3. Masalah Demi Masalah
Mengira bahwa bertemu dengan Ben bisa menjernihkan masalah yang ada, tentulah satu-satunya alasan mengapa Elzi menerima ajakan cowok itu. Tapi, sepertinya Elzi kecele. Karena alih-alih menyelesaikan masalah, yang terjadi justru sebaliknya. Hanya memberikan Elzi satu keyakinan baru.
Kayaknya aku lupa sesuatu deh ya.
Nyelesaikan masalah dengan Ben itu bukan nyelesaikan masalah.
Yang ada justru menimbulkan masalah yang baru.
Harusnya aku ingat!
Semua masalah yang melibatkan itu cowok nggak bakal selesai sebelum peradaban di Bumi ini tergantikan oleh pasukan robot!
Dengan Ben, selalu menjadi nyelesaikan masalah dengan masalah.
Menepuk dahinya sekilas, demi menyalurkan rasa kesal yang mendera dirinya sepanjang perjalanan pulang sore itu, Elzi lantas turun dari mobil. Masuk ke rumah sembari menyadari kekeliruan yang sudah ia lakukan hari ini.
Ya ampun, Zi.
Kenapa sih kamu nggak bisa belajar dari masa lalu?
Jangan berharap dengan Ben.
Cuma Ben satu-satunya hal di dunia ini yang nggak bakal bisa diubah waktu.
Entah mau selama apa pun itu.
Dan mungkin akan banyak rutukan lainnya yang menggema di benak Elzi, andaikan satu suara itu tidak menyapa indra pendengarannya. Hal yang lantas membuat langkah kakinya terhenti tepat sebelum ia menaiki tangga.
"Mbak, kok keliatan suntuk banget? Lagi ada masalah?"
Elzi menoleh. Melihat ke sumber suara dan mendapati ada adiknya yang sedang memegang stik dengan kedua tangannya, Razen.
Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Elzi justru mengembuskan napas panjang. Lagi-lagi, benaknya merutuk.
Harus ya aku langsung berhadapan dengan spesies yang paling suka ngomong pas baru balik kerja?
Udahlah pusing dengan urusan Ben, capek abis macet-macetan, eh sekarang malah ada Razen?
Oh, Tuhan.
Kenapa cobaan ini makin nambah?
Atau ... jangan-jangan, sebentar lagi aku bakal dapat cobaan lainnya?
Hiks.
Bingung, mengerutkan dahi ketika ia tak langsung mendapati jawaban dari sang kakak, Razen pun kembali bertanya.
"Mbak belum dipecat kan ya? Atau ..."
Wajah Razen tampak syok. Stik pun terlepas dari tangannya ketika ia menangkup kedua pipinya, menampilkan ekspresi iba yang terlihat begitu dibuat-buat.
"... baru aja dipecat? Ya Tuhan. Aku turut berduka cita, Mbak."
Menghela napas panjang, Elzi tampak berusaha menahan diri. "Untuk saat ini," jawabnya pelan. "Aku belum dipecat. Percaya aku, Zen. Aku benar-benar nggak mau jadi pengangguran kayak seseorang. Nolep banget nggak sih?"
Dooong!
Seketika saja wajah Razen berubah. Ekspresi menggoda di wajahnya tadi, sontak berganti. Dan ia bangkit dari duduknya. Beranjak menghampiri Elzi.
"Ngomong-ngomong soal pengangguran," kata Razen dengan sorot memelas. Kali ini tanpa ada kepura-puraan. "Weekend ini Mbak ada acara? Ikut aku ke Bengkulu yuk."
Dahi Elzi berkerut dengan pembelokkan topik yang terlalu mendadak itu. "Ngapain ke sana? Festival Tabot udah lewat."
"Ih. Yang mau nonton festival Tabot siapa?" gerutu Razen. "Aku tuh bukannya mau happy-happy-an pergi ke sana. Tapi, Papa nyuruh aku buat ngecek kebun, Mbak. Rasanya males banget aku mau pergi ngeliat kopi-kopi itu. Temenin aku ya?"
Elzi meringis. Berat hati, namun ia tau keadaannya tak mendukung. Maka ia pun menggeleng.
"Suasana hati aku saat ini lagi kacau, Zen. Maaf. Tapi, aku benar-benar lagi nggak mau diganggu. Lagipula ... anggap aja itu konsekuensi buat keadaan kamu. Coba aja kalau kamu udah ada kerjaan. Papa nggak bakalan mungkin nyuruh kamu buat ngurusin kebun kopi di sana."
"Sekarang aku tuh lagi butuh dorongan moril, Mbak. Bukannya malah makin dipojokkan," gerutu Razen dengan wajah kesal. "Bukan kemauan aku juga kalau sampe sekarang belum dapat kerjaan. Aku tuh udah nyoba, tapi nggak ada yang nerima. Terus aku harus gimana coba? Ngerengek di depan kantor-kantor itu?" Razen mencibir. "Kan nggak mungkin."
Elzi menarik napas dalam-dalam. Mendadak merasa bersalah karena perkataannya. Tentu, masalah pekerjaan adalah hal yang cenderung sensitif. Tapi, ketika Elzi baru akan mengatakan satu dua patah kata untuk menenangkan adiknya itu, Razen justru berkata.
"Atau aku emang harus ngubah strategi aku? Ehm ... kalau ngelamar kerjaan ditolak, apa itu artinya kalau aku ngelamar anak gadis orang justru bakal diterima?
Elzi melongo. Menyadari kesalahannya dalam bersimpatik pada adiknya itu. Ckckck. Bukan tempanya.
"Ya ... bisa jadi sih. Kayaknya nggak ada orang tua yang bakal melewatkan calon mantu berkualitas kayak aku," ujar Razen manggut-manggut. "Atau paling nggak, mungkin ini waktunya buat aku nerima tawaran Endra. Masuk ke dunia modelling. Kayaknya aku emang harus mulai memanfaatkan wajah tampan ini. Ehm ... nasib-nasib."
Rasa-rasanya Elzi kembali merasa mual-mual. Terutama ketika dilihatnya, bagaimana adiknya itu terlihat geleng-geleng kepala dengan sok frustrasi. Padahal jelas sekali, matanya memamerkan sorot geli.
Elzi memutuskan untuk tidak meladeni ocehan Razen. Sebelum ia benar-benar muntah di sana.
"Tampan, dengkulmu itu yang tampan!"
Razen menyeringai mendengar tukasan sang kakak. Membiarkan Elzi beranjak sementara ia yang langsung kembali pada stiknya. Melanjutkan permainannya.
Sekilas, ketika Elzi menaiki satu demi satu anak tangga, ia mendapati pemandangan ibunya yang sedang menyiram tanaman di taman samping rumah. Hingga kemudian sosok itu lepas dari pandangannya tatkala ia sudah berada di lantai atas.
Menuju langsung ke kamarnya, Elzi pun lantas langsung ambruk di atas tempat tidur. Membawa kedua matanya untuk menatap kosong pada langit-langit kamar. Lalu desahan putus asa terdengar sedetik kemudian.
Untuk beberapa saat, Elzi seperti berada di alam tanpa pikiran. Kosong. Otaknya serasa tidak memiliki apa-apa di dalam sana. Hingga pada akhirnya, entah bagaimana asalnya, mendadak saja wajah Ben muncul. Dan tanpa mampu ditahan, emosi itu muncul kembali ke permukaan.
"Dasar!" geram Elzi. "Cowok kurang asam. Bajingan. Psikopat. Hidung Squidward otak mesum. Cabul."
Entah, umpatan apa saja yang meluncur dari mulut Elzi saat itu. Tepat ketika otaknya mempertontonkan fakta bagaimana Ben yang berani-beraninya mencium dirinya.
Dua kali ciuman dalam dua pertemuan?
Luar biasa.
Daebak!
Hingga tidak menjadi hal aneh bila pada akhirnya Elzi meraih ponselnya. Langsung menyasar pada kontak dan menemukan nama Ben di sana. Untuk kemudian, tanpa berpikir dua kali, ia langsung menghapusnya.
Sampe kiamat, sampe manusia dibangkitkan kembali, bahkan sampe kapan pun juga, aku nggak bakal pernah ngubungi dia lagi.
Aku nggak bakal ketemu dia lagi.
Titik.
Lupakan soal Ben mulai saat ini!
Tak hanya itu, di dalam hati Elzi pun berjanji. Bahkan ia juga akan melupakan Ben untuk selama-lamanya. Benar-benar tidak ingin berhubungan dengan cowok itu, walau hanya sekadar di dalam pikirannya.
Dan ketika itu, seperti alam yang ingin membantu keputusan Elzi, ponsel di tangannya berdering. Menampilkan satu kontak lainnya yang membuat ia mengembuskan napas panjang. Pelan-pelan, senyumnya pun menampakkan wujud. Pada nama yang bertuliskan My Sweetheart.
Mario menghubunginya.
Maka dengan semringah, Elzi pun langsung menggeser simbol telepon yang bewarna hijau. Pun segera menaruh benda itu di telinganya. Menyapanya.
"Halo, Sayang."
Elzi merasakan suaranya berubah seketika saat ia menyapa Mario di seberang sana. Hingga tanpa sadar, wajah Ben yang semula ada di benaknya, tergantikan. Oleh paras Mario. Yang tentu saja, tampan rupawan. Lengkap dengan pakaian kerjanya yang rapi serta pembawaannya yang hangat pada siapa pun.
Oh Tuhan.
Ketimbang nikah sama Ben, aku jelas berkali-kali lipat mau nikah sama Mario.
Dan ketika sapaannya mendapatkan balasan, Elzi benar-benar yakin. Bahwa Mario memang adalah pilihan paling tepat untuk dirinya.
"Halo juga, Sayang. Udah balik?"
Mengembuskan napasnya sekilas, Elzi menjawab. "Udah. Ya ... paling baru sekitar 10 menit sih aku sampe rumah. Kenapa?"
"Weekend besok kamu ada waktu nggak?" tanya Mario lagi. "Kita jalan? Ehm ... hitung-hitung buat ganti rugi kemaren. Ckckck. Saking serunya kamu ngadirin acara reuni, kamu bahkan nggak sempat ngangkat telepon aku."
Sontak saja, wajah semringah dan senyum Elzi menghilang. Alih-alih, sekarang tergantikan oleh ketakutan yang membuat jantungnya berdebar-debar. Beruntung. Saat Mario membahas soal reuni itu, posisi mereka sedang berhubungan via telepon. Ugh! Elzi tidak bisa membayangkan bila mereka sedang bertatap muka. Bisa dipastikan Mario akan mampu mendeteksi perubahan ekspresinya. Bahkan ... mungkin lebih dari itu.
Elzi menarik napas dalam-dalam. Berusaha menenangkan diri. Dan menyadari bahwa sebenarnya ajakan Mario adalah keberuntungan untuknya. Bukankah cowok itu semacam memiliki indra keenam? Yang seolah tau kalau dirinya sedang dalam keadaan gundah dan langsung memberikan tawaran yang menggiurkan?
Dan tentu saja. Ajakan Mario seketika membuat Elzi teringat pula pada Razen. Setidaknya ini bisa menjadi alasan untuk dirinya menolak permintaan adiknya itu.
"Mau mau mau."
Elzi pun menjawab ajakan Mario dengan antusias. Teramat sangat malah. Hingga ia pun bisa merasakan bagaimana semangat mendadak saja kembali mengisi tubuhnya yang tadi sempat lesu.
Di seberang sana, tawa Mario terdengar ketika mendengar jawaban Elzi. "Oke. Sabtu besok aku jemput. Jam lima?"
"Jam lima."
*
Sore itu Elzi memilih menggunakan gaun berbahan sifon dengan sehelai tali yang bertahan di pundak. Dasarnya yang halus dan lembut, jatuh lemas dengan begitu indah di tubuhnya. Samar-samar mengikuti lekuk tubuhnya yang ramping.
Memiliki tubuh yang tingginya memang tidak mencapai angka 160 sentimeter, Elzi sebenarnya memiliki berat yang proporsional. Ya ... walau beberapa orang mengatakan bahwa ia cenderung kurus sih. Tapi, Elzi menganggap bahwa dirinya adalah refleksi idol Korea yang kebetulan tinggal di Indonesia. Hihihihi.
Elzi memang merupakan salah seorang cewek yang dengan pikiran positifnya menyukai keadaan dirinya, terlepas dari apa pun anggapan orang. Walau mungkin beberapa kali ia sempat minder dengan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi. Tapi, sekarang Elzi justru menganggap itu keberuntungan. Setidaknya ia terlihat anggun ketika mengenakan sepatu berhak atau terlihat manis ketika mengenakan sepatu tanpa hak. Memungkinkan ia untuk mengenakan berbagai jenis sepatu.
Dan kali ini, berbicara mengenai sepatu. Adalah sepasang sepatu bewarna merah muda yang menjadi pilihan Elzi. Baru tiba seminggu yang lalu setelah tertahan beberapa hari di bea cukai, benda itu adalah salah satu pencapaian belanja Elzi dalam bulan ini. Ehm ... termasuk dengan gaunnya yang hilang saat malam reuni. Hiks.
Berusaha untuk tidak kembali teringat akan peristiwa kala itu, Elzi memutar tubuhnya di depan cermin. Meneliti penampilannya. Dan wanita itu tersenyum puas. Terutama dengan tatanan rambut yang ia pilih.
Memiliki panjang sepunggung, rambutnya yang bewarna hitam kecoklatan, dengan sengaja ia urai. Hanya ada satu jepit pemanis di belahan kanan rambutnya. Terlihat natural, namun juga cantik.
Dan sebagai pelengkap, ada sebuah tas tangan bewarna pastel yang telah berada di dalam genggamannya. Sangat serasi dengan gaun yang ia kenakan.
Tepat di jam lima sore, seperti yang telah mereka janjikan, Mario datang menjemput Elzi. Setelah sedikit berbasa-basi dengan kedua orang tua Elzi, mereka pun pergi.
Membawa mobilnya membaur bersama dengan kendaraan lainnya, Mario yang memegang kemudi di satu tangannya, tampak sesekali melirik ke samping. Pada Elzi yang terlihat nyaman duduk di kursi penumpang. Mata cowok itu jelas sedang menikmati wajah cerah sang tunangan.
"Kamu keliatan cantik banget sore ini."
Itu adalah kalimat pertama yang Mario ucapkan tatkala mobilnya melaju. Kalimat pertama bernada pujian yang seketika membuat Elzi tersipu. Ehm ... dalam hati membuat cewek itu berharap.
Semoga aja blush on yang aku pake nggak tambah merah.
Hihihihi.
Dan layaknya cewek pada umumnya, maka ketika dipuji seperti itu Elzi pun merespon dengan ekspresi wajahnya yang tampak malu-malu.
"Makasih," ujar Elzi seraya melayangkan lirikannya. Pun membalas hal yang serupa. "Dan kamu ... seperti biasa. Nggak pernah jelek." Ia tersenyum lebar. "Di mata aku."
Bukan bermaksud berlebihan, tapi Elzi menyadari bahwa Mario memang selalu tampan. Mungkin karena cowok itu terbiasa berhubungan dengan banyak orang. Entah karena keluarganya atau karena pekerjaannya. Sehingga tak aneh bila Mario selalu memperhatikan penampilannya.
Seperti sore itu, mengenakan celana denim bewarna biru dongker, Mario memadukannya dengan sehelai kemeja bewarna putih tulang. Dan melengkapinya dengan satu vest bewarna krem. Terlihat sangat padu dengan bola matanya yang coklat gelap.
"Sore ini kamu mau ke mana? Ada tempat yang mau kamu datangi?"
Elzi mendehem sejenak. Berpikir di benaknya. "Sebenarnya aku udah lama nggak nonton sih," jawabnya kemudian. "Gimana kalau kita pergi nonton? Kayaknya sih banyak film-film baru."
"Ehm ... boleh juga. Dan kamu mau makan di mana? Atau ... kita nonton dulu baru makan?"
"Menurut kamu?"
Mario menggerling. "Atau aku punya opsi ketiga," katanya tersenyum. "Kita nonton dulu dan setelah itu kita belanja dikit. Dengan segala kehormatan, aku bakal mempersilakan waktu dan tempat untuk kamu masak di unit aku."
Jawaban yang tentu saja membuat Elzi tertawa. Hingga matanya memejam dan wajahnya terangkat. Merasa geli. Dan begitu juga dengan Mario, yang turut tertawa bersamanya. Tentu ... dengan pembelaan diri setelahnya.
"Ya ... mau gimana lagi. Aku udah lama nggak makan masakan kamu, Zi. Dan kayak yang diketahui seluruh dunia ...," ujar Mario tersenyum geli. "... masakan kamu itu candu."
"Hahahahaha."
"Lagipula ... sebenarnya aku juga mau nunjukin beberapa design undangan yang udah aku pilih."
Nah, kali ini tawa Elzi berhenti. Alih-alih terus merasa geli, ia justru menatap Mario. "Undangan?"
Mario mengangguk sekali. Satu tangannya bergerak, tepat ketika mobil harus berhenti lantaran lampu lalu lintas yang berubah merah. Di saat itu, ia pun meraih tangan Elzi. Meremasnya dengan lembut.
"Bentar lagi kita bakal nikah. Banyak hal yang harus dipersiapkan dari sekarang."
Menikah ....
Ya Tuhan.
Entah kenapa sekarang jantung aku rasanya berdebar nggak nyaman kalau ketemu satu kata itu.
Tapi ...
Elzi mengangguk. Menyadari keadaan dirinya yang memang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan bersama dengan Mario.
"Oke," kata Elzi. "Opsi ketiga."
Adalah film aksi yang dipilih oleh Elzi dan Mario kala itu. Menampilkan adegan yang cenderung berutal ketika terjadi perkelahian, keduanya tampak begitu menikmati film tersebut. Walau entah mengapa, di saat beberapa adegan perkelahian itu muncul, mendadak saja batin Elzi merutuki sumpahnya.
Kalau sampe Ben muncul lagi di hadapan aku, bakal aku hajar dia kayak yang di film itu.
Ehm ... mungkin sedikit banyak Elzi masih kesal lantaran dua ciuman yang dirampas oleh Ben? Bisa jadi.
Sekitar dua jam kemudian, Elzi dan Mario keluar dari kawasan mall. Dengan beberapa kantung plastik belanjaan yang telah mereka beli selepas menonton tadi. Aneka sayur dan hewan laut adalah dua hal penting yang tidak akan mereka lewatkan.
Terletak di kawasan yang mendapatkan julukan Segitiga Emas Jakarta, Mario menuju pada satu gedung apartemen mewah di sana. Dengan lokasinya yang amat strategis, berpusat di kawasan sentral bisnis, dan memiliki sejumlah fasilitas yang setara dengan hotel bintang lima, sekilas semua orang bisa mengetahui dengan jelas betapa hunian cowok itu termasuk ke dalam kelas elit. Tentu saja, tidak sembarangan orang bisa mendapatkan tempat tinggal di daerah sana. Lantaran harganya yang tinggi dan juga keterbatasan unit yang ditawarkan. Hal itu lebih dari cukup untuk membuktikan betapa mapannya Mario.
Mobil Mario melaju. Melewati portal keamanan dan langsung menuju pada area parkir yang tersedia. Dan ketika keduanya turun, cowok itu dengan sigap membawa semua barang belanjaan mereka.
"Silakan masuk," kata Elzi ketika membuka pintu unit apartemen itu. Layaknya ialah pemilik tempat tersebut, ia menggoda. "Anggap rumah sendiri."
Mario tertawa melihat keusilan Elzi. Seraya tetap berjalan sementara Elzi menutup pintu itu di belakangnya.
Di dapur, Elzi membantu Mario mengeluarkan semua barang belanjaannya. Ketika itu, ia berkata sembari menggelung asal rambutnya. Beberapa anak rambutnya yang nakal, tampak lolos berjatuhan di kedua sisi wajah cewek itu.
"Kamu tunggu di depan aja. Biar aku ngurus ini. Ntar kalau udah beres, aku panggil."
Mengabaikan Mario yang beranjak dari sana, Elzi meraih sayuran dan mulai mencucinya di wastafel. Dengan cekatan mempersiapkan semua bahan yang ia butuhkan untuk mulai memasak.
Yang mana, dengan keterbatasan waktu yang ia miliki, Elzi memutuskan untuk memasak capcay. Sederhana, namun tetap saja lezat. Rasa-rasanya tidak akan ada orang yang bisa menolak pesona aneka sayuran yang berpadu dengan daging dan baso di dalamnya. Terutama kalau ditambah potongan cumi.
Sekitar dua puluh menit kemudian, potongan wortel, kol, dan sawi putih, juga menghiasi wajah yang Elzi gunakan. Dengan lincah, tangannya menggerakkan sutil di sana. Mencampur semua bahan itu hingga padu. Lantas menguarkan aroma lezatnya ke seluruh penjuru ruangan.
Pada saa itu, Elzi masih memegang telinga wajan dan sutil di kedua tangannya, tatkala tubuhnya bereaksi pada pada sepasang tangan yang mendarat di perutnya. Diikuti oleh satu kecupan lembut yang hinggap di pundaknya yang polos. Ehm ... sehelai tali di sana benar-benar tidak bisa berperan banyak untuk menutupi pundaknya yang halus.
Acuh tak acuh, menarik napas dalam rasa aneh yang mendadak membuat ia mengernyitkan dahi, Elzi melirih pelan.
"Sabar, Rio. Bentar lagi juga ini bakal masak."
Suara kekehan seketika terdengar di telinga Elzi, sebagai bentuk respon Mario untuk perkataan yang cewek itu ucapkan.
"Sebenarnya, bukan makan malam yang benar-benar aku tunggu, Zi."
Elzi tersenyum, memadamkan kompor, dan menaruh sutil di pinggir wajan. Untuk kemudian, ia meraba kedua tangan Mario di perutnya. Lalu ia melepaskannya. Seraya memutar tubuh.
"Terus ... apa?"
Menengadahkan wajahnya demi bisa melihat pada mata sang kekasih, Elzi mendapati bagaimana Mario menatapnya dengan sorot yang tak mampu ia artikan. Terutama dengan senyum yang kemudian perlahan menyungging di wajahnya yang tampan. Lantas, ia menjawab hanya dengan satu kata.
"Kamu."
Deg!
Entah mengapa, untuk beberapa alasan yang tidak mampu Elzi jelaskan, ia justru merasakan satu kata itu membuat tubuhnya bergetar seketika. Membuat bulu kuduknya sebelumnya aman tenteram, sontak berdiri dengan kompak dalam waktu yang singkat. Terutama ketika Elzi mendapati bagaiman Mario yang kemudian menundukkan wajahnya, hanya untuk melabuhkan satu kecupan lainnya di tempat yang serupa. Dan itu membuat jantungnya pun langsung berdegup dengan kencang.
Sedetik, Elzi hanya mampu menahan napas. Merasa gamang ketika kecupan-kecupan lainnya kembali hinggap. Bahkan kali ini, ciuman itu semakin menjelajah. Memaksa Elzi untuk mengangkat wajahnya ketika Mario menyasar pada lehernya.
Lalu, mata Elzi mengerjap. Tangannya sontak naik. Mendarat di dada Mario, menahannya. Mendorongnya. Memutus sentuhan yang cowok itu lakukan.
"Rio ...."
Astaga. Elzi buru-buru menggigit bibir bawahnya ketika mendengar suaranya sendiri. Dan hal itu membuat Mario tersenyum. Membawa tangannya bergerak. Menyibak anak rambut Elzi yang berjatuhan di sisi wajahnya. Untuk kemudian, jemarinya berpindah pada dagunya. Perlahan mengangkatnya.
Mata Elzi membesar. Melihat bagaimana pelan-pelan Mario kembali menundukkan wajahnya. Dengan fokus mata yang membidik pada satu tempat. Bibir Elzi.
Elzi menahan napas. Tapi, sedetik sebelum pada akhirnya bibir Mario mendarat, tangan Elzi meremas dada Mario. Mendorongnya dengan ekspresi seperti orang kebingungan.
"Rio ...," lirih Elzi lagi dengan putus asa. "Ka-ka-kayaknya kita makan aja deh. Keburu capcaynya dingin. Ntar nggak enak lagi."
Elzi berencana untuk beranjak setelah mengatakan itu. Tapi, tangan Mario menahan pinggangnya. Tak memberikan celah untuk cewek itu pergi.
"Elzi ...."
Suara Mario terdengar berat. Parau. Serak. Dan seperti mengirimkan getaran yang membuat sekujur tubuh Elzi meremang.
"Kamu cinta aku nggak sih?"
Dari sekian banyak hal yang mungkin dikatakan oleh Mario, Elzi tak mengira bahwa pertanyaan itu yang akan ia lontarkan. Sontak membuat ia mengerutkan dahi. Bingung.
"Kok kamu nanya gitu?" balik bertanya Elzi. "Ya ... aku cinta kamu."
Jawaban itu membuat Mario tersenyum. Hingga ia pun lantas kembali menundukkan wajahnya. Kembali berusaha untuk mencapai bibir Elzi, namun ia justru mendapati cewek itu berpaling.
Mario tertegun sejenak. Hingga kemudian ia memalingkan wajahnya. Berusaha untuk mencium Elzi dari sisi yang berbeda. Tapi, Elzi kembali menahannya.
"Kenapa?" tanya Mario. "Apa calon suami nggak boleh nyium tunangannya sendiri?"
Elzi meneguk ludah. "Bu-bu-bukan seperti itu, Rio. Tapi---"
Tak mampu meneruskan perkataannya, Elzi mendapati bagaimana dengan Mario menyambar bibirnya. Membungkam dalam satu ciuman yang membuat matanya membelalak seketika. Dan tak hanya itu, dengan penuh kesengajaan, Mario pun menahan pinggang Elzi. Untuk kemudian mendorongnya. Terburu-buru menuntunnya mundur. Hanya agar tertahan pada satu meja makan yang tersedia di sana.
Merasakan bagaimana tubuhnya didorong, mau tak mau Elzi melepaskan dada Mario. Demi untuk berpegang pada sisi meja makan. Berusaha untuk tidak benar-benar berbaring di sana.
What?!
Mata Elzi membelalak.
Berbaring?
Mengambil risiko, Elzi pun mengangkat satu tangannya. Kali ini, ia benar-benar mendorong Mario. Hingga pada akhirnya ciuman itu pun terurai. Mata Elzi melotot.
"Kamu ngapain sih?" tanya Elzi dengan napas menggebu. "Kalau mau makan, itu. Aku udah selesai masak. Ngapain juga malah aku yang dibawa ke meja makan?"
Mario terkekeh. Tampak mata berkilat melihat pada bibir Elzi yang tampak basah. Hingga jakunnya terlihat naik turun.
"Emang," jawab Mario kemudian. "Rasa-rasanya ... aku emang mau makan kamu, Zi."
Eh?
Elzi melongo. Dengan matanya yang semakin membesar.
"Kita udah mau nikah, Zi," ujar Mario seraya tersenyum, dengan satu jarinya yang membelai wajah cewek itu. "Dan ... ya ampun. Kamu cantik banget malam ini."
Elzi mengatupkan bibirnya dengan kuat. Lalu menepis tangan Mario dari wajahnya. Ia mendelik.
"Ya kali. Aku tau aku cantik, tapi kamu malam ini kenapa sih?"
Meringis, seperti menahan desakan yang tak lagi mampu ia tahan, Mario menarik napas dalam-dalam.
"Kita udah bukan anak kecil lagi, Zi. Dan ya ampun ...." Mario tersenyum aneh. "Bahkan untuk satu ciuman pun aku harus bersusah payah?"
Mata Elzi sontak memejam. Tampak frustrasi. "Sorry, Rio. Tapi, aku bener-bener ...." Ia mengembuskan napas, tak menemukan kata-kata yang tepat untuk ia katakan. Demi mewakili rasa tak nyaman yang ia rasakan. "Lebih baik kita makan aja sekarang."
Selesai mengatakan itu, Elzi beranjak. Mengabaikan bagaimana Mario yang tampak tertegun di tempatnya berdiri. Hingga ia bertanya.
"Kamu beneran cinta aku? Atau sebenarnya ada cowok lain yang kamu cinta?"
Deg!
Sontak saja langkah kaki Elzi terhenti. Bahkan tanpa sadar, ia memutar tubuh. Berpaling pada Mario yang sedang menatapnya dengan sorot yang tampak asing di mata Elzi.
"Rio, ya ampun. Aku cinta kamu. Nggak ada cowok lain."
Mario mendengkus. "Kalau gitu," katanya kemudian. "Apa kamu mau ngebuktiin cinta kamu sama aku malam ini?"
Dan Elzi sudah dewasa. Teramat dewasa untuk mampu menerka ujung dari perkataan Mario itu apa. Satu hal yang membuat ia meneguk ludah.
Di-di-dia nggak mungkin ....
Hanya saja, kemungkinan itu membuat Elzi meremang. Lantaran kejadian seminggu lalu. Satu kesalahan fatal yang tak pernah ia rencanakan sebelumnya.
Dan sekarang? Mario justru ....
Di saat aku lagi berusaha ngelupain kejadian malam itu, Mario justru meminta hal yang sama?
Elzi merasakan tenggorokannya seperti tercekat. Napasnya terasa sesak seketika.
Ini kenapa semua cowok sama aja sih?
Kenapa yang mereka pikirin cuma soal itu?
Maka, menarik napas dalam-dalam, entah mengapa Elzi merasakan satu rasa sakit membuat jantungnya menjerit. Untuk kemudian, Elzi pun menggeleng.
"Jangan sekarang, Rio," tolak Elzi pelan. "Kayak yang kamu omong, kita bakal nikah bentar lagi. Itu sudah lebih dari cukup untuk jadi bukti kalau aku cinta kamu."
Selesai mengatakan itu, Elzi kembali ingin melangkahkan kakinya. Tapi, satu cekalan di tangannya membuat ia berhenti. Di saat itu, Elzi tak melakukan apa-apa. Seperti ia yang sedang menunggu apa yang akan Mario katakan selanjutnya. Karena kalau menurut riwayat hubungan mereka, Elzi bisa memastikan bahwa Mario akan meminta maaf dan---
"Karena kita bakal nikah bentar lagi, kamu pun tau kalau aku bakal bertanggungjawab untuk semua risiko yang bakal terjadi."
Dingin. Seperti dirinya yang sedang berada di ruangan bersuhu rendah. Itulah yang sedang Elzi rasakan kala itu. Tepat ketika pada akhirnya ia merasakan tangannya yang dicekal, ditarik oleh Mario. Membuat tubuhnya melayang. Mendarat ke dalam pelukannya.
Mario merengkuh pinggang Elzi. Dengan erat. Mengenyahkan semua kemungkinan untuk cewek itu bisa melepaskan diri. Dan berkata.
"Aku menginginkan kamu, Sayang. Dan kamu ... nggak bakal nolak."
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro