Regrets
Keringat dingin membasahi wajah putih pucat itu. Tangan kirinya memeluk perut yang sedang dilanda gejolak tak tertahankan. Tangan kanannya yang sedari tadi memegang pensil, kini mulai gemetar dan melepaskan pensil yang ia pakai untuk menggoreskan tulisan di buku khas bersampul coklat itu. Matanya terpejam, mencoba menahan gejolak yang terus melanda perutnya. Ia mulai menjongkokkan tubuhnya dan tiba-tiba terdengarlah embusan angin yang keluar disertai dengan bau tak sedap.
"Aku perlu ke kamar mandi," serunya entah pada siapa.
Secepat kilat, ia berlari menuju toilet yang terletak di tenggara rumah mewah bernuansa klasik itu. Sebenarnya, ia bisa saja menggunakan toilet di kamarnya, tetapi sudah satu minggu ini toilet itu rusak dan belum sempat diperbaiki. Alhasil, ia harus berlari menuruni tangga dan melewati dapur terlebih dahulu sebelum tiba di toilet.
Huft, sepertinya ia harus mengurangi mengkonsumsi makanan pedas-asam itu lagi. Makanan itu benar-benar membuatnya ketagihan sekaligus menderita. Bagaimana tidak, sudah yang keempat kalinya dalam dua hari ia harus bolak-balik ke toilet. Merepotkan.
Cliff berancang-ancang untuk mendudukkan diri di toilet. Tangannya dengan perlahan menuju celana panjang berwarna biru tua yang hendak ia lepaskan. Akan tetapi, tiba-tiba saja ubin yang menjadi pijakan kakinya itu menghilang. Ia seolah melayang sebelum akhirnya tersedot dalam pusaran gelap.
Cliff mengerjapkan matanya yang disertai teriakan akibat guncangan yang tiba-tiba itu. Kedua tangannya berfokus memegang celana yang sebenarnya sudah setengah terlepas dari pinggulnya. Dengan susah payah, ia berusaha membenarkan letak celananya.
Cliff terus terseret dalam lorong gelap dengan titik-titik cahaya yang mengitarinya.
SRET!
Gejolak yang tadi ia rasakan kini tidak dirasakannya lagi. Tubuhnya menubruk sesuatu sebelum akhirnya kesadarannya menghilang.
***
Cliff mengerjapkan matanya. Cahaya lampu menyambut mata Cliff yang baru saja terbuka. Cliff menolehkan matanya, mencoba mengetahui di mana tempat ia berada sekarang. Otaknya berputar mengingat kejadian yang terjadi sebelumnya.
Ah, pusaran gelap itu!
Cliff mencoba untuk mendudukkan dirinya. Kepalanya begitu pusing, seolah ia telah tertidur begitu lama.
CEKLEK
Pintu kamar yang ia tempati terbuka. Matanya menatap sesosok makhluk di sana.
"Ah, rupanya kau sudah siuman," ucap makhluk itu. Ia membawa sebuah minuman berwarna coklat keruh. "Minumlah!" Tangannya memberikan minuman itu.
"Apa itu?" tanya Cliff curiga.
"Ini hanya minuman penyegar biasa. Tubuhmu akan pulih dengan cepat karena minuman ini," jawabnya, "tenang saja, minuman ini terbuat dari rempah-rempah biasa."
Merasa tenggorokannya membutuhkan air, Cliff menerima minuman itu dan meneguknya hingga habis. "Terima kasih."
"Aku Natan. Siapa namamu?" tanya makhluk tadi.
"Aku Clifford, panggil saja Cliff."
"Cliff, senang bertemu denganmu." Natan memberikan senyum terbaiknya.
***
"Jadi, begitulah akhirnya mengapa aku dapat berada di sini," jelas Cliff.
"Ah, jadi kau adalah manusia?" Natan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Hem," gumam Cliff, "bagaimana denganmu? Makhluk apa kalian itu?" ucap Cliff memandang makhluk warna-warni dari jendela kamar tempat ia berada.
"Kami? Kami—Ehm, Manusia menyebutnya apa ya? Sepertinya aku pernah membaca bukunya," celoteh Natan. "Ah! Mutan! Begitulah sebutan para manusia."
Cliff mengalihkan pandangannya pada Natan. Ia menatap mata Natan yang terlihat seperti mata kucing. Jika dipandang dengan seksama, bentuk tubuh Natan tidaklah berbeda dengan manusia pada umumnya. Hanya saja, warna kulit Natan dapat berubah-ubah.
"Warna kulitmu ...." Cliff menatap kulit Natan yang sekarang berwarna kuning. "Warna kulitmu apa memang selalu berubah-ubah?"
"Eh? Tidak selalu. Hanya saat-saat tertentu saja, lebih tepatnya saat emosi kami sedang kuat saja. Warna kulit asli kami adalah jingga." Natan menatap Cliff, "ceritakan tentang Bumi! Aku hanya pernah membaca saja bahwa Bumi itu adalah planet indah dengan segala nikmatnya. Banyak sekali pohon, sungai, laut, dan makhluk hidup lainnya. Uh, Aku ingin suatu saat dapat ke sana ... Tapi, itu tidak mungkin terjadi," ujar Natan sedih.
"Kenapa tidak mungkin? Aku saja dapat berada di sini, mungkin kamu dapat ke sana," Cliff menanggapi.
"Cliff, sesuatu yang menyedotmu itu disebut wormhole yang memiliki dua lubang yang saling berhubungan. Lubang itu dapat membawamu ke tempat lain di semesta ini atau bahkan semesta lain. Lubang yang pertama ada di toilet di rumahmu—seperti yang kau ceritakan—dan lubang kedua—entah mengapa—berada di halaman belakang rumahku, tempat aku menemukanmu. Lubang itu telah menghubungkan Bumi dan Arclea, planetku saat ini. Tidak mudah untuk membuat wormhole, Cliff. Kau membutuhkan energi yang besar untuk sekedar membuatnya, apalagi harus mempertahankannya ...." Natan berdiri dari kursi yang ia duduki. "Bagaimana kalau kita makan terlebih dahulu? Ini sudah sore."
Cliff mengangguk dan mengikuti langkah Natan. Rambut pirang Natan yang dikombinasikan dengan kulit warna-warninya terlihat sangat aneh, menurut Cliff.
Natan dan Cliff telah tiba di ruang makan. Natan berjalan ke dapur dan memanaskan daging-daging. Tidak terlihat ada sayuran sama sekali. Setelah selesai, mereka memakan makanan itu dan kembali mengobrol di ruang tengah.
Headline News: Kehancuran Bumi di depan mata.
Itulah kalimat yang Cliff baca di layar televisi 4D milik Natan. Baik Cliff maupun Natan sama-sama terkejut akan tulisan itu.
Bagaimana mungkin? Aku hanya meninggalkan bumi selama 3 hari.
"Apakah itu hanya lelucon?" tanya Cliff pada Natan.
"Tidak mungkin, Antero selalu mengabarkan berita terkini," gumam Natan.
"Cliff," panggil Natan seolah menyadari sesuatu. Warna kulitnya tiba-tiba saja berubah menjadi ungu tua. "Aku mengingat sesuatu .... Bumi dan Arclea memiliki perbedaan waktu yang sangat kentara. 1 jam di Arclea sama dengan 15 tahun di Bumi. Kau sudah tiga hari berada di Arclea, itu artinya kau telah meninggalkan bumi selama lebih dari 1000 tahun ...," jelas Natan pada Cliff.
Cliff semakin tidak mempercayai kenyataan itu. "Dari mana kau tau penjelasan itu?"
"Sebelumnya, ada seseorang yang sepertimu, tapi aku pikir dia adalah ilmuan. Dia di sini selama 3 jam dan katanya di Bumi telah melewati 45 tahun."
"Siapa? Di mana dia sekarang?" tanya Cliff.
"Dr. W, aku tidak tahu nama lengkapnya. Dia menghilang setelah pergi ke selatan. Ke tempat yang menurutnya merupakan tempat yang tidak terikat waktu."
"Aku akan ke sana. Aku harus ke sana!" ucap Cliff, "apa kau tahu tempatnya?"
"Hem," angguk Natan, "Aku akan menemanimu, Cliff."
***
Natan dan Cliff telah sampai di daerah selatan. Langit yang berwarna ungu menyambut mereka. Tidak ada apa pun di sana.
"Mitos berkata bahwa jika kau menggambar bintang di sini, bintang itu akan sampai di semesta dan dapat dilihat dari bumi. Menurut buku yang aku baca, yang kalian sebut rasi bintang adalah bintang gambaran kami di sini." Natan menatap langit dan sekitarnya. "Bagaimana kalau kau buat kode saja, siapa tahu makhluk bumi dapat melihatnya," usul Natan.
"Bukankah itu percuma saja? Bumi diambang kehancuran. Lebih baik aku cepat menemukan jalan pulang." Cliff menengokkan kepalanya ke segala arah.
"Kau lupa? Daerah ini tidak terikat waktu. Bisa saja pesan ini dikirim ke tahun berapapun yang kau mau, yang aku dengar sih, begitu."
Setelah mendengar penjelasan Natan, segera saja Cliff menggambar sesuatu. "Apakah gambaran kita hanya akan menjadi bintang?" tanya Cliff beberapa saat kemudian.
Natan mengangkat bahunya tanda tak tahu. "Ada yang bilang, kau dapat memikirkan suatu tempat saat menggambar dan tara gambarmu akan ada di tempat itu. Tentu saja dalam wujud selain bintang. Kau coba saja."
Dalam keadaan genting begini, tidak mungkin Cliff mengirim sinyal ke rumahnya, itu akan sia-sia saja. Jawaban yang tepat adalah mengirim ke pihak pemerintahan atau minimal NASA untuk memberi sinyal keberadaan dirinya. Ya, itu benar.
Cliff mulai menggambar di langit. Mengandalkan sandi yang pernah ia pelajari, ia mulai mengirim sinyal ke pihak NASA. Ini hal bodoh, pikirnya. Akan tetapi, tidak ada hal lain yang dapat ia lakukan saat ini. Ia memfokuskan pikirannya pada NASA, tempat yang akan ia tuju.
"Aku sudah selesai, lalu apa?" tanya Cliff.
"Kita menunggu?" Natan menjawab yang diangguki oleh Cliff.
***
"Sepertinya, yang kita lakukan ini hanya sia-sia, Cliff," seru Natan.
Sudah genap 2 hari 2 malam mereka berada di situ.
"Lebih baik kita kembali ke rumah," ajak Natan.
"Aku tidak punya rumah di sini."
Natan memandang Cliff. Ia tahu Cliff telah putus asa, tetapi tidak ada hal lain yang dapat dilakukannya. "Ada hal yang tidak dapat kita ubah sebesar apa pun usaha kita, Cliff. Sepertinya masalahmu ini merupakan salah satunya."
Natan berdiri, tubuhnya terlihat lemah dengan kulit berwarna abu-abu. "Aku akan kembali ke rumah," ucapnya, "kembalilah ke rumah jika kau sudah merasa lelah, kami akan selalu menerimamu."
***
The End
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro