Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Apa Yang Harus Kulakukan?

"Sssst .... Sssst ...."

Elzi merasakan bagaimana tangan Ben yang besar sedari tadi mengusap puncak kepalanya secara berlahan, berulang kali. Cowok itu tak melonggarkan sedikit pun rengkuhannya. Pun mulutnya tak henti-hentinya mengucapkan berbagai kata-kata pembujuk agar Elzi menghentikan isakannya.

Dan mendapati itu, Elzi justru meradang. Menyadari dengan pasti bahwa seharusnya bujukan cowok itu passti akan berhasil, andaikan yang Ben bujuk adalah anak kecil yang baru saja kehilangan permennya. Bukannya malah seorang cewek berusia dua puluh sembilan tahun yang baru saja kehilangan keperawanannya!

"Udahlah, Zi. Kamu nggak perlu nangis kayak gini. Cup cup cup!"

"Kamu pikir ini semacam iklan penyedap rasa? Cup cup cup?!" Elzi sontak memukul dadanya. "Menurut kamu aja deh. Gimana bisa aku nggak nangis? Untuk semua hal yang sudah terjadi malam ini di antara kita, apa menurut kamu aku harusnya ketawa? Iya?"

Ben memejamkan matanya dengan dramatis. "Maksud aku, tangisan kamu ini nggak berguna sama sekali. Tangisan kamu nggak bakal bisa ngubah apa yang sudah terjadi. Karena kalau seandainya tangisan emang bisa ngubah kejadian malam ini, aku jamin. Aku bakalan ikutan nangis bareng kamu deh sekarang ini."

Elzi mengatupkan mulutnya kuat-kuat. Berusaha menyingkirkan keinginan untuk berteriak di depan wajah cowok itu dan menarik perhatian semua teman-teman yang kemungkinan juga menginap malam itu.

"Aku tau!" tukas Elzi penuh emosi. "Semua nggak bakal berubah. Toh kita nggak punya kantong ajaib Doraemon untuk balik ke masa lalu."

"Nah, itu kamu tau," tukas Ben. "Jadi untuk apa lagi kamu nangisin hal yang udah terjadi? Percuma. Don't cry over spilt milk, okey? Nyapekin badan dan nggak ada hasil."

Elzi terdiam. Alih-alih merespon perkataan Ben, cewek itu justru terlihat menggigit bibir bawahnya. Dan membiarkan air mata yang membasahi pipinya, perlahan mengering.

"Aku bakal nikahin kamu, Zi. Aku janji." Ben kembali bicara. "Kamu nggak perlu khawatir. Kamu bisa megang kata-kata aku. Kali ini percaya aku. Aku bener-bener bakal nikahin kamu."

Masih tak mengatakan apa pun, nyatanya Elzi tetap mendengarkan tiap kata yang terucap dari bibir Ben. Selayaknya cewek itu yang sedang memikirkan sesuatu di benaknya. Dan karena tidak mendapatkan respon sedikit pun, pada akhirnya Ben pun juga memilih untuk diam. Membiarkan beberapa menit yang rasanya begitu lama berjalan begitu saja, tanpa ada dari mereka yang bersuara.

Hingga sejurus kemudian, telinga Ben mendengar lirihan suara Elzi.

"Aku sudah bertunangan, Ben."

Kalimat itu akhirnya meluncur juga dari bibir Elzi. Bahkan, tanpa sadar Elzi telah menyebut nama pria itu untuk pertama kalinya.

Ben terdiam.

Elzi menghela napas panjang. Berusaha mengenyahkan rasa sesak yang mendadak menghimpit dadanya. "Kami udah ngerencanain pernikahan awal tahun depan. Cuma tinggal beberapa bulan lagi. Tapi, sekarang ...."

Tak mampu meneruskan ucapannya, Elzi lantas memejamkan matanya. Membiarkan air mata kembali mengalir dan jatuh ke lengan Ben yang kokoh.

Gimana bisa kecelakaan ini terjadi di saat aku udah bertunangan?

Udah siap nikah?

Bahkan tanpa drama pertunangan pun kecelakaan ini jelas menjadi masalah.

Apalagi dengan status pertunangan dan rencana pernikahan yang udah di depan mata?

Ya Tuhan.

Karena tentu saja, masalah malam itu mungkin masih bisa mendapatkan jalan keluarnya dengan lebih mudah seandainya saat itu Elzi tidak berada dalam hubungan dengan seorang cowok. Dengan pertunangan yang telah mengikat dirinya dan masalah yang terjadi sekarang, tentu saja Elzi merasakan kepalanya terasa pusing berputar-putar.

"Tapi, kita nggak tau apa yang bakal terjadi ke kamu beberapa bulan ke depan, Zi," lirih Ben kemudian. "Gimana kalau kecelakaan malam ini justru ngebuat kamu ...." Ben menggantung ucapannya. "Tapi, ini semua keputusan kamu. Kamu mau ngelakuin apa pun, itu terserah kamu. Aku kasih kamu waktu buat mikirin ini semua, Zi."

Elzi mengangkat wajahnya. Bermaksud untuk membalas perkataan itu. Tapi, dirinya justru terhenyak tatkala mendapati Ben yang langsung mengecup dahinya. Sekilas.

"Pikirkan dengan baik. Aku bakal nikahin kamu kalau kamu menginginkannya." Ben menghela napas. "Dan kalau pun kamu tetap memilih untuk menikah dengan tunangan kamu itu, ya ... aku nggak akan berbuat apa-apa."

Elzi mengangguk pelan. Pada saat itu ia merasa bagaimana tubuhnya yang amat lelah. Akibat meracau dan panik sedari tadi. Tapi, ketika rasa lelah itu membuat tubuhnya seperti tak ada tenaga, sedikit kelogisan muncul di benak Elzi. Ia memang harus memikirkan masalah itu dengan lebih tenang. Jangan gegabah untuk mengambil jalan keluarnya.

Sejurus kemudian Ben bangkit berdiri.

"Kita siap-siap. Biar aku antar kamu pulang," ucap Ben seraya menatap Elzi dengan sorot ragu di matanya. "Ehm ... kamu bawa mobil atau ...."

Elzi menggeleng. "Mobil aku lagi di bengkel. Tadi aku ke sini naik taksi."

"Oke," angguk Ben dengan ekspresi lega di wajahnya. "Kalau gitu bagus. Biar aku antar kamu balik sekarang juga. Dengan semua kekacauan ini, rasanya bukan ide yang menyenangkan kalau sampai ada teman-teman kita yang ngeliat kita dalam keadaan kayak gini."

Elzi mengangguk dan turut berdiri dengan masih menggenggam selimut di depan dada. Ia memandang sekitar dan mendapati hanya ada pakaian Ben yang berserakan serta kimono handuk di atas kursi.

"Baju aku ke mana, Ben?" tanya Elzi pelan seraya mencari-cari. "Kok baju aku nggak keliatan?"

Pertanyaan itu membuat Ben sontak turut memandang sekitar. Kemudian ia mengangkat bahunya. Enteng sekali ia menjawab.

"Aku nggak ingat, Zi. Tadi itu kan aku mabuk."

Mata Elzi memejam dramatis. "Mabuk! Mabuk! Mabuk!" geramnya dengan sangat frustrasi. Terutama dengan satu pemikiran menakutkan yang lantas melintas di benaknya.

Kalau nggak ada baju, terus aku balik gimana?

Ya kali cuma pake bra.

Aku ini bukan semacam orang gila nyasar!

Sementara Elzi menarik napas dalam-dalam berusaha untuk mendamaikan emosi yang mulai kembali bergejolak di dadanya, di seberang sana tampak Ben meraih celana jeans dan memakainya. Melihat itu, maka Elzi pun memalingkan wajahnya. Dalam hati ia merutuk, menyadari bagaimana mudahnya bagi cowok untuk berpakaian tanpa perlu merasa malu.

"Ben, aku nggak mungkin balik kayak gini. Baju aku kamu letakin di mana sih?! Argh! Masa aku balik cuma pake bra?!"

Tak menjawab pertanyaan itu, Ben justru meraih kausnya. Meloloskan pakaian itu melewati kepalanya. Untuk kemudian ia meraih balzernya, menghampiri Elzi, dan menyodorkannya pada cewek itu.

Menerima blazer itu, ekspresi wajah Elzi tampak melongo. "Hah?" Elzi menerimanya dengan tatapan tak percaya.

"Lebih baik kamu pake itu ketimbang kamu balik cuma pake bra," ujar Ben santai. "Iya kan?"

Mata Elzi sontak memejam dengan dramatis. Menyadari dengan jelas bahwa ia tak memiliki pilihan lain kali ini. Maka dengan berat hati, Elzi pun mengenakannya.

Memiliki tubuh yang tinggi dan besar, tentu saja pakaian Ben berukuran besar pula. Hingga tak aneh bila pada akhirnya blazer itu dengan ajaib menutupi tubuh polos Elzi hingga pertengahan pahanya. Membuat ia lantas bisa berdiri tanpa memerlukan selimut lagi.

Hanya saja, ketika Elzi menurunkan pandangannya dan melihat kakinya ....

Astaga!

Apa pantas aku balik ke rumah kayak gini?

Kalau aku ketangkap basah dengan orang rumah gimana?

Mama dan Papa pasti kena serangan jantung barengan!

Ya ampun.

Udah cukup aku kehilangan keperawanan malam ini.

Aku nggak mau kehilangan orang tua juga!

Dan ketika Elzi sedang bingung, Beng sepertinya tau ke mana arah pikiran cewek itu. Maka ia pun menghampirinya. Menangkap dengan jelas sorot keraguan di mata Elzi.

"Ehm, gimana kalau gini?" Ben menarik napasnya. "Kita ke rumah aku dulu. Ntar aku ambilin celana atau rok Mbak Refta. Dan kamu bisa pake itu untuk balik. Gimana?" tanya Ben. "Kamu juga nggak bisa ngebangunin Angela dan bilang butuh baju buat pulang karena kita berdua lupa keberadaan baju kamu. Iya kan?"

Lagi-lagi, Elzi menyadari bahwa ia tak memiliki pilihan lainnya. Hingga pada akhirnya, tanpa berpikir dua kali, Elzi pun mengangguk. Menerima tawaran itu.

Bersiap-siap untuk segera pulang, Ben dan Elzi memastikan bahwa tidak ada barang mereka yang tertinggal di sana. Termasuk dengan ponsel mereka yang tergeletak di atas nakas.

Ben mengambil ponselnya, lantas menyodorkan milik Elzi. Sekilas, Ben bisa melihat bagaimana cewek itu tertegun melihat pada layar ponselnya. Di mana tertera simbol panggilan tak terjawab. Dengan angka dua puluh delapan di depannya.

Elzi mengembuskan napas. Memutuskan untuk tidak menghiraukan dulu masalah panggilan dari tunangannya itu. Alih-alih, ia justru membiarkan Ben yang langsung meraih tangannya. Berkata.

"Ayo. Kita harus kabur dulu dari sini."

Elzi mengangguk. Pasrah saja ketika Ben mengajaknya keluar dari kamar. Perlahan, mereka mengendap keluar dari rumah Angela. Menuju ke mobilnya dan lantas pergi.

*

Senin pagi Elzi mendapati wajahnya berada dalam keadaan yang mengerikan. Walaupun ia sukses menyamarkan matanya yang membengkak dengan bantuan make up, namun itu tidak mampu menutupi fakta bahwa raut di sana tampak begitu kusut. Jelas sekali itu menunjukkan kalau dirinya sedang dalam kondisi tertekan. Dan penyebabnya adalah tawaran Ben untuk bertemu siang itu di luar, tepat ketika jam istirahat kantor.

Menghela napas panjang, Elzi masih menimbang. Akan menerima atau justru menolak. Hingga kemudian, ia mendapati ada pesan Ben yang masuk ke ponselnya.

[ Ben ]

[ Aku tunggu siang ini di CC Corner, Zi. ]

[ Kita harus bicara. ]

[ Kamu tau itu. ]

Merenungi tiap kata di pesan itu, Elzi merasakan tubuhnya seperti merinding. Persis seperti kalau ia pulang malam dan melewati pohon beringin tua di depan portal perumahannya. Iiih, menakutkan.

Berbagai kemungkinan buruk, melintas di benak Elzi. Hingga ia pun pasrah saja ketika mendapati dirinya yang tak mampu berkonsentrasi dengan pekerjaannya kala itu. Terutama ketika ia kembali teringat peristiwa tersebut, maka gejolak emosi pun terasa berkecamuk di dalam dadanya.

Malam itu sebelum Ben mengantarkany pulang, keduanya memang pergi ke rumah cowok itu terlebih dahulu. Sementara Elzi menunggu di dalam mobil, Ben bergegas masuk ke rumahnya. Dan tak butuh waktu lama untuk cowok itu kembali datang dengan sehelai rok di tangannya. Sedikit banyak, jelas saja itu membuat Elzi bingung. Bagaimana bisa Ben mendapatkan rok itu. Memintanya dari sang kakak? Ehm ... Elzi meragukannya.

Namun, ketika Elzi sampai di rumah, pada akhirnya rasa penasaran cewek itu terjawab pula. Rok itu Ben ambil dari jemuran. Itu adalah fakta tak terbantahkan ketika kusut bekas perasan masih terpampang nyata di kain lembut itu. Dan sebagai pelengkap, Elzi sukses menjelma menjadi orang bodoh yang mengenakan rok tersebut di dalam mobil!

"Aaah ...."

Melirih pelan, Elzi mengusap wajahnya berulang kali. Sungguh. Ia tidak akan pernah ingin mengignat bagaimana rasanya memakai rok tanpa celana dalam! Beruntung mereka kemaren naik mobil. Kalau naik motor? Apa tidak semriwing-semriwing itu lembah surga dunia di dalam sana?

"Dasar cowok mesum kurang ajar," desis Elzi kemudian dengan sarat penuh emosi. "Bisa-bisanya dia bahkan lupa di mana ngebuang pakaian aku?"

Aaargh!

Rasa-rasanya Elzi ingin meremas rambutnya andaikan ia tidak ingat kalau ada sanggul ala kantor di kepalanya. Karena jelas, satu fakta membuat ia semakin meradang.

Padahal gaun yang aku pake ke acara reuni itu baru aja aku beli.

Mana ngabisin hampir setengah dari gaji aku coba!

Sekarang?

Uang lenyap, gaun pun nggak tau ke mana!

Makin lama Elzi menyadari bahwa kekesalan yang ia rasakan terhadap Ben semakin menjadi-jadi. Nyaris membuat ia gelap mata dan memutuskan untuk tidak menerima ajakan Ben. Tapi, Elzi pada akhirnya sadar. Tak ada yang bisa menjamin kalau kejadian malam itu tidak membuat dirinya hamil.

Hingga dengan berat hati, Elzi pun membalas pesan itu. Hanya dengan satu kata.

[ Ben ]

[ Oke. ]

Lantaran jam istirahat siang cenderung berimbas pada padatnya jalanan, maka walaupun Elzi membawa mobilnya ke kantor hari itu, pada akhirnya ia tetap memesan ojol. Terjebak macet di dalam mobil adalah pilihan yang paling ia benci. Terutama dengan tidak stabilnya emosi ia hari itu. Siapa yang menjamin kalau setelah bertemu Ben, cewek itu tidak mendadak gila? Kalau ia justru menabrak trotoar bagaimana?

Lagipula, setidaknya ketika ojol mulai meliuk-liuk di jalanan dengan lincah, mencoba untuk menyelip di antara kendaraan lainnya, Elzi bisa berpikir. Merenungkan kemungkinan yang harus ia ambil. Karena sekarang, menurut Elzi pilihan apa pun yang ia ambil, akan ada risikonya masing-masing.

Pilihan pertama, menikah dengan Ben. Itu tentu saja bisa ia lakukan bila ia membatalkan pertunangannya. Dan hal tersebut pasti bukan hal yang mudah. Orang pacaran saja terkadang menciptakan tragedi tujuh hari tujuh malam ketika putus, apalagi dengan status tunangan? Apa Elzi tidak akan dicerca dua keluarga nantinya?

Pilihan kedua, menolak menikah dengan Ben. Hal yang menggiurkan, namun juga ada risikonya. Bagaimana kalau ia menolak dan justru hamil? Apa itu artinya dirinya tidak akan mendapat malu berlipat-lipat? Malu lantaran harus membatalkan pertunangan. Dan malu lantaran ternyata telah hamil di luar nikah?

Dua pilihan yang sama besar risikonya. Sesuatu yang harus Elzi pikirkan dengan amat saksama. Salah mengambil keputusan, nyawa dan masa depannya yang menjadi taruhan.

Turun dari ojol tepat ketika motor yang membawanya itu berhenti di CC Corner, Elzi segera menyerahkan helm sebelum pada akhirnya beranjak memasuki kafe tersebut. Setelah melakukan pengamatan sekilas tentunya. Hanya untuk meneliti suasana di sana. Dan lantas ia menyadari bahwa setelah sekian lama tidak bertemu, ternyata Ben tidak berubah.

Tipikal tempat nongkrong kesukaan Ben banget.

Selalu suka dengan tempat yang terkesan homey.

Membalas singkat sapaan petugas kafe ketika ia masuk, Elzi menghentikan langkah kakinya. Mengedarkan pandangan dan dalam waktu singkat mendapati keberadaan cowok itu. Ben sudah tiba. Duduk dan menunggunya di satu meja yang terletak di pojok ruangan. Tak membuang waktu, Elzi pun segera menghampirinya.

Menyadari kedatangan seseorang, Ben mengangkat wajahnya dari buku menu. Dengan ekspresi yang tak terbaca, ia menyambut kedatangan cewek itu. Dan tepat ketika Elzi sudah duduk, ia pun menyodorkan buku menu. Bertanya.

"Kamu mau makan apa?"

Tak benar-benar melihat pada menu yang ditawarkan, Elzi pun menunjuk satu gambar dengan asal. "Ini."

"Minum?" tanya Ben, hanya untuk menggeleng di detik selanjutnya. "Aku tau. Jus alpukat."

Tak mengatakan apa-apa, Elzi pun acuh tak acuh ketika Ben mengangkat satu tangannya. Memanggil pelayan dan memberikan pesanan mereka kala itu. Dan setelah sang pelayan pergi, keheninganlah yang tercipta di sana. Baik Elzi maupun Ben, sama-sama tak ada yang bersuara. Seperti mereka yang tengah sibuk dengan alam pikiran masing-masing.

Selang beberapa waktu kemudian, pesanan mereka pun datang. Pelayan memberikan makanan dan minuman dengan cekatan dan rapi di atas meja, menyajikannya. Lantas langsung meninggalkan keduanya.

Tak langsung menyantap hidangan yang tersaji, Elzi justru terheran-heran melihat pada piring di hadapannya. Dahinya seketika berkerut.

Emangnya tadi itu aku mesan spaghetti ya?

Alih-alih langsung menyantap makanan lezat itu, Elzi justru beralih pada gelas jus alpukatnya. Menikmati satu tegukan yang tak seberapa untuk kemudian meraih garpunya. Mencoba mencicipi makanan itu.

Rasanya lezat. Gurihnya terasa pas di lidah Elzi. Hanya saja mungkin karena suasana hati cewek itu yang sedang dalam keadaan tidak enak. Sehingga pada akhirnya ia tak begitu bernafsu menyantap makanan tersebut. Pada akhirnya membuat ia menaruh kembali garpu itu di piringnya. Dan hal tersebut, tertangkap oleh sepasang mata elang Ben.

"Loh? Nggak kamu makan? Kenapa? Nggak enak? Nggak nafsu?"

Mengembuskan napas lelahnya, Elzi sedikit mengangkat wajah. Menatap tanpa minat pada Ben. Hanya untuk mendengarkan lanjutan pertanyaan cowok itu.

"Atau ... kamu udah mulai ngerasain gejalanya?"

Nah, kali ini barulah Elzi tampak merespon pertanyaan Ben. Karena sedetik setelah pertanyaan itu hinggap di indra pendengarannya, ia mengerutkan dahinya. Bingung.

"Gejala apa?"

"Demam, nggak nafsu makan, mual-mual. Ehm ...." Ben menatap Elzi dengan sorot serius. "Itu yang dikatakan Mbak Refta waktu awal-awal kehamilannya."

Spontan saja, Elzi mengulurkan tangannya untuk mencubit lengan Ben yang beristirahat di atas menja. Matanya seketika mendelik dengan pipi yang memerah,

"Kamu pikir cewek hamil itu kayak ngerebus mi instan? Yang dikasih air panas dikit langsung melar?"

Ben tersedak. Mengabaikan rasa sakit yang tak seberapa lantaran cubitan Elzi, cowok itu justru melayangkan pertanyaan yang makin membuat Elzi meradang.

"Ehm ... apa kemaren itu rasanya panas, Zi?"

"Hah?! Panas? " kesiap Elzi tak percaya. "Dengkulmu itu yang panas!"

"Sorry. Aku cuma nanya."

"Itu bukan pertanyaan yang tepat, dasar psikopat!" umpat Elzi melotot. "Kehamilan nggak terjadi secepat itu! Butuh waktu. Paling nggak ya sekitar sebulan."

Lantas, Elzi justru tertegun ketika mendengar perkataannya sendiri. Dengan satu pemikiran yang langsung melintas di benaknya.

Apa aku harus nunggu selama itu?

Ya Tuhan.

Elzi mengusap wajahnya. Menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri sementara di hadapannya tampak Ben yang nikmat sekali menyantap makan siangnya. Lalu mendadak saja bayangan pernikahan antara dirinya dan Ben muncul. Membuat ia merinding.

Aku nggak mungkin banget tiba-tiba nikah dengan Ben.

Ya kali kalau aku benar-benar hamil, terus aku masang tampang sok polos di depan keluarga.

Buat ngomong: Aku mau nikah sama yang ini aja ya? Soalnya segel aku udah dibuka sama dia. Dan calon penduduk Indonesia yang baru udah ada di perut aku.

Astaga!

Elzi memejamkan matanya dengan dramatis. Imajinasi itu berhasil membuat bulu kuduknya meremang kompak walau tanpa ada komando. Karena jelas sekali, bila Elzi mengatakan itu pada orang tuanya, tentu saja mereka akan murka. Dengan ledakan kemarahan yang kira-kira seperti ini.

Kamu mau disantet atau dimutilasi, wahai Elzira Citrani?

Kalau kamu emang mau meneruskan kelangsungan makhluk hidup dengan yang ini, terus kenapa sampe mau tunangan dengan yang itu?

Kamu mau buat orang tua malu atau kamu emang udah nggak tau malu?

Ah, sudah bisa Elzi bayangkan. Itu tentu saja tidak akan menjadi hal yang mudah. Orang tuanya pasti akan sangat murka kalau dirinya sampai-sampai membatalkan pertunangannya. Terutama karena keluarganya memang sudah sangat menerima cowok itu. Tapi ....

"Pilihan apa yang harus aku ambil?"

Tanpa sadar, terbawa oleh alam pikirannya, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Elzi yang berpulaskan lispstik bewarna merah. Hal yang anehnya, ternyata mampu membuat Ben langsung tertegun. Hingga kemudian, cowok itu menaruh sendok supnya di pinggiran mangkuk.

Meraih gelas minumnya, Ben meneguk isinya beberapa kali. Untuk kemudian, ia mendehem pelan.

"Kamu harus ngambil keputusan secepatnya, Zi."

Elzi menatap Ben tak percaya. "Bisa-bisanya ya kamu malah ngompori aku," dengkusnya. "Aku tau aku aku harus ngambil keputusan. Tapi, ini nggak mudah, Ben. Paling nggak, nggak semudah kayak kamu yang ngelepas pakaian aku malam itu!"

"Uhuk!"

Ben buru-buru melegakan tenggorokannya dengan kembali meneguk minumnya. Ia menarik napas panjang, sebelum berkata.

"Kayak yang aku omong malam itu, aku bakal nikahi kamu. Tapi, ya semua itu nggak mungkin mendadak. Kita harus mempersiapkan banyak hal."

"Aku tau."

"Jadi," ujar Ben dengan sedikit memberikan jeda di ucapannya. Seperti ia yang ingin memberikan efek dramatis di kalimat selanjutnya. "Putuskan sekarang. Apa kita harus nunggu sebulan dulu sampai gejala itu muncul baru kita persiapkan pernikahan kita?"

Pernikahan kita?

Ya ampun.

Seketika saja Elzi merasa perutnya mual-mual.

Astaga.

Ini bukan gejala kehamilan yang datang dengan amat sangat cepat kan?

Ya kali semacam paket same day!

"Itu nggak bisa, Zi. Kalau memang kita harus nikah, ya lebih cepat lebih baik. Emangnya kamu mau kita nikah ntar pas perut kamu udah gede?"

Astaga. Sorot mata Elzi seketika horor melihat pada Ben. Kengerian langsung membayang di sana.

"Lagian banyak yang harus dipersiapkan untuk pernikahan," lanjut Ben lagi. "Kamu pikir nikah itu kayak kita yang mau ujian sekolah apa? Yang besok pagi mau ujian malamnya baru belajar?"

"Huh! Jangan samakan aku dan kamu, Ben." Elzi menukas seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Tampak sinis ketika lanjut bicara. "Aku belajar untuk ujian sebulan sebelum jadwal ujian ditempel. Emangnya kayak kamu? Yang pagi ujian, eh ... subuhnya baru belajar?"

Santai, Ben menjawab seraya memamerkan seringainya. "Yang penting nilai ujian aku selalu lebih bagus ketimbang kamu. Bahkan selalu lebih bagus ketimbang satu sekolah."

Elzi menggeram. Tapi, Ben kembali berkata demi meluruskan topik mereka.

"Lagipula bukan itu masalahnya sekarang. Ya ampun, Zi. Kamu emang persis kayak dulu," ujar Ben seraya geleng-geleng kepala. "Kapan sih kamu bakal berubah?"

"Berubah? Jadi power ranger? Wonder woman?" tanya Elzi dengan menyindir. "Atau cat woman?"

Kedua bahu Ben naik sekilas dengan cuek. "Aku sih lebih milih kostum cat woman," jawabnya dengan enteng. "Lagipula ... aku emang lebih suka tipikal cewek hobi ngigit dan nyakar. Ehm ... lebih menantang. Lebih menggairahkan."

"Pletaaakkk!!!"

Cepat sekali tangan Elzi bergerak. Hingga Ben tidak melihat kapan buku menu itu melayang. Yang pasti, hanya rasa sakit dan kaget yang membuat ia sadar bahwa Elzi telah memukulnya. Dengan amat sempurna di kepalanya.

"Kamu bisa serius dikit nggak sih?!"

Ben balas mendelik. Menyugar sedikit rambutnya di tempat yang dipukul Elzi.

"Kamu yang ngelantur ke mana-mana. Aku dari tadi udah nanya serius. Kamu aja yang belum jawab-jawab," ujar Ben membela diri. "Coba aku tanyain lagi. Jadi, gimana keputusan kamu? Kamu beneran mau nunggu sebulan dulu baru ngambil keputusan? Nunggu kamu hamil dulu?"

Wajah Ben tampak frustrasi. Benar-benar frustrasi hingga ia tanpa sadar justru mengacak-acak rambutnya yang baru saja ia rapikan lima detik yang lalu. Ck.

"Aku ini udah kelewat baik jadi cowok, Zi. Coba kamu tanya di luaran sana. Mana ada cowok yang mau tanggung jawab kalau bukan ceweknya keburu hamil duluan? Mana coba? Yakin aku nggak bakal ada."

"Aku nggak mengharapkan kebaikan psikopat kayak kamu!"

"Oh ... jadi kamu mutusin untuk tetap nikah dengan tunangan kamu itu?" tanya Ben. "Walaupun dengan kemungkinan kamu bakal hamil anak aku? Ehm ... kamu bisa bayangkan gimana perasaan dia kalau tau pas kalian nikah, ternyata kamu hamil anak orang lain?"

Jleb!

Rasanya seperti ada satu gunung yang langsung jatuh menimpa Elzi. Yang dikatakan Ben, benar-benar membuat ia melongo. Dan itu dimanfaatkan Ben untuk kembali bertanya.

"Jadi gimana? Mau nikah dengan aku atau dengan ...." Ben menggantung ucapannya. Tampak berpikir sejenak. "Siapa nama tunangan kamu itu?"

"Mario," jawab Elzi lesu. "Mario Rakasandi."

Ben mengangguk sekali, lantas melanjutkan ucapannya tadi. "Atau dengan Mario?"

Mengembuskan napas panjang, Elzi tak yakin harus menjawab apa. Di satu sisi ia ingin melanjutkan hubungannya dengan sang tunangan. Di sisi lain ia tidak ingin mengambil risiko. Hingga pada akhirnya kebimbangan itu membuat Elzi justru meraih tas kerjanya. Mengeluarkan ponsel dari dalam sana.

"Ntar aku pikirin lagi. Sekarang aku mau balik ke kantor."

Ben melirik sekilas pada ponsel Elzi. Melihat bagaimana ibu jari sang cewek berselancar di layar sentuhnya. Lalu menyasar pada aplikasi ojol.

"Ojol?"

Belum meneruskan pemesanannya, Elzi mengangkat wajah. Melihat pada Ben dengan sorot lesu.

"Coba kamu pikir dengan dengkulmu itu, Ben. Kamu pikir ini kafe dekat dari kantor aku? Kalau nggak pake ojol, gimana bisa coba aku selamat dari kemacetan? Aku tuh nggak bodoh banget sampe mau mendekam di mobil gara-gara macet. Dan lagipula, isi kepala aku sekarang penuh. Kamu mau tanggung jawab kalau aku mendadak nabrak orang di jalan?"

"Oh, sorry," kata Ben. Lalu seraya ia mengangkat tangan memanggil pelayan, ia berkata lagi. "Biar aku antar kamu balik ke kantor."

Pada pelayan yang datang, Ben terlihat mengeluarkan beberapa lembar uang bewarna merah. Dengan gambar Sang Proklamator di sana. Setelah mereka kembali berdua dan bersiap untuk beranjak dari sana, Elzi tampak mengibaskan poni panjang di sisi wajahnya. Berkata dengan sinis.

"Ngebayar makan siang. Terus ngantar aku ke kantor. Ehm ... bagus. Kayaknya kamu udah mulai bisa merasakan sindiran-sindiran kecil sekarang. Yah ... anggap aja itu cicilan untuk gaun baru aku yang kamu lenyapkan entah ke mana!"

Tak menggubris perkaaan itu, Ben justru merapikan jasnya dan lalu beranjak dari sana. Dengan diikuti oleh Elzi. Menuju ke parkiran.

Masuk ke dalam mobil mewah nan berkilau itu, Elzi menyamankan dirinya. Tanpa ada ucapan basa-basi atau segala macam yang menyertainya. Bahkan ketika pada akhirnya mobil itu mulai bergerak, pelan-pelan keluar dari kawasan kafe, dan membaur di jalanan, tak ada suara yang terdengar di antara dua anak manusia itu. Hanya senandung musiklah yang menjadi satu-satunya pertanda bahwa masih ada kehidupan di dalam sana.

Melayangkan pandangannya ke luar, menikmati pemandangan pohon-pohon rindang yang mereka lewati sepanjang jalan, mendadak saja Elzi menyadari sesuatu. Ia lantas menoleh pada Ben. Dengan tangan terangkat satu, tampak jari telunjuknya menunjuk. Entah ke mana.

"Kamu tau kantor aku di mana?"

Tak acuh, Ben menjawab. "Kayaknya kemaren malam kamu ngoceh panjang lebar lebih dari apa yang bisa manusia biasa bayangkan."

Mata Elzi mengerjap.

Apa aku semabuk itu sampe-sampe nggak sadar udah ngoceh banyak hal ke cowok ini?

Bahkan sampe kantor tempat aku bekerja pun aku omongin?

Ehm ... ckckck.

Ya ... kayaknya nggak heran juga sih.

Orang buktinya aku aja nggak sadar kalau pakaian aku udah dilepas semua sama dia.

Eh?

Beruntung arus jalanan tidak sepadat ketika Elzi keluar dari kantornya tadi. Hingga lebih cepat dari perkiraannya semula, mereka pun tiba di depan kantor Elzi. Dengan sengaja cewek itu meminta untuk menurunkannya di depan trotoar selang beberapa meter dari gerbang kantor. Dengan harapan agar tidak ada orang yang melihat dirinya bersama dengan Ben.

Semula, Elzi berniat akan segera turun dari mobil itu. Tanpa mengucapkan apa-apa pada Ben –bahkan ucapan terima kasih untuk tumpangan itu. Tapi, suara Ben menghentikannya.

"Sebelum kamu turun, kamu nggak ada ngomong sesuatu gitu ke aku?"

Refleks, Elzi menoleh. Seraya melepaskan sabuk pengamannya. "Ngomong sesuatu? Ehm ...," dehemnya untuk beberapa saat. "Sebenarnya nggak ada. Tapi, kalaupun memang ada yang harus aku bilangin ke kamu, itu pasti cuma satu."

"Apa?"

"Sebisa mungkin aku bakal berusaha untuk nggak memilih keputusan buat nikah dengan kamu, Ben," jawab Elzi jujur seraya mengembuskan napas panjangnya. "Kita pernah mencobanya." Mata Elzi seketika memejam dramatis, untuk kemudian langsung membuka kembali. "Sorry. Maksud aku, aku pernah mencobanya ...."

Ben merasakan panas seketika hadir di pipinya lantaran perkataan itu.

"Tapi, nggak berhasil," lanjut Elzi. "Kamu ... adalah cowok terakhir yang muncul di pikiran aku untuk jadi suami aku."

Untuk hal itu, Ben memilih untuk diam.

"Sebisa mungkin aku bakal berusaha untuk mempertahankan pertunangan aku dengan Mario."

Kali ini, Ben menunjukkan sedikit reaksinya. Hingga mata elang cowok itu memberikan tatapan lamat-lamat pada manik Elzi. Layaknya ia yang sedang berpikir, tepat sebelum pada akhirnya ia berkata.

"Itu keputusan kamu. Aku cuma nyoba untuk bertanggungjawab untuk tindakan aku malam itu. Dikit banyak menghargai hubungan baik kita di masa lalu."

What?

Hubungan baik?

Hubungan baik mana yang dia maksud heh?

Ben mengembuskan napas panjang, lalu tersenyum dengan ekspresi yang membuat Elzi mengerutkan dahi. Tampak waspada.

"Dan kalau kamu nggak mau, ya ... sudah. Toh kalau mau aku pikir-pikir, aku juga nggak rugi kok kalau kamu nggak mau pertanggungjawaban aku. Malah sebaliknya kan? Cowok nggak pernah jadi pihak yang dirugikan. Jadi kalau kamu nolak tawaran aku ...," ujar Ben seraya manggut-manggut, dengan jemari yang mengusap dagunya. "... ya ngapain juga aku harus maksa? Justru aku harusnya senang kan ya?"

Tak percaya dengan apa yang telinganya dengar, Elzi melongo. Bahkan mulutnya menganga.

"Kamu ...."

Elzi tak tau harus mengatakan apa dengan rasa syok yang ia dapat lantaran perkataan Ben. Jantungnya terasa berdenyut dengan rasa yang tak nyaman.

"Aku menghargai hubungan kita di masa lalu. Dan jujur, aku ngerasa sedikit kasihan kalau kamu mendadak hamil sendirian. Tapi, kalau kamu emang nggak mau pertanggungjawaban aku, ya udah. Aku nggak bakal nikahi kamu. Lagipula ... aku nggak rugi kok. Malah sebenarnya aku untung. Iya kan?"

Tangan Elzi seketika mengepal dengan kuat. "Bajingan keparat. Dasar rubah ekor sembilan. Yokai. Kuyang. Hidung Squidward," desisnya dengan penuh emosi. "Jangan-jangan malam itu kamu nggak mabuk? Kamu emang sengaja mau nidurin aku?"

"Menurut kamu?" tanya Ben dengan seringai di wajahnya. Lalu, ia perlahan mendekati Elzi. Hingga mata mereka bertemu. "Walau jelas harus jujur aku katakan." Ia menatap Elzi dengan lekat. "Malam itu lumayan indah walau ... sedikit susah."

"A-a-apa?"

"Tapi, percaya aku. Suatu hari nanti, aku bakal dengan senang hati mengenangnya kembali."

Elzi membeku. Tubuhnya sontak terasa dingin.

"Jadi, karena kamu udah nolak pertanggungjawaban aku, sekarang rasanya aku nggak bakal maksa lagi. Mau kamu hamil atau nggak, terserah kamu. Mau kamu nikah sama Mario atau sama siapa, terserah kamu. Mau kamu nikah dengan tunangan kamu sementara kamu hamil anak mantan pacar kamu, juga terserah kamu. Aku udah nyoba melakukan apa yang seharusnya aku lakukan layaknya cowok sejati. Tapi, kamu nolak," ujar Ben panjang lebar. "Ya ..., tapi seenggaknya. Aku udah menikmatinya."

Sudah tak terkira lagi bagaimana warna wajah Elzi saat itu. Sungguh! Ia tak pernah menduga bahwa Ben akan mengatakan hal tersebut padanya. Tapi, siapa yang bisa menduga?

"Kamu ---"

Gejolak emosi lantaran kata-kata yang Ben ucapkan, sontak membuat rentetan umpatan mengantri di ujung lidah Elzi. Berniat untuk mengumpati cowok itu, Elzi justru terhenyak ketika justru mendapati bagaimana bibirnya yang tak mampu bergerak lagi. Lantaran satu ciuman yang teramat tiba-tiba langsung membungkamnya.

"Euuumph ...."

Tak hanya ciuman yang merampas bibir Elzi, namun ada juga satu tangan yang terasa kokoh menarik pinggangnya. Membuat tubuh Elzi tanpa daya mendarat pada tubuh Ben. Sontak membuat kedua tangannya terangkat. Menahan dada cowok itu, berusaha untuk mendorongnya. Tapi, jangankan melepaskan diri. Bahkan sekadar membuat tubuh Ben untuk bergeser pun tidak bisa. Layaknya saat itu Elzi bukannya sedang mendorong manusia, alih-alih tembok besar China.

Cowok sialan!

Ingin menghardikkan kalimat itu, nyatanya tentu saja tak mampu Elzi lakukan. Dengan fakta bahwa bibir Ben melumat bibirnya? Oh, dan belum lagi ditambah ketika di detik selanjutnya cowok itu justru mengisap lidahnya!

Elzi memejamkan mata. Seperti tidak ingin melihat kenyataan di mana Ben menikmati bibirnya sesuka hati. Memanggutnya dengan dalam. Memberikan suara berdecak yang terdengar sensual. Hingga melumat lidahnya dengan buaian yang menggetarkan. Untuk kemudian, ciuman itu disudahi Ben dengan satu gigitan kecil di bibir bawahnya. Lantas menarik diri dan mendapati napas Elzi yang seketika menjadi tak beraturan.

Terengah-engah dengan wajah yang teramat merah, Elzi langsung mengelap bibirnya yang terasa basah. Sungguh, ia tidak akan heran sama sekali kalau lipstik yang ia kenakan menjadi berantakan.

"Kamu psikopat paling mesum di seluruh antariksa!"

Selesai mengumpati itu, Elzi segera keluar dan membanting pintu mobil Ben dengan sekuat tenaga. Lalu ia berlari, memasuki kantor tanpa sekali pun menoleh ke belakang.

Nikah dengan cowok mesum cabul nggak berperasaan kayak gitu?

Yang benar aja.

Tuhan udah berbaik hati untuk ngebuat hubungan aku putus dengan dia.

Kenapa sekarang aku malah mikir buat nikah sama dia?

Nggak bakal!

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro