1. The Fucking Reunion
Selamat siang semuanya... 👋🏻👋🏻👋🏻
Ternyata, banyak juga ya yang belum move on dari cerita yang satu ini... Hehehehe... Tapi, ssst... Jangan sampe komen spoiler ya... Biar jadi misteri buat yang baru mau mulai baca... hihihihiiii... 😂😂😂
Oh iya... Sebelum lanjut, cuma sebagai pemberitahuan, aku bakal membeberkan beberapa fakta sebelum kita benar-benar memulai cerita ini.
1. Ini cerita romantis komedi pertama yang aku tulis.
2. Cerita ini sebenarnya bergenre romantis komedi buat miris... Hahahaha... maksudnya, ntar di sini banyak kejadian yang seharusnya kita sedih, tapi nggak jadi sedih... yang ada malah kita ketawa... hahaha. Tapi, teuteup aja...ntar ada juga bagian mengharu birunya...
3. rating cerita ini 18+ dengan ada adegan kekerasan di salah satu partnya. ehm... 18 atau 21 ya? Ehm... pokoknya ya gitu deh ya...
Jadi, selamat menikmati part pertama kita... 😘😘😘
jangan lupa vote dan komennya, Guys... 🤗🤗🤗
===========================================================================
Elzira Citrani merasa kegamangan yang membuat dirinya bagai terombang-ambing. Layaknya ia yang tak lagi ditahan oleh gaya tarik bumi. Persis seperti seluruh isi antariksa yang tertarik ke dalam satu lobang hitam. Dengan amat tiba-tiba. Begitu mendadak. Mengisap. Terasa menyentak nyawanya hingga membuat ia membuka mata dengan seketika. Terbangun dari tidurnya. Dan mendapati bagaimana rasa sakit itu langsung hadir, memberikan denyutan-denyutan yang membuat ia mengerang.
"Astaga, Tuhan..."
Memijat dahinya seraya melirih pelan, Elzi lantas merasakan kerongkongannya terasa amat kesat. Kering. Menghadirkan rasa tak nyaman yang mendera dirinya. Tapi, itu belum seberapa. Hingga beberapa saat kemudian ia mendapati rasa sakit yang menyelimuti tubuhnya. Pegal. Remuk. Dan entah kata apa lagi yang bisa ia gunakan untuk menggambarkan keadaannya saat itu. Semuanya terasa sungguh menyiksa.
Menarik napas dalam-dalam, Elzi berusaha untuk menenangkan dirinya. Mencoba untuk mengabaikan rasa sakit itu, ia mengerjapkan mata. Perlahan, demi berupaya menyesuaikan retina matanya terhadap cahaya temaram di sekililingnya kala itu.
Ketika bola matanya mengitari keadaan, Elzi mencoba berpikir. Hingga dahinya tampak berkerut di saat ia memaksa otaknya untuk mengingat. Lantas berbagai kilasan kejadian beberapa saat yang lalu melintas di benaknya. Menampilkan wajah-wajah riang. Penuh canda. Tawa terbahak. Yang tentu saja dimeriahkan oleh makanan dan minuman. Tampak begitu bahagia.
Ah ....
Mata Elzi membesar tatkala berhasil mengingat hal penting itu. Sesuatu yang harusnya tak akan mudah ia lupakan. Ehm ... apalagi kalau bukan reuni SMA?
Malam itu Elzi menghadiri acara Reuni SMA yang diselenggarakan di rumah salah seorang temannya, Angela. Wanita cantik teman sebangkunya yang saat ini memilih untuk mengabdikan dirinya sebagai dokter di wilayah perbatasan.
Dan hal terakhir yang kemudian ia ingat adalah suara teman-teman yang riuh. Mungkin sedang mencemooh dirinya yang ternyata masih saja tak tahan dengan minuman beralkohol.
Elzi menghela napas panjang. Merutuk di dalam hati. Memangnya sejak kapan tidak bisa meminum alkohol menjadi hal yang memalukan?
Sekarang kalau diingat-ingat lagi, sangat wajar bila saat ini ia merasa pusing. Dan rasa pusing ini sudah pasti ditambah dengan rasa kesal mengingat beberapa orang temannya yang ternyata masih saja suka mengusilinya.
Dasar mereka!
Minuman apa sih yang mereka campur ke gelas aku tadi?
Aaargh ....
Ini wajar banget kalau aku ngerasa badan aku kayak kena timpuk gunung.
Pasti gara-gara minuman itu.
Menahan geram, Elzi mengangkat tangan kirinya. Hanya demi melihat jam yang melingkar di sana dan menimbang sejenak, apakah ia akan pulang atau memutuskan melanjutkan tidur malam itu.
Jam dua malam.
Sebenarnya Elzi bisa saja pulang, tapi sejurus kemudian ia merasa bahwa melanjutkan tidur terdengar lebih tepat untuk dilakukan daripada pulang. Terutama di saat tubuhnya sedang berada di kondisi yang tidak bisa diajak bekerja sama. Walau sebenarnya saat itu Elzi hanya duduk santai di dalam taksi –mengingat mobilnya sedang berada di bengkel, ia tak ingin mengambil risiko pulang dini hari. Siapa yang bisa menjamin keselamatannya coba?
Menyingkirkan jauh-jauh rencana untuk pulang, Elzi sekarang memutuskan untuk kembali melanjutkan tidurnya. Dan itu dimulai dengan dirinya yang mengangkat kedua tangannya sejenak. Sekadar untuk merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku. Menggeliat di balik selimut. Lantas mencari posisi yang nyaman, berbaring menyamping. Bahkan dengan dramatis, ia mengayunkan tangan dan kakinya bersamaan. Mendaratkannya di atas guling. Lebih dari itu, ia pun menyurukkan kepalanya di sana. Memeluknya. Hanya untuk menyadari betapa nyamannya guling itu. Bayangan tidur yang nyenyak pun melintas di benaknya.
Namun, rasa nyaman yang Elzi rasakan dan khayalan yang ia dambakan, mendadak menghilang. Tergantikan oleh rasa bingung. Itu adalah tatkala ia merasakan bahwa guling itu membalas pelukannya. Dengan satu tangan yang terasa berat mendarat di atas tubuhnya!
Eh?
Mata Elzi yang semula sudah memejam, sontak membuka. Berusaha berpikir. Hanya untuk terkesiap.
"Eh?! Sejak kapan guling punya tangan?"
Dan kala itu, kalau mau dipikir-pikir lagi, Elzi baru menyadari keanehan lainnya. Seperti ia yang baru sadar bahwa yang berada di bawah kepalanya jelas bukanlah bantal yang biasa ia gunakan saat tidur. Bantal yang satu ini tidak empuk. Alih-alih, justru terasa ... keras dan memiliki bentuk seperti ... tangan.
Hah?
Tangan lagi?
Tu-tunggu dulu.
Kenapa bantal-bantal di sini pada punya tangan?
I-i-ini benaran tangan ... atau aku yang halu sih?
A-a-apa gara-gara minuman itu?
A-a-aku jadi semacam yang mabuk gitu?
Elzi mencoba untuk tidak panik. Tapi, semua semakin tak berguna ketika matanya menangkap kenyataan lainnya. Yaitu di mana ia menyurukkan wajahnya, itu ternyata bukan guling. Melainkan satu bidang dada polos yang tampak bergerak dalam alunan napas yang teratur.
What?!
Berbantalkan lengan, menyuruk pada dada, dan satu tubuh memeluk tubuhnya? Tidak bisa tidak. Satu pertanyaan itu seketika timbul di benak Elzi.
Ini aku beneran mabuk atau ....
Ini siapa?!
Dengan getar-getar ketakutan, Elzi memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Demi untuk mendapati ada satu wajah tampan yang tampak terlelap tepat di depan matanya. Satu wajah yang paling tidak ia duga sebelumnya.
Hingga mata Elzi kemudian membesar pelan-pelan. Bahkan ia pun menyempatkan diri untuk mengucek terlebih dahulu matanya, sebelum ia melotot dengan lebih lebar lagi. Berharap agar wajah di hadapannya itu bisa berubah. Menjadi bantal, guling, atau apa saja. Yang penting bukan wajah seseorang. Terutama kalau itu adalah ....
B-B-Ben?
I-i-ini Ben?
Ya Tuhan.
B-B-Ben Yogaswara?
Dan kemudian, tak mampu dicegah, Elzi pun sontak menjerit.
"Aaahhh!!!"
Panjang dan kuat, jeritan itu bahkan hanya butuh hitungan detik untuk memberikan dampaknya bagi cowok yang pulas itu. Membuat ia mau tak mau meringis seraya mengusap telinganya. Pun terdengar bergumam. Reaksi alamiah semua orang tatkala merasa tidurnya diusik.
Perlahan, layaknya itu adalah adegan slow motion di film-film, Elzi melihat bagaimana bulu mata cowok itu tampak bergerak-gerak. Untuk kemudian, kelopaknya pun membuka. Tepat di depan mata Elzi. Hingga tak mampu dihindari lagi, dua pasang mata langsung beradu dalam satu tatapan yang lurus.
Hening sejenak ....
Kedua pasang mata itu mengerjap sekali. Untuk kemudian, saling menatap lagi. Seperti mereka berdua adalah sistem komputer yang sedang mengalami bug. Seolah masing-masing dari mereka perlu waktu sejenak untuk mencermati keadaan kala itu.
Elzi menahan napas. Layaknya ia yang tengah menunggu, kejadian mengejutkan apa lagi yang akan terjadi selanjutnya. Yang disertai oleh pengharapan. Mungkin saja ia benar-benar mabuk. Tapi ....
"Zizi ...."
Tidak ada halusinasi. Tidak ada mabuk. Karena mungkin mata bisa ditipu, tapi suara itu jelas bukan suara bantal atau pun guling. Suara itu terdengar berat dan dalam. Sudah lebih dari cukup untuk membuktikan pada Elzi bahwa bukan hanya dirinya yang berbaring di kasur itu. Alih-alih, ada seorang cowok yang bersamanya. Seseorang yang selalu memanggilnya dengan cirinya sendiri.
Dan untuk sekejap mata, seperti ada hantaman tak kasat mata yang terasa bagai menimpa Elzi. Atau seperti ada sentilan yang membuat jantungnya berdenyut dalam rasa yang tak nyaman. Lebih dari itu, dari semua kesan sesak yang ia rasakan, Elzi sama sekali tidak pernah mengira bahwa akan ada masa di mana ia mendengar panggilan itu kembali. Setelah sekian lamanya. Setelah bertahun-tahun.
Dan itu ... harus Elzi akui. Bahwa ia benci mendengar bagaimana ternyata suara cowok itu masih tidak berubah mengiramakan namanya.
Hingga kemudian, menyingkirkan semua hal itu dari benaknya, Elzi justru mendapati bagaimana hanya ada sorot kosong di tatapan cowok itu. Layaknya ia yang masih belum sadar dengan situasi yang terjadi pada mereka berdua. Dan seperti ingin mempertegas ketidaksadarannya, di detik selanjutnya, ia justru bertanya.
"Kamu kenapa ada di sini?"
Namun, Elzi tidak sempat menjawab. Karena selanjutnya mata cowok itu tampak membesar. Tepat ketika ia melihat pada tangannya. Yang mendarat di atas bahu polos Elzi. Oke, tidak terlalu polos dengan fakta bahwa ada seuntai tali bra di sana.
What?!
Tali bra?
Ben seketika syok. Buru-buru melepaskan tubuh Elzi. Sekarang sorot kosong di matanya menghilang. Tergantikan oleh emosi keterkejutan yang Elzo tolak untuk ia percaya.
Wajah Ben memerah. Bangkit. Dan bertanya lagi dengan panik.
"Ka-ka-kamu .... Kamu kenapa bisa ada di sini? Ya Tuhan. Kamu kenapa ada di sini?"
Turut bangkit, Elzi meradang mendapati justru dirinya yang dicerca pertanyaan oleh cowok itu. Bukankah seharusnya sebaliknya?
"Harusnya aku yang nanya gitu!" bentak Elzi murka. "Kamu kenapa ada di sini? Kenapa kamu ada di tempat aku tidur? Dasar bajingan sialan!"
Bersiap dengan semua kemungkinan yang bisa Ben katakan untuk membalas perkataannya, Elzi justru mengerutkan dahi dengan bingung ketika cowok itu justru diam. Nyaris tak bergerak. Bergeming. Bahkan matanya pun tampak tak berkedip.
Heran mendapati respon diam Ben ketika ia justru membentak dan mengumpatinya, Elzi lantas menyadari bagaimana Ben yang tampak tidak menatap pada matanya, layaknya orang yang sedang berbicara pada umumnya. Melainkan menatap ke arah lain. Tempat yang kemudian Elzi ikuti. Demi mengetahui penyebab diamnya Ben. Dan pada akhirnya, Elzi paham. Mengapa bisa cowok itu diam!
As-ta-ga!
Elzi duduk hanya dengan mengenakan bra. Selain itu, tak ada lagi yang menutupi tubuh polosnya. Dan wajar saja kalau Ben jadi bergeming. Cowok normal mana yang masih berkedip kalau ada tampilan nyaris bugil seorang cewek di depan matanya?
Lagi-lagi Elzi menjerit histeris. Mengumpati dirinya berulang kali karena lalai menahan selimut di tubuhnya.
"Dasar bajingan mesum!"
Elzi membentak Ben. Seraya menyambar selimut dan menghalangi pandangan cowok itu ke tubuhnya. Walau ironis, satu suara terdengar seolah mengejek di benaknya.
Emang ngaruh ditutup lagi, Zi?
Dengan keadaan kalian berdua yang kayak gini, dijamin Ben pasti udah ngeliat semuanya.
Bahkan dijamin.
Pasti lebih dari ngeliat doang.
Meremas tepian selimut di depan dadanya sekuat tenaga, mata Elzi lantas memejam. Hanya untuk menggeram dengan penuh kemarahan.
"Aaarghhh!!!"
Reaksi Ben untuk emosi Elzi itu, alamiah sekali. Ia gugup. Tampak salah tingkah. Tapi, itu bukannya membuat Elzi tenang. Yang terjadi justru sebaliknya.
Please, Zi.
Nggak usah ketipu lagi sama tampang sok alim dia.
Sekali kamu mikir dia udah berubah, dijamin!
Kamu bakal terjatuh lagi!
Elzi jelas sekali tidak bisa tenang. Alih-alih, ketakutan perlahan mulai tampak memunculkan wujudnya di wajah cantik itu. Dengan satu pemikiran yang alamiah sekali.
Ya Tuhan.
Dengan semua ini, gimana kehidupan aku selanjutnya?
A-aku ....
Gimana bisa aku terjebak dalam keadaan kayak gini?
Karena jelas, tampilan dada polos Ben yang bidang dan tampilan otot di perutnya, sukses membuat kepanikan Elzi bertambah berkali-kali lipat!
"Zi ...."
Lirihan pelan Ben sontak membuat Elzi berpaling. Dengan ekspresi menakutkan di wajahnya. Seperti ia yang siap untuk menelan Ben bulat-bulat!
"Aku nggak tau kenapa kita bisa kayak gini."
Tak ingin, tapi sungguh. Perkataan Ben yang terkesan sok polos itu membuat Elzi melongo. Disertai dengan mual-mual di perutnya.
"Hah? Nggak tau? Kamu bilang kamu nggak tau? Nggak tau? Ya ampun. Terus yang kamu tau apa? Hukum phytagoras kamu tau?!"
Ben salah tingkah. "Bukan gitu maksud aku. Tapi ...." Ia menghirup napas dalam-dalam. "Aku tadi kayaknya sedikit mabuk. Jujur aja, aku nggak ingat banyak." lanjutnya sambil mengingat. "Dan ...."
Ben tak melanjutkan perkataannya. Karena sejurus kemudian, Elzi kembali memejamkan mata. Seolah ia yang menolak untuk melihat kenyataan kala itu.
Dasar alkohol bajingan!
Siapa sih pencetus minum alkohol?!
Udah cukuplah alkohol itu jadi bahan sterilisasi!
Jangan dipake buat minum-minum!
Aaargh!
Dan rasa geram itu, pada akhirnya bermuara pada kesedihan yang tak mampu Elzi tahan. Menimbulkan buliran air mata yang perlahan merembes di balik kelopak matanya. Mendobrak pertahanan Elzi. Jatuh dalam bentuk tangisan yang membuat Ben membeku.
"Zizi ...."
Tak disangka, bahkan mungkin oleh Elzi dan para setan di dunia, Ben meraih tubuh Elzi. Membuat mata yang berlinang air mata itu menyiratkan sorot syok. Ingin menarik diri, namun Elzi mendapati bagaimana tangan Ben memiliki kekuatan yang tak mampu untuk ia lawan. Hingga pada akhirnya, kepalanya pun mendarat di dada yang bidang itu. Pun diikuti oleh tangan Ben yang lantas mengelus kepalanya.
"Aku minta maaf. Aku tau permintaan maaf aku nggak bakal ngubah keadaan. Tapi, aku serius. Aku minta maaf."
Bisikan pelan di telinganya, membuat Elzi terdiam. Tak mengatakan apa-apa. Karena alih-alih masih merasakan kemarahan terhadap Ben, sekarang Elzi justru merasakan hal lainnya. Yaitu kedinginan yang penuh dengan aura ketakutan. Yang perlahan mulai merambah ke seluruh saraf tubuhnya. Dengan satu pertanyaan. Seolah sedang mempertanyakan takdir.
Tuhan, salah aku apa?
Kenapa aku harus terjebak lagi dengan cowok ini?
Sementara itu, mendapati Elzi yang tidak bersuara untuk merespon permintaan maafnya, tentu saja membuat Ben tak tenang. Maka selanjutnya, cowok itu mengangkat dagu Elzi dengan jarinya. Membawa tatapannya untuk melihat ke dalam mata bening cewek itu. Ia mengembuskan napas pelan.
"Zi, tenanglah. Just relax," kata Ben kemudian. "Mungkin yang kita pikirkan nggak terjadi."
Elzi melongo. "Hah? Yang kita pikirkan?" tanyanya dramatis. "Emangnya kamu tau apa yang aku pikirkan?"
Tentu saja tidak sulit menebak arah pikiran Elzi. Berdasarkan keadaan mereka berdua yang tanpa pakaian, berada di kasur yang sama, di balik selimut yang sama, dan sambil berpelukan, tentu saja muara dugaan hanya tertuju pada satu hal. Yaitu, sadar atau tidak, mereka berdua sudah melakukan hubungan intim.
Namun, entah apa yang dipikirkan oleh Ben ketika ia justru berkata.
"Aku tau, Zi. Tapi, mungkin aja nggak ada yang terjadi di antara kita. Kan ... bisa saja kita berdua cuma tidur bareng."
Mendengarkan perkataan itu, alih-alih membuat Elzi merasa tenang. Sebaliknya, ia justru menggeram. Dan Ben jelas tau itu, karena sedetik kemudian mata Elzi yang sempat meredup karena ketakutan, tampak berubah. Meradang dengan menyorotkan beragam kemarahan. Ben buru-buru menjernihkan perkataannya.
"No no no. Tidur bareng maksud aku ya tidur. I mean, we fell asleep. Okey? Bukan ...." Ben meneguk ludahnya. "It's not like we had sex."
Mata Elzi semakin melotot dan Ben dengan cepat kembali berkata.
"Mungkin kita nggak ngelakuin apa-apa. Ya kan? Bisa aja. Semua hal tetap ada peluangnya."
"Oh, sekarang kita membahas soal peluang?"
Dramatis, Elzi memejamkan matanya untuk beberapa saat. Seperti tengah berusaha menenangkan dirinya. Alih-alih kembali menjerit histeris dengan lebih kuat lagi.
"Jadi, bisa kamu jelasin kenapa keadaan kita seperti ini kalau kita memang ..." Elzi merasakan bagaimana napasnya terasa sesak saat ini. Suaranya rendah, tapi tajam mendesis ketika melanjutkan perkataannya. "... did nothing? Dengan keadaan aku yang nyaris telanjang? Di atas kasur dengan kamu?! Dan kamu juga nggak pake pakaian?!" Mata Elzi menajam. "Menurut kamu, kita kepanasan terus buka baju bareng biar nggak gerah gitu?! Terus kita main peluk-pelukan biar kayak yang akrab gitu?! Iya?! Kamu pikir kita Laa-Laa dan Tinky Winky yang hobinya berpelukan?!"
Ben menghela napas panjang. "Sabar, Zi."
"Gimana aku bisa sabar kalau keadaannya kayak gini?! Aku bukan turunan Bunda Teresa yang bisa sabar! Aku cuma cewek biasa yang bersumpah akan ngebunuh kamu hidup-hidup dengan cara yang paling bar-bar!"
"Oke oke. Coba kita cek dulu. Kita lihat apa kita memang melakukannya atau emang cuma sekadar tidur bareng. Seharusnya ada sesuatu di kasur ini yang membuktikannya," ujar Ben kemudian. "Nyaris naked dan berdua di atas kasur belum tentu menjadi bukti kalau kita berdua making love. Yaaah ... kemungkinan kita cuma gerah tetap ada peluang. Walau cuma 0,1%."
"Nyaris naked? Making love?" tanya Elzi histeris. "There's no love!" Dan tanpa sadar wanita itu mengangkat tangan, mengepalkannya dan mendaratkan tinju pelampian pada dada Ben.
Ben dengan sigap menangkap tinju itu. "Kita selesaikan dulu ini, Zi. Baru abis itu kalau kamu emang mau mukul aku ya ... pukul. Terserah."
"Kalau memang terbukti, aku janji. Bukan pukulan yang bakal aku berikan ke kamu. Tapi, kematian!" Elzi menggigit bibir berusaha menguatkan hati. "Dasar bajingan!" umpatnya sambil bangkit.
Menyadari bahwa tubuhnya polos tanpa ada pakaian selain bra yang melekat, membuat Elzi tidak akan abai untuk menutupi hal tersebut dari mata Ben. Tentu saja dengan selimut yang mereka gunakan kala tidur tadi. Tapi, ketika Elzi berdiri bersama dengan selimut itu, sontak saja ia memekik. Tepat ketika melihat satu pemandangan polos lainnya yang tidak ia perkirakan sebelumnya.
"Ada hidung Squidward! Aaah!!!"
Mata Ben melotot syok. "A-a-apa?" tanyanya tergagap. "Hidung Squidward?" Ben melihat ke bawah. Ke tempat di mana Elzi melihat sebelum pada akhirnya ia menjerit histeris kembali. "Wah! Kamu bilang ini hidung Squidward? Hah! Kamu nggak tau kalau yang kamu bilang hidung Squidward ini bisa berubah bentuk jadi tombak trisula Aquaman?"
Berusaha untuk tidak mendengar perkataan Ben, Elzi pun berupaya menutup telinganya. Pun menutup matanya. Di dalam hati berdoa agar tampilan polos Ben yang sukses masuk ke retinanya, bisa ia enyahkan dari dalam pikirannya.
Astaga.
Tampilan polos!
Tentu saja. Karena hanya itulah satu-satunya alasan mengapa Elzi sampai bisa melihat hidung Squidward di sana.
Ya ampun.
"Di-di-diam kamu! Jangan ngomong yang aneh-aneh. Dasar prikopat mesum! Cabul!" geram Elzi dengan wajah yang terasa panas. "Dasar hidung Squidward."
Kali ini, Ben mau tak mau ikut-ikutan memejamkan mata. Karena jelas sekali. Dadanya mendadak terasa panas karena lagi-lagi mendengar istilah itu. Hidung Squidward? Ya ampun. Yang benar saja. Mana ada cowok yang mau organ intimnya disebut dengan istilah menggelikan seperti itu? Tentu saja tidak ada. Dan itu, jelas termasuk Ben di dalamnya. Hingga wajar saja bila pada akhirnya rasa sabar yang berusaha untuk ia pupuk sejak tadi, sirna. Lenyap tak berbekas sedikit pun.
"Hidung Squidward? Ehm ... kamu beneran mau ngeliat bukti kalau hidung Squidward ini bisa berubah bentuk jadi tombak trisula Aquaman? Iya? Hah! Aku bilangin ya. Tujuh samudra bakal badai tsunami kalau dia sudah berubah bentuk!"
"Aaah!" jerit Elzi. "Berenti! Dasar cabul! Mesum! Nggak otak nggak penampilan kamu, semuanya nggak ada yang beres! Berenti ngomong yang aneh-aneh!"
Kembali, Ben tercengang dengan perkataan Elzi. Hingga pada akhirnya ia geleng-geleng kepala.
"Ternyata, setelah sekian lama kita nggak ketemu, kamu emang nggak berubah. Mulut kamu itu memang ...." Ben tak mampu meneruskan perkataannya. "Wah. Dan tadi kamu ngomong apa? Penampilan aku nggak beres?"
"Emang! Otak dan penampilan kamu sama nggak beresnya!"
"Ha ha ha ha. Memangnya penampilan kamu udah beres sampe ngomong penampilan aku nggak beres? Dengan selimut yang menutupi dada, sementara dua bokong kamu ke mana-mana? Itu menurut kamu beres? Aku bahkan bisa ngeliat ada tahi lalat di bokong kamu!"
What?
"Siapa sih yang nggak beres?"
"Stop!"
Elzi meradang. Menyadari bahwa ia yang terlalu emosi hingga hanya fokus dengan tubuh bagian depannya dan melupakan bagian belakangnya. Hiks. Entah sudah berapa lama Ben memanfaatkan hal tersebut.
Buru-buru membalikkan tubuhnya, memastikan bahwa sekarang tak ada lagi tubuhnya yang bisa dilihat cowok itu, Elzi mendapati bagaimana sekarang Ben sudah berdiri di hadapannya. Terpisahkan oleh tempat tidur, tampak telah mengenakan celana dalamnya yang bertipe low-rise briefs. Hal yang tentu saja membuat Elzi jengah. Karena jelas celana dalam itu membuat bagian intim Ben tampak menakutkan di mata Elzi. Dan melihat reaksi itu, Ben menyeringai.
"Jangan sampe kamu ileran ngeliat hidung Squidward, Zi."
Astaga!
Seketika saja Elzi membuang muka. Dan mengabaikan bagaimana Ben menatap dirinya, Elzi justru teringat dengan hal penting lainnya ketimbang hidung Squidward. Maka ia pun mengedarkan tatapannya menyusuri tempat tidur. Hanya untuk menemukan sesuatu yang bisa menjadi indikasi akan apa yang telah terjadi padanya dan Ben. Hingga kemudian, tubuhnya pun menegang. Tepat ketika matanya terpaku pada bercak merah di atas seprai bermotif itu.
Menyadari bahwa Elzi tak membalas perkataannya, Ben pun melihat pada cewek itu. Hanya untuk membawa tatapannya ke arah lainnya. Pada kasur. Tempat yang menjadi fokus mata Elzi. Dan pada saat itu, Ben mendengar suara gedebuk. Ketika dengan begitu tiba-tiba, Elzi jatuh terduduk di lantai. Seperti dirinya yang tak mampu menahan gaya gravitasi lagi.
Dingin. Elzi yakin bahwa rasa dingin itu bukan berasal dari lantai berkeramik mahal itu. Alih-alih berasal dari ketakutan yang membayang di benaknya. Sekarang, Elzi bukan hanya panik. Semua sarafnya seperti mati rasa. Bahkan jantungnya seolah tidak berdetak lagi. Ia seperti merasa bahwa kehidupannya sudah berakhir saat itu pula.
"Ya Tuhan. Ini ... ini ...."
Bahkan Elzi tak yakin apa yang akan ia katakan. Karena sedetik kemudian, sebulir air matanya jatuh. Dan di saat itu, Ben segera bertindak. Beranjak dengan cepat. Meraih tubuh Elzi dan mengajaknya duduk di tempat tidur.
"Zi ...."
Untuk lirihan pelan yang Ben ucapkan, hanya ada tatapan kosong yang mampu Elzi berikan. Hal yang terang saja membuat Ben meneguk ludah dengan panik.
Ben lantas menangkup pipi Elzi, menahan wajah cantik yang telah memucat itu tepat di depan wajahnya. Dengan amat dekat. Bahkan saking dekatnya, Elzi bisa merasakan hangat embusan napas Ben. Pun sebaliknya dengan Ben.
"Aku bakal bertanggungjawab," lanjut Ben dengan serius. "Aku bakal nikahi kamu. Jadi ..." Ben menarik napas sekilas. "... kamu nggak perlu khawatir."
Namun, layaknya Elzi yang memang sudah mati, ia tak merespon perkataan Ben. Ia hanya diam. Dengan satu suara sinis yang mendadak muncul di benaknya.
Bakal nikahi aku?
Hah?
Bakal nikahi aku dia bilang tadi?
Emangnya aku lupa kalau dia dulu juga pernah janji hal yang sama?
Tapi, nyatanya?
Dia ngilang entah ke belahan dunia bagian mana.
Ngilang tanpa kabar sedikit pun!
Lantas, Elzi menggeleng.
"Nggak. Nggak mungkin," gumam Elzi dengan suara yang teramat samar. "Nggak mungkin aku nikah dengan kamu. Nggak. Pokoknya nggak."
Dipenuhi oleh beragam bayangan di benaknya, Elzi lantas menarik diri. Dengan tetap mempertahankan selimut di tubuhnya, ia bangkit lagi. Demi melihat-lihat ke atas kasur kembali. Tapi, kali ini dengan lebih saksama.
"Minggir!"
Ben yang kebingungan mendapati perubahan sikap Elzi yang mendadak, hanya bisa mengerutkan dahi. Bergeser ketika Elzi kembali memeriksa kasur. Seraya merabanya beberapa kali. Layaknya ia yang tengah mencari sesuatu di sana.
"Apaan, Zi?" tanya Ben untuk kemudian ia memutuskan turut berdiri pula. "Kamu nyari apa?"
Tidak menemukan apa pun di kasur, Elzi meneguk ludah. Kali ini ia mengahmpiri Ben. Bahkan tanpa sadar meraih satu tangan cowok itu. Ia menengadah saat berusaha memaku tatapan Ben.
"Bilang ke aku kalau kamu pake."
Kali ini tak hanya bingung, dahi Ben pun langsung berkerut tak mengerti. "Pake? Maksud kamu pake apa?"
Elzi menggigit bibir bawahnya sekilas. Seolah merasa bimbang ketika didesak oleh pertanyaan itu. Hingga kemudian, ekspresi ngeri tercetak di wajahnya ketika ia menjawab dengan setengah berbisik pada cowok itu.
"K-k-k ...."
Belum mengerti, Ben kembali bertanya. "K-k-k apa?"
Memejamkan mata, Elzi menjawab. "Kondom!"
"Uhuuukkk!"
Ben sontak terbatuk-batuk. Sementara Elzi kemudian melotot lebar. Menyiratkan emosi yang benar-benar tak terbendung lagi.
Tak peduli dengan wajah Ben yang berubah merah atau batuk-batuk salah tingkahnya, Elzi menodong Ben dengan pertanyaan bernada harapan itu.
"Kamu pake kan? Terus bekasnya udah kamu buang? Ke mana? Tong sampah? Kloset? Atau ...."
Karena itu adalah pengharapan terakhir Elzi. Ia mungkin melakukan kesalahan tanpa disengaja bersama Ben. Tapi, bukan berarti ia harus terperangkap dalam pernikahan bersama cowok itu kan?
Namun, nahas. Satu-satunya harapan Elzi perlahan sirna ketika ia mendapati Ben yang menarik napas dalam-dalam, membiaskan ekspresi yang tidak ia harapkan. Cowok itu kemudian menggeleng.
Elzi tertegun untuk beberapa detik. "Ka-kamu nggak pake? Kamu nggak pake kondom? Serius? Kamu nggak pake?"
Kembali, Ben menggeleng. "Aku nggak pake kondom."
Dan ketika harapan terakhirnya sirna, maka kesedihan dan ketakutan Elzi berubah seketika. Menjadi kemarahan yang siap untuk meluap.
"Kamu nggak pake kondom?! Kenapa bisa kamu nggak pake kondom?!" tanya Elzi histeris. "Astaga. Umur kamu udah berapa sih? Gimana bisa kamu jadi cowok dewasa yang benar-benar nggak beretika kayak gini?! Serius? Kamu nggak pake?!"
Untuk itu, Elzi lantas melayangkan satu tangannya yang bebas. Dalam bentuk pukulan yang bertubi-tubi mendarat di dada Ben. Dan Ben tidak melakukan apa pun untuk menyelamatkan diri. Seperti dirinya yang pasrah saja menerima hukuman itu.
"Udah ngambil keperawanan orang, eh ... malah nggak pake kondom lagi! Kamu hidup di abad berapa?! Aaargh!!!"
Tinju yang bertubi-tubi, diiringi oleh berbagai umpatan yang ia layangkan, napas Elzi terdengar begitu kasar menderu. Dan Ben beruntung, karena Elzi tidak memiliki ikatan kekeluargaan dengan spesies naga mana pun. Karena kalau tidak, Ben yakin. Saat ini sudah pasti ada api yang menyembur dari kedua lubang hidung Elzi!
"Harusnya kamu pake! Gimana bisa kamu ngelupain hal sepenting itu? Argh! Harusnya kamu ingat buat pake!"
"Zi, aku mabuk. Gimana bisa aku ingat dengan segala macam kondom di saat aku mabuk?"
"Harusnya kamu ingat! Bahkan untuk ngelepas celana dalam kamu aja kamu ingat! Kenapa buat masang kondom kamu nggak ingat?!"
Didesak oleh rentetan kata-kata yang Elzi ucapkan, Ben nyaris merasa kepalanya pusing. Hingga ia pun antara sadar dan tidak, menukas seperti ini.
"Kalau aku ingat buat pake kondom, itu artinya aku nggak mabuk."
Hal yang membuat Elzi semakin meradang.
"Dasar penjahat kelamin."
"What? Penjahat kelamin kamu bilang?" Bola mata Ben berputar dramatis. "I can make you sure that you are the first. Belum ada kelamin siapa pun yang aku jahatin sampai detik ini"
Elzi melotot. "Pertama aja udah lihai ya, Bun?" sindirnya dengan sinis. "Dan mau aku yang pertama atau yang terakhir, emangnya itu penting? Menurut kamu, aku bakal bangga gitu?!" Jari telunjuk Elzi menuding. "Dan ingat! Ada kelamin aku yang kamu jahatin barusan ini!"
Dan Ben yakin, melihat dari histerisnya Elzi, diikuti oleh dadanya yang naik turun dengan teramat kentara, situasi kala itu akan semakin kacau kalau dirinya tidak bisa berpikir dengan jernih. Hingga ia pun menarik napas dalam-dalam. Mengultimatum dirinya sendiri, agar menjadi orang waras di situasi genting saat itu. Jangan sampai terpancing dan justru membalas perkataan emosional Elzi dengan sama emosionalnya. Itu akan membuat semuanya semakin kacau.
"Zi ...."
Menyebut nama Elzi dengan lirih seraya berusaha meraih cewek itu, Ben justru mendapati bagaimana Elzi yang menepis tangannya. Alih-alih membiarkan dirinya untuk ditenangkan oleh Ben, ia memilih untuk duduk kembali di tempat tidur. Mengembuskan napas dengan kasar sementara satu tangannya meremas rambutnya. Frustrasi.
"Ya Tuhan. Kalau pun aku harus kehilangan keperawanan, itu bukan berarti aku bakal hamil kan? Jangan, Tuhan. Please, jangan buat aku hamil," lirih Elzi semakin panik. Ia menarik napas. Berusaha untuk logis. "Peluang terjadi kehamilan di hubungan pertama nggak besar, Zi. Tenang. Hamil nggak semudah itu. Orang yang udah nikah aja bisa bertahun-tahun baru bisa punya anak. Nggak mungkin banget kan ya kamu sekali kejadian justru langsung hamil?" Elzi kemudian meringis. "Aku mohon, Tuhan. Kalau pun ada rencana ngebuat aku hamil, please diralat. Kasih aja kehamilan ini ke pasangan lain yang udah nunggu-nunggu. Aku ikhlas lahir dan batin."
Melihat Elzi yang meracau seolah sedang tak sadar diri, Ben hanya bisa diam. Menyaksikan dengan saksama bagaimana sejurus kemudian mata Elzi tampak terpejam. Dengan bibirnya bergetar. Lantas, ia bertanya pada dirinya sendiri.
"Ka-kapan masa subur aku? Kapan? Besok? Lusa? Minggu depan? Atau udah lewat?"
Berusaha mengingat, tapi Elzi mendapati kepalanya seperti kosong. Sial! Tapi, manusiawi sekali. Memangnya otak cewek mana yang masih bisa berpikir di saat seperti itu?
"Zi ...."
"Sial!" umpat Elzi dengan napas terengah-engah. "Kemungkinan tetap ada, Zi. Walau peluangnya kecil, tetap saja ada. Ya Tuhan. Bahkan korban pemerkosaan aja sering hamil. Dan gimana kalau kecelakaan ini ngebuat aku hamil? Astaga. Bukannya udah jadi misteri umum ya kalau hubungan kecelakaan memiliki peluang hamil yang tinggi?"
Ben meneguk ludahnya melihat Elzi yang tetap meracau seolah dirinya tak ada di sana. Hingga ia pun kembali memanggil nama cewek itu.
"Zi ...."
Meradang, Elzi menoleh pada Ben. "Bisa berhenti manggil Za Zi Za Zi nggak sih?!" bentak Elzi. "Kamu nggak tau kalau aku panik?!"
Ben memejamkan matanya dramatis. Geleng-geleng kepala seraya mengembuskan napas panjang. Memilih membiarkan Elzi untuk kembali meracau panjang lebar karena kepanikannya.
"Kenapa ini harus terjadi ke aku? Gimana kalau aku hamil?" Mata Elzi bergerak-gerak gelisah, sedangkan jantungnya berdentum dengan begitu parah. "Hamil di luar nikah?"
Glek.
"Ya Tuhan. Kalau aku beneran hamil di luar nikah, gimana? Hukuman apa yang bakal aku terima dari Mama dan Papa? Diusir dari rumah? Digantung hidup-hidup? Atau ...."
Namun, sejurus kemudian terdengar kesedihan di suara wanita itu. Menggantikan racauan kepanikannya.
"Kenapa aku bisa sebodoh ini? Kenapa aku nggak bisa menjaga diri sendiri?" Mata Elzi memejam. "Belum bisa jaga diri sendiri, dan sekarang? Gimana kalau aku hamil? Gimana bisa aku menjaga anak aku? Ya Tuhan. Aku nggak sanggup hamil sekarang. Please, Tuhan. Jangan biarkan ada anak yang nggak berdosa harus dapat ibu yang belum bisa apa-apa kayak aku. Kasian dia ntar, Tuhan."
Ben meraih tangan Elzi. Pelan-pelan menyelamatkan rambut cewek itu dari kemungkinan rontok dalam waktu dekat. Bagaimanapun juga, Elzi sungguh tidak tanggung-tanggung ketika melampiaskan emosinya. Dan alih-alih memberikan Elzi kesempatan demi menggunakan tangannya untuk hal lainnya, Ben justru menggenggamnya. Dengan erat. Hal yang sontak membuat Elzi menghentikan racauannya.
Mata Ben memaku tatapan Elzi. "Hamil atau nggak, bukan itu masalah di sini."
Menjeda sejenak ucapannya, Ben mengingatkan dirinya sendiri untuk berbicara selembut mungkin. Jangan sampai perkataannya justru memancing emosi Elzi yang memang sudah terpancing sejak tadi. Itu bisa gawat!
Dan setelah beberapa detik berlalu, ketika Ben tidak mendapati ada reaksi apa pun dari Elzi, maka ia pun melanjutkan perkataannya. Dengan teramat berhati-hati. Berharap agar dirinya tidak sampai salah dalam memilih kata-kata.
"Terlepas dari kamu hamil atau nggak," lanjut Ben kemudian. "Aku bakal tetap bertanggungjawab. Aku serius. Aku beneran bakal nikahi kamu. Dan kalau pun nanti kamu hamil, kamu nggak perlu khawatir. Kamu nggak perlu takut." Tanpa kedip, Ben mantap Elzi. "Ada aku yang bakal ngejaga kalian berdua. Kita bisa pelan-pelan belajar jadi orang tua."
Ka-kalian berdua?
Pelan-pelan jadi orang tua?
Demi dua hal itu, Elzi langsung membeku. Kepalanya seketika langsung terasa kosong. Hingga wajar saja bila pada akhirnya Ben mendapati tak ada lagi emosi di sepasang bola mata bening itu. Seperti perkataan Ben sudah membawa Elzi berada di awang-awang. Dunia tanpa kepastian.
"Menurut kamu?" tanya Elzi ironis. Entah sadar atau tidak, ia lantas menarik tangannya dari genggaman Ben. Untuk kemudian, ia memegang perutnya sendiri. "Apa sekarang sperma kamu udah berenang-renang di rahim aku? Apa sperma kamu udah berhasil ketemu sama ovum aku? Apa mereka udah melebur jadi satu?"
Ben merasa sesak napas. Tidak tau apakah itu pertanyaan yang perlu mendapat jawaban atau tidak.
Namun, mendapati Ben yang bahkan tidak memberikan sepatah kata pun untuk pertanyaannya, seketika membuat Elzi menggeram.
"Argh! Nikah sama kamu? Ya Tuhan. Aku nggak mungkin nikah sama kamu. Astaga. Kenapa harus aku sih yang ngalamin hal kayak gini? Aku ada dosa apa, Tuhan? Masa aku dihukum kayak gini sih?"
Tak akan membiarkan perdebatan itu menjadi hal yang berputar-putar, Ben meraih kedua lengan atas Elzi. Menahannya. Tidak memberikan celah sedikit pun untuk Elzi bisa bergerak barang seinchi juga.
"Zi," kata Ben dengan penuh penekanan. "Aku nggak main-main. Aku bakal nikahi kamu. Jadi, please. Berenti panik. Berenti nyalahin takdir. Kita berdua bisa jalanin ini semua. Kita sama-sama cari jalan keluarnya. Dan itu adalah dengan menikah."
Tak menanggapi perkataan Ben, Elzi hanya diam menatap pada mata gelap itu. Di sana, Ben mampu menangkap berbagai ketakutan dan kepanikan yang berkecamuk lewat sorot bening manik Elzi.
Apa aku bisa percaya dengan omongan kamu?
Sekarang kamu ngomong gitu, lusa?
Mungkin aja kamu ngomong hal yang lainnya.
Kita sama tau kamu itu kayak gimana.
Aku nggak pernah mau jatuh di lobang yang sama untuk ketiga kalinya!
Elzi bimbang. Dan Ben tau dengan pasti hal itu. Manusiawi sekali bila saat itu Elzi nyaris tidak tau apa yang harus ia lakukan. Semua pasti terasa amat menakutkan untuk dirinya.
Namun, Ben memutuskan untuk tidak membiarkan Elzi larut dalam kebimbangannya. Karena alih-alih menunggu, cowok itu pun lantas mengambil tindakannya.
Tiba-tiba, tanpa ada peringatan sedikit pun, Ben lantas menarik wajah Elzi. Ke arahnya. Tanpa ada silap sedikit pun tatkala membawa bibir Elzi untuk mendarat di bibirnya.
Sontak saja mata Elzi membelalak. Menyadari bahwa dalam hitungan detik yang teramat cepat, detik yang tak mampu untuk ia elak, bibirnya telah lenyap dalam satu pagutan yang dalam. Rasa syok akan keadaannya kala itu membuat ia seperti orang linglung yang tak mampu memberikan penolakan sedikit pun ketika Ben menciumnya.
Dalam dan kuat. Hingga menimbulkan suara decakan yang mengiringi pergerakan sensual yang bibir Ben lakukan padanya. Untuk kemudian, satu usapan sekilas diberikan oleh ujung lidah Ben. Tepat sebelum ia menarik ciumannya.
"Kita nikah, Zi," tegas Ben tanpa kompromi. "Ini bukan pertanyaan. Ini pernyataan!"
*
tbc...
enjoy, yah "-"
Bogor, 2016.10.14
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro