2. ANAK PANAH 1/3
"BI, mau practice berapa rambahan lagi?"
"Nggak yakin," kata Abi sebelum menenggak air minumnya sekilas dan mengusap mulutnya. "Mungkin dua rambahan lagi."
"Lo bilang gitu tiga rambahan lalu, Bi. Dan itu abis lo latian berapa, enam rambahan berturut-turut?"
"Tembakan gue lagi berantakan, Bam. Gue mau nyari feel-nya dulu."
Bambang mengernyit. "Emang kemaren lo belom dapet feel-nya?"
"Udah sempet. Makanya gue bingung kenapa gue berantakan banget hari ini."
"Santai, sih. Udah tau mental lagi drop gini malah lu paksain."
Abi mengerang. "Yang latian gue, oke? Santai aja."
"Padi udah mulai nanyain, tuh. Kak Andi juga. Jangan kecapean dulu, Bi. Ini belom hari tanding. Dan lo bahkan belom sarapan."
Persis saat itu juga, bel berbunyi tiga kali dan perut Abi berkeruyuk ria. Abi menghela napas. "Kampret lo. Gue udah bisa lupa, njir."
"Istirahat dulu, Bi. Lagi pula, mumpung Kak Andi nanyain, tuh. Kesempatan begini masa lo buang?"
Abi memutar bola mata begitu Bambang menyebut soal Andi. "Jadwal latihan sesi pertama ini tiga jam, Bam. Gue ga mau nyia-nyiain waktu."
Dia tidak berbohong—begitu para pemanah kembali dari mencabut anak panah mereka, Abi segera mengambil busurnya dan melambai singkat pada Bambang, disusul mengambil posisi menembak yang ditinggalkan oleh seorang atlet dari Meksiko. Target 4C—targetface kanan bawah di bantalan 4. Menembak di targetface bawah memang terkadang agak menyebalkan, tetapi Abi tidak berniat membiarkan satu tahun latihannya menjadi sia-sia.
Abi menghela napas. Bambang ada benarnya. Berkat pemanasan dan intensitas latihannya, otot Abi tidak terlalu pegal; tapi Abi bisa merasakan benih-benih perih di punggung atas dan pundaknya. Beban tarikan busur bisa mencapai puluhan kilogram, biasanya antara dua puluh hingga dua puluh lima untuk kategori compound putra, dan seorang atlet panahan harus menarik beban seberat itu berkali-kali sejumlah anak panah yang ditembakkannya. Karena inilah seorang pemanah tidak menarik busurnya dengan otot lengan, tetapi dengan kompleks otot di punggung atas, dada atas, dan pundak yang sering disebut archer's muscles. Otot-otot ini bukan jenis otot yang kita latih secara khusus di hidup kita sehari-hari, jadi seperti seorang pemanah yang belum tentu kuat mengangkat barbel, seorang binaragawan juga belum tentu kuat menarik sebuah busur panah.
Dan Abi menarik beban tarikan ini sebanyak sembilan rambahan latihannya sedari tadi; karena setiap rambahan berisi enam anak panah, berarti Abi total menarik beban itu sebanyak lima puluh empat kali—dan tarikan kali ini membuat angka itu naik jadi lima puluh lima. Itu bukan angka yang terlalu bersahabat untuk ronde latihan, bahkan bagi orang yang sudah terlatih sekalipun. Kebanyakan pemanah pro berhenti latihan setelah beberapa rambahan saja hanya untuk memastikan teknik mereka konsisten, memastikan posisi fisir mereka, atau mungkin sekadar membuat lawan mereka gentar.
Jika begitu caranya, berarti Abi adalah kasus unik.
Klik.
SET!
Anak panah Abi mendarat di ring 10, tetapi seperti semua pemanah di garis tembak, Abi tahu bahwa itu belum banyak berarti. Setiap anak panah adalah sebuah awal baru, dan seperti setiap awal lainnya, dia bisa berhasil dan bisa gagal pada akhirnya nanti.
Abi tidak mau gagal.
Klik.
SET!
10 lagi. Abi masih belum puas dan memasang anak panah berikutnya. Dia baru sadar bahwa garis tembak tidak seramai tadi lagi, dan kebanyakan atlet yang sekarang berlatih serambahan dengannya adalah atlet-atlet yang berbeda dengan yang tadi berlatih dengannya sebelum dia rehat satu rambahan untuk minum. Atlet-atlet tadi menghemat tenaga mereka untuk kualifikasi besok.
Masalahnya, Abi belum merasa siap untuk kualifikasi besok.
Klik.
SET!
Masuk di ring 9. Abi menghela napas seakan sudah menduganya. Kanan dikit, bego. Dia memeriksa ekor anak panah berikutnya—anak panah nomer 4. Abi ingat yang satu ini dari rambahan pertamanya tadi—ring dalem, arah jam 7. Oke. Dia kembali mengulang rutin menembaknya.
Nocking—pasang anak panah ke busur.
Extending—mengangkat busur.
Drawing—menarik tali busur.
Anchoring—mencapai anchor points.
Aiming—membidik ....
Klik.
SET!
Ring 9 atau 10, Abi tidak bisa yakin sebelum memeriksanya nanti. Mungkin dia berhasil menembak dan kena garis sehingga dihitung masuk ke ring 10? Entahlah.
"Bi," kata suara dari belakang Abi sementara Abi menarik anak panah kelimanya. "Ini rambahan terakhir, ya."
Abi baru saja akan menyuarakan protes ketika dia sadar bahwa yang mengatakan itu adalah Pak Karno. Menggerutu dalam hati, Abi mengangguk sambil nocking anak panah berikutnya.
Extend.
Draw.
Anchor.
Aim ....
Klik.
SET!
Anak panah kelimanya mendarat lagi di ring 9. Abi menghela napas. Kalau begini apa gunanya latihan sepanjang ini?
Anak panah terakhir, pikir Abi. Awas aja yang ini masuk 9 lagi.
Nock.
Extend.
Draw.
Anchor.
Aim ....
Sedari tadi, tembakan Cory nyaris tidak pernah lagi meleset ke ring 9. Bahkan dia sempat membuat streak tembakan yang terus-menerus mendarat di ring 10 di tiga rambahan terakhirnya sebelum dia memutuskan berhenti bermain practice rounds. Tembakan Romain sangat cepat membaik setelah rambahan pertamanya yang kurang cemerlang tadi. Sementara Abi ....
Klik.
SET!
Dub.
Mendarat di ring 7, arah jam enam.
Abi mengerang sambil meninggalkan garis tembak ke garis tunggu, menanti rambahan ini selesai dengan sinyal tiga bel dari timekeeper. Pak Karno dan Padi sudah menanti Abi di belakang garis tunggu, Padi dengan wajah waswas dan Pak Karno dengan ekspresi yang tidak bisa Abi tebak. Firasatnya membuatnya yakin bahwa dia lebih bahagia tidak menebak ekspresi itu.
"Abi," panggil Pak Karno. Abi mendekatinya dengan enggan setelah meletakkan busurnya di sebelah Padi.
"Ya?"
Pak Karno memindai lapangan tanding sebentar, tampaknya menyadari bahwa sebagian besar atlet sudah mundur ke garis tunggu. "Kita bicara setelah kamu pulling."
Abi menghela napas berat lagi, entah untuk kesekian kalinya siang ini, sementara bel penutup rambahan akhirnya dibunyikan. Dia tahu dia sudah pasti kena masalah dengan Pak Karno, dan ternyata Padi juga menyadari itu, karena ia mengangkat tangan kanannya waktu Abi lewat. Abi sedang tidak bersemangat, tetapi paling tidak dia ingin menghargai sahabatnya itu, jadi dia tetap menjawab high-five Padi dengan lemas.
"Senyum dong," pinta Padi sambil tersenyum kecil. Abi memaksakan cengiran balik yang malah tampak seperti sebuah seringai pembunuh sambil bergerak bersama para atlet lain untuk mengambil anak-anak panahnya.
Yang pertama Abi periksa adalah si Nomer 4, karena dia ingat jelas bahwa tembakannya yang itu berakhir dengan antara 9 atau 10. Untungnya bagi Abi, tembakannya masih menyerempet garis ring 10, sehingga bisa dihitung 10. Dia mulai menarik lagi anak-anak panahnya. Apa yang kira-kira mau Pak Karno bicarakan dengannya? Dia tahu bahwa yang pasti dia kena masalah gara-gara memaksakan diri di practice day, tetapi Pak Karno cukup kenal Abi dan tahu bahwa mengomeli Abi saat dia sedang dalam mood begini tidak akan banyak membantu. Apa pep talk biasa? Meh, tidak akan membantu juga. Lalu apa?
Sekembali Abi ke garis tunggu, dia nyaris mengambil lagi busurnya untuk menembak di rambahan berikutnya, tapi satu tatapan dari Pak Karno cukup untuk mengingatkan Abi bahwa waktu latihannya sudah habis. Abi segera berbalik arah.
"Kamu tahu apa kesalahanmu?" tanya Pak Karno begitu Abi cukup dekat. Kepala Abi langsung mengulang sepuluh rambahan latihannya pagi-siang ini—dimulai dari rambahan pertama.
"Saya sering lupa cek nomer anak panah," kata Abi nyaris secara otomatis. "Jadi suka bingung perkenaannya di mana juga. Terus kadang-kadang saya juga follow-through kecepetan, jadi tangan udah turun sebelum anak panahnya terbang, jadi tembakannya mendarat di baw—"
Pak Karno menghela napas berat, yang memberi sinyal pada Abi untuk bungkam. Anak itu tidak melawan. "Bukan, Abi," kata Pak Karno tegas. "Bukan itu kesalahanmu."
Abi jatuh terdiam. Teman-teman setimnya sudah ada beberapa yang menyempatkan diri datang bergerombol ke arah mereka, seakan Abi adalah semacam tontonan. Abi bergeser tumpuan dengan tidak nyaman. Pak Karno masih menatap mata Abi dalam-dalam. Abi tidak berani menatap balik.
"Kesalahanmu," lanjut Pak Karno, "adalah kamu cuma punya satu badan."
Semua teman setim Abi ikut terdiam tidak enak. Pak Karno memang tegas, tetapi beliau belum pernah sesarkastis ini saat sedang marah. Abi tidak menjawab dan menunduk.
"Pertandinganmu itu besok, Abi. Kamu pikir kamu siapa mau latihan kaya tadi di sini?" kata Pak Karno datar. "Besok itu babak Kualifikasi. Kalo kamu drop pas lagi Semifinal ato Final, Bapak bisa maklumi. Lha kalo drop di Kualifikasi? Kamu mau ngulang kesalahan kontingen kita dari tahun ke tahun?"
Abi masih tidak menjawab. Pak Karno menghela napas.
"Pokoknya, besok kamu nggak boleh terlambat lagi ke venue. Risikomu diskualifikasi. Kalo kamu sulit bangun karena udah keburu capek di sini, Bapak ngga akan tanggung. Paham?"
"Paham, Pak," gumam Abi.
"Apa?"
"Paham, Pak!" jawab Abi dengan lebih keras. Pak Karno menyilangkan tangan di depan dadanya dan mengangguk.
"Bagus. Sekarang packing. Kamu boleh nemenin temen-temenmu yang bakal practice sama equipment check abis ini. Kategori compound putri sama recurve putra bakal mulai practice sekitar dua puluh menit lagi."
"Siap, Pak."
Kerumunan kecil itu akhirnya menyebar lagi. Abi menghela napas dan mulai membereskan peralatannya, melepas satu-satu aksesori busurnya—stabilizer, fisir, dan sebagainya—dan memasukkannya dengan rapi ke dalam bowcase-nya. Abi tidak memikirkan itu lagi. Dia masih memusingkan feel menembaknya yang hancur hari ini.
Abi menenteng bowcase-nya dengan berat kembali ke tenda kontingen, nyaris tanpa berpikir, dan akhirnya duduk di tempat yang disediakan, bersiap untuk menonton teman-temannya berlatih ... kategori compound putri. Kara.
Astaga, Kara. Belum selesai masalah dengan menembaknya, Abi nyaris lupa bahwa Kara praktis mengabaikannya sejak Abi membalas pertanyaannya dengan gusar.
Belum selesai masalah ... tapi Abi bisa menyelesaikannya. Jadi dia kembali beranjak setelah meletakkan tasnya bersama teman-temannya. "Kara mana?"
"Equipment check, kali," jawab Bambang. "Kenapa?"
Abi menggeleng. "Gapapa. Makasih."
Dia bergerak meninggalkan tenda ke arah meja registrasi, dan benar saja, Kara sedang melakukan pemeriksaan peralatan. Abi memutuskan untuk menanti di antara tenda dan meja registrasi saja.
Kara tidak makan waktu lama. Setelah memeriksa berat tarikan busur, jumlah anak panah, dan inisial anak-anak panahnya—Abi ingat jelas bahwa anak panah Kara semua ditandai dengan M-P-L untuk Makara Putri Liliyana—Kara segera pergi dari meja registrasi kembali ke tenda kontingen. Matanya bertemu sebentar dengan tatapan Abi, tetapi ia segera memutuskan kontak. Abi, otomatis, menghampirinya.
"Kara."
Kara mengabaikannya dan berjalan terus melewatinya. Menghela napas pasrah, Abi menahan lengannya. Kara langsung berbalik gusar. "Kenapa, sih?"
"Gue mau minta maaf."
Kara mendelik padanya. "Buat?"
"Gue tadi judes banget sama lo. Sori. Mood gue awut-awutan tadi. Gue ga maksud, sumpah."
Kara masih mendelik pada Abi. Mendadak Abi sadar bahwa Kara menggenggam busurnya dengan sangat keras hingga lengannya gemetar. Namun lalu ia menghela napas pasrah. "Kara khawatir sama Abi, tau," kata Kara pelan. "Kara nggak mau Abi terus jadi bete terus gara-gara nembaknya jelek. Kara tau kalo Abi tau gimana mood ngaruh ke nembak. Kara ngga mau Abi bad mood di arena besok."
Abi melembut lagi sedikit mendengar suara Kara yang terdengar benar-benar sakit hati. Bangke, pikir Abi. Ekspresi memelas Kara selalu berhasil menarik ampunan dari Abi. Mungkin karena wajahnya yang seperti anak kecil. Abi kadang jadi kesal sendiri. "Maaf, Ra."
Kara menatap Abi diam sebentar. "Oke," jawab Kara. "Kara maafin Abi. Tapi Abi jangan gitu lagi. Deal?"
"Deal," kata Abi. "Dah sono siap-siap ke garis tembak. Pemanasan bareng tuh, dah pada mau mulai."
Kara tersenyum kecil. "Ntar temenin Kara di garis tembak, ya?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro