🍃第二章ポイント四
Lampion menerangi kulit pucat. Penyakit mematikan tidak cukup menghentikan ubuyashiki rela meregang nyawa mencegah korban bergelimpangan. Walau organisasi Demon Slayer bukanlah kelompok resmi oleh pemerintah Jepang, mereka tetap bergerak melayani masyarakat.
Melindungi sesama termasuk tugas termulia. Di waktu semuanya tidur nyenyak, mereka bergerak saat iblis yang bagaikan hewan nokturnal maju. Nyawa mereka dianggap tameng pertahanan kaum insan.
Jepang. Mansion. Pukul tujuh malam.
Kimono hitam Ubuyashiki tergerai menyentuh tatami. Dibalut selimut di bahu lemah, ketua menyampaikan terima kasih teruntuk anak buah kepercayaan, yaitu Sanemi Shinazugawa didampingi [Name] [Fullname]. "Kuyakin kalian kelelahan..." Sejak Ubuyashiki sering jatuh pingsan, setiap anggota melaporkan misi. Buktinya, hari ini Sanemi datang memberi kesaksian seusai tugas.
Hadiah tidak cukup membalas jasa. Membayangkan kehebatan para pendekar pedang, Ubuyashiki dibuat terkagum sekaligus bangga. "Tidak perlu, Oyakata sama. Mohon anda mengandalkan kami," jelas Sanemi hormat.
Gadis remaja di sebelah asyik terdiam mendengarkan percakapan. Sepasang pemburu itu babak belur bersimbah lecet. Hebatnya ia tidak mengeluh sakit. Malahan [Name] mengantuk.
"Teri--" Ucapan Ubuyashiki terpotong batuk. Gumpalan darah pun keluar termuntahkan mulut. Tidak peduli seberapa banyak meminum penawar, keadaan semakin parah. Seandainya Ubuyashiki tewas, tiada orang mampu menggantikan peran pemimpin. Dasarnya, penyakit tidaklah terhindar.
Bahkan Ubuyashiki buta. Sekadar berjalan harus dipapah. Memanglah iba. Namun takdir keluarga Ubuyashiki yang bagaikan kutukan mau tidak mau berjalanlah biasa.
Sepanjang hari Ubuyashiki berbaring menunggu pillar. Kecuali pertemuan rapat yang diadakan sebulan sekali. Hinaki, Nichika, Kiriya, Kuina, Kanata selaku anak rajin menemani supaya menghapus sepi rumah.
Nama [Name] tersebut dari bibir Ubuyashiki. "I--Iya?" balasnya menelan ludah, gugup takut apakah ia melakukan kesalahan. Jujur, Ubuyashiki hanya memanggil saja.
Bagaimana bisa seorang mulia mengetahui siapa [Name]? Dirinya rendah, bukanlah bangsawan berkelas yang boleh disandingkan. Duduk di tempat yang sama bersama Sanemi juga tantangan tersendiri.
Posisi [Name] masihlah kinoe. Pastinya sungkan menghadapi bos atasan. Khususnya tatapan mengintimidasi Sanemi.
Ukiran ungu kain sutra Ubuyashiki tersinari purnama. Sulaman bunga pakaian tradisional itu menarik perhatian [Name]. Sedari tadi ia sebenarnya memikirkan toko mana Ubuyashiki membeli yukata.
"Apakah kalian membutuhkan sesuatu? Oh, kurasa yukata adalah ide bagus," ujar Ubuyashiki sadar mengapa [Name] terus bungkam. Maklum, perempuan menyukai benda indah. Apalagi Ubuyashiki tipe mudah peka.
Bergegas Sanemi menolak. "Kami sukarela, jadi simpanlah uang anda."
"Bole--" Sialnya [Name] kalah cepat. Jika tidak, ia akan mendapatkan koleksi baru. Benaknya sekilas merutuk kesal.
Akhirnya [Name] pasrah, lalu serempak mereka membungkuk sopan. "Terima kasih atas kebaikan anda." Sejenak pula mereka bertatapan karena tidak sengaja ucapan mereka bertabrakan di waktu sama.
Terpasanglah raut kesal di wajah Sanemi. "Jangan ikuti kalimatku." Sungguh [Name] refleks. Baginya, Sanemi yang salah.
Terdengar tawa pelan anggun memecah. "Kalian akrab, ya."
Refleks [Name] bersikeras menggeleng. "Tidak-Tidak! Oyakata sama, dia sekadar rekan misi. Mohon jangan salah paham. Tuh, Sanemi sering menyuruhku!" Mendengar ocehannya, Sanemi mengerutkan dahi seolah menyiratkan berhenti.
Bariton serak menyahutinya. "Heh, kamu cuman babu, kok bangga." Riangnya keadaan berubah canggung begitu tawa Ubuyashiki samar-samar menghilang. Seketika Sanemi lupa menutur kalimat bahwa tengah berbicara di hadapan Ubuyashiki. "Maafkan kesalahan saya," elak Sanemi balik formal.
Sikap [Name] kembali tenang. Walau batinnya tertawa histeris mengejek kebodohan Sanemi. "HAHAHAHAHA KASIAN, DEH." Begitulah isi hatinya.
Lima belas menit kemudian sampai mereka keluar. Artinya, [Name] bebas istirahat. Langkahnya menuju perkarangan wisteria berhias bintang membentang sepanjang angkasa. Keelokan yang tidak ternilai harganya.
Bulan menciptakan bayangan mereka. Saling bertumpang tindih sesuai cahaya mengarah. Bunyi kekompakan mereka membentuk irama kompak pula.
Helaan panjang mengisi kekosongan. "Uhm... kerja bagus." Lelaki berjabat pillar angin menggaruk kepala tidak gatal yang ia balas dengan alis terangkat, menyiratkan 'Tumbenan amat muji'. Biasanya Sanemi bekerja mandiri, makanya bingung bagaimana mengajak [Name] bekerja sama. Padahal totalnya sudah tiga puluh kali mereka bertukar misi.
Titah Ubuyashiki untuk membawa [Name] tidak terelakkan. Mau tidak mau menurut. Walau Sanemi ingin menendangnya.
Apa yang diharapkan gadis berpangkat kinoe? Bakat? Strategi? Teknik? Sanemi serba bisa.
Lima puluh centimeter membatasi jarak mereka. "Makasih. Kamu juga... hebat." Kebetulan pula mereka menapak ke jalan yang sama. "Aku pingin ke tempat Shinobu," peringatnya memastikan Sanemi pulang sebelum lusa nanti, Ubuyashiki mengirim mereka ke lokasi tugas selanjutnya.
Lucunya Sanemi terbengong. "... aku juga..." Jeda sejenak. "Kenapa kita pas-pasan mulu, sih?" Sanemi menjambak rambut sendiri hingga beberapa helai jabriknya rontok.
Terpaksa mereka berjalan ke Butterfly Estate dimana Shinobu Kocho-- Pillar serangga berada. Mengingat kapasitas otak [Name] kecil, ia menuntun Sanemi ke letak estate yang Sanemi tahu. Informasinya tidak berguna sama sekali.
Jalur mereka tapaki terlindungi wisteria. Selain menghalau iblis menyerang, mereka mampu bersantai sebentar. Gedung kuno Jepang tidak lama tertangkap netra Sanemi. Sebuah Butterfly Estate.
Kupu-kupu terbang mengelilingi, tanda mereka seutuhnya sampai. Harum khas menguar mengunggah selera. Parfum mungkin kalah wangi. "[Name] san." Ia menoleh ke sumber-- Kanzaki Aoi menyapanya. "Mau saya antar?" Jelas Aoi terbiasa melihat menjamu mereka.
Perawatan, pelatihan, fasilitas bak rumah sakit tersedia lengkap. Katanya Shinobu pandai meracik. Namun semua berkata rasa kapsul ekstrak tanaman herbal sangatlah menjijikan. Khususnya Sanemi paling bawel mengenai jadwal obat.
Shinobu bersedia mengurus mereka asalkan Sanemi tutup mulut. Terakhir kali mereka rawat inap, Shinobu mengikat Sanemi supaya tidak kabur, dan rencana itu dibantu Uzui Tengen. Alhasil, emosi Sanemi memuncak. "Sialan!" Satu-satunya yang ia teriakkan selama karantina.
Kepalan Aoi mengetuk pintu ruangan. "Permisi--" Belum sempat memberitahu kedatangan mereka, Shinobu mendobrak mempersilahkan [Name] diiringi senyuman terselubung. Setitik kemarahan tercetak seperti bidadari kesal. "Kalau gitu, saya undur diri." Larian Aoi meninggalkan mereka.
Lamunan mereka pun hancur oleh pertanyaan Shinobu. "Kenapa? Luka jahitan kalian terbuka? Patah tulang? Memar? Demam?" Shinobu tahu betul kecerobohan mereka layaknya Ibu. "Ya ampun, kubilang jangan sembarangan. Apa kalau gak ada aku, kalian akan mati?" Tawa Shinobu terkesan menyeramkan.
Cara bicara Shinobu sedikit rileks ketimbang dengan Ubuyashiki.
[Name] melirik ke sisi lain. "Yah... iya kali?"
"Gak membantu banget, woi." Bisikan Sanemi menyeletuk.
Sepatu Shinobu menginjak lantai kayu. Namun deritan pelan barusan mengejutkan mereka. "Aku bisa dengar, lho.” Berkatilah Dewi Fortuna. Semoga Shinobu sabar.
Tubuh [Name] bergemetar. Detik-detik Shinobu menahan amarah sangatlah menyeramkan. Mencoba meminta perlindungan, ia berpindah ke belakang punggung Sanemi yang ternyata panik pucat pasi juga. Percuma.
Jemari Shinobu menunjuk ranjang empuk di ujung kamar. "Berbaringlah. Aku akan mengecek kalian." Pastinya Shinobu tidak ingin mengacaukan situasi karena ledakan emosi.
Waktu berlalu secepat kilat. Tanpa sadar pagi tiba selesainya Shinobu mengetes beberapa hal medis. Beruntungnya keadaan mereka tidak mencemaskan. Seharusnya mereka mampu bergerak leluasa seminggu ke depan.
Balutan perban menutupi sekujur tubuh Sanemi sedangkan lengan kanan [Name] disangga kayu supaya tulangnya tetap lurus. Plester menempeli pipi, lalu bagian memerah parasnya terbalut perekat. Berarti mereka harus sembuh terlebih dahulu. Tiada guna mengendap-endap lagipula Ubuyashiki menerima data kesehatan mereka, jadi baik [Name], juga Sanemi menetap di estate.
Bokong [Name] menduduki alas koridor. Berdua, mereka menikmati pemandangan bersama. "Aku gak ngerti kenapa Oyakata sama memerintahku membentuk tim. Mengapa kau? Di antara miliaran anggota," kata Sanemi bersandar ke tiang kokoh, tidak menyadari [Name] yang terkejut setengah mati.
Hidung mancungnya memerah. "Gak tau. Aku... gak tau."
Lirikan Sanemi perlahan menyusuri kepala ke kaki hingga kembali ke paras [Name]. Menawan. Iris [Eyes Colour] berkilauan, bibir semu merah yang mudah mengucapkan kalimat baik, lucu, mungil, sempurna ciptaan Tuhan.
Apakah kehadiran [Name] penting bagi kehidupan Sanemi?
Pertarungan sengit melawan lowermoon terjadi kemarin. Menebas leher semudah mencincang daging ayam sekaligus sesulit bertahan hidup. Jurus [Breathing Style] [Name] terbilang membantai sekumpulan iblis sekali tebas. Sayangnya ia penakut.
Jurus angin seratus persen efektif melumpuhkan musuh. Sewajarnya ia mengagumi gerakan gila tidak kasat mata milik Sanemi. Berkat takdir, mereka disatukan Mahakuasa.
Membutuhkan uji nyali mengajari [Name] menggunakan pernapasan yang benar. Rasanya bagaikan mengurus bayi. Rakyat luar negara saja mengerti Sanemi tidak kuat mental.
Pasrah keadaan, akhirnya [Name] menunduk sedih. "Maaf... kau membereskan masalahku, ya. Kayaknya kau selalu menyelamatkanku. Sepantasnya kau murka..."
Lidah Sanemi mendecih. "Ya. Mundurlah, dasar beban." Sanemi beranjak membiarkan [Name] merenung hampir menangis. Airmatanya bergelinang diiringi hati seolah terlempar batu.
Semua orang tertipu akting senyum mengembangnya. Seumur hidup ia pandai berpura-pura. Kata siapa, [Name] cengeng? Keahliannya patut diacungi jempol.
Pikiran [Name] melayang ke sana kemari memikirkan solusi permasalahan mereka. "Tahan, tahan, tahan!" batinnya berusaha positive thinking. "Uhm..." Gumaman singkat ia lontarkan.
Gadis berkuncir dua memanggil. "[Name] san." Pertamanya tidak ia pedulikan. "[Name] san. [Name] [Fullname]!"
Pikiran [Name] terpecahkan. "Oh, Aoi! Kenapa?" tanya [Name] membalikkan tubuh. Dikiranya intonasi seimut tadi adalah tiga bocah cilik-- Kiyo, Naho, Sumi.
"Shinobu--"
Mendengar sepatah kata, ia mengangguk. "Baiklah." Langkahnya terhenti saat melihat lelah kawannya.
Mendengar cukup sepatah kata, ia mengerti. "Baiklah." Setelah menghampiri Shinobu, ia terhenti saat melihat lelah kawannya. "Kau..."
Iris Shinobu melotot. "Ya aku tahu. 'Tidur sangatlah penting' kan?” Netra [Eyes Colour] Shinobu sedikit kelam. "Eh, kamu... kenapa? Nangis, ya?"
Sontak ia terbelalak mencari alasan meyakinkan Shinobu. Berbohong pada orang pintar tidaklah mudah. "Gak, kok. Kugosok mata tadi. Merah, ya?"
Sia-sia membicarakan dusta, Shinobu bahkan menguping perbincangan Sanemi, dan [Name] sebelumnya. Gadis berhaori corak itu tahu lebih awal. "Begini... Oyakata sama mengundang kita ke acara musim semi besok malam."
Pesta Ubuyashiki diadakan setiap tahun yang mempersilahkan semua pemburu datang. Makanan, minuman, camilan tersedia ditambah mekarnya pohon sakura menyuguhkan keindahan di samping wisteria. Kesempatan emas sebaiknya [Name] tidak boleh buang sembarang. Intinya, ia akan hadir.
Berita menyenangkan buatnya ternganga kagum. "Keren... dulu aku sibuk misi, sih..." Ide bagus selagi Shinobu menantikan besok. Pertanyaan terakhir hanyalah apakah Sanemi datang?
Di waktu sama berdasarkan sudut pandang Shinazugawa Sanemi. Jepang. Di kamar.
Layaknya haus perhatian, Sanemi terbengong memandang langit yang tembus melalui jendela seraya berbaring fokus melakukan pernapasan total. "Apa aku terlalu kejam? Si bodoh [Name] memang merepotkan..." sesal [Name] bangkit memukul bantal.
Cermin memantulkan sosok Sanemi. Lukanya terlihat juga. Menggores kulit untuk menarik perhatian iblis merupakan kebiasaan Sanemi. Kali ini Sanemi entah mengapa bersalah berkat perban menyelimuti bagian perut. "Apa dia khawatir?"
Membayangkan rupa [Name] mewarnai semburat semu wajah Sanemi. Otak memutarkan kaum Hawa bernama [Name]. Sejujurnya Sanemi tulus mencintai [Name].
Meledek salah satu cara menjahilinya. Mengolok untuk menjauhkan marabahaya mendekat. Ketakutan menguasai Sanemi begitu membayangkan iblis membawa [Name] menghilang. Selain tanggung jawab, menjaga kebahagiaannya sebuah keinginan Sanemi.
Orangtua [Name] terbunuh menyisakan ia satu-satunya penyintas. Mempelajari berbagai pernapasan tidak mendorong kemampuannya. Justru ia menuliskan [Breathing Style] buatan sendiri. Ubuyashiki kemudian memutuskan memasangkannya menjadi partner Sanemi dua tahun silam semenjak gagak kasugai mengabarkan.
"Hah? Aku?!" teriak Sanemi semasa mereka bertemu.
Mengenal [Name] hanyalah perkara. Saking manjanya ia terisak di masa nyawanya terancam. Wajar Sanemi keheranan mengapa Ubuyashiki menggabungkan mereka. [Breathing Style] yang rumornya mematikan tidak [Name] tampilkan sampai Sanemi penasaran.
Apakah jauh menyakitkan ketimbang pernapasan angin?
Kelakuan konyol [Name], kebaikan, keceriaan, sikap pemaksa keras kepala, bersosialisasi, Sanemi menyukai pribadinya. Berdoalah ke Mahakuasa menuntun perjalinan mereka menuju happy ending. Setidaknya Sanemi berharap yang terbaik.
Noda darah seragam Sanemi menyerbakkan amis. Debu menempel memandikan menggelitik penciuman. Langsung Sanemi mandi begitu bau tidak mengenakkan merutuk hidung.
Keesokan harinya. Mansion.
Nyonya keluarga Ubuyashiki-- Amane menyiapkan hidangan dibantu tiga istri Uzui. Karpet terbentang dilengkapi puluhan botol sake menambah poin plus acara. Langit cerah nan bersih menampakkan jenihnya malam seolah cuaca turut merayakan.
"Kombanwa, Amane sama," sambut Shinobu memasuki area, membawa Kamaboko Squad. Kanao Tsuyuri, kakak beradik Kamado, Agatsuma Zenitsu, Inosuke Hashibira, para kinoe seangkatan [Name] memeriahkan suasana. "Semoga anda menyukai bingkisan saya," ujar Shinobu menyodorkan bubuk teh chamomile.
Mulut Inosuke berminyak penuh tempura matang. Topeng bulu babi terlepas meninggalkan ketampanan rusak oleh kerakusan. "Apa kita bisa ambil sepuasnya?" Genggaman Inosuke tidak kunjung melepaskan udang goreng macam all you can eat.
Sahutan Tanjirou beralih ke Zenitsu yang menarik Nezuko berduaan. ”Hei, awas kau! Jaga dia!" Terkecuali Kanao, dia menghabiskan waktu ditemani Shinobu di bawah dahan sakura. Lokasi yang strategis.
Tawa mengisi kehampaan. Hari sederhana yang buat mereka lupa Kibutsuji Muzan sementara. Terkadang Ubuyashiki tertawa mendengarkan seksama lelucon pillar. Keadaan sangatlah damai.
Tidak lama, semua pandangan mengarah [Name]. "Maaf, apa aku telat?" tanya [Name] berkimono [Favorite Colour] berlapis gambar putih. Sandal hak tinggi bertali nampak sempurna di kaki rampingnya. Penampilannya terlampau hebat. Belum lagi sanggul rapi mengekspos leher mulus.
"Kau... kau cantik sekali!" ujar salah satu istri Uzui disetuju para penghadir.
Alih-alih berterima kasih, [Name] menoleh kanan kiri mencari seseorang. "Apa Sanemi di sini?"
"Belum. Oh, biar kusisihkan makanan kalian," sahut Amane ramah.
"Eh? Gak usah!" [Name] menyendiri di pinggir. Ia setia menunggu, memerhatikan gagak kasugai mengepakkan sayap melintas, buatnya berandai apakah dirinya mampu sebebas kasugai. Melihat dunia dari atas awan. Bukankah menyenangkan?
Bariton serak menyela obrolan. "Ramai, ya.. gak kusangka. Oi, apa kau tahu di mana [Name]?" Heran siapa yang bertanya, Shinobu menoleh, lalu terbelalak.
"Ara, Shinazugawa san. Mengapa kau bertanya padaku?"
Sanemi melipat lengan depan dada, mengenakan seragam bersih. "Ugh, baiklah!" Langkah Sanemi menjauh menuju taman mansion yang luas. "Oi, [Name]!" panggil Sanemi mengangkat tangan ke sisi bibir, berupaya mengencangkan sorakan.
Di sanalah [Name] berdiri termenung. Kelopak bermekaran menghiasi latar. Semilir angin berkesiur membelainya. Tidak mengherankan Sanemi tergoda pesona [Name].
Perasaan janggal menggebu Sanemi. Napas tertahan saking terpukau. "Hei." Dehaman Sanemi menyingkirkan keanehan yang bersarang di dada. Lidah terasa kelu, juga tenggorokan kering, Sanemi ragu menyebut [Name].
Kepalanya menengok kanan, dan mendapati Sanemi yang termangu. "Kenapa kau bengong? Sini." Iris [Eyes Colour] [Name] memancarkan keindahan. Ratusan gadis dalam kalangan pemburu, keanggunan Shinobu, keimutan Mitsuri, masing-masing memiliki daya tarik. Namun Sanemi hanya 'melihat'nya. "Kenapa curi pandang, sih?" lanjut [Name] tahu Sanemi diam-diam memandanginya.
"Apa maksudmu? Kau terlalu percaya diri," jawab Sanemi meremehkan.
"Halah, gak usah bohong. Aku pintar menyelidiki, lho," sombong [Name] manyun.
Debaran mereka bersahutan. Sesuatu tersimpan di lubuk yang tidak mereka utarakan. Segenap hati mereka awkward di waktu bermesraan sampai Sanemi mengerahkan keberanian mengenggam tangan [Name]. Kehangatan yang menjalar sepanjang telapaknya buat Sanemi malu. "A-- Apa... boleh begini sebentar?" tanya Sanemi merona.
Perlahan ia mengaitkan jemari, mempererat pegangan. "Jangan lepaskan, ya."
"Kutepati janji." Mereka bertukar pandang. "Maaf aku sering mengejekmu. Apa kau menangis?" Kalimat terakhir sekadar candaan belaka.
Anggukan [Name] mengacau momen. "Eh? Benarkah?!" Kenangan menyakitkan Sanemi banyak mengumpat refleks terputar di pikiran mereka. "Maafkan aku! Maaf, maaf, maaf!"
Merasa lucu, [Name] kemudian tertawa terbahak-bahak. "Gak apa. Aku udah kebal... beritahu kalau ada yang kau benci." Sungguh Sanemi terkejut, berkata dia menyukai [Name] baik fisik, atau sifat. "Yah sama... Nemi."
"Nemi?"
Serangan imut [Name] beresiko meledakkan jantung. Sanemi takut tidak mampu menanggung kebahagiaan besar jika ia memanggil dengan nickname lucu. Keharmonisan mereka berlanjut, dan [Name] tahu tujuan hubungan mereka. Pernikahan adalah finish mereka.
Mulailah mereka memadu kasih. Selagi Sanemi memperlakukannya lembut, ia menggila naik pangkat menjadi pillar. Peluh darah mendeskripsikan kerja keras mereka setiap hari membunuh iblis.
Kisah mereka berakhir tanpa Sanemi sadari. "Kumohon jangan tinggalkan aku!" Per inci tubuh [Name] memucat kaku. "Kembalilah! Bangkit!" teriak Sanemi mengguncang bahunya membangunkan [Name], menuntut senyuman manis yang biasa ia pasang.
Kehilangan [Name] tantangan terberat. Apa daya ia tewas. Nyawa gadis kesayangan Sanemi melayang ke surga, tempat Pencipta berada. "Oi, [Name]! Apa kau berani meninggalkanku?" ancam Sanemi tidak terima. Nichirin [Name] patah terbelah dua, menancap ke ubin berkat ulah Sanemi.
Tokyo. Zaman sekarang. tahun 20XX.
Napas [Name] terengah-engah. "Siapa lelaki yang terus muncul di mimpiku?" Sosok perempuan menyerupainya terasa familiar pula. "Apakah... dia adalah aku?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro