7. Percikan Kekacauan
"Lagi ada masalah?"
Satu pertanyaan itu menghampiri indra pendengaran Elzi. Berhasil menarik perhatiannya di antara keriuhan yang tercipta kala jam istirahat kantor tiba, tepatnya di saat mereka berada di kafetaria.
Mengangkat wajahnya, Elzi mendapati Vara menaruh nampan makanannya. Di meja yang sama dengan yang ia, Wita, dan Lia tempati. Duduk mengisi kursi keempat di sana dan bersiap untuk menikmati makan siang.
Acuh tak acuh, Elzi hanya mengembuskan napas panjang sebagai responnya untuk pertanyaan itu. Yang tentu saja membuat ketiga orang rekan kerjanya mengerutkan dahi, dengan kompak.
Mengulurkan tangan, meraih mangkuk sambal, Vara kembali bertanya.
"Kenapa kamu? Nggak biasanya kamu ada masalah? Ehm ... coba aku tebak. Kartu kredit kamu udah limit? Ketinggalan PO sepatu? Atau kurir telat ngantar tas baru kamu?"
Mendengar rentetan pertanyaan itu, tentu saja Wita dan Lia tergelak. Hingga Vara tersenyum santai, tampak enteng sekali seraya mengangkat kedua bahunya.
"Ya iyalah. Untuk ukuran Elzi, masalahnya ya pasti di sekitaran itu doang. Hehehehe."
Namun, Elzi tak memberikan komentar apa pun untuk gurauan ketiga orang temannya itu. Hingga gelak tawa yang semula menyelip di antara keriuhan kafetaria, sontak terhenti seketika. Tergantikan oleh wajah serius tiga orang wanita itu.
"Eh? Kamu beneran lagi ada masalah, Zi?"
"Be-be-bentar deh. Kalau aku perhatiin, wajah kamu kok keliatan suntuk banget."
"Bener. Kayak orang yang kurang tidur."
"Ehm ... atau kamu emang kurang tidur?"
"Lagi ada masalah apa sih sampe ngebuat kamu nggak bisa tidur?"
Dan entah apa saja yang silih berganti dikatakan oleh Vara, Wita, dan Lia. Mereka seperti memiliki argumen dan rasa penasaran masing-masing yang memang harus dikeluarkan. Tapi, kala itu Elzi benar-benar tidak dalam keadaan yang bisa untuk menghadapi keriuhan mereka bertiga. Nyaris merasa kepalanya akan pecah bila ketiga orang temannya itu masih lanjut bertanya dan menduga ke mana-mana. Hingga pada akhirnya, tanpa sadar Vara menyeletuk. Dengan ekspresi menggoda di wajahnya.
"Ah, aku tau. Ini kayaknya Elzi nggak bisa tidur semalaman gara-gara kangen sama Mario. Hihihihi. Maklum, orang lagi kasmaran. Udah nggak sabar pengen kawin."
Wita tergelak. "Hush! Pengen nikah."
"Hahahaha. Kalau aku mah pengen kawinnya."
"Nikah dulu," ralat Lia geli. "Terus malamnya baru deh kawin."
Pada saat itu, ketika Vara, Wita, dan juga Lia tampak begitu lepas lantaran perkara menikah dan kawin, mendadak saja Elzi bicara. Pelan, nyaris saja tertelan oleh suara yang lainnya. Dan mungkin lantaran itulah mengapa sedetik kemudian ketiga orang cewek itu melongo. Tepat setelah Elzi berkata.
"Aku dan Mario udah nggak ada apa-apa lagi. Pertunangan kami batal."
Sedetik ....
Dua detik ....
Tiga detik ....
Vara, Wita, dan Lia sama diam. Kompak seperti menunggu seraya menghitung di dalam hati. Dalam dugaan bahwa dalam waktu dekat, akan ada ekspresi geli di wajah Elzi. Tapi, tak ada.
Hilang sudah tawa dan canda. Semua tergantikan oleh kesiap terkejut dan syok. Tampak tak percaya.
"A-a-apa kamu bilang?" tanya Lia seraya menyisihkan piring ketopraknya yang sudah kosong. "Pertunangan kamu dan Mario batal?"
Wita pun tak kalah syoknya. "Ba-batal gimana maksud kamu? Kamu jangan ngadi-ngadi deh, Zi. Pamalik ngomong gitu."
"Bener kata Wita. Kalau lagi ada masalah, jangan sampe ngomong sembarangan. Ntar jadi kenyataan baru tau rasa," imbuh Vara.
Tidak mengangkat wajahnya dari mangkuk soto yang saat itu tidak ia nikmati, Elzi terdengar mengembuskan napas panjang. Seperti orang yang teramat lelah setelah bekerja tiada henti. Dengan tangannya yang memegang sendok, ia mengaduk-aduk kuah di sana. Bergeming.
"Aku nggak bohong," kata Elzi lagi. "Aku dan Mario emang udah nggak ada apa-apa lagi. Pertunangan kami batal dan kami nggak bakal nikah."
Perkataan tanpa ada kesan geli atau main-main di sana, sontak membuat ketiga orang teman Elzi itu menjadi saling pandang. Tanpa suara, mereka seperti tengah berbicara melalui sorot mata. Hingga mereka mengerutkan dahi, mengangkat bahu, dan geleng-geleng kepala. Ajaib sekali, mereka bahkan mengerti bahasa tanpa suara.
Selang beberapa menit kemudian, percakapan aneh di antara Vara, Wita, dan Lia berhasil menarik satu kesimpulan. Bahwa mereka harus tau tentang apa yang terjadi. Karena ya ampun. Mereka semua tau bagaimana langgeng dan mesranya hubungan Elzi dan Mario selama ini. Keduanya bahkan sempat mereka nobatkan sebagai pasangan idaman abad ini. Karena tidak pernah bertengkar dan selalu mengutamakan kepentingan pasangan, alih-alih keinginan pribadi. Mereka tidak pernah egois. Maka tentu saja menjadi hal yang sangat aneh bagi mereka bila mendapati berita itu.
Pertunangan batal? Astaga. Separah apa masalah yang terjadi hingga tidak ada jalan keluar untuk mereka berdua?
Vara mengulurkan tangannya, meraih Elzi. Sontak membuat cewek itu mengangkat wajahnya dan melihat ke arahnya.
"Serius?" tanya Vara demi meyakinkan. "Kamu nggak lagi becanda?"
Mata Elzi berkedip sekali untuk kemudian barulah ia menggeleng dengan raut lelah di wajahnya. "Aku benar-benar serius."
Ketika Elzi menjawab pertanyaan itu, ia tau bahwa rasa penasaran temannya tidak cukup sampai di sana. Karena selanjutnya ada pertanyaan tambahan yang mengikutinya. Tentu saja. Bagian terpenting dari terjadinya kerusakan hubungan. Yaitu, penyebab.
"Kenapa bisa? Astaga. Kamu dan Mario kan saling cinta, Zi. Kok bisa sih pertunangan kalian batal?"
Namun, untuk pertanyaan yang satu itu, Elzi sendiri sudah bertekad untuk tidak akan memberitahukannya pada siapa pun. Ia akan menjaga itu untuk dirinya sendiri. Hingga ketiga orang temannya harus kecewa lantaran Elzi yang kembali menggeleng.
"Sorry," ujar Elzi pelan. "Tapi, aku beneran nggak bisa cerita."
Paham, ketiga orang temannya mengangguk. Sama menyadari bahwa ada hal-hal yang memang tidak bisa diungkapkan pada orang lain. Dan memang, terkadang ada masalah yang lebih baik bila tidak disebarluaskan ke mana-mana.
Maka dari itulah mengapa semenit kemudian, Vara kembali meraih sendoknya. Mulai menikmati nasi gorengnya seraya melayangkan pertanyaan pada teman-temannya. Memindahkan topik.
"By the way, kalian udah pada tau? Kalau Pak Indra bakal dipindahtugaskan?"
Wita dan Lia yang semula ingin melanjutkan makannya, mendadak saja melongo. Dengan ekspresi syok di wajahnya. Dan pertanyaan itu, ternyata sukses pula menarik perhatian Elzi.
"Pindah?"
"Kenapa?"
"Kapan?"
Bola mata Vara berputar sekali. Lalu, ia terkekeh. Hingga membuat gemas Wita dan Lia.
"Jadi," kata Vara memulai ceritanya. "Kapan hari aku nggak sengaja dengar pas lagi main ke Kepegawaian. Mereka pada ngomong kalau Pak Indra bakal pindah ke cabang ...." Suara Vara terdengar ragu. "Atau ke mana gitu. Intinya ya gitu deh. Pak Indra bakal pindah. Ada kebocoran sistem atau gimana." tangan Vara melambai sekali. "Itu sih yang aku denger."
"Aaah ...."
Di luar perkiraan, ternyata justru Elzi yang pertama kali bereaksi terhadap berita itu. Membuat mereka bertiga kompak menoleh pada cewek itu, yang tampak menggerutu.
"Ternyata ... Ini cobaan aku selanjutnya. Pak Indra bakalan pindah. Padahal semua orang tau kalau dia itu atasan yang paling baik sedunia."
Mata Vara, Wita, dan Lia saling tatap. Lalu mengerjap. Tampak kaget dengan kenyataan bahwa Elzi yang terlihat lesu ternyata cukup mampu memiliki tenaga untuk mengomentari berita itu.
Vara mendehem. "Tenang tenang. Aku yakin kok. Kalau pun Pak Indra pindah, ntar kita pasti dapat pengganti yang lebih baik lagi. Kan rumus Tuhan selalu gitu?" Ia tersenyum. "Mengganti sesuatu dengan yang lebih baik."
Wita dan Lia tergelak. Lalu berpaling pada Elzi.
"Jadi, kamu nggak perlu sedih, Zi," kata Lia kemudian. "Ntar kamu bakal dapat pengganti Mario."
Wita mengangguk. "Yang lebih baik dari dia."
Tidak menanggapi hal itu, Elzi justru meragukan kalau dirinya bisa mendapatkan cowok lain. Bukan karena Elzi merasa rendah diri atau apa, melainkan karena satu pemikiran di benaknya.
Mario yang aku percaya aja gitu, apa lagi yang lain?
Dan jujur saja, seumur hidup, Elzi tidak pernah menyangka bahwa Mario bisa melakukan hal seperti itu pada dirinya.
Astaga.
Nggak usah bandingin Mario dan Ben deh.
Mereka beda banget.
Jauh banget malah bedanya.
Ya kalau Ben sih aku nggak heran, tapi Mario?
Sungguh. Kalau mengingat kembali peristiwa itu. Di mana Mario menatap dirinya dengan sorot yang mengerikan, Elzi tidak akan pernah menyangka bahwa cowok itulah yang ia harapkan untuk menjadi suaminya. Hingga mau tak mau, ia pun lantas teringat akan perkataan Ben malam itu.
"Terlepas dari kecelakaan kita, well ... itu pure kecelakaan. Kita berdua dalam keadaan nggak sadar. Nggak bisa mikir. Sedangkan yang tadi? Wah wah wah. Serius kamu mau nikah sama cowok yang bahkan nggak bisa nahan gairahnya di saat otaknya masih waras?"
Elzi sudah mewanti-wanti dirinya untuk tidak mendengarkan perkataan Ben. Tapi, untuk yang kali ini, berat rasanya. Sepertinya Elzi memang sependapat dengan Ben.
Dengan Ben, itu kecelakaan.
Dengan Mario, itu kesengajaan.
Dua hal yang jelas berbeda sekali.
Lantas, Elzi yang saat itu tengah memainkan jari-jari tangannya di papan ketik komputernya, terhenyak. Dengan mata melotot lantaran menyadari satu hal.
Kan!
Dia emang kayak tukang hipnotis!
Elzi merutuk di dalam hati lantaran menyadari bahwa yang sedang ia pikirkan saat ini persis sekali dengan apa yang Ben katakan malam itu.
Emang.
Ben kayaknya ada bakat jadi tukang jual obat gadungan!
Berusaha untuk tetap fokus dengan pekerjaannya, nyatanya Elzi berhasil juga mencapai jam pulang kantor dengan selamat sentosa. Hal yang sempat ia ragukan sebenarnya, mengingat betapa lelahnya hati dan tubuhnya. Dan jujur saja, berulang kali ia berpikir untuk mengambil cuti dadakan sepanjang hari ini. Beralasan sakit, misalnya.
Keluar dari ruang kerjanya bersama dengan para temannya, Elzi nyaris tidak mengatakan apa-apa. Selain fakta bahwa ia menunggu Razen mengiriminya pesan. Tapi, alangkah kagetnya Elzi. Ketika ia keluar dari pintu kantor, bukanlah sang adik yang ia dapati. Alih-alih adalah Mario yang telah berdiri menunggunya.
Kehadiran Mario seketika membuat Elzi memucat. Sementara itu, ketiga orang temannya justru mengulum senyum. Justru berpikir bahwa akan ada kejadian manis nan romantis yang akan terjadi. Seputar usaha untuk memperbaiki hubungan yang katanya telah batal itu.
Elzi mengabaikan kikik godaan para temannya. Ketimbang mengurusi hal itu, ia justru mengkhawatirkan yang lainnya. Yaitu, Razen.
"Elzi ...."
Mario datang, menghampiri Elzi, dan tanpa aba-aba langsung berusaha meraih tangan itu. Dan tentu saja, Elzi dengan segera berusaha menarik lepas tangannya. Mata cewek itu membulat.
"Kamu ngapain ke sini, Rio?" tanya Elzi panik.
Berusaha mempertahankan genggamannya, Mario menjawab. "Aku minta maaf, Sayang. Please, maafin aku."
Sontak, perkataan itu membuat mata Elzi memejam dengan dramatis. Tapi, ketika manik itu menatap pada Mario, ia hanya menemukan kehampaan. Ketidakberdayaan. Seolah Elzi tidak mampu melakukan apa-apa lagi untuk semua yang telah terjadi.
"Aku udah maafin kamu, Rio," ujar Elzi. "Aku udah maafin kamu. Tapi, bukan berarti aku mau hubungan kita tetap dilanjutkan."
Wajah Mario yang semula sempat bewarna ketika mendengar penerimaan maaf Elzi, seketika berubah kembali ketika mendengar kalimat yang selanjutnya. Ia membeku. Terdiam sejenak. Tidak percaya.
"Elzi, kamu beneran marah sama aku? Segitu fatalnya kesalahan aku sampe kamu nggak mau melanjutkan hubungan kita lagi?"
Menarik napas dalam-dalam, Elzi merasakan ada irisan-irisan perih yang menghantam rongga paru-parunya. Lalu berucap dengan lirih.
"Kamu nggak tau kan gimana perasaan aku waktu itu? Ketakutan aku? Gimana aku yang mikir kalau aku bakal mati?"
Mario syok. Tidak mengira bahwa Elzi akan mengatakan hal itu. Hingga membuat ia tak bisa bersuara lagi.
Dan di saat itu, ketika Mario berusaha untuk tidak menundukkan wajahnya di depan Elzi, mendadak terdengar satu geraman. Menyiratkan emosi, seiring dengan melepasnya tangan Mario dari pergelangan tangan Elzi.
Elzi melotot. Menatap ngeri pada Razen yang tiba-tiba saja muncul.
"Ngapain lagi kamu ke sini, Rio? Nggak cukup peringatan aku kemaren?"
Elzi tau. Keributan bisa saja terjadi. Maka dari itu, dengan cepat ia bertindak. Menahan dada Razen dengan kedua tangannya.
"Zen, kamu udah sampe? Kita balik sekarang yuk."
Namun, sepertinya tidak semudah itu. Karena Mario pun lantas berkata.
"Zi, urusan kita belum selesai."
Elzi mendelik seraya tetap menahan Razen. "Udah, Rio. Semua yang terjadi di antara kita udah selesai."
Tidak ingin mengambil risiko, setelah mengatakan itu, Elzi pun langsung mendorong dada Razen. Mengajaknya untuk segera pergi dari sana. Mencegah agar tidak ada keributan yang meledak.
Razen mendengkus marah. Memukul kemudi. Tepat ketika pada akhirnya mobil yang ia lajukan sudah membaur di jalanan. Hingga membuat Elzi terlonjak kaget karenanya.
"Ya Tuhan," desis Razen seraya berpaling. "Maaf, Mbak. Aku bukannya marah ke Mbak. Tapi ...." Razen menggantung ucapannya. Lalu ia mengumpat. "Dasar, Mario bajingan. Setelah kejadian itu, dia masih ada muka untuk menemui Mbak?"
Hal yang sama yang tentu saja melintas di benak Elzi. Ia tidak mengira bahwa Mario akan tetap berusaha menemui dirinya. Dan tentu saja, tadi itu ia beruntung karena ada Razen yang datang. Kalau tidak? Elzi tidak tau entah apa yang akan terjadi padanya nanti.
Razen menggeleng. "Ini nggak bisa dibiarin. Mario pasti masih tetap nekat buat nemui Mbak."
"Zen ...."
Elzi memanggil adiknya itu dengan lembut. Pun memegang tangannya yang bebas. Demi mendapatkan perhatian Razen sejenak.
"Kamu nggak perlu khawatir," ujar Elzi kemudian. "Aku yakin kok. Dia bakalan capek juga lama-lama."
"Tapi, tetap aja, Mbak," ringis Razen. "Aku nggak tenang kalau dia masih berada di sekitaran Mbak. Aku nggak mau dia ngapa-ngapain Mbak." Lalu, Razen melirik. Sekilas. "Atau ... Mbak masih mau ngelanjutin pertunangan Mbak sama dia?"
Pertanyaan itu menerbitkan embusan panjang napas Elzi. Ia tampak mengangkat kedua bahunya lemas.
"Aku nggak tau, Zen. Akhir-akhir ini banyak banget yang buat aku pusing."
Sejenak, Razen terdiam. Hingga kemudian, ketika laju mobilnya terpaksa terjeda lantaran lampu lalu lintas yang berubah merah, cowok itu tampak meraih tangan Elzi. Meremasnya pelan.
"Aku pikir aku harus nyari cowok baru untuk Mbak," ujar Razen dengan wajah serius. "Aku yakin, itu adalah satu-satunya cara untuk ngebuat dia nyerah."
Sebenarnya, Elzi sedang tidak ingin tertawa. Tapi, sungguh. Wajah serius dan perkataan Razen sontak membuat ia tak mampu menahan gelinya.
"Zen, aku itu baru gagal tunangan. Masuk akal kalau aku langsng nyari cowok baru? Lagian ... ini bukan kayak kamu yang nganggap aku susah jodoh kan?"
Razen menggeleng. "Bukan susah jodoh, Mbak. Aku cuma nggak mau kalau Mario datang lagi. Aku yang nggak rela kalau dia sampe nikahi Mbak. Aku nggak bakal ikhlas lahir batin."
Kali ini, perkataan Razen membuat tawa Elzi menghilang. Tergantikan oleh senyum samarnya. Yang mendorong ia untuk menarik lepas tangannya dari genggaman sang adik. Agar dirinya bisa mengusap rambutnya yang hitam.
"Kalau aku pikir-pikir, ntar cewek yang jadi pasangan kamu pasti beruntung banget."
Entah atas dasar apa, tapi Elzi mengatakan itu dengan tulus. Yang justru disambut oleh cengiran malu Razen. Tapi, ia lantas justru tertawa.
"Itu udah jadi bakat alam sih. Mau gimana lagi?"
Dan Elzi, sontak turut tertawa pula. Hingga ketika mobil kembali melaju, tanpa sadar, ketegangan dan ketakutan yang sempat menghampiri dirinya kembali, menghilang. Tergantikan oleh gurauan yang mewarnai di sisa perjalanan pulang itu.
Sesampainya di rumah, Elzi mendapati kenyataan bahwa nanti malam kedua orang tuanya akan pergi ke rumah keluarga Mario. Elzi hanya tersenyum seolah ia baik-baik saja dengan keputusan itu. Mereka mengatakan bahwa semakin cepat diputuskan akan semakin lebih baik. Karena kedua orang tua Elzi pun tidak bisa menerima perbuatan Mario.
Merebahkan tubuhnya perlahan di atas kasur empuk itu, Elzi lantas menyadari sesuatu. Yaitu, potret Mario di nakasnya sudah tidak ada lagi. Dan ia tidak akan heran.
Pasti Razen yang udah ngebersihin kamar aku dari sisa-sisa peninggalan Mario.
Sedikit, Elzi merasakan sesal di hatinya. Seandainya malam itu tidak ada, mungkin saat ini ia dan Mario masih bersama. Jujur saja, malam itu sangat menakutkan bagi Elzi. Wanita itu bahkan sempat mengira bahwa ia bukanlah Mario yang dirinya kenal. Ia benar-benar tampak berbeda. Hingga membuat ia sadar bahwa selama apa pun mereka bersama, Elzi tidak benar-benar mengenalnya.
Sekarang, sedikit banyak Elzi menyadari bahwa keputusannya untuk tidak melanjutkan hubungan dengan Mario adalah hal yang tepat. Benar apa yang Razen katakan, ia tidak bisa menikahi cowok seperti itu. Setidaknya, Mario harus bisa menerima penolakan Elzi malam itu kan? Alih-alih justru memaksakan kehendaknya. Karena bagaimanapun juga, ada hubungan atau pun tidak, hubungan seksual tetap harus terjadi dengan kemauan kedua belah pihak.
Membiarkan pikirannya untuk berkelana selama beberapa saat, adalah getar di tas kerjanya yang membuat ia tersadar kembali. Hal yang membuat ia teringat bahwa selama perjalanan pulang tadi, ponselnya selalu bergetar. Dan ia mengabaikannya. Mengira bahwa itu adalah teman-temannya yang penasaran di grup Whatsapp kantor. Ingin mengetahui apa yang yang terjadi pada dirinya dan Mario tadi sore.
Dan sejurus kemudian, ketika getaran itu berhenti untuk ke sekian kalinya, Elzi pun tergerak untuk melihatnya. Lantas ia menyadari bahwa keriuhan getar ponselnya itu bukanlah berasal dari grup kantor.
Elzi terkesiap. Mata membelalak. Dan benar-benar tidak percaya ketika melihat apa yang terpampang di layar ponselnya.
"Enam puluh empat panggilan tak terjawab dan delapan belas chat?"
Ngeri, Elzi segera membukanya. Menemukan ada dua nama di sana, yaitu Mario dan Razen. Ditambah satu nomor asing yang tentu saja tidak asing lagi di ingatan Elzi.
Tiga orang cowok yang memenuhi ponselnya. Meneleponnya berulang kali dan mengiriminya pesan tiada henti. Hingga menimbulkan rasa syok di benak Elzi. Membuat tubuh cewek itu seketika jatuh lunglai. Kembali berbaring di atas kasur. Dengan pikiran mengerikan bahwa saat ini ia seperti terperangkap oleh tiga orang cowok.
Razen? Oh, Elzi tidak heran sama sekali kalau adiknya itu menjadi protektif pada dirinya. Pasti cowok itu sibuk menelepon dan mengiriminya pesan ketika Elzi tadi terlambat keluar dari kantor lantaran ditahan Mario.
Tapi, ada apa dengan Ben dan Mario?
Kenapa mereka masih ngebuat hidup aku rusuh sih?
Dan ketika ia, entah bagaimana ceritanya, mendadak saja Elzi teringat akan sesuatu yang penting. Yang membuat ia menepuk dahi dan merutuk.
Astaga!
Kayaknya aku lupa sedekah kayak janji aku kemaren deh!
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro