Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

500

Sistema Cardis.

Ah. Sebelum sampai ke bagaimana Elizabeth menggebu menginginkannya, alangkah baiknya Elizabeth mencoba mengakses kelima panca inderanya sekarang.

Hal yang terakhir Elizabeth ingat adalah ketika ia menjangkau pintu belakang sebuah kabin di tengah hutan lindung yang terletak di daerah kekuasaan Divisio Tessa. Seusai meyakinkan diri bahwa kabin itu benar adanya dan bukan hologram, Elizabeth memindai kemungkinan adanya jebakan di sekitar kabin. Tidak ada piranti laser yang akan muncul ketika ia menginjak rerumputan di sekitar rumah. Tidak ada busur panah atau mata tombak yang tiba-tiba mengejarnya ketika ia menaiki dek kabin. Tidak ada mekanisme keamanan tertentu yang membuat rumah itu spesial.

Rumah kabin di tengah hutan itu tampak tidak lagi dihuni, melihat debu yang ada di pagar kayu yang membatasi dek. Akan tetapi, laporan kegiatan di sana menyatakan bahwa pemilik rumah itu - Baron Cardis - sering terlihat keluar-masuk rumah ini.

Street scanner tidak pernah berbohong. Lebih sulit untuk mengakali pemindai jalanan itu ketimbang menebak kata kunci akun pribadi milik politisi - street scanner memiliki data sidik jari lengkap apabila piranti tersebut dibajak, sehingga tidak ada yang berani meretas perangkat tersebut bila orang tersebut sama sekali tidak mau identitasnya diendus.

Memang, kenyataan tersebut belum bisa menepis kemungkinan bahwa Elizabeth telah datang ke kandang singa. Ia bisa saja tidak akan kembali, atau kembali dengan tangan kosong. Obsesinya menjadi sia-sia.

Sekali lagi: ia tidak akan mundur.

Selain memeriksa mengenai rumah tersebut sebelum ia datang, Elizabeth sudah mengira-ngira skenario apa saja yang akan dihadapinya sesudah ia memereteli kunci. Ia telah hafal berbagai perangkap yang dipasang di pintu dan cara-cara untuk menghindarinya, atau paling tidak mengurangi dampak yang ditimbulkan. Ada beberapa trik yang menimbulkan ledakan kecil di pintu ketika pintu tersebut dipaksa dibuka, oleh karena itu Elizabeth membuka pintu dengan bantuan capit mekanik yang sudah diatur untuk menghasilkan besar kekuatan tertentu agar pintu tersebut dapat dibuka tanpa tenaga berlebih atau sensor panas tubuh menangkap dirinya.

Ya, ia hanya ingat saat ia berhasil masuk ke rumah kabin yang gelap. Sekedar itu.

Kini, ia membuka mata ke ruangan gelap yang sama, namun ia telah terduduk di suatu tempat. Elizabeth mencoba menarik tangannya, menemukan bahwa kedua tangannya tidak diikat pada kursi atau tiang. Akan tetapi, ia tidak bisa berdiri karena ada sesuatu yang berat mengganjal kedua kakinya.

Ketika cahaya tiba-tiba berpendar memenuhi ruangan, ia segera refleks menutup mata. Sengat pusing mendera kepala sejurus dengan sakit yang ia rasakan menjalar dari matanya setelah menerima sinar terang secara tiba-tiba.

Yang ia lihat setelah matanya beradaptasi dengan cahaya ruangan yang bersumber dari satu lampu gantung, adalah meja panjang mahoni di hadapannya, juga pantulan wajah seorang wanita dari sisi meja yang bening mengilap. Rambut hitamnya ia kuncir kuda, dahinya terlihat lebar tanpa adanya satu helai rambut. Senyumnya naik menatap balik Elizabeth yang membeliak melihatnya duduk di seberang meja, menahan dagunya dengan kedua punggung tangan alih-alih menunggu. Ia mengenakan kemeja putih polos, kerah teratasnya dibuka, lengan kemejanya terlipat sampai siku.

Di dalam kepala Elizabeth, Elise Cardis mirip dengan seorang penyidik yang hendak menginterogasi tersangka. Sayang, tidak ada penyidik yang akan menatapnya dengan lembut, tidak ada polisi yang akan berlaku sopan pada seseorang yang berasal dari Slum, apalagi bila mereka tertangkap basah mencuri.

"Apa, kamu kira rumah ini dimiliki oleh seorang Baron tua? Tidak." Elizabeth menelan ludah. "Selamat datang, nona pencuri. Saya adalah pemilik rumah ini, Elise Cardis."

Elise Cardis kemudian menarik sebuah nampan yang ada di kanannya, Elizabeth terlalu berfokus pada figur sang tuan rumah untuk menyadari keberadaan satu set teko bersama cangkirnya. Kayu, bukan porselen. Permukaan cangkir tersebut tampak halus, garis-garis yang menggambarkan umur pohon ada di sana, sama dengan tembok depan rumah kabin ini.

Elise Cardis menuang penuh dua cangkir, ia meletakkan satu di hadapan Elizabeth.

"Tenang, tidak ada racun di teh itu," pungkasnya, hati Elizabeth kembali mencelos. Apa pikirannya sangat mudah ditebak? Tuan rumah tidak memasang perangkat pembaca gelombang otak di kepalanya.

"Dan, oh, tadinya saya mau menyuguhkan anda kopi, tapi hari ini saya belum belanja gula. Kamu nggak suka 'kan, kopi tanpa gula?"

Elizabeth membuka mulut, tercengang. Elise Cardis hanya terkekeh, seakan-akan satu jengit perubahan ekspresinya sudah diperkirakan sebelumnya. Ia memutar cangkir kayu yang ada di hadapannya, matanya tidak pergi dari memandang Elizabeth. Elise Cardis tidak menatapnya seperti seorang pemburu yang lurus terhadap mangsanya, tetapi lebih seperti guru yang tengah menghardik muridnya ketika sang murid berbuat kesalahan.

"Sudah kuduga kamu akan datang, Elizabeth. Kamu adalah tamuku."

"Tidak ada tamu yang kakinya dikunci ke kaki kursi."

"Ah, ya, benar juga," Elise Cardis mengangguk-angguk. "Tapi, saya yakin kalau kakimu tidak dikunci di kursi, kamu akan segera lari."

"Ten, tentu saja."

"Saya hanya ingin bicara baik-baik dengan tamu saya," ungkapnya. "Tenang saja, saya tidak akan berlaku kasar."

Elizabeth menghela nafas panjang. Kedua tangannya ia kepal di atas meja, sama sekali tidak ada keinginan darinya untuk minum teh walaupun sang tuan rumah menyeruput tehnya dengan santai. Tidak ada racun, dia bilang. Elizabeth adalah tamu, dia bilang. Entah omong kosong apa lagi yang akan Elise Cardis haturkan setelahnya.

"Jadi ... anda yang menyeret saya ke sini."

Elizabeth berujar, mengingat-ingat bahwa informasi konkrit hanya disampaikan oleh satu orang klien langganannya, seorang anonim yang ia hafal betul nomor IP-nya. Seorang anonim yang menyatakan IP-nya ada di salah satu distrik terkemuka di dekat Ibu Kota, bukan seorang anonim yang ternyata tinggal di belantara hutan di Divisio Tessa. Elise Cardis menjawab dengan sekali anggukan.

"Mengapa anda ingin saya ke sini untuk Sistema Cardis yang ... yang semua orang bilang fiktif itu?"

"Hoo, kamu masih berkutat soal ini adalah dongeng?" Elise Cardis memangku tangannya di atas meja. "Kamu tidak ingin bertanya kenapa saya bisa tahu nama kamu adalah 'Elizabeth'?"

Ah, satu hal yang luput dari perhatiannya karena ketegangan yang ia rasakan. Ketegangan yang membuatnya panik. Ketegangan yang membuatnya tertekan.

Elizabeth selalu berkomunikasi dengan kliennya dengan identitas palsu. Ia juga tidak membawa satu pun identitas tertentu yang bisa mengacu pada nama aslinya. Kecuali bila Elise Cardis ini punya alat-alat forensik seperti pemindai sidik jari atau pencarian DNA dari helai rambut. Benda-benda tersebut sulit didapatkan tanpa koneksi dari bangsawan kelas lebih tinggi.

Namun, bila 'Sistema Cardis' yang digadang-gadang olehnya adalah benar, Elise Cardis dapat mengambil data tertentu asal dia terhubung dalam jaringan informasi utama KINGDOM - semua orang berhak mengakses data kependudukan yang memuat nama dan foto wajah penduduk KINGDOM yang tertangkap pada street scanner. Dengan kecepatan pengambilan informasi, siapa pun bisa melakukan hacking dalam waktu singkat, mengambil data yang ia perlukan, dan segera pergi dari jaringan informasi utama tanpa meninggalkan jejak berarti.

"Anda menggunakan Sistema Cardis? Tapi, dari hasil scan, tidak ada perangkat komputer kuantum di rumah ini."

"Komputer kuantum itu ada di depanmu."

"Eh?"

Seringainya lebar, begitu puas. Elise Cardis mengulang, "Komputer kuantum itu ada di depanmu."

Elizabeth merasa dagunya sendiri telah terjatuh ke lantai. Ia ternganga.



"Ini–ini bukannya sama dengan kejadian sepuluh tahun lalu?"

Senyap mulai tergantikan oleh kebisingan yang baru. Dengung bisikan-bisikan mulai mengisi ruangan yang semula tercenung karena berita yang baru saja merebak.

Ledakan, walau dalam skala kecil, telah terjadi di Ibu Kota KINGDOM, beserta dengan putusnya saluran komunikasi dalam waktu singkat. Sistem telah melancarkan fungsi mereka untuk melakukan pemulihan secara otomatis, sementara Sistem mengatakan para Administrator tidak dalam keadaan aktif.

Kejadian yang sama, sesuai dengan apa yang telah dibicarakan oleh orang-orang di ruangan, sangat mirip dengan sebuah peristiwa yang mengacaukan KINGDOM sepuluh tahun yang lalu. Seorang pria yang memegang kuasa tinggi karena kelas Familia-nya yang tinggi, datang ke Pesta Seleksi Society sepuluh tahun silam sebagai tuan rumah kehormatan, dan ia menjalankan sebuah kejahatan berencana ketika ia berhasil 'menang' menjadi salah satu dari Tiga Familia baru yang dipilih oleh Sistem.

"Tapi, ledakannya kecil. Waktu itu 'kan, Slum ..."

"Atau ternyata antek-antek Lakspur belum semuanya lenyap?"

"Apa kita akan diledakkan juga di sini?"

"Mohon tenang."

Suara Earl Gaillardia menggema di ruangan yang kacau balau. Beberapa kepala yang berdiri menyumbangkan suaranya untuk meningkatkan kegaduhan segera diam, kembali duduk dengan kepala tertunduk. Mereka yang tadi berdiri untuk menjelaskan situasi yang tengah dihadapi tetap tegak berdiri. Kebingungan mendera mereka, terkecuali Duchess Regelia yang menatap kecut ke arah podium.

Earl Gaillardia menurunkan pundaknya yang naik sesaat suaranya ikut meninggi, matanya mengedar memeriksa tiap-tiap tamu yang atensinya terpecah. Setelah ia memastikan ruangan sudah kondusif tanpa satu suara kembali mencoba memecah ketegangan, Earl Gaillardia kembali duduk.

Sementara, Eliza tengah memegangi tangan kirinya yang tidak berhenti dilanda tremor. Mengepal dan melepas. Mengepal dan melepas. Ia berusaha tetap konsentrasi ke podium di depannya, ke kenyataan yang terhampar jelas di jarak pandangannya. Ia mulai berbisik pada dirinya sendiri, bahwa situasi akan bisa dikendalikan, bahwa ia bisa memikirkan jalan keluar.

Ketika itu, satu tangan terangkat di udara sebelum Earl Gaillardia sempat membuka mulut sempurna, "Interupsi."

Duchess Regelia memutar bola matanya, tatapannya hampa ketika ia mengerling ke arah audiens. Pemilik surai gandaria itu tidak menunggu Earl Gaillardia mempersilakan dirinya bicara. Ia mengambil satu langkah ke depan.

"Saya paham ketakutan yang dirasakan oleh para tamu, oleh karena itu saya ingin memastikan sesuatu," monokel emasnya berkilat di bawah cahaya lampu dan di bawah tatapan penasaran hadirin di ruangan. "Kejadian ini tidak didalangi oleh Administrator, 'kan?"

Duchess Sarachenia hendak berdiri untuk membalas interupsi, namun tangan Earl Gaillardia membentang dari sebelah kanannya, mengisyaratkannya untuk diam dan mendengarkan.

"Saya pernah dengar kalau sekarang hanya ada satu Administrator utama yang ditunjuk untuk memegang kunci master dari Sistem," Duchess Regelia menjelaskan dengan perlahan. Nadanya santun, setiap tutur per kata tidak terburu. Ia seperti ingin mengerucutkan paparannya ke satu hipotesis. "Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya orang baru yang naik jabatan ke Administrator dan langsung melakukan sabotase seperti apa yang dilakukan Duke Lakspur saat itu."

Eliza menaikkan kepalanya, ia sadar ke arah mana Duchess Regelia hendak menitikberatkan argumennya.

"Tapi ... bisa saja orang tersebut ternyata tidak bisa dipercaya. Bisa saja ternyata dia yang mengunci kita semua di sini dan dengan komandonya, ia meledakkan Ibu Kota dan memutus aliran komunikasi."

Earl Gaillardia menaikkan alis, "Duchess Regelia, apa anda menyalahkan kami untuk kejadian ini?"

"Bukan anda, Earl Gaillardia, yang saya maksud adalah pemegang kunci master," senyumnya melengkung pahit. Ia menolehkan kepalanya ke kursi ketiga, ke arah pemilik surai merah muda yang sedari tadi bergeming menanggapi situasi yang panas yang menyelimuti ruangan.

Eliza merasakan keringat dingin turun dari pelipisnya, bukan karena ia ada di penghujung panik.

"Apa dugaan saya ini salah, Countess Kleine?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro