Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HTCPCP

<!DOCTYPE atml>

<head>

<title>{I'm a teapot}</title>

<link>

{block:Reset}<meta/>{/block:Reset}

</head>

<body>

Elizabeth Cardis tidak dapat mengingat apa yang telah terjadi sampai sebulan kemudian ia terbangun di rumah sakit.

Seakan-akan ia telah bermimpi lama dan panjang, namun sensasi motorik tubuhnya mengingat dan berusaha memberitahukannya sesuatu. Segalanya, secara alami, mulai kembali kepadanya setelah beberapa jam ia membuka mata, menikmati cahaya matahari sore yang masuk dari jendela di sisi barat kamar serba putih itu.

Detail yang ada di kamar itu mulai Eliza perhatikan dan resapi satu per satu. Robot berbentuk seperti bola kasti yang melayang di udara, tampak seperti asisten perawat, memeriksanya dari waktu ke waktu dan segera pergi melalui celah pintu dan menutupnya kembali. Tangan kirinya yang disisipi jarum infus, namun tidak bisa digerakkan sama sekali. Selimut nyaman dan kasur empuk. Pot bunga yang berisi bunga yang tampak segar di sisi samping tempat tidurnya, entah memang karena sering diganti atau itu hanya citra hologram untuk pemanis mata. Di saat yang sama, benaknya mulai bersoal tentang segala yang telah terjadi.

Satu bulan telah berlalu. Ia ingat betul kalender yang terakhir berjalan di Sistema Cardis. Si robot asisten tadi menyuarakan bulan yang lain dari perkiraan, dan Eliza hanya bisa terbeliak, ternganga di atas tempat tidur rumah sakit. Sekarang, ia tidak bisa mengakses Sistema Cardis karena satu atau dua hal - utamanya, karena ada tulisan muncul 'Akses anda dibatasi oleh Elise Cardis. Katanya: 'istirahat, bodoh', lalu tanda titik.'.

Ketika kepalanya dipenuhi tanya yang rasanya tidak akan terjawab dengan cepat, pintu kamar rawatnya diketuk pelan sebanyak dua kali.

Seseorang dengan topi jerami masuk ke ruangan, disertai sebuah buket bunga dengan warna-warna cerah, surai pirang kecoklatannya digerai dengan ombre di sisi bawah. Ia mengenakan gaun terusan panjang tak berlengan berwarna putih, mengaksentuasi nada musim panas yang mungkin menusuk-nusuk di luar sana.

Senyum simpul Countess Alchemilla terkembang pesat, terlebih ketika Eliza melambaikan tangan.

"Tadi katanya kamu belum bangun juga, atau, dia membohongiku?"

"Oh, Madam ada di sini?"

"Tidak, dia sedang sibuk -- hei, kenapa kamu bisa tahu kalau aku-"

"Cuma menebak, cuma menebak. Saya benar-benar baru terbangun, Countess." ia terselamatkan dari delik tajam mata itu. "Syukurlah kalau hubungan anda dan Madam sudah lebih baik."

Countess Alchemilla menarik tepi topi jeraminya, mendengus, "Sudah kubilang, itu urusan orang tua. Anak bau kencur sepertimu tidak usah ikut campur."

"Ya, ya."

Menunggu Countess Alchemilla mengganti bunga yang ada di pot, Eliza kembali memandang arah luar jendela. Ia tampak ada di lantai yang cukup tinggi, cukup untuk menikmati cuplik hamparan metropolis di bawah sana. Malam belum menjelang dan sore masih berujar jingga muda, belum waktunya untuk gemerlap lampu yang diharapkan hadir.

Paling tidak, satu pertanyaannya terjawab - mengenai pot bunga itu asli atau palsu.

"Kamu kelihatan seperti mau menginterogasiku, apa kepalamu sudah tidak apa-apa?"

"Malah rasanya kepalaku akan pecah kalau tidak ada penjelasan, Countess." tukasnya, kepalanya ia tepik sekali ke arah bantal besar rumah sakit.

"Ya sudah. Bukan salahku, ya, kalau kamu sakit kepala nanti."

Kelima orang - enam, beserta Eliza - seusai berhasil menonaktifkan fungsi dummy brain, mengalami syok otak. Menurut tim kesehatan yang menangani, terlalu banyak informasi yang masuk ke dalam otak dari jaringan Sistem, sehingga gelombang otak mereka terganggu. Dengan terapi yang cukup panjang, fungsi otak akan kembali normal. Memang, akan ada satu atau dua kesenjangan tertentu ketika membiasakan diri dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat sensorik atau motorik.

Sesuai hipotesis, hologram solid yang mengunci mereka di Neo-Virtual Area segera sirna. Mereka pun bergerak cepat untuk evakuasi, segera memanggil bantuan. Terjadi kekacauan kecil di KINGDOM dengan dinonaktifkannya dummy brain di saat itu, namun semua bisa teratasi dengan cukup cepat.

"Lalu, bagaimana dengan nasib Tiga Familia?"

"Oh, ya," air mukanya netral. "Pesta Seleksi Society tahun ini ditiadakan. Mereka akan menjabat kembali untuk tahun ini."

Countess Alchemilla memberitahukan bagaimana berita seputar Pesta Seleksi Society merambah awak media di mana saja selama dua minggu penuh. Bersamaan dengan berita heboh tentang aksi yang dilakukan di kondisi terkunci tersebut, beberapa nama yang tidak asing di permukaan KINGDOM mulai terkuak setelah diketahui bahwa 'Duke Lakspur' tidak ada di penjara. Mereka-mereka yang semula bungkam akhirnya angkat bicara, entah karena tekanan dari publik, atau sudah risih dengan situasi yang berbalik dari perkiraan.

Sang Countess memperkirakan masih ada beberapa babak kekacauan politik dan ekonomi yang mengikuti perubahan radikal ini, tapi sedikit banyak, KINGDOM akan pulih dari sindikat terorisme dan pemanfaatan kekuasaan.

Eliza membuka mulutnya di huruf 'o' besar, memilih kata-kata yang tepat untuk berkomentar, "Begitu."

"Tidak kusangka, selama ini dia masih terpukul mengenai hal itu."

"Soal dummy brain?"

"Dan si bodoh itu masih mencari cara untuk membuktikan bahwa penyalahgunaan dummy brain itu bukan salahnya atau donaturnya!" Countess Alchemilla bersungut. "Sepuluh tahun, sepuluh tahun! Bahkan donaturnya saja tidak peduli dengan gelar kebangsawanan dan reputasinya yang hilang!"

"Erm, Countess. Kurasa Madam masih say--"

"Jangan katakan itu, nak. Jangan. Aku sudah tahu. Mengakuinya hanya akan membuatku tambah malu."

Countess Alchemilla mulai memerah dari pipi ke ujung telinga, ia membuang muka. Eliza tak bisa menyembunyikan gelak tawanya. Mungkin, kalau Madam mendengarkan, Eliza pasti akan disentil di dahi.

"Sebelum aku lupa," sang Countess menepuk tangannya sekali. Ia menjangkau laci paling bawah dari lemari kecil yang menyokong pot bunga. Di tangannya, ada dua pucuk surat.

Surat. Eliza mengernyitkan dahi. Surat, lengkap dengan amplop, sebuah anomali di kehidupan serba modern dan serba digital. Surat terasa sebagai awal dari segalanya; walau kenyataannya, Eliza telah ada di garis tengah, di depan sebuah percabangan jalan.

"Tenang, ini bukan surat undangan Seleksi, kok." seperti menjawab gundahnya, Countess Alchemilla berujar. "Baca saja kalau kamu sudah bisa bergerak normal. Aku bukan seorang yang seenaknya membacakan tulisan orang lain."

Setelah menunjukkan dua amplop itu, satu memiliki warna putih polos dan satunya berwarna krem, Countess Alchemilla memasukkannya kembali ke laci.

Jujur, Eliza sangat penasaran mengenai siapa gerangan pengirim surat dan isi surat-surat itu. Sesuai kata wanita itu, alangkah lebih baik baginya untuk urung dari memaksakan diri. Surat itu juga tidak akan kemana-mana, mereka akan terlipat rapi sampai saat Eliza bisa membukanya.

"Countess, boleh saya bertanya lagi?"

"Mm?"

"Sebenarnya ... apakah keikutsertaan saya di Seleksi adalah kesengajaan dari Madam juga?"

Jawaban Countess Alchemilla sangat cepat, "Tidak. Itu semua algoritma Sistem," tangannya tertutup di pangkuan, kakinya bersilang antar satu dengan yang lain.

"Tapi ... kamu pasti tahu kalau algoritma yang tetap itu dapat ditebak menggunakan rumus."

"Eh?"

"Sisanya, harap saja Madam keras kepalamu mau menjawab, ya."

"Tu, tunggu Countess! Jawab dulu, ya atau tidak!?"



Tiga bulan menjelang dengan cepat, lagi terasa lambat karena Madam Elise terus-menerus menyuruhnya untuk kembali terapi atau dia tidak akan memberikan akses Sistema Cardis lagi.

Menuruti permintaan (oke, atau bisa dibilang, perintah keras?) Elise Cardis itu lebih sulit ketimbang menjalani hari demi hari kelas kepribadian privat yang dicanangkan sang tuan rumah ketika Eliza pertama kali bergabung sebagai anak angkat di keluarga Baron Cardis. Banyak sekali larangan. Banyak sekali kata tidak. Eliza bahkan tidak boleh kembali ke kediaman Cardis sebelum ia dinyatakan 100% sembuh dengan 100% fungsi otak sempurna.

Sungguh, ia sudah bosan tanpa bermain di antara kode, angka, dan huruf atau menebak-nebak klien.

Setelah mengantongi laporan dengan tanda tangan dari psikiater dan bagian terapi fisiologis di rumah sakit, Eliza menuju Divisio Tessa dengan jalur paling lama. Ia menghabiskan waktu untuk berjalan kaki sekitar tiga puluh menit menembus taman-taman artifisial kota dan mampir ke pusat perbelanjaan semi-virtual yang ada di Divisio Kalimeris tempatnya dirawat, seakan kangen untuk bergerak dan berpijak dengan kakinya sendiri.

Eliza bisa saja segera memesan taksi, atau naik monorel kapsul yang dikhususkan untuk pasien rumah sakit yang hendak pulang ke rumah tanpa ongkos, tapi ia memilih untuk naik kereta bawah tanah nantinya. Ia merapikan kerah hoodie biru yang ia kenakan melapisi kemeja kotak-kotak coklat-jingga dan mulai berjalan santai di pelataran trotoar. Rok coklat tua yang ia pilih untuk hari ini panjang selutut. Saat melihat ke arah sepatu hitamnya, ia sudah lupa mengenai alasan yang membuatnya memilih rok dan sepatu itu untuk hari ini.

Sore itu tidak sebegitu terik seperti tiga bulan lalu, ketika musim panas sedang tinggi-tingginya. KINGDOM tidak terlalu mengenal musim gugur karena transisi dari musim panas ke musim dingin hanya berangsur satu bulan.

Musim transisi itu cukup disukai karena curah hujan yang sedikit dan cuaca yang cukup adem bersahabat. Eliza mulai-mulai mengingat masa lalu ketika ia kembali dari sekolah rakyat menantikan es krim yang biasa Nyonya belikan untuk anak-anak panti di musim seperti ini. Es krim di musim aneh selalu menderita diskon besar-besaran, nasib yang selalu berulang setiap tahunnya.

Ia menerawang sejenak menatap langit, seketika itu juga ia ingat ada dua pucuk surat yang belum ia baca. Surat-surat yang menanti presensinya di dalam tas tangan yang senantiasa ia bawa selama sesi terapi.

Di Divisio Kalimeris, ada sebuah kedai teh yang terkenal menyajikan menunya di tempat seperti truk makanan berwarna biru. Kedai teh itu menyediakan paket makan siang dan dua set meja bulat yang bisa digunakan konsumen untuk duduk, berlindung dengan teduh atap aluminium datar yang masih merupakan bagian dari truk. Eliza memesan teh susu dan roti, sementara tangan-tangannya membuka pucuk surat pertama dengan tergesa.

Surat pertama yang ia buka bukanlah berisi kartu dengan hologram tiga dimensi menyembul segera setelah surat dibuka. Bukan juga kartu berisi tautan yang bisa Eliza akses di layar otomatis Sistema Cardis. Surat dengan amplop berwarna krem itu disertai dengan bunga yang sudah dikeringkan, ditekan menjadi bagian pada kertas surat. Isi surat itu ditulis dengan tinta yang tebal, hurufnya lugas dan mudah terbaca.


Teruntuk Baroness Cardis.

Maaf saya belum sempat mengucapkan terima kasih sekali lagi atas kebenaran yang telah kau ungkapkan. Saya memilih media surat karena kertas ini dapat membuat bunga yang saya sematkan bermakna abadi.

Sekali lagi, saya senang mendengar kenyataan dari kejadian besar sepuluh tahun yang lalu. Sejujurnya, saya sudah kehilangan harapan, menerima apa yang dikatakan semua orang saat itu sebagai sebuah fakta dan menyudahi pencarian saya terhadap kebenaran. Di dalam hati, saya masih berpegang teguh bahwa mereka telah menghukum orang yang salah dan sepantasnya Nona dan anggota keluarga Regelia tidak harus musnah di kejadian itu.

Sekarang, setelah mengetahui apa yang benar dan menyaksikan bagaimana orang-orang yang sepantasnya dihukum telah menghadapi ganjaran mereka, saya bisa menjalankan keinginan terakhir Nona untuk berbuat lebih banyak kebaikan bagi masa depan KINGDOM.

Semoga kita bisa bertemu lagi,

P.S, mungkin ketika anda sadar, Neo-Virtual Area telah dibuka untuk rekreasi umum. Anda bisa tunjukkan surat ini sebagai tiket masuk. Tiket ini berlaku selamanya dan gratis.

Bunga ini, Nerine—kebebasan, sangat cocok untukmu, bukan?

Mantan Kepala Pelayan Rumah Regelia,

Iris Artemis.


Nafasnya yang semula tersekat sekarang tumpah dengan penuh kelegaan. Selama beberapa menit, ia tidak berhenti tersenyum, berbisik pada dirinya sendiri bahwa pilihannya untuk tetap hidup adalah hal yang benar.

Hidup. Ya, Eliza ingin hidup. Sesederhana itu.

Memang, orang yang luntang-lantung sepertinya yang juga dirundung kemalangan demi kemalangan, ingin tempat untuk bernaung. Tapi, di saat semua variabel yang ia inginkan dengan mudah menghilang, keinginannya untuk hidup tetap ada pada dirinya. Hidup adalah definisi 'bahagia' miliknya, walau bagaimanapun kondisi yang akan ia hadapi.

Sudah lama ia tidak berbincang dengan Madam Elise. Madam-nya itu pasti akan bilang kalau ada orang lain lagi yang diselamatkan oleh sihir yang dimiliki Elizabeth Cardis.

Surat kedua, dan surat terakhir dari daftar suratnya, ada dalam amplop putih. Segel yang berupa lilin di punggung amplop segera membangkitkan nostalgia di dalam sukmanya. Seakan-akan surat seperti ini diterimanya entah berapa tahun ke belakang, padahal belum juga genap setengah tahun ia mendapati surat tersebut. Huruf-huruf kursif yang menguntai perlahan menjadi kalimat-kalimat itu terasa sangat, sangat familiar, begitu juga aksentuasi dan jejak tinta yang ditimbulkan setiap sang penulis menyuarakan kata-kata baru.


Dear Elizabeth,

Tidak, surat ini bukan surat undangan Society Auction Ball. Aku tahu kamu pasti tertawa ketika melihat paragraf pertama ini.

Kuharap kamu sehat. Ah. Tidak. Tentu saja kamu tidak sehat - belum sehat. Mungkin saat kamu membaca surat ini, kamu sedang menjalani sesi terapi, dan aku ada di suatu tempat, menjalankan fungsi Administrator.

Berkat dukunganmu, beberapa masalah yang semula tenggelam dan terbengkalai mulai terkuak, tapi akhirnya aku, kami jarang punya hari libur dengan segala tugas pemeliharaan dan reparasi Sistem.

Aku bukan orang dengan ribuan kata-kata, jadi aku sudahi saja surat ini sampai di sini.

Aku akan menunggumu di tempat biasa. Di jam biasa. Di saat biasa.

—Dahlia.

Kalimat terakhir itu membuat Eliza tertegun dalam sekian menit, sebelum akhirnya ia bangkit dengan terburu. Teh ia biarkan separuh habis, sementara dirinya segera mencari jadwal keberangkatan kereta ke Divisio Regelia di sisi timur KINGDOM.



Neo-Virtual Area. Sebuah pusat rekreasi semi-virtual yang difungsikan penuh untuk rekreasi mental, kini telah dibuka dengan penuh dengan penginapan dan sumber air panas yang menyegarkan.

Eliza tak pelak menahan tawanya setelah membaca tagline yang ada di brosur yang harus diunduh ketika masuk ke area utama. Rekreasi mental, ya, mungkin hal itu benar adanya untuk saat ini, tanpa adanya hologram solid yang membatasi atau area kunjungan yang terbatas di lima tempat saja.

Tentu, karena Eliza sampai di sana mendekati tengah malam, resepsionis di pintu utama segera menawarkan Eliza ke penginapan yang telah disulap lebih mewah, walau ada di bawah tanah, dan Eliza mengingatkan dirinya kembali kalau kamar-kamar itu adalah bekas penjara. Di sana saat ini ada wahana-wahana baru seperti planetarium multidimensi dan taman ria mini, intinya sudah banyak opsi yang dapat dipilih, dan para pengunjung bisa datang dan menikmati dengan virtual avatar lengkap atau dengan diri organik mereka masing-masing.

Tujuan Eliza saat ini juga bukan wahana-wahana itu, atau ada di benaknya keinginan untuk menghabiskan malam dengan menginap dan menikmati mandi air panas.

"Bolehkah saya meminta akses ke atap gedung utama?"

Eliza berkata dengan nada polos, disertai sebuah surat dengan bunga tersemat sebagai bukti.




Waktu telah menunjukkan tengah malam, hari telah berganti di saat ia memberitahu kediaman Cardis bahwa saat itu ia akan segera pulang.

Dan sekarang, ia membuka pelan pintu besi yang dirasanya berat. Lebih berat dibandingkan saat terakhir ia mencoba membuka pintu. Hampir semua pintu rumah sakit sudah otomatis, jadi konsentrasi ototnya mengalir untuk terapi saja, dan alat-alat yang digunakan terapi tidak seberat pintu itu.

Berbagai komentarnya mengenai pintu sempurna buyar ketika angin kencang menyapu jarak pandangan, memaksanya untuk menutup mata hingga ia terbiasa dan angin mereda dengan sendirinya.

Blazer hitam yang berkibar searah angin, surai merah muda yang mengayun diterpa malam yang menjelang, sosok yang tegap menyandarkan diri di atas pagar pembatas, mata yang menikmati kerlap-kerlip hamparan metropolitan saat malam.

Melihat wanita itu bergeming, mungkin dia tidak menyadari ada orang yang bertandang. Dengan langkah pelan, sepatu menginjak terukur tanpa decit dan suara berarti, Eliza berjalan mendekat.

Ketika ia sampai tiga langkah sebelum wanita itu dapat ia rengkuh dengan utuh, Eliza memutuskan untuk menampakkan diri.

"Dahlia."

Dan pemilik surai merah muda itu segera menoleh, rona merah tersungging di pipinya. Ia juga tidak repot-repot menyembunyikan tarikan senyumnya yang terperangah, namun manis dipandang.

Yang Eliza lakukan adalah membuka tangannya untuk Dahlia ambil. Jarak mereka terpaut satu nafas.

"Bagaimana kalau kita berdansa lagi?"

(Kali ini, mereka bisa terus menari, hingga mereka berdua lupa, hingga mereka berdua melebur bersama.)

</body>
</atml >

Bonus: https://www.google.com/teapot

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro