Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍃第二章ポイント三

Setiap tapak kaki [Name] tersamarkan angin. Bunyi sepatunya menginjak aspal secara teratur menuju rumah. "Bisa-bisanya aku gak sadar udah malam," gumam [Name] sungkan. Bingung antara tidak enak hati, atau menertawakan kebodohan sendiri.

Biasanya ia mengabarkan keluarganya terlebih dahulu. Prioritas utama [Name] adalah izin telat. Kasihan Ibu kesepian menunggunya pulang. Tiada orang menemani karena Ayah kerja lembur bagaikan budak perusahaan.

Apalagi setelah kejadian terakhir kali, [Name] dilarang bepergian sembarang. Saat ia masih kecil semasa berumur dua belas tahun, rok berenda selalu dikenakannya bak tuan putri. Tubuh serba mungil termasuk pola pikir sederhana layaknya anak polos. Senang bersosialisasi, periang, bertolak belakang versi dewasa [Name].

Hari itu, rewelan [Name] tidak kunjung berhenti. "Ibu! Ibu! Ayo, aku pingin ayunan!" Memanglah kebiasaan egois buah hati sulit dihilangkan. Sikap kekanakannya cukup maklum. Kecuali Ibu [Name]. "Ayolah..."

Entah turunan siapa kebebalannya. "Main! M-A-I-N!" teriak [Name] mengeja kata 'main', bersikeras ke taman di cuaca mendung. Tentu isakannya gagal meluluhkan benak tegas Ibu.

Menurut logika, sewajarnya ia tidak diperbolehkan. Selain terlalu sore, mendung pula, maka sepantasnya [Name] di rumah ketimbang berkeliaran sekitar. "Nanti aku makan sayuran, kok! Seribu rius!" seru [Name] mengacungkan kelingking, tanda dirinya berjanji.

"Awas kau ngeluh kukasih wortel!" Muak mendengar segala alasannya, Ibu akhirnya lanjut berkata, "Yaudah, hati-hati, ya. Ingat, cuman dua jam!" Netra [Name] menyipit, menyiratkan keluhan mengapa hanya diberi waktu sebentar. Namun ia mengangguk seraya keluar membawa teddy bear.

Matahari tersenyum menyambut begitu ia membuka pagar. "Mari bersenang-senang, [Doll's Name]!" Tawanya bahagia sekali.

Pukul delapan malam. Jantung duo manusia bermarga [Fullname] berdegup kencang. Wangi [Favorite Food] menyerbak mengunggah selera. Kompor baru saja dimatikan. Anehnya [Name] yang biasa berlarian setiap selesai memasak kini hampa.

Seberapa lama menunggu pun percuma. Hilangnya [Name] menggegerkan sekompleks [Place's Name]. Tahun [Years] di desa Nenek, situasinya belum stabil sehingga tidak ada CCTV.

Jangankan lampu pinggir jalan raya, hanyalah hutan, juga sawah menghiasi desa. Nihilnya saksi semakin memutar balikkan otak keluarga [Name].

Airmata menyusuri pipi. "Ya Tuhan..." Lirihan wanita berapron itu menarik iba. Tetangga yang tinggal di sebelah ikut menghibur didampingi Nenek. "Tolonglah [Name]." Ribuan doa dipanjatkan memohon keselamatan [Name].

Seorang lelaki-- Sang suami menyemangati, "Sabarlah. Kuyakin [Nickname] gak apa." Mobil terparkir di garasi. Sejak kabar [Name] diculik beredar, Ayah terburu-buru menanyakan petugas keamanan yang patroli, bahkan tidak berganti pakaian seusai bekerja.

Tangisan bercampur marah memekik. "Kau bisa tenang? Gimana caranya aku diam padahal dia berkeliaran entah gak jelas?!" Teriakan barusan mengejutkan para warga. Khususnya Ayah. Sebagai suami, ia tidak pernah melihat raut Ibu nampak kehilangan akal sehat.

Tetangga yang menyaksikan pertengkaran singkat mereka apa daya ketakutan. "Bertahanlah," ujar Ayah memeluk wanita terkasih yang tengah memukulnya pelan, sekadar meredam emosi yang memuncak. Saking kesalnya, ingin membanting meja saja.

"Kalian ngapain?" tanya gadis polos kebingungan dari ujung dinding. Kedengarannya heran sekali. "Apa Ibu menangis ketinggalan jadwal drama sinetron?"

Sepasang insan menoleh padanya. "... [Name]?"

Di sanalah [Name] berdiri memegang boneka. "[Doll's Name] jatuh pas aku beli eskrim, jadi kucari dulu," balasnya lesu tanpa dosa. Ia tidak tahu kesalahan apa yang dibuatnya. Justru [Name] menghibur Ibunya. "Eh! Jangan-jangan aku ditinggal makan?" Ia bergemetar, takut melanggar aturan, yaitu jangan pulang malam.

"..." Ibunya terdiam, pasrah tidak lagi memiliki tenaga mendampratnya. Yang terpenting, [Name] kembali. Dewi Fortuna sungguh memberkatinya.

Tahun 20XX. Jepang, Tokyo.

Kekehan terlontar. "Gak ngerti, dah kenapa aku idiot," gumam [Name] berusaha melupakan kenangan memalukan yang terputar di otaknya.

Seandainya ada mesin waktu, ia rela menata masa lalu untuk menampar [Name] mode kecilnya. "Sadar, nak!" Ucapan yang akan dikatakannya. Telapak tangannya menutupi wajah, menyembunyikan semburat merah pipi.

Sebenarnya bukanlah perkara berat. Dua jam cukup memuaskan [Name] menikmati hidup di luar rumah, tahu arti kebebasan. Ibunya lah yang menggila jika tahu [Name] seenaknya keluar.

Arah [Name] beralih ke gang. Tempat geng nakal suka berkumpul, gelap, singkat kata menyeramkan. Banyaknya gedung kosong memperparah keadaan. Selagi berjalan, suara ranting patah memecah kesunyian. Refleks ia mengecek siapa di belakangnya.

Kosong.

Mau tidak mau [Name] mengerahkan keberanian, mengumpulkan kewaspadaan. Tidak lama kemudian suara asing mengejar. "ASDFGHKL," batinnya satu per satu menyebutkan nama hewan. Kakinya bergegas berlari menghindar.

Gadis lemah yang memasuki wilayah rentan penjahat selalu menggiurkan. Rasa takut merutuki kepala sampai napasnya tertahan. Kabur, kabur, dan kabur. Ia harus jauh lebih cepat dari orang yang menargetkannya. Sialnya langkah [Name] tetap selambat siput sedangkan tidak seorang pun berlalu lalang.

Tahu begini, [Name] seharusnya memilih jalur pintas. Setelah berputar-putar, ia akhirnya berhenti sementara di bawah teras perumahan bobrok. Remangnya cahaya purnama tertutupi awan semakin menakuti [Name]. "Apakah begal? Pencuri? Pastinya kriminal." Dadanya naik turun menarik napas yang memburu.

Penampilan [Name] kacau balau. Remaja kelas SMA Kimetsu Gakuen itu berkeringat deras. "Siapa di dalam? Bantu aku! Kumohon..." Kepalannya menggedor pintu. Tidak peduli tebalnya debu, ia setia mengetuk.

Bohlam tiang perlahan redup. Perlahan demi perlahan, [Name] merogoh ponsel, guna menyalakan senter kamera. Sekali ia tekan tombolnya, [Name] terkejut mendapati kaca jendela pecah depannya memantulkan bayangan jangkung lain.

Rohnya hampir lepas. "Astaga!" Ia menoleh berusaha memastikan siapa. Sepasang netra merah langsung haus darah menatap [Name] tajam. Bau busuk tidak tertahankan menguar sepanjang gang.

Mental baja [Name] tidak tergoyahkan. "Kau pikir aku apaan," ujarnya sok tegar. Bahu mungil [Name] bergemetar menahan panik.

"Gak kusangka kau bernyali."

Mulut [Name] ternganga. "Kau... bisa ngomong? Ternyata kau manusia!" Dengan bantuan terang layar, ia melihat wajah orang-- Yang dikiranya hantu sedari tadi seksama. Tubuh [Name] bergeming. "Kau terluka? Ayo, kuantar ke rumah sakit!"

Lelaki bersimbah darah mendekatinya. "Gak, gak. Kayak salah, nih," pikir [Name] memutar ulang kejadian. Andai berniat meminta bantuan, mengapa meneror [Name]? Dasarnya ia sudah curiga. "Kau--"

Kerah seragamnya robek dicakar kuku tajam. Nampaklah leher mulus [Name] lecet terkena serangan. Berbagai takut berkecamuk, dan ia berharap seseorang datang menolong.

Setiap bulan hadir, para makhluk misterius aktif mencari mangsa. Ciptaan tergolong nokturnal yang disebut iblis. Pembunuhan massal mungkin bukanlah perbuatan manusia, melainkan mereka. Tidak mengherankan polisi gagal menemukan pelakunya.

Media membatas informasi tertentu. Pemerintah menutup mulut supaya masyarakat berhenti mempertanyakan mengapa. Beruntungnya organisasi pemburu dibiarkan berjalan atas pimpinan keturunan Ubuyashiki. Pemegang gelar ketua kini digantikan Kiriya Ubuyashiki.

Reinkarnasi Oyakata terdahulu belum ditemukan untuk menetralkan dampak iblis rendahan. Beberapa efek buruknya menambah presentase total kematian.

"Menjeritlah!"

Membayangkan iblis menyantapnya merinding bukan main. Daging, kulitnya siap robek terbelah dicabik. Belulang tulang [Name] pasti tidak bersisa. Biarkanlah malaikat maut menjemput [Name]. "Selamat tinggal," sesalnya teramat sangat seraya menutup mata.

"Mentalmu kuat, ya."

[Name] mengerjap. "Huh?" Intonasi yang didengarnya berbeda. "Siapa?!" Lelaki bermasker hitam merangkulnya cukup erat.

Ular Kaburamaru melingkar di bahu Iguro Obanai, mendesis pelan. "Udah aman." Langsung ia menyingkir, lalu menengok pemandangan mengerikan terpampang hadapannya. Cipratan merah amis menyirami tanah.

Sepenggal kepala menggelinding. "Astaga! Apa kau yang melakukannya? Lagipula... siapa kau?" tanya [Name] bergelinang menyadari potongan si iblis terbakar menjadi abu.

"... ya..." Iguro membalut [Name] menggunakan syal rajut.

Belum sempat berterima kasih, ucapannya terpotong oleh gema. "Apa kau selesai membunuh iblisnya, Iguro?" [Name] sontak bersembunyi waspada. Sejenak ia terbengong.

Dahinya mengerut. "Huh?" Menyadari nama yang disebut, ia membuka paksa masker Iguro. Alangkah kejutan hebat baginya. "Kau... Iguro sensei!" Ternyata [Name] kenal betul guru kimianya.

"Woi, sialan! Jaga bicaramu, sekarang dia tau, kan!" oceh Iguro membentak seperti orang yang rahasianya terbongkar.

Gelak tawa meredakan kemarahan. "Ahahahaha! Maaf-maaf." Heran mengapa Iguro terus mendongak ke atas langit, [Name] ikut melirik ke arah sama. "Hei, [Name]."

Lutut [Name] jatuh bersimpuh. "Uzui sensei..." gumamnya tidak percaya. Sosok berbandana permata dari atap menyapanya ceria. Berlian yang terpasang tembus sinar purnama, menyilaukan [Name] berusaha bangkit berdiri. "Mimpikah..." Bulu kuduk [Name] tegak.

Iguro menopangnya seolah jika tidak, ia akan pingsan. Ditemani Kaburamaru, ia dibaringkan, dan disuruh beristirahat. "Kayaknya dia terlalu syok," teliti Uzui menaikkan alis.

Beberapa orang bertudung jaket serempak berkata, "Normal, sih." Posisi mereka membelakangi. Saat berjalan maju barulah bulan menyorot, menguak setiap paras di baliknya.

"Urus, tuh. Dia bukan tanggung jawabku," sahut Uzui lanjut, "Kanae."

Wanita terpanggil Kanae Kocho menghela berat. "Jadi gimana?" Iris ungu Kanae memperhatikan lelaki bersepatu sneakers hijau.

Lidah Sanemi mendecih. "Aku harus melindunginya. Dia bakal mati kalau kubiarkan." Walau terkesan cuek, sebenarnya guru matematika-- Yang sekaligus kekasih lamanya mencemaskan [Name].

Berani menyentuh [Name] berarti tewas. Iblis yang membunuhnya, Sanemi pastikan kirim ke Neraka. Rasakan derita sakitnya yang setimpal. Ribuan kali sampai Sanemi puas.

-To Be Continue-
.
.
.

🍃Author’s Note🍃
Hai, guys~ Di sini aku mau jelasin bagi yang bingung kenapa ketua pemburunya beda! Jadi, di zaman [Name] dulu, pemimpinnya adalah Ubuyashiki Kagaya.


Setelah itu di masa sekarang (di zaman dia udah reinkarnasi) pemimpinnya sudah ganti jadi Kiriya Ubuyashiki, anaknya Kagaya.

Okei, sebelum kalian baca lebih lanjut. Kukasih SPOILER WARNING! BAGI YANG GAK MAU KENA SPOILER, SILAHKAN SKIPPP🍃🍃

.
.
.
.
.

Jadi di komik Kimetsu No Yaiba, Kiriya ini yang beneran akan memimpin pasukan pemburu. Jadi sedikit kusamain, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro