🍃第二章ポイント一
Bunyi perut [Name] menggelegar. Malu tidaknya ia terlanjur. "Lapar yawla..." Ia menyendiri di kelas ditemani Zenitsu yang juga tidak membeli makanan. Dompet mereka sama miskinnya. Saking lambung memohon asupan, [Name] mulai mencium wangi [Favorite Food] yang sebenarnya tidak ada.
Tidak lama, terdengar teriakan mendekat. "Oi, Monitsu!" Firasat buruk pun merutuk Zenitsu. Pintu terdobrak menampakkan manusia berkemeja lusuh seperti tidak disetrika. "Monitsu!" Netra sang peneriak berbinar bagai bintang.
Betapa femininnya orang yang terus menyebut Zenitsu sebagai 'Monitsu'. "Tolong teriakannya dikondisikan, manteman," ketus [Name] sekarat. Ia sengaja blak-blakan karena tahu pendatang baru bukanlah perempuan. Lihatlah kancing kemejanya terbuka memamerkan sixpack kesukaan [Name].
Zenitsu menyipit. "Panggil aku yang bener, dong! Inosuke bodoh!"
"Dahlah, sama aja!"
Sedangkan [Name] yang menguping malah bergumam, "Oh, namanya Inosuke..."
Dahi lelaki kuning itu berkerut kesal dihasut Inosuke. "Apa kau baru datang?"
"Ya!" Inosuke mengacungkan jempol bangga. Teladan memang. Saking teladannya sampai sering dipanggil ke ruang guru. "Ayo kita makan," ucap Inosuke menarik paksa kerah Zenitsu hingga sulit bernapas. Apa daya [Name] tidak berniat menolong, malah terbahak-bahak menertawakan. Sebelum keluar, Inosuke sempat memandangi sebelah [Name].
Meja kosong hampa. "Mana Kamaboko Gonpachiro?"
Akhirnya Zenitsu mengambil kesempatan untuk melepas cekikan. "Dia... gak masuk hari ini. Be--Besok dia datang, kok." Pakaian Zenitsu pun berantakan saking ricuhnya.
Teriakan Inosuke yang serampangan macam babi hutan hampir menulikan [Name]. "Kalau gitu aku lebih hebat, dong! Aku, kan ke sekolah ahahahaha!" Berkatilah [Name] yang terpaksa menutup telinga sementara.
"Udahlah!" Keduanya pergi ke kantin, meninggalkan [Name] kesepian tiada yang memberinya makan siang. Seseorang yang bernama Gonpachiro, atau Tanjirou sangatlah beruntung. Teman baik penuh perhatian walau merepotkan seperti Zenitsu, dan Inosuke pasti sulit ia temui. Intinya, hari pertamanya di sekolah menyenangkan. Selain menemui Kanae, Mitsuri, Rengoku, ia mengenal banyak orang.
Mencoba mengurangi kesunyian, ia bersenandung ria. Menyendiri termasuk kebiasaannya sedari SMP. Tempatnya bukanlah kantin yang seramai pasar. Setidaknya ia berusaha membaur supaya tidak tertinggal lagi. Namun percuma. Tidak seorang pun mengerti pola pikir [Name]. Begitu juga sebaliknya.
Bergegas [Name] berkeliling, sekadar membuang waktu menghapus kebosanan. Seraya menyanyikan lirik lagu kesukaan, senyumnya melebar melihat papan bertuliskan 'perpustakaan'. Membaca, memahami keindahan karya klasik, dan membalikkan kertas di antara jemarinya memberikan sensasi tersendiri. Membiarkan isi kepalanya terukir kalimat imajinasi, atau istilah rumit astrologi bukanlah masalah. Justru ia senang mendapat pengalaman baru.
"Permisi."
Seorang wanita berkacamata pun menyambutnya kegirangan. "Eh? Ya ampun, langka sekali!" Jarang ada yang mengunjungi perpustakaan. Selain urusan belajar, atau bolos pelajaran, [Name] terbilang orang pertama. "Aku mati keheranan kenapa zaman sekarang rakyat malas baca, ya."
Bibir [Name] maju cemberut. "Entah. Ngomong game, makeup, fashion mulu, kan di luar dunia kami..." ucapnya tidak sadar menyelipkan sindiran, lalu berjalan ke salah satu rak. Jemarinya menelusuri setiap tataan buku seiring ia mencari judul. Review note bahkan tercantum depan sampul. Sungguh [Name] bahagia.
Tidak salah jika perpustakaan adalah rumah kedua [Name]. "Gak salah aku ke sini," batinnya lega. Kepalanya menoleh kanan kiri ingin menghitung berapa banyak buku di rak. "Oh?" [Name] tertarik pada buku bersampul kulit yang jauh tersimpan atas ketinggiannya. Belum sempat ia berjinjit menggapai, seseorang menyentuh barang itu terlebih dahulu.
Ocehannya terpatah begitu sadar guru yang mengambilnya. "Hei--" Mulut [Name] bungkam tidak berani marah.
"Kau... pingin?"
Jarak antara mereka terlalu dekat sampai [Name] merasakan napas yang berhembus ke arahnya. Tidak sekali pun ia berkedip mengagumi maskulin lelaki di hadapannya. Netra [Eyes Colour]nya memancarkan kemurnian sampai guru yang diajaknya bicara tenggelam dalam pesona [Name] sehingga mereka membeku di posisi sama beberapa menit.
Dehaman [Name] memecah lamunan. "Uhm... makasih..." ucapnya mundur menjaga privasi. Sekadar berterima kasih mungkin tidak cukup, jadi ia mengembalikan buku ke tangan lawannya. "Gak apa. Mendingan kau duluan." [Name] kembali menatap dengan gelisah.
Kedua kali ucapannya disela. "Udahlah. Kalau kau selesai, kasih tau apakah layak dibaca, atau gak." Indahnya ciptaan Tuhan. Selain keren tampan, dia juga baik. "Ya, aku Shinazugawa Sanemi. Guru matematika," balas Sanemi alias teacher killer saat [Name] kebingungan tidak kenal.
Senyum manis [Name] terulas. "Kenalkan, [Name] [Fullname]."
Raut Sanemi berganti drastis mendengarnya. "Huh?" Ditatapnya [Name] dari mata, hidung, segala mengenainya berputar di kepala Sanemi. Bukan bermaksud mesum memandanginya. Semakin dipikirkan, semakin Sanemi merasa mengenalnya. "[Name]..." Gumaman namanya berulang-ulang terucap.
"Pantang menyerah demi kebaikan kaum manusia."
Kalimat khas [Name] membekas di ingatan Sanemi.
Kalimat khas [Name] yang membekas di ingatan Sanemi. Saking sibuknya mengurus mayatnya yang terkulai lemas, pilar angin itu tidak lagi memikirkan iblis. Darah [Name] mengalir membasahi Sanemi seperti rintikan hujan. Iris warnanya memudar. Siapa yang melupakan memori dimana [Name] tewas? Sanemi masih trauma.
Kejadian ia tewas bagaikan rekaman mimpi buruk. Tentu [Name] yang sudah bereinkarnasi sudah berbeda konteks. Namun alih-alih senang, Sanemi sangat ketakutan kehilangannya. Jantung berdegup kencang begitu menyadari gadis imut yang tidak Sanemi pedulikan awalnya memanglah [Name] [Fullname].
Walau lubuk hati terdalam Sanemi mencintainya, [Name] tetaplah harus dijauhkan. "Aku menewaskannya..." batin guru matematika menelan ludah. Setiap hari memanjatkan doa di kuil, berharap [Name] menjalani kehidupan bahagia. Tidak berjodoh pun tidak apa. Asalkan ia selamat hingga umurnya sembilan puluh.
Sekolah, kuliah, bekerja, menikah, berkeluarga pastilah sempurna. Jikalau [Name] menemui jodoh lain, ia tidak akan tewas lagi. Benar, demi dirinya, Sanemi coba relakan. Biarlah kenangan semasa mereka sepasang kekasih berlalu.
Menghabiskan waktu bersama Sanemi Shinazugawa sang pilar hanyalah pertanda buruk. Nantinya [Name] terbunuh, maka lebih baik mereka akhiri.
"Shinazugawa sensei?"
Teringat mereka berada di perpustakaan, Sanemi tersentak kaget. "Maaf, aku cuman pusing."
Tangan mungil [Name] mengelus sisi wajah luka Sanemi penuh lembut. Selayaknya ia menghibur Sanemi dahulu. "Uhm... tapi kau merenung. Apa yang kau pikirkan?" Perbedaan tubuh mereka memaksanya mendongak, hal terimut bagi Sanemi.
Airmata bergelinang di netra hitam sensei. "Aku gak apa." Seraya Sanemi meninggalkan [Name], mulai merutuk di luar ruangan. "Sial, sial, sial!" Murid yang berlalu lalang sekadar menatap keheranan mengapa marah tidak jelas. Sesampainya menemui para guru, Sanemi langsung berbaring ke sofa.
Guru yang tengah beristirahat kini penasaran. "Gak biasanya kau marah aneh gini. Kenapa, sih?"
Terdengar helaan berat di jeda napasnya. "Sesuatu yang buruk... terjadi..." kata Sanemi menahan sedih.
Uzui yang awalnya menelpon ketiga istri langsung membalikkan tubuh. "Maksudmu... [Name]?" Tidak lupa memegang nitendo switch.
Lumrah bagi Uzui sembarangan menyeletuk. "Hei, kau tau, ya ternyata?! Kenapa gak bilang? Hayuk, sini ribut!" Kepalan Sanemi siap menghajar wajah Uzui yang menyebalkan.
Kini Tomioka menebar minyak ke api perkelahian. "Gak cuman dia. Kami tau siapa [Name]."
Mau tidak mau Kanae menengahi. "Iya, kami gak kepikiran ngasih tau. Maaf, ya..."
Beginilah perkumpulan guru yang Sanemi sebut 'Dakjal Group'.
Malas rasanya curhat ke rekan kerja. "Aku gak tau kalian mengenalnya..." Punggung tegap Sanemi bersandar, melepaskan lelah di benak.
Semua serempak berkata, "Ya iyalah! Dia, kan alasannya kenapa kau menangis cengeng selama dua bulan berturut-turut!"
Pertama kalinya Sanemi terisak karena seorang perempuan. Upacara berkabung terselenggara ramai kecuali Sanemi mengurung diri. Usaha bujukan Ubuyashiki bahkan gagal. Hati Sanemi tertutup selamanya, selalu meneteskan airmata saat teringat detail kecil mengenai [Name]. Bunga kesukaannya, makanan favoritnya, lucu tawanya, cara ia memanggil.
Kematian [Name] melubangkan dada Sanemi. Artinya, sesuatu menghilang. Benar kata mutiara yang pernah [Name] beritahu, yaitu "Tercintamu mengisi celah kekuranganmu."
"Kau gak bernyawa banget, deh. Tiap selesai misi, pulang terus balik mengurung. Orang gila," ejek Iguro ketus buat Sanemi menunduk, membenamkan kepala ke bantal.
Kalimat Iguro tidak salah sama sekali. "Mengapa kita dipertemukan? Seandainya... seandainya dia..." Otak Sanemi yang pintar rumus percuma repot memikirkan [Name] saking gilanya.
Senyum Mitsuri menghilang ikut sedih mendengarnya. "Shinazugawa san, kuyakin kalian terikat takdir. Kau memiliki kesempatan kedua menyelamatkan [Name]. Jangan biarkan dia!"
Beruntunglah beberapa teman Sanemi masih waras. Contohnya, Mitsuri, juga Rengoku. "Ayo kejar dia!" sahut Rengoku menyemangati.
Perhatian Sanemi beralih ke atap. "Kesempatan, ya... apa aku pantas?"
-To Be Continue-
.
.
.
🍃Author's Note🍃
Hai~ Astaga, akhirnya revisi satu ini kelar ugha. Dari kemaren kena writer's block mulu, dah. Akhirnya update berulang kali cuman buat satu chapter. Maaf, ya ges :( Semoga kalian suka revisinya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro