Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1| REMEDY

"Kamu beneran nggak pulang?"

Dengan kedua tangan masih sibuk mengupas kentang, wanita itu menghimpit ponsel di antara telinga dan pundaknya. Ia mendongak sedikit, berusaha melirik jam dinding di seberang ruangan.

"Iya Pa. Kan tadi udah pamit. Papa belum tidur?"

"Nginep di Dapur lagi?"

Gandhi Caturangga tidak mungkin melepaskannya begitu saja. Sebagai satu-satunya orangtua Galuh, terkadang ayahnya bisa menjadi sedikit cerewet.

"Iya." Galuh menjawab. "Sama anak-anak kok."

"Berapa orang? Ada laki-laki?" Gandhi lanjut bertanya dengan sedikit tajam. "Pulang saja, besok pagi biar diantar Harun."

"Papa Gandhi yang paling ganteng, besok ada pesanan partai besar," jelas Galuh pelan-pelan. "Pesanannya agak dadakan, jadi sebagian dicicil sekarang. Kalau Galuh pulang, anak-anak nanti keteteran. Harun di rumah aja, baru sibuk skripsi lho dia Pa."

Gandhi diam, lalu Galuh mendengar hembusan nafas berat dari seberang sambungan.

"Papa, rejeki nggak boleh ditolak, kan? Siapa coba yang bilang begitu sama Galuh?" Galuh mengulum senyum. "Kalau Galuh pulang, nanti nggak ada yang ngawasi anak-anak. Pesanan nggak maksimal, klien kecewa sama katering Galuh, terus Galuh bangkrut, gimana? Papa mau ngegantiin Galuh kasih pesangon sama mereka?"

"Kadang Papa lupa kalau kamu itu keras kepala," gumam Gandhi di seberang sana, yang hanya disahut Galuh dengan kekehan. "Kamu nggak capek seharian kerja masih ngurusi katering?"

"Nggak dong, kan nanti dapat uang."

Didengarnya Gandhi menghela nafas lagi. "Wanita baik-baik nggak boleh kelayapan malam-malam."

"Galuh nggak kelayapan, Papa," sahut Galuh sedikit tidak terima.

"Harun ke sana. Dia bisa menjaga kamu sambil fokus skripsi. End of discussion." Suara tegas sang Profesor mengakhiri perdebatan kecil mereka. Jika sudah demikian, Galuh tidak punya pilihan selain mematuhi Seorang Gandhi Caturangga. Begitupun Harun, yang saat ini pasti akan merasa kesal sekali disuruh kemari ketika hari sudah semakin larut.

Setelah mengiyakan Gandhi, Galuh mengerling jam dinding lagi. Sudah lewat pukul sepuluh malam, namun dapurnya masih sibuk.

"Kentangnya selesai, direndam dulu aja." Galuh memberikan sebaskom penuh kentang yang sudah terkupas pada salah satu pegawainya. "Aku mandi dulu."

Seorang gadis yang sedari tadi sibuk di sebelah Galuh menerimanya dan mengangguk. "Mbak Galuh, ternyata kita kehabisan boks. Orangnya buka besok jam 7, kan? Gimana? Pesanan udah harus sampai jam lima."

Galuh mengerutkan kening. "Kok bisa? Tadi Catra udah ngitung, kan?"

"Mbak, Catra salah ngitungnya." Aria berkata dengan kegemasan yang memuncak pada salah satu pegawai Galuh yang lain. "Dia ngitung boks buat snack. Itu anak kalau malem udah nggak bisa fokus."

Raut gelisah kentara sekali pada wajah Aria, si gadis di depannya. Galuh menatap Aria lama. Wanita itu berdiri sembari menyilangkan kaki. Ujung jari telunjuknya mengetuk meja, berpikir.

"Nanti aku coba hubungi." Galuh berkata, meskipun dia merasa agak ragu mengingat hari sudah semakin larut. "Kalau yang biasanya nggak bisa, masih ada yang lain. Jangan dipikirin, kamu sama yang lain nyiapin apa-apa yang bisa disiapkan dulu biar besok nggak keteteran."

Senyum cerah penuh kelegaan terpancar dari wajah belia di depannya.

"Siap, Mbak!"

Galuh tersenyum kecil dan mengangguk. Bisa saja dia menghubungi toko langganannya. Tapi mengingat hari sudah malam, Galuh menahan diri. Kateringnya belum sebesar itu untuk bisa menghubungi sana sini tanpa tahu waktu.

Galuh menuju lantai dua, yang sengaja ia bebaskan dari aroma dapur agar dia dan anak-anak yang lain bisa beristirahat di sini. Wanita itu menuju salah satu bilik yang ia jadikan ruangan pribadinya. Hanya bilik kecil berukuran 2 x 2 meter, namun Galuh menatanya sedemikian rupa sehingga cukup layak untuk menerima tamu. Ia meraih cermin, lalu menghapus make up yang belum sempat ia hapus karena langsung pergi belanja setelah pulang dari Rumah Sakit.

Satu-satunya hal yang saat ini menguasai pikirannya adalah, boks makanan yang harus siap paling lambat pukul empat pagi esok hari.

***

Galuh sedang merangkum aktivitas belanja Instalasi Gizi hari ini ketika Sena keluar dari ruangan.

Ibu muda itu sudah siap dengan sweater tipis dan ransel punggungnya. Jika ada orang yang benar-benar menerapkan prinsip diet dengan baik, Galuh akan berkata Sena lah orangnya. Meskipun berat badan Sena sempat naik gila-gilaan ketika hamil, tubuh wanita itu kembali ideal setelah beberapa bulan persalinannya. Yah, dengan sedikit perubahan mengingat dirinya menjadi seorang ibu. Jika ditanya, dia cuma akan menjawab 'olahraga' dan 'ASI yang teratur'. Satu-satunya penampilan yang berbeda adalah rambut yang kini selalu dipotong sebatas leher. Kata Sena, rambut panjang sering membuatnya gerah sekarang setelah punya Agatha.

"Pulang, Na?" Kanya melongok dari atas partisi sembari meregangkan badannya dengan malas.

"He em," jawabnya nyengir sebelum masuk ke dalam bilik Galuh yang berada tepat di sebelah pintu. Sena duduk di hadapan Galuh. "Luh, bisa pesen buat minggu depan, nggak?"

"Bisa. Buat apa? Pesen berapa?" balas Galuh.

"Ada acara di perumahan," jawab Sena seraya memeriksa ponselnya. "Dua ratusan boks. Bisa? Besok gue bantu."

Galuh melambaikan tangannya. Dengan cekatan ia meraih sebuah map dari dalam tasnya. "Kecil itu. Udah lo santai aja. Ini paket-paketnya. Atau lo mau pesen khusus? Budget berapa?"

Sena mengusap dagunya, berpikir sebentar. Kemudian menjawab, " Pesen khusus aja. Budget rata-rata. Estimasi sih, harusnya bisa diisi nasi uduk, ayam bakar, tahu bacem, capcay sayur, sambal goreng kentang, sama melon. Eh, sama kare sapi? "

Galuh mengerutkan kening. "Kare? Emang ini buat jam berapa?"

"Eung, agak maleman," Sena cengengesan. "Enaknya apa? Kasih yang budget sama kayak kare sapi, tapi."

"Kasih bistik aja yang nggak perlu banyak kuah," saran Galuh yang diangguki Sena dengan antusias. "Ini free kan? Bukan pesanan khusus? Bukan buat anak kecil?

"Iya, free kok. Oke, bistik sapi aja." Sena manggut-manggut, kemudian matanya menyusuri selembar kertas di depannya. "Nah ini, buat anak-anak kita pesen paket yang porsi kecil. Yang nasi, ayam kentucky KW sama sayur ini lho. Sayurnya keringan aja, soalnya kemungkinan acaranya selepas jam tujuh malem. Yang ini pesan seratus lima puluh."

Galuh mengangguk. "Snack?"

"Skotel...makaroni," jawab Sena mantap. "Pada suka snack yang satu itu. Dikasih minum sekalian, ya?"

"Oke. Ada prasmanannya nggak? Apa gue bikin boks aja nih?"

"Boks aja, ntar acaranya kayak pagelaran gitu."

"Deal. Kalau ada yang perlu diganti, ngasih tau guenya jangan dadakan." Galuh memberi peringatan. "Sibuk amat perumahan lo, Na. Perasaan baru kapan gitu lo pesen buat agustusan."

"Ya gimana, namanya juga perumahan, Luh--halo sayang! Lhoh, tidur?"

Galuh ikut menoleh ke pintu kala Sena beranjak dari hadapannya dengan bersemangat. Sakti berdiri dengan Agatha yang tertidur dalam gendongan hipseat-nya. Tampak pulas sekali dengan pipi menekan lucu di dada sang ayah. Sementara Sakti tampak santai dengan satu tangan memeluk Agatha, sedang yang satu lagi membawa plastik berukuran besar.

Semuanya tahu, jika ritual pertemuan mereka adalah sesuatu yang berpotensi membuat wajah siapapun memerah. Termasuk Galuh yang langsung mengalihkan pandangan ketika Sakti membungkuk untuk mencium singkat dahi Sena. Kebiasaan yang diketahui Galuh dan yang lain sejak mereka mulai bersama dulu sekali, dan berlangsung sampai sekarang.

"Seharian main. Tadi ketiduran waktu di jalan," jawab Sakti seraya menyapa Galuh dan Kanya, yang membuat Kanya kembali berani melirik mereka dengan decakan lirih.

Sena mengangguk paham, lalu mengambil alih plastik dari tangan Sakti dan meletakannya di depan Galuh. "Ini buat lemburan. Bang Salman baru libur. Mau lamaran katanya."

"Ya ampun, makasih banget!" seru Kanya keluar dari biliknya dan membuka plastik dengan tidak sabar. Matanya berbinar kala aroma nasi padang menguar di dalam ruangan.

Sena tergelak. Wanita itu meraih lengan Sakti agar membungkuk dan mencium pipi Agatha. "Sini gantian."

Sakti justru terkekeh kecil.

"Nanti saja, Na. Kasihan kalau kebangun. Seharian lari-lari terus," ucapnya sambil menyibak poni di dahi Agatha yang berkeringat.

"Jangan, nanti ganggu waktu nyetir."

"Nggak ganggu, kan dia anteng gini," katanya tersenyum dan kembali menatap Sena dengan pandangan yang selalu membuat Galuh merasa iri. "Pulang sekarang?"

Akhirnya Sena mengangguk juga kala dilihatnya Agatha tertidur begitu pulas. Wanita itu menoleh pada yang lain. "Jangan lupa Pak Danar dikasih. Data udah gue print semua, ada di meja. Gue pulang dulu. Dadaah semuanya!"

Farida yang baru muncul dari dapur terkekeh kala tiga orang itu menghilang dari pandangan.

"Lucu nggak sih, mereka itu? Jadi cepet-cepet pingin dihalalin. Nggak kerasa, ya? Perasaan baru kemarin Sena nikah. Agatha udah gede aja," katanya sebelum mengerang penuh kerinduan pada sebungkus nasi padang di meja Kanya.

Galuh hanya tersenyum singkat. Iya, tahu-tahu saja, Agatha sudah berusia satu setengah tahun.

Waktu memang berlalu dengan cepat. Tapi bagi Galuh, bukan tanpa terasa seperti yang Farida katakan. Baginya tiga tahun adalah waktu yang lama, dimana dia berusaha bangkit dari kenangan yang kadang mengganggu dengan sangat tidak tahu malu.

Galuh teringat bagaimana ekspresi bahagia Sena ketika Sakti dan Agatha muncul tadi. Dia ingat bagaimana ekspresi Sena ketika mencium pipi Agatha dengan sayang.

Jika dulu kecelakaan naas itu tidak terjadi, mungkin dia tidak merasa seiri ini. Mungkin Galuh juga akan menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang. Anaknya dan Agatha, mungkin akan jadi teman sepermainan. Anaknya akan menjadi pelipur lara atas rasa sakit yang diberi Galang.

Galuh tahu sekali, menyesali masa lalu bukanlah hal yang benar jika dia ingin bangkit. Tapi dia juga manusia, yang lebih senang memikirkan kata 'seandainya' dibanding kata 'kenyataannya'. Dia juga manusia yang terkadang berpikir bahwa menyerah pada rasa sakit lebih mudah dilakukan daripada berjuang melawannya.

Wanita itu kembali menghirup nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Sedikit memarahi diri sendiri karena pikirannya mendadak jadi tidak waras. Dia pernah hampir menyerah pada rasa sakit, tapi itu sama sekali tidak membantu. Dia pernah hampir putus asa, tapi dia mengingatkan diri bahwa dia masih punya Gandhi dan Harun untuk dijaga. Dia pernah hampir melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, tapi dia sadar bahwa dia tidak pantas menderita karena laki-laki yang sudah menyakitinya.

Dia pernah hampir gila dan bersiap untuk tidak lagi memperdulikan dunia. Sebelum ingat jika dia tidak lagi memperdulikan dunia, dia justru akan benar-benar gila.

Galuh kembali berkonsentrasi pada pekerjaan. Sedikit mendengus kala perutnya berbunyi pelan karena membaui aroma masakan padang dari bungkus makanan di depannya.

*TBC*

Nggak mengerikan kaan? 😚

Selamat pagi, semoga berbahagia 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro