, lalu pandangannya mulai mengabur kala matanya berkaca.

Galuh mempercepat langkah kala air matanya tidak bisa diajak kompromi.

"Aw..."

Seseorang, telah sangat lancang meraih sikunya hingga Galuh tersentak dan berhenti.

"Kenap--" geraman Galuh terputus ketika melihat siapa lawan bicaranya.

Karim tidak bersuara. Laki-laki itu masih menahan lengan Galuh dengan kuat. Pandangannya terkunci di pipi Galuh.

"Bang..." Galuh berdehem. Ia berusaha melepaskan cekalan Karim, namun sia-sia saja. "Kenapa di sini?"

Karim tidak menjawab. Pelan sekali, ia menyibak rambut Galuh dan menyapukan jemari di pipi wanita itu. Ringan, seringan bulu.

Namun Galuh berjengit.

Dan itu, cukup menjadi jawaban bagi Karim.

Sepasang mata legam itu kini menatap Galuh, tanpa senyum.

"Kenapa?" tanyanya pelan.

Galuh buru-buru mengalihkan pandangan. Karim jadi...agak mengerikan.

"Bang, lepas...kenapa coba?" pinta Galuh menggoyangkan lengannya.

Bukannya melepaskan, laki-laki itu justru meraih telapak tangan Galuh. Ia membawa Galuh duduk di salah satu kursi panjang di lorong.

"Kenapa?" tanyanya dingin.

"Nggak papa," Galuh buru-buru memperbaiki rambutnya lagi. "Ini...jatuh di kamar mandi."

Galuh menunjuk tenggorokannya.

"Batuk, pilek, pusing, nggak fokus dan akhirnya kepleset," Galuh tertawa serak. Dia menghindar dari tatapan Karim sebisa mungkin. "Abang...ngapain di sini? Nggak kerja?"

Galuh mengawasi penampilan Karim, yang mengenakan kemeja berwarna abu-abu dengan lengan pendek. Ia menatap sepasang sandal jepit yang dipakai Karim.

"Kamu...dipukul orang?"

Galuh terdiam. Ia bersikeras melotot ke arah sandal jepit ungu itu agar dirinya bisa mengendalikan diri.

"Pikirannya ya..." Galuh pura-pura mendengus kesal. "Jaman sekarang masa masih main pukul pukulan sih, Bang? Aku kepleset terus pipiku kebentur wastafel, jadi begini."

Galuh mengusap pipinya dan meringis. "Aku mau ke ruangan, mau ambil obat. Malah ketemu Abang. Jadi, Abang ngapain di sini? Sakit?"

Secercah nada cemas lolos dari suara Galuh ketika mengatakannya. Ia mencermati Karim, setengah berharap menemukan sesuatu yang menjadi tanda jika lelaki di hadapannya ini tidak baik-baik saja. Tapi, Karim terlihat sehat.

Sungguh, Galuh berusaha tersenyum. Tapi sepertinya Karim tidak bisa teralih semudah itu. Sejak pertama bertemu lagi, baru kali ini Galuh mendapati wajah Karim semengerikan ini. Wajahnya tegang dengan bibir yang terkatup erat. Tatapannya tajam hingga rasanya manik gelap itu jadi bertambah kelam.

Tidak menggubris Galuh, Karim meraih rambutnya lagi dan menyibaknya ke belakang telinga. Lalu tanpa aba, wajahnya mendekat hingga Galuh otomatis menarik kepalanya ke belakang. Namun, Karim menahan tengkuk Galuh hingga wanita itu tidak lagi bisa menjauh. Melirik Galuh sekilas, Karim mengalihkan tatapan ke pipinya dengan teliti.

Sementara, Galuh justru tidak baik-baik saja.

Jemarinya kembali mencengkram erat clipboard dengan alasan berbeda. Dari jarak sedekat ini, dia bisa membaui aroma lembut yang selalu melekat di tubuh Karim. Dari jarak sedekat ini, Galuh bisa melihat garis kokoh lehernya serta rambut halus yang menaungi tengkuknya. Dari sini juga, dia bisa melihat lekuk otot pundak Karim yang mengintip dari celah kerah kemejanya.

Galuh menelan ludah. Ia mengalihkan pandangan ke depan sana meskipun saat ini, pipinya terasa sangat panas.

"Mau pulang?" suara Karim menyadarkan Galuh.

Galuh mengedip. Bagaimana tebakan Karim bisa begitu akurat? Beberapa menit lalu, Galuh merasa sangat tidak baik-baik saja hingga rasanya dia ingin menyingkir sejenak dari hiruk pikuk Rumah Sakit.

"Nggak. Mau aku kasih salep aja," jawab Galuh menjauh sedikit dari Karim dan menjulurkan rambutnya lagi agar menutupi pipi. "Abang itu dari tadi belum jawab. Bang Karim sakit?"

Masih menatap Galuh dengan tatapan kelamnya, Karim menggeleng.

"Jenguk teman," jawabnya datar.

"Oh, sakit apa?" tanya Galuh berusaha mati-matian agar Karim tidak lagi menatap pipinya seperti sorotan laser berkekuatan super.

"Pasca operasi," katanya lagi. "Ayo, aku antar ke ruanganmu."

"Nggak perlu. Bangsal bedah di sebelah sana--"

Namun, Karim sudah berdiri. Laki-laki itu menyisipkan kedua tangannya ke dalam saku.

"Aku antar," ucapnya seperti sebuah ultimatum. "Ayo."

Galuh menatap Karim beberapa saat. Lelaki itu menatap Galuh dengan tatapan tidak terbaca, menunggu. Akhirnya, Galuh berdiri.

"Sama siapa ke sini?" Galuh bertanya kala mereka berjalan berdampingan menuju Instalasi Gizi. Wanita itu memeluk clipboard dengan kedua tangan, berusaha menamengi diri dari kehadiran Karim yang tiba-tiba saja jadi terasa aneh.

"Teman," jawab Karim. Suaranya tidak sedingin tadi. "Sudah duluan, sepertinya."

Galuh melirik Karim. Laki-laki itu berjalan dengan kedua tangan di dalam saku. Tatapannya datar ke depan.

"Nanti ada waktu?" Karim bertanya tiba-tiba. "Dinner kita?"

"Ah...sepertinya hari ini nggak bisa," Galuh menjawab. Ia menahan tangannya tetap meremas clipboard, karena dorongan membelai pipinya yang masih perih terasa begitu besar. "Ada pesanan buat besok pagi."

Mendengarnya, Karim hanya mengangguk saja.

"Nggak masalah. Bisa kapan-kapan."

Sekali lagi, Galuh melirik Karim. Dia jadi pendiam dibanding biasanya.

"Makasih, Bang. Abang mau ke Bangsal Bedah, kan? Lewat sini aja, terus belok kanan nanti lurus udah sampai," ucap Galuh ketika mereka sudah sampai di depan Instalasi Gizi. Karim melirik ke dalam beberapa saat, kemudian kembali menghadapi Galuh.

Lelaki itu menatap Galuh sejenak, kemudian menghirup nafas panjang.

"Lekas dikasih salep," ucapnya tersenyum tipis. "Aku pergi dulu."

Galuh mengangguk seraya balas tersenyum. Karim mundur beberapa langkah, menahan tatapannya pada Galuh sebelum berputar dan menghilang di tikungan.

Galuh termangu. Jemarinya mengusap pelan pipi bekas tamparan Galang, tepat dimana jemari Karim menyentuhnya dengan begitu lembut.

***

Jatuh di toilet dan terbentur wastafel, katanya.

Untuk kesekian kali, Karim menghembuskan nafas kasar. Kedua tangan yang berada di sakunya masih terkepal erat.

Jangan bercanda. Karim punya lebih dari seribu pengalaman untuk bisa menarik kesimpulan bahwa lebam tadi bukan lebam biasa.

Tapi sepertinya Galuh bersikeras menyembunyikan itu.

"Ya iya, Karim. Siapa lo?" bisiknya frustasi.

"Bang Karim?"

Karim menoleh. Seorang lelaki mendekatinya dengan wajah sangsi. Tapi, sosoknya cukup familiar bagi Karim.

"Astaga, Bang...ini beneran lo?" ucapnya tidak percaya. "Gue nggak pernah dengar kabar lo lagi setelah keluar dari DJP."

Karim berusaha tersenyum. Ia menerima jabatan tangan juniornya dengan ramah.

"Galang," balasnya.

"Lo kerja di sekitar sini, Bang?" tanyanya sedikit tidak sabar. "Masih ngurusi klub Judo?"

Karim menggeleng. "Kadang aja kalau baru persiapan UKT. Kenapa buru-buru?"

Lelaki itu mengusap kasar rambutnya. Tampak sekali tengah menahan emosi.

"Gue mau melapor. Ada pegawai yang udah bertindak sangat kurang ajar sama istri gue," tukas Galang dingin. "Reuni besok, datang?"

Karim mengangguk seadanya. Ia masih belum bisa melupakan lebam di pipi Galuh.

Haruskah ia kembali dan bertanya pada Galuh, lalu membanting siapa saja yang sudah berani membuatnya terluka?

*TBC*

Selamat malam semua. Semoga berbahagia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro