🍃第一章
Seseorang menunggunya. Namun ia tidak tahu siapa gerangan. "[Name]!" Apakah benar [Name] yang disebut memanglah dirinya? Kebetulan namanya sama. Padahal ia tidak kenal walau saat ia dipanggil nickname lucu, dadanya nyeri. Terdengar tawa ceria familiar. Yang pasti, caranya memperlakukan [Name] berbeda. Terkesan halus, lembut, hangat. Punggung tegap yang membelakanginya sangatlah jauh. Di saat sama, juga dekat. Sekali ia mencoba sentuh--
Selimutnya jatuh tersibak. "Auch!" Kepalanya menghantam ubin keras. Iris [Eyes Colour]nya mengerjap tersilaukan cahaya mentari yang tembus melalui jendela. Hal pertama dilihatnya merupakan dunia berputar terbalik. Tubuhnya berbaring di lantai, dan kakinya bergelantungan ke sisi ranjang. "Sakit..." keluhnya bangun.
Mimpinya mulai berulang sejak ia pindah ke Tokyo. Mengenai lelaki bersurai putih yang keren. Warna rambut terang mencolok. Pakaian yang mengekspos dada bidang. Melihat interaksinya dengan lelaki itu, kemungkinan mereka sepasang kekasih. Jangan salahkan kehaluan [Name]. Biasanya ia memikirkan karakter 2D sekadar bosan. Kualitas tidurnya memburuk tidak seperti dahulu di masa ia tinggal di desa Neneknya. Mungkin faktor beradaptasi lingkungan baru. Apalagi perkotaan Tokyo yang berisik.
"[Name]! Ayo, bersiap!" teriak Ibunya dari dapur lantai bawah memecahkan lamunan [Name].
Ia pun bangkit menuju kamar mandi. Cermin memantulkan bentuk seorang [Name] [Fullname]. Pipi tirus merona, hidung mancung, bibir lembap yang menambah poin kecantikan. Penampilan idaman perempuan umumnya. Tidak jarang orang menanyakan merek skincarenya. Apalagi mengajaknya menjadi menjalin kasih.
Remaja memang menyukai berdandan. Selain mempercantik, benda kosmetik terbungkus feminin mengakibatkan perempuan rela menghabiskan uang. Entah berguna tidaknya. Jika lucu, semua orang pasti berebut. Sayangnya [Name] mencintai buku klasik perpustakaan. Asal penggemar novelis macamnya tahu, bau buku sebenarnya menyejukkan.
Perbedaannya, ia tidak gila berbelanja. Sosial media sebatas post foto. Cukup ia rebahan seraya maskeran, terkadang menonton acara variety show yang buatnya terbahak-bahak, dan clay masknya retak.
Tangan yang seharusnya memegang lipstick malah gatal ingin mengayunkan pedang. Cerita bacaannya bergenre action fantasy, jadi tidak mengherankan [Name] mengikuti sikap tokoh kesukaannya. Justru ia terbilang gagah. Lupakanlah rutinitas kecantikan. Lengannya yang cukup berorot cocok untuk kegiatan atletis.
Selama asyik berkaca, Ibunya menyahut, "Jangan lemot, [Name]!" Emosinya hampir meluap. Bagaimana pun ia tidak boleh marah. Demi mempertahankan impian [Name] hidup di Tokyo Ibukota Jepang, orangtuanya bekerja susah payah bagai budak mengumpulkan uang. Maka untuk menghargai usaha Ayahnya yang lembur setiap minggu, ia bersumpah berhenti mengomel.
Desa Neneknya indah. Sawah, kebun, alam, pemandangan hijau tersuguhi memanjakan mata. Sangatlah berbalik jika [Name] memperhatikan generasi modern Tokyo. Gedung menjulang tinggi, mobil motor mengitari jalan raya, berisiknya klakson saat macet. Intinya, keluarganya berakhir tinggal di Tokyo sebulan lalu.
Kancing ia bukakan. "Ya ampun. Sabar, dong...." Ia menyalakan shower sesudah melempar piyamanya ke keranjang. Tetesan air membasuh. Busa sabun membersuhkan debu yang mengotori sampai ia meraba bahunya yang kecokelatan. Sebuah tanda lahir.
Bentuknya mirip bekas cedera. Mitosnya, tanda lahir adalah luka yang disebabkan kehidupan lama. Alias sebelum [Name] lahir. Benar tidaknya ia tidak yakin. Mengingatnya saja buat [Name] memikirkan lelaki mimpinya. Lubuk hati terdalamnya percaya semuanya berkaitan.
Langsung ia berberes. Rok berpola berayun kanan kiri. Seragam putih berhias pita terlampau imut. Itulah seragam SMA Kimetsu Gakuen. "... aneh, ya..." gumamnya mengerutkan dahi. Mau tidak mau. Celana panjang diperuntukkan khusus lelaki sesuai peraturan, jadi ia menutupnya dengan blazer navy mengikat pinggang [Name].
Langkah [Name] beranjak ke dapur dimana Ibunya memasak. Roti panggang berselai [Favorite Flavour] tertata rapi. Segelas susu dingin, juga teko teh memenuhi meja. Perut laparnya semakin memohon asupan begitu Ibu menyuruhnya sarapan. "Lho, mana Ayah?" Ia duduk menyantap makanan, dan tidak menemukan Ayahnya.
"Lama nungguin kamu. Mendingan dia berangkat duluan, sayang," ejek Ibunya tidak memerhatikan seragam [Name].
Selagi mengunyah gurih, ia menyusun ransel berisi beberapa catatan. Tidak lupa ia menyelipkan kotak pensil. "Oh shit! A--Aku berangkat!" teriaknya menyadari jam menunjukkan pukul delapan. Kemungkinan upacara sekolah sudah selesai. Benar, ia tidak sengaja membolos. Bergegas ia memasang sepatu, dan keluar terburu-buru. Masih menelan gigitan terakhir.
Semoga gerbang Kimetsu Gakuen belum tutup. Doa ia panjatkan berharap guru kedisiplinan membiarkannya lewat. Tentu bekalnya lupa ia ambil.
Sneakers [Name] menggesek aspal seiring ia melesat. Alasnya berdecit menimbulkan bunyi ngilu telinga tetangga sekitar. Ibaratnya ia anak kurang ajar. Maklumilah [Name] yang sembrono nan serampangan.
Di waktu yang sama. Speaker mengeraskan volume sang pembicara pidato. Aula seluas tiga lapangan ditempati para murid yang turut mendengar. Masing-masing guru berdiri bersiaga di pinggir, mengantisipasi tidak ada yang ketiduran. Pagar terkunci rapat, menyisakan akal [Name] memilih memanjat saja. Ketimbang menyesal nanti.
Semulusnya ia mendarat hingga tidak meninggalkan suara apa pun, ia tetap kepergok. Seorang wanita bergaun mendapatinya melompat. "Ara ara, apa kau tidak apa?" [Name] mematung terkejut. "Aku Kanae Kocho, guru biologi di sini." Tenggorokannya langsung kering. Ia diam seribu bahasa, tidak tahu bagaimana menjelaskan situasinya. Pilihan terakhirnya hanyalah jujur.
Rasanya ia ragu berbohong. "Uhm... aku..."
"Santai."
Jepit kupu-kupu Kanae ia tatap. "Namaku [Name] [Fullname], sensei." Ia malah salah fokus.Kristal [Eyes Colour] [Name] seolah mengkilat disinari matahari. Akhirnya mereka bertukar pandang. "Kau murid baru, kan? Apa kau telat?" tanya Kanae membungkam [Name] yang hendak menipu. Melihat reaksi polosnya, Kanae tertawa anggun. "Ayo, sini."
Pergelangan [Name] ditarik erat. Heels Kanae beriringan sneakers [Name] menyusuri koridor, membentuk irama kompak ke ruangan lain. Batinnya menjerit ketakutan begitu Kanae berhenti di depan sebuah ruang kematian. Lima kali ia pastikan, ternyata Kanae benar mengantarnya ke ruang guru. Belum sempat ia menolak, Kanae menahan [Name]. Tamatlah riwayatnya.
Pintu terbuka menampakkan deretan guru. "Selamat pagi," sapa Kanae tidak berdosa.Pintar sekali Kanae berakting. Jantungnya dibuat berdetak secepat pompa. Dag dig dug bunyi ia berdebar. Nama dewi Fortuna pun ia lantunkan. "Me--Met pagi," gumam [Name] gagap. Jika begini caranya, ia berjanji tidak akan bolos lain kali. "Oh kasihani aku," pikir [Name] sedih cukup trauma ditatap intens guru. Seolah siksaan mental. Apalagi semuanya lelaki.
"Siapa dia?" tanya salah satunya menunjuk [Name], "Ngapain dia ke sini...?"
Sontak [Name] bersembunyi di belakang Kanae, menuntut perlindungan. "Aku..." Tiba-tiba Kanae memotong jawabannya, guna memberitahu apa yang terjadi. Tanpa permisi. "Ia membantuku mengurus dokumen."
Tahu begini ia seharusnya tidak perlu takut dilaporkan. Ia tidak mengerti mengapa Kanae tidak menyetrapnya. Apakah iba? Kanae tersenyum lembut, lalu berbisik, "Tidak apa. Ini hari pertamamu." Sungguh [Name] tersentuh. "Kau dewiku, sensei!"
Guru jangkung di sudut bilik mendecih asal. "Kami mendengar bisikanmu. Kalau dia telat, sebaiknya kau lempar dia ke bagian osis kedisiplinan." Dilengkapi hoodie permata, guru itu lanjut memainkan nintendo switch. Bahkan menyilangkan kaki. Biadab memang. Nametagnya bertuliskan Uzui Tengen. "Ya gimana menurut kalian?" tanya Uzui meminta dukungan, berharap temannya berkata, "Iya Uzui benar."
Bodohnya ketiga teman Uzui serempak membalas, "Terserah kalian."
Malas meladeni Kanae, Uzui kembali bermain. "Dasar sahabat laknat. Yaudah bawa aja sana." Uzui melambaikan tangan berpose mengusir.
Senang mendengar keputusan Uzui, Kanae membungkuk hormat sebagai terima kasih. Diantarnya [Name] menuju kelas. Begitu pergi, Uzui menyimpan konsol gamenya ke laci. "Dia... bukankah kita pernah lihat dia?" Intonasinya serius.
Lelaki bernetra hijau oranye di samping mengangguk. "Ya, dia... gak asing," sahut Iguro Obanai bersama ular peliharaan yang melingkar di leher, yaitu Kaburamaru.
"Kanae juga sadar. Tapi... siapa?" Lelaki berjaket biru yang menjabat posisi guru olahraga bernama Tomioka Giyuu ikut mempertanyakan identitas [Name].
Sikut Uzui menyenggol Gyomei Himejima. "Berikan pendapatmu."
Himejima duduk bersender. "Entahlah. Mungkin salah satu anggota pemburu zaman dahulu."
Reinkarnasi sewajarnya mengingat masa ratusan tahun lalu. Bagimana kejadian mereka tiada, menjalani hari, teknik pernapasan masing-masing. Kecuali [Name]. Apa pun mengandung kenangan lamanya hanya buatnya sakit kepala. Entah sebuah keberuntungan, atau tidak. Artinya, ia mampu mengulang kehidupan seperti manusia normal. Namun kehilangan pribadi sebagai Kinoe, rank tertinggi demon slayer.
"Gak semua guru hadir. Sebaiknya kita diskusikan barengan," usul Tomioka buat amarah Iguro memuncak.
"Sabar napa? Bertugas, weh bertugas! Tungguin Mitsuri."
"Rengoku, juga Sanemi," tambah Himejima menyadari Iguro hanya membicarakan Mitsuri.
Terpaksa Uzui meredakan suasana ricuh. "Hm..." gumamnya berusaha mengira sampai akhirnya Uzui membuka mulut. "Oh, dia...! Dia adalah kebanggaan Oyakata sama! Bertalenta, kok. Aku yakin!" Seruan keasyikan Uzui mengisi udara.
-To Be Continue-
.
.
.
🍃Author's Note🍃
Hai~ Semoga kalian suka ceritanya! Jika ada kesalahan, silahkan beritahu di mana kekurangannya, ya. Maaf juga kalau Author's Note aku aneh, soalnya aku gak terbiasa, dan jarang banget nulis beginian😂 Nantikan chapter, juga revisi selanjutnya! Terima kasih banyak atas dukungan kalian, manteman! Have a nice day and see you soon!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro