Note: Selamat menikmati :)
Kami berjalan perlahan di koridor lantai lima rumah sakit. Setelah menurunkan adik sepupunya di rumah—rumahnya termasuk di komplek elit ternyata, kurang lebih setengah jam sebelum kontrakan kami, Ical tetap berkeras menunggu aku membereskan barang-barang yang akan kubawa menginap lalu mengantar ke sini. RS Almedika Jaya.
"Ini sebenarnya beneran nggak perlu, lho," ucapku. "Sudah jam satu lewat ini."
Lelaki di sampingku sudah menggulung lengan kemejanya hingga siku, penampilannya sudah makin jauh dari kata rapi. Diusapnya mata beberapa kali, aku tahu Ical lumayang lelah dan mengantuk. Aku benar-benar merasa nggak nyaman sudah merepotkan dia seperti ini.
"Malah gampang pulangnya bisa ngebut, nggak macet," jawabnya. "Lagian, gu—eh aku lebih nggak bisa biarin kamu naik taksi malam-malam ke sini."
Berkat cara bicaranya yang berubah, kami sukses terdiam. Kami sesaat bertatapan, kemudian dengan cepat kualihkan pandangan ke sisi bangunan yang didominasi kaca besar. Nggak ada yang bisa terlihat malam-malam begini padahal ada taman cantik jika aku melongok di siang hari.
"Eumh... nggak nyaman ya, Lan?" ungkapnya lagi, membuat kepalaku terangkat. "Mending pakai gue-lo?"
Aku cepat menggeleng. "Nggak, aku nggak papa. Cuma... belum terbiasa aja." Lagi-lagi kami terdiam. Rasanya kikuk saja. Biasanya aku juga nggak terlalu peduli dengan sapaan yang digunakan, namun aku terbiasa menggunakan aku-kamu ke semua orang. "Nggak perlu maksain," lanjutku. "Kalau kamu biasa ngomong pakai lo-gue, teman-temanku juga gitu."
Ical menggaruk kepalanya dengan sebelah tangan yang bebas. Tangan yang satunya menenteng bawaanku dari rumah, lelaki ini berkeras mengambil alih tadi sejak turun dari mobil. "Nggak sih, emph... aku juga lagi belajar membiasakan," ujarnya. "Di rumah, aku lebih sering mengucapkan diri sebagai Ical atau Bang Ical di depan Echa. Dulu dia kurang ajar banget, manggilnya nggak pakai Abang. Icaaal gitu. Terus mama marah," ucapnya.
Aku tersenyum, kekehanku lolos sedikit. Kulirik mukanya yang entah kenapa...agak bersemu merah. Aku menunduk dan berusaha menyembunyikan pipiku yang entah kenapa juga terasa hangat.
Kami sampai di kamar perawatan dan bersamaan dengan Mona yang keluar. "Lho, Lan?" ucapnya. "Baru nyampe? Lembur banget, ya, duh... gue beneran kepingin bantu tap—"
"Kamu kok malam-malam gini masih di sini sih," potongku. Dahiku berkerut melihat Mona mengenakan baju kaus yang cukup tipis dan celana longgar. Perutnya sudah lumayan terlihat. "Jaga ponakan kita ih, Mon."
"Iya, ini mau pulang," ucapnya cepat. "Tadi rencananya juga sebentar doang, jagain Kak Anye sementara Saga pulang ke rumah gitu, cuma gue ketiduran, beneran. Kehamilan ini benar-benar bikin gue kepingin tiduuur terus. Heran gue, nggak kayak gini rencana—"
"Udah... udah, buruan pulang, Mon," potong Saga. "Lan? Gue anterin Mona ke bawah bentar, ya, mastiin dia naik taksi."
"Biar gue aja yang nemenin Mona ke bawah."
Suara orang di sampingku mengalihkan perhatian kami semua. Saga dan Mona melirikku dan Ical bergantian untuk pertama kalinya. Kemudian gadis itu tersenyum. "Ical, ya, temen Kemi?"
"Sekarang... juga temen Lanti, sih," ucapnya. Ada kekikukan dalam suaranya.
Mona terkekeh. Tangannya menepuk lenganku. "Ya udah, gue bareng Ical aja. Lo di sini aja, Ga," lanjutnya. "Lo nginap, Lan?" tanya Mona saat Ical menyerahkan bawaanku.
"Iya, biar Saga bisa istirahat lebih banyak juga. Besok ngantor dari sini pagi-pagi."
"Oke, besok kalau Danu bolehin, gue deh yang nginap nemenin."
"Nggak!" jawab kami bersamaan. Ngeri banget, kadang-kadang Mona suka lupa bahwa dia itu sedang membawa nyawa lain dalam tubuhnya. Suka kelewatan aktifnya, meski ujung-ujungnya lemas gara-gara muntah.
"Ya sudah, gue pulang, ya," pamitnya seraya memeluk Saga. "Pulang, Lan."
Aku mengangguk, nggak lupa bilang terima kasih kepada Ical. Lelaki itu menatapku sebentar, kemudian mengangguk sebagai balasan.
Aku dan Saga sudah akan masuk ke kamar perawatan saat mendengar Ical berdeham, "Bro, titip Lanti, ya," ucapnya.
Saga mengacungkan gestur okay lewat jemarinya.
[ refraksi ]
Setelah membereskan barang bawaan, Saga memilih berbaring di lantai yang beralas karpet, membuatku merebahkan diri di sofa. Alasan Saga, besok aku masih harus bekerja, sementara dia bisa menguasai spot nyaman itu sendirian. Jadi, dia menutup debatan saat aku menawarkan tidur di bawah.
"Jadi, lo sama Ical?" ucapnya membuka pembicaraan. Kami sama-sama menerawang langit-langit.
Ini sudah lebih dari dua minggu dan belum ada perubahan yang berarti dari Kak Anye. Topik tentang Kak Anye mungkin sudah tamat kami bahas. Diagnosa terakhirnya memang lupus, dan sepertinya pemicunya stres dan trauma. Aku mendesah setiap kali mengingat ekspresi merana Saga.
"Ya... nggak gimana-gimana, Ga. Temen."
Saga yang biasa bakal memberondong dengan pertanyaan, namun kali ini dia hanya diam. Menerima jawabanku.
"Yah... gimana nanti aja, Lan, kalau memang enak kayak gini dulu, ya biarin aja kayak gini."
"Heeh, Ga."
Kami terdiam lagi. Kulirik Saga yang mulai menutup matanya. Penunjuk waktu di dinding sudah menunjukkan pukul dua pagi. Aku mengecek ponselku dan mendapatkan notifikasi kalau Mona sudah tiba di rumah, diantar Ical. Mau tak mau aku tersenyum, lelaki itu hari ini benar-benar memposisikan diri seperti supir. Ke mana-mana mengantar kami.
Belum tidur?
Sebuah pesan disertai nomor yang belum tersimpan muncul di layar.
Lan, ini Ical.
Segera kuketikkan balasan bahwa aku baru saja merebahkan diri dan bersiap tidur. Kutanyakan hal serupa kenapa hingga saat ini Ical belum tidur.
Baru selesai beberes. Habis ini langsung ke bandara, takut bablas, nanti tidur di pesawat aja.
Gumpalan rasa bersalah benar-benar menyerangku. Ical harus kehilangan waktu istirahat karena mengantarku ke sana kemari. Kuketikkan permintaan maaf dan sederet pesan lainnya.
Lelaki itu membalas dengan emoticon tersenyum lebar. Nggak papa, nggak pernah repot kok nganterin kamu.
Sekali lagi, aku hanya bisa mengetikkan kata terima kasih banyak.
Sama-sama.
Lan, hati-hati, ya. Jangan lupa makan. Inget, makan menjaga kewarasan.
Kemudian disertai pesan bahwa dia sudah akan berangkat ke bandara. Kuketikkan balasan agar dia juga berhati-hati dan semoga pekerjaannya lancar.
Nanti dikabari kalau sudah sampai di Bali.
Aku tersenyum sendiri. Kuletakkan ponselku di nakas di sandaran sofa dan memutuskan memejam.
"Haaah... repot-repot banget, duh... kasian," gumamku pelan.
Lama akhirnya aku bisa merasakan kantuk mulai menyerang. Kupijat sisi pelipis perlahan yang agak berkedut karena kurang istirahat.
"Dia nggak akan ngerasa repot kok, Lan. Gue lihat, dia benar-benar kepingin jagain lo," ucap Saga yang juga terdengar sangat pelan. Mataku mendadak terbuka. Nggak kusangka Saga menangkap lirihanku. Aku mengerjap, tak tahu harus menjawab apa. Lalu kemudian kuputuskan diam saat Saga akhirnya berbaring miring membelakangiku.
Untuk selanjutnya, mataku nyalang... kantukku lenyap seketika. Rasa tak nyaman menghinggapi relung hati mengingat senyuman tulus Ical dan perasaanku yang masih terperangkap dalam mata tajam berbalut kelopak berwarna kecokelatan yang sudah sekian bulan nggak pernah kulihat lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro