9. Dalam Percikan
Berpenampilan menarik dan rapi, cowok itu jelas mampu menyita perhatian setiap mata yang memandang. Tidak bermaksud berlebihan, tapi memang begitulah adanya.
Dalam balutan pakaian tiga potong yang memiliki kesan cenderung formal bewarna hitam, cowok itu tampak menawan dan memikat dalam waktu yang bersamaan. Terlihat betapa ia memilih pakaian yang tepat untuk dikenakan. Tampak begitu padu dengan rambut lurusnya yang juga hitam. Pun dengan sepasang mata elang yang dinaungi oleh barisan alisnya yang tebal nan legam. Semuanya seolah mempertegas kesan tampan dan maskulin yang menguar dari tubuhnya.
Tentunya tak sampai di sana. Terlepas dari penampilannya yang mendukung, cowok itu pun memiliki fisik yang membuat mata para cewek yang ada di sana tak mampu berpaling. Dengan tubuh tinggi berkisar 188 sentimeter dan badan yang cenderung kekar, adalah hal yang cukup aneh sebenarnya ketika mata mendapati bagaimana sosok itu justru terlihat amat anggun saat berjalan. Ia ... jelas memiliki keanggunan khas yang hanya dimiliki oleh kaum adam.
Tentunya, cowok itu memiliki satu pesona yang seharusnya mampu meluluhkan setiap cewek mana pun. Yaitu, ketika ia tersenyum miring, selalu tampak kilat di matanya. Dan untuk hal itu, bagaimana bisa ada seorang cewek yang justru menghindarinya?
Tak ingin mengambil risiko, cowok itu memutuskan bertindak. Mempercepat langkah kakinya. Mengulurkan tangan demi menahan langkah itu untuk menjauh darinya. Seraya bertanya.
"Miss me?"
Suara itu, yang terkesan berat dan sedikit serak, membuat lutut Elzi seketika melemas. Seolah ingin meyakinkan cewek itu, bahwa cekalan di sikunya dan sosok yang ia lihat dengan mata kepalanya tadi, bukanlah imajinasinya saja. Alih-alih adalah satu kenyataan. Hal nyata yang seketika membuat ia gemetaran.
Menarik napas dalam-dalam, Elzi memejamkan matanya sejenak. Menguatkan diri dan memutuskan untuk berbalik. Menghadapi cowok itu dengan tatapannya yang menyorotkan rasa kesal. Satu rutukan muncul di benaknya.
Gimana bisa aku justru ketemu dia di sini sih?
Sementara itu, mendapati respon Elzi yang terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya, cowok itu justru menyeringai. Mungkin merasa senang karena mampu membuat Elzi memutuskan untuk melarikan diri darinya.
"Kamu emangnya mau ke mana? Ehm ... bukannya mau ngindarin aku kan?"
Sebisa mungkin, Elzi berusaha melepaskan sikunya dari cekalan itu. Tapi, bergeming. Hingga ia menukas dengan kesal.
"Kenapa kamu ada di sini sih, Ben? Kenapa akhir-akhir ini aku selalu aja ketemu sama kamu? Kamu ngikutin aku atau gimana?"
Mengubah seringainya menjadi kekehan samar, cowok yang tak lain adalah Ben itu, tampak bergerak. Menarik Elzi untuk semakin mendekat padanya, alih-alih membiarkan cewek itu berhasil melepaskan diri darinya. Dan tentu saja, hal tersebut mengundang perhatian teman-teman Elzi. Terutama Vara, Wita, dan Lia. Mata mereka seketika membola besar.
"Ngikutin kamu? Yang benar saja, Zi."
Elzi mendengkus. Walau ia tidak yakin, tetap saja ia merasa bahwa ia harus menanyakan hal tersebut. Karena bukannya apa, satu pemikiran buruk itu benar-benar melintas di benaknya.
Cukuplah Mario ya yang ngekorin aku ke mana-mana.
Nggak usah ditambah Ben juga.
Please, aku belum mau gila!
Mencoba agar emosinya tetap terkendali, Elzi memaksakan satu senyum yang tidak tulus sama sekali. Dengan diiringi oleh usahanya yang kesekian kalinya, demi melepaskan diri dari Ben.
"Oh, bagus deh kalau gitu," geram Elzi. "Soalnya aku beneran nggak mau ngeliat kamu, Ben."
"Aku juga gitu, Zi. Tapi, apa boleh buat?" Ben bertanya dengan ekspresi polos di wajahnya. "Kalau memang takdir yang berkehendak untuk mempertemukan kita, kita bisa apa coba?"
Elzi melongo. Entah mengapa, sekarang perutnya terasa mual. Dan di saat itu, Ben mengambil kesempatan. Untuk melongok ke dalam restoran.
"Sebenarnya aku ada janji temu dengan seseorang di dalam."
Longoan Elzi menghilang seketika. Tergantikan senyum dengan secercah harapan.
Itu artinya urusan aku dengan cowok gila ini nggak bakal berlangsung lama.
Bagus deh!
Namun, sejurus kemudian ucapan yang meluncur dari mulut Ben membuat Elzi ingin merontokkan semua giginya!
"Tapi, kayaknya aku harus ngebatalin janji itu," ujar Ben seraya menyeringai tatkala melihat perubahan warna wajah Elzi. "Di sini aku punya hal yang lebih penting lagi."
Setelah mengatakan itu, Ben tampak mengedarkan pandangannya. Hanya untuk menyadari bahwa sedari tadi ada beberapa pasang mata yang melihat ke arah mereka. Tertarik dengan apa yang terjadi antara dirinya dan juga Elzi.
"Maaf, aku pinjam Elzi sebentar."
Hanya mengatakan itu, Ben kemudian menarik Elzi. Mengajaknya untuk menepi ke sisi restoran yang lebih sepi.
"Kamu mau apa lagi sih, Ben?!" sentak Elzi sambil berusaha melepaskan tangannya sekuat tenaga. Dan entah karena cewek itu yang berupaya lebih kuat atau memang Ben yang tidak berniat menahannya lagi, yang pasti adalah Elzi berhasil mengenyahkan cekalan Ben di sikunya.
Elzi meraba sikunya. Sedikit merasa sakit di sana. Dan ketika ia sibuk meredakan nyeri itu, ia justru mendapati bagaimana Ben yang mengamati penampilannya. Dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Hal yang sontak membuat cewek itu salah tingkah. Hingga tanpa sadar, kedua tangan Elzi bergerak. Meraba rok selutut yang ia kenakan. Refleks saja menarik tepiannya untuk lebih turun lagi.
Melihat itu, senyum sinis terbit di bibir Ben. "Apa lagi yang kamu coba tutupi dari aku, Zi?" tanyanya geli. "Aku yakin aku udah ngeliat semua. Bahkan lebih dari itu."
Wajah Elzi memanas. Mendorong ia mendengkus kesal. "Kamu nggak bisa berenti ngebahas soal itu? Ya Tuhan. Please deh ya. Kita udah nggak ada urusan apa-apa lagi, Ben."
"Ada."
Mengiba, Elzi tak percaya kalau secepat itu Ben mematahkan kata-katanya. Ajaibnya, hanya dengan satu kata.
"Tapi, aku udah ngelupainnya, Ben. Dan aku mohon. Sekarang aku tuh cuma nggak mau ketemu kamu lagi."
"Wow!" Ben terkesiap. Lalu ia tergelak. "Hahahaha. Aku bukan ngebahas soal itu, Manis."
Respon yang tentu saja membuat Elzi merasa perutnya bergejolak. Seperti ada sepuluh tangan yang sedang mengucek pakaian di dalam sana. Membuat ia berpikir bahwa mungkin dalam waktu dekat, steak yang sudah ia makan akan segera keluar lagi.
"Terus apa? Kalau bukan soal itu, apa lagi yang ngebuat kamu mendadak selalu muncul di depan aku?!"
Ben tersenyum mendapati sepercik emosi sudah menyala di sorot mata Elzi. "Kayak yang aku omong kapan hari, aku udah nggak berminat lagi untuk nikahi kamu."
"Eh?" delik Elzi. "Kamu lupa? Kapan hari kamu masih nge-chat aku. Nanya aku mau nikah sama kamu atau nggak. Dan itu yang kamu bilang kamu nggak minat lagi?"
Menuntaskan rentetan pertanyaan itu dalam satu tarikan napas, Elzi mendengkus. Dalam hati ia mengumpat.
Sialan ini cowok.
Minat nggak minat?
Dia kira aku semacam barang cuci gudang atau gimana sih?
"Well ...."
Ben tampak mendehem pelan, sekali. Seraya membawa satu ujung jari telunjuknya untuk menggaruk pelipisnya.
"Itu kamu bisa anggap sebagai manner cowok yang seharusnya. Sekadar memastikan untuk yang terakhir kali. Aku ngasih tiga kali kesempatan dan kamu nolak. Jadi, jangan salahkan aku untuk apa pun yang mungkin terjadi ke depannya."
Cemberut, Elzi merutuk. "Tiga kali tiga kali. Kamu manusia atau Om Jin?"
Ben terkekeh geli. "Pada intinya ...," lanjutnya kemudian. "Malam itu walau nggak mungkin bakal aku lupakan, tapi bukan berarti bakal menghentikan perjalanan kehidupan aku."
Untuk yang kali ini, Elzi terpaksa mengangguk. Lantaran setuju dengan keputusan cowok itu.
"Jadi, sekarang apa lagi? Kayak yang kamu bilang kan? Kamu udah nggak minat lagi."
Asem dah!
Bisa-bisanya dia ngomong aku seolah aku ini kayak barang aja!
Mengabaikan kekesalan yang tercetak jelas di wajah Elzi, Ben menyentuh pipi cewek itu. Dengan ujung jarinya. Dalam sentuhan sama yang membuat Elzi tersentak.
"Aku cuma penasaran."
Dahi Elzi mengerut. "Penasaran?"
Ben mengangguk. "Kok bisa kamu segitunya nggak mau nikah sama aku? Itu benar-benar di luar nalar aku."
"Oh, Tuhan."
Bola mata Elzi berputar dengan dramatis. Benar-benar tidak percaya bahwa itu adalah alasan Ben selama ini masih terus berusaha menghubunginya. Ada harga diri cowok yang merasa direndahkan di sini!
Sialan!
"Aku sampe mikir, sehebat apa sih tunangan kamu sampe kamu nolak aku bahkan tanpa mikir lagi?"
Mata Elzi kembali fokus. Mengoreksi ucapan itu. "Mantan tunangan."
Tampak kilat di mata Ben. Lalu ia meralat pertanyaannya. "Sehebat apa sih mantan tunangan kamu sampe kamu nolak aku bahkan tanpa mikir lagi? Ehm ... kurang tampan? Kurang mapan? Atau ... tunggu. Kamu harus tau, Zi. Kerjaan aku bukan penjual produk gadungan."
Tak langsung merespon perkataan Ben yang satu itu, Elzi justru memilih diam. Dalam usaha menahan diri agar tidak mengeluarkan berbagai umpatan yang sudah mengantre di ujung lidahnya. Tepat ketika ia mendapati bagaimana Ben yang tampak pongah menyombongkan dirinya. Yang sebenarnya ... Elzi tau itu.
Berkat kesal terhadap Ben dan untuk membuktikan apakah ia memang bekerja sebagai sales produk gadungan atau tidak, Elzi pun menyempatkan diri untuk bertanya pada teman-temannya. Dan hasilnya memang mengejutkan untuk dirinya. Walau Elzi menyadari bahwa itu tidak terlalu mengejutkan untuk seorang Ben Yogaswara.
Cowok itu menyelesaikan dua jenjang perkuliahannya di Amerika. Berbekal gelar master dari Harvard University, juga pengalaman magang dan kerja di sana sekitar 2 setengah tahun, tak heran bila pulang ke Indonesia portfolio serta rekomendasi langsung dari luar sana membuat Ben segera mendapat tempat yang istimewa di PT. Nusantara Internasional.
Elzi tak banyak mendengar tentang perusahaan itu. Sekadar tau bahwa itu adalah perusahaan yang berpusat dalam perakitan dan pengembangan software. Walau Elzi tak yakin posisi apa yang Ben pegang di sana, tapi sekilas ketika ia mendengar bagaimana teman-teman mereka berbicara mengenai Ben seraya ber-'oh ya ampun Ben memang luar biasa', Elzi bisa menebak bahwa posisi Ben setidaknya bukan office boy.
Cuma ya ... cuma.
Mau sepenting apa pun posisi dia, itu beneran nggak ngaruh di mata aku.
Kerjaannya mungkin emang keren, tapi sifatnya pasti nggak berubah dari dulu.
Adalah pertanyaan Ben yang kemudian menggugah Elzi dari lamunan yang tanpa sadar mencengkeram kesadarannya. Karena jelas, sepertinya cowok itu menunggu respon Elzi.
"Terus kenapa?"
Membuang pandangannya ke arah lain, Elzi mengembuskan napas panjang. Tak berniat melihat mata Ben ketika ia mencoba menjawab pertanyaan itu. Pun berusaha agar tidak ada getar di suara yang ia keluarkan.
"Karena semuanya bakal tetap sama. Nggak bakal beda. Dan aku milih untuk nggak pernah jatuh ke lubang yang sama sebanyak dua kali," uar Elzi seraya menggeleng. Lalu ia meralat perkataannya sendiri. "Sorry, tiga kali maksud aku."
Jemari Ben yang sedari tadi masih berselancar di wajah Elzi, seketika berhenti. Dan itu membuat seringai miris tersungging tipis di bibir Elzi. Menyadari dengan pasti bahwa jawabannya cukup menampar cowok itu. Bahkan Ben terdengar menghela napas berat.
Ayo, Ben.
Minta maaf sekarang.
Aku udah nunggu berapa tahun coba?
Hanya saja, seperti yang Elzi duga sebelumnya. Tidak ada kata maaf yang Ben ucapkan. Yang ada justru sebaliknya. Satu tarikan kuat yang mendadak saja merengkuh pinggangnya. Membuat Elzi terlonjak kaget dan dengan sigap langsung mengangkat kedua tangannya. Menahan dada Ben agar mereka tidak menempel lebih dekat lagi. Sementara itu, kedua tangan Ben ternyata telah sukses memerangkap tubuh Elzi di dalam pelukannya.
Mata Elzi mendelik. Menatap dengan marah. "Lepasin aku, Ben. Lepasin," desisnya. "Kamu jangan pernah ngira kalau aku sama kayak bocah SMA dulu. Yang muja kamu ke mana-mana, tapi justru kamu campakkan!"
Ben membalas tatapan Elzi. "Benarkah?"
Mengatupkan mulutnya rapat-rapat, Elzi berontak. Berusaha untuk melepaskan diri dan menjauhkan wajahnya dari Ben. Karena sedetik setelah pertanyaan tak berarti itu meluncur dari bibirnya, Ben segera menundukkan wajahnya.
Elzi menggeram. Memejamkan mata. Layaknya ia yang tidak ingin melihat kenyataan yang akan terjadi sebentar lagi. Dan pada saat itu, ketika napas Ben sudah menyapu kulit wajah Elzi, mendadak saja terdengar satu teriakan kemarahan.
"Apa yang kamu lakukan dengan tunangan aku, Bajingan?!"
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro