Chapter 3
Aku dan Seth berpisah setelah kelas bahasa Inggris. Dia berjanji akan duduk dekat mejaku lagi nanti dan ngobrol lagi denganku di kelas Sejarah sehabis istirahat. Bahkan dengan segala bentuk perhatian-atau kebaikan, atau basa-basi, malah mungkin saja simpati-yang kuterima dari cowok-setengah-malaikat itu di sekolah baruku, aku masih berjalan lemas menuju kantin. Hiruk-pikuknya membuatku tak nyaman. Belum ada yang bisa kuajak duduk dan makan bersama.
Nampan makan siangku baru terisi setengah ketika suara yang sudah kukenal memanggilku dari belakang.
"Klo!"
Aku berbalik dan mendapati Claire tengah menghampiriku buru-buru.
"Claire? Mana eh... teman-temanmu?" sahutku kikuk mendapati sosok pirang itu sendirian. Bukan kebiasaannya berkelana seorang diri. Dia tipe yang selalu bisa mendapat paling tidak dua orang yang mengikutinya bahkan di hari pertama.
Claire memutar bola matanya, "Tahu deh, mereka menatapku seolah-olah di dahiku tertempel tulisan besar-besar 'Bahaya' atau 'Jauhi'. Nyebelin. Aku makan denganmu saja."
Pertama kali dalam hidupku aku bersyukur Claire satu sekolah denganku. Sebelumnya cewek itu tidak pernah menggubrisku di depan teman-temannya, dan sekarang ketika kami berdua sama-sama terdampar di sini, dia dapat diandalkan.
Ya, aku tahu. Aku memang menyedihkan.
Aku berjalan menuju tempat yang paling ujung, paling jauh dari kerumunan, namun Claire malah menyeretku ke meja yang paling strategis, di tengah. Dia duduk di sampingku dan mulai makan.
"Mereka sombong, sungguh. Teman-teman LA-ku jauh lebih keren." Claire mulai menumpahkan isi hatinya.
Claire memang punya kebiasaan menyebut teman-temannya berdasarkan pengelompokan. Teman-teman LA, teman-teman Oklahoma, teman-teman Tennesse... dia punya terlalu banyak teman. Dia akan lupa jika tidak menyebut mereka seperti itu.
"Maksudku, please... apakah ada yang salah dengan pakaianku sehingga mereka nggak henti-hentinya menatapku dari atas ke bawah?" Claire menusuk-nusuk salad-nya jengkel dengan garpu.
Aku mengunyah sandwich-ku dalam diam. Claire agak 'salah kostum' untuk hari pertamanya di Redville, menurut pendapatku. Tetapi aku tidak akan repot-repot menjelaskannya.
Lelah merasa diabaikan, Claire ganti menatapku, "Bagaimana dengan kau? Dapat kenalan baru?"
"Kalau yang kau maksud selain Ethan Dodson..."
Mendadak ekspresi Claire berubah simpati, "Ya ampun... Klo. Aku turut menyesal soal kejadian nyebelin yang menimpamu pagi tadi. Si Dodson itu nyeremin banget!"
Tentu, sampai-sampai kau saja ciut dan hanya menontonku dari pinggir sambil gigit jari.
Aku meneruskan kalimatku cuek, "...ada Seth Winchester. Dia duduk dekatku di kelas Inggris. Paling nggak ada yang bisa kuajak ngobrol."
"Cowok?" matanya membulat tak percaya.
Aku mengangguk.
"Astaga, Klo! Ini kemajuan! Siapa yang menyangka kau akan dapat kenalan baru seorang cowok di hari pertamamu?"
"Trims." kataku, tersinggung berat.
Kemudian ekspresi semangat Claire berubah ngeri, "Apa dia memakai kacamata bulat tebal atau semacamnya...?"
"Halo lagi! Apa aku mengganggu kalian?" suara menyenangkan itu menyela pertanyaan Claire, sekaligus membuatnya membeku di tempat. Seth sudah berdiri di belakangku dengan nampan makanannya, masih sempurna, tampan, dan tampak seperti setengah malaikat. Cowok itu menatap kami berdua berganti-gantian.
"Seth." aku mengerjap kaget. Mendadak segerombolan siswi melewati Seth.
"Hai, Seth." sapa cewek-cewek itu berbarengan sembari terkikik-kikik. Seth tersenyum pada mereka, lalu mengalihkan pandangannya kepadaku.
"Aku kan sudah janji akan duduk denganmu lagi. Untuk apa menunggu sampai kelas Sejarah?" katanya sambil nyengir.
Aku merasa seluruh sel penyusun tubuhku meleleh. Bisa kulihat dari sudut mataku Claire terperangah hebat. Dia terlihat seperti baru disapa Josh Hartnett.
"Nggak mengganggu sama sekali." aku menggeser kursiku untuk mempersilahkannya duduk.
"Maaf ya, sebenarnya aku nggak dapat kursi." Seth mengedip padaku, membuat Claire melotot hebat hingga bola matanya nyaris mencelat keluar. Aku menolak percaya makhluk setengah malaikat ini tidak diperebutkan cewek-cewek seisi kantin untuk duduk dan makan di meja mereka. Dan benar saja, ketika Seth bergabung dengan kami, tatapan sinis para gadis berdatangan dari berbagai arah khusus untuk kami.
"Kau belum memperkenalkanku, Klo?" Claire berhasil menguasai diri dari kekagetannya dan bertanya padaku dengan nada meminta penjelasan.
"Claire, ini Seth Winchester, si pria tanpa kacamata tebal. Seth, ini Claire. Adikku."
"Hai, Claire. Bagaimana hari pertamamu? Dan apa maksudnya tanpa kacamata tebal?" Seth menjabat tangan Claire yang sepenuhnya tidak rela melepasnya.
"Luar biasa. Dan penuh kejutan, kurasa. Soal kacamata, lupakan saja." Claire terkikik dan menyunggingkan senyum andalannya. Tapi Seth tampaknya tidak terkena efeknya. Syukurlah.
Kami banyak mengobrol, seputar kepindahan kami, karena Seth yang awalnya banyak bertanya. Claire mendominasi percakapan. Dan Seth yang tidak tahu apa-apa pasrah saja.
Sepanjang makan, aku tak bisa menahan diri untuk mencuri pandang pada Seth tiap lima detik sekali. Dia terlalu imut. Pemandangan yang rasanya tidak lazim bisa kunikmati dalam jarak dekat.
"Bye, Seth! Klo, kutunggu kau di mobil ya nanti!" Claire melambai ketika aku dan Seth berbelok di koridor menuju kelas Sejarah, setelah waktu makan siang berakhir. Ketika kami sudah cukup jauh, Seth membuka suara.
"Well. Bukan maksud jelek, tapi adikmu itu doyan banget bicara, Klo." katanya, Seth menirukan cara Claire memanggilku sambil meringis, lalu hati-hati mengamati ekspresiku. Aku tertawa.
"Kau sama sekali nggak tahu bagaimana rasanya hidup seatap dengannya enam belas tahun belakangan."
Kami memasuki kelas, aku melihat Seth berhigh-five dengan beberapa cowok dan mereka menawari kursi untuk Seth. Tapi cowok itu hanya berkata, "Sori man, nggak sekarang." dan menggiringku untuk duduk di meja paling belakang, yang berarti aku setidaknya akan sedikit terhindar dari mata-mata yang menatap kami penasaran. Aku merasa Seth benar-benar mengerti perasaanku saat ini dan aku sungguh bersyukur karenanya.
"Hei, tampan." seorang cowok yang duduk di depan kami menyapanya.
"Chuck! Aku nggak melihatmu beberapa hari ini? Ngapain saja kau?" Seth tos dengannya.
Dari pengamatanku, Chuck Trevor tampaknya cowok yang menyenangkan dan suka bercanda. Dia mengobrol seru dengan Seth, dan dari gerak-gerik mereka, aku langsung tahu Seth dan Chuck bersahabat. Chuck memiliki pembawaan yang ceria, rambut pirang pendek yang bergelombang, dan senyum lebarnya pasti mampu membuat cewek manapun bersedia pergi ke prom bersamanya dalam sekali ajak.
Seth dan Chuck, seperti pasangan cowok hot sekolah yang layak diperebutkan.
"Kau belum bilang kau ke mana saja tiga hari ini?" Seth bertanya pada Chuck.
Chuck nyengir, "Membolos itu perlu, Bung. Bersenang-senanglah sebelum itu dilarang."
"Dan membolos itu memang dilarang sejak dulu." Seth berkomentar.
Chuck memasang wajah memelas dan memohon-mohon pada Seth dengan gaya berlebihan, "Oh, please Ketua Murid. Jangan adukan aku."
Tunggu, apa?
Aku memandangi Seth syok. Seth? Ketua Murid? Apa lagi hal luar biasa yang belum kuketahui ada padanya?
"Itu masalah kecil, lagipula Mr. Dodson sudah menemukan kaki tangannya yang baru." Seth mengangkat sepasang alisnya.
"Membicarakanku, guys?" tiba-tiba saja Mr. Dodson sudah berdiri di antara Seth dan Chuck.
"Uups... kami baru saja berpendapat bahwa kau memang pantas dinobatkan menjadi guru paling berkarisma tahun ini, Sir." Chuck mengedip jahil padanya. Mr. Dodson tersenyum hambar.
"Pastikan kalian berdua nggak ketinggalan catatan pelajaranku yang juga berkarisma." Mr. Dodson menggedikkan kepala padaku, "Dan Seth, berilah contoh baik pada murid baru."
"Aye-aye, Sir!"
Setelah Mr. Dodson kembali meja guru, Seth berbisik padaku, "Siap melayanimu, Nona."
Dan hal itu membuat Chuck baru menyadari bahwa aku, si Mad-Madison, Tukang Bikin Lecet Mobil, sedang duduk di sebelah Seth. Selama beberapa detik ekspresi Chuck menegang dan dia menatapku kaget, seolah seperti melihat hantu.
Seth berdeham gusar.
"Jadi ini si tenar dari LA?" Chuck nyengir padaku setelah berhasil menguasai diri, sedikit memelankan suaranya agar tidak terdengar Mr. Dodson, "Well, kuakui kau keren saat mengatai Ethan tuli."
Respon baik pertama yang kuterima dari insiden mobil Ethan. Aku tersenyum, merasa nyaman mengetahui Chuck tidak terus-terusan memandangku aneh atau penasaran seolah aku ini alien bogel dari Saturnus atau yang seperti kebanyakan murid lain lakukan.
"Kau mendengarnya?" aku tidak mampu menutupi keherananku. Rasanya aku tidak berteriak saat mengatai Ethan tuli.
"Ya ampun, semua orang benar-benar mendengarkan kalian tadi pagi, dan kurasa percakapan sengit kalian akan segera muncul di mading sekolah, tentu saja dengan judul besar-besar seperti 'DODSON versus MADISON'. Atau bahkan jadi dialog utama di radio sekolah kami besok lengkap dengan rekaman suaramu..."
"Berhenti menakutinya, brengsek. Chloe rileks, Redville nggak sekejam itu." Seth memutar bola matanya.
"Ya, di sini lumayan asyik." sambung Chuck.
"Dan pasti asyik membolos sendirian?" aku berusaha mengalihkan topik yang berpusat padaku. Chuck nyengir lebar sambil menunjuk gadis yang duduk di sebelah mejanya.
"Oh, aku nggak sendirian. Dengan pacarku, tentu. Dan kau juga menikmatinya kan, Lee?" Chuck berbisik mesra pada gadis itu dan spontan mulutku menganga kaget ketika melihat cewek itu berbalik.
Rambut hitam lurusnya kini berubah menjadi burgundy bergelombang. Bibir tipisnya sekarang kelihatan seksi dibalik lipgloss cokelat gelapnya dan matanya yang dulu dihiasi kacamata berbingkai tebal digantikan sepasang contact lens sewarna dengan lipstiknya. Namun wajahnya tak mungkin kulupakan.
Tak salah lagi, dia teman 'transparan'ku.
"Leanna Earl?!" aku nggak sanggup lagi memelankan suaraku, membuat Mr. Dodson mendongak waswas dari mejanya di depan.
Leanna tampak sama syoknya denganku.
"Ya Tuhan, Chloe?! Astaga, apa itu kau?!"
Kami saling memekik antusias tanpa suara, membuat Seth dan Chuck terbengong-bengong.
🍁
"Lee, kau jadi seksi!" aku tidak berhenti menatapnya sepanjang jalan ke tempat parkir.
"Dan kau jadi keren. Di hari pertamamu saja kau sudah mengatai Ethan tuli. Aku nggak tahu jika Chloe yang dibicarakan orang-orang itu kau! Yah, dulu kita transparan, tapi sekarang sepertinya kita gagal ya?" dia melirik dua cowok menawan yang berjalan tak jauh di belakang kami, Chuck dan Seth. Leanna melayangkan pandangan penuh makna padaku. Aku meringis.
"Kau nggak mungkin serius. Aku baru berkenalan dengan Seth hari ini. Aku anak baru."
Leanna lagi-lagi memberikan pandangan skeptis padaku.
"Ngomong-ngomong kau nggak akan menceritakan padaku bagaimana kau...berubah sedahsyat ini?" tanyaku, lagi-lagi mengalihkan topik.
Leanna terlihat agak malu-malu, "Well, inilah namanya menemukan jati diri. Aku masih transparan saat kelas satu, tapi aku kemudian kencan dengan Chuck dan beginilah aku sekarang. Seksi?"
"Sangat."
Kami tertawa, "Apa kau melakukan sesuatu pada rambutmu?" tanya Leanna berusaha menemukan perbedaan pada rambutku.
"Yah, aku keramas. Dan menyisirinya setiap hari. Sesekali ke salon." jawabku setengah bercanda. Leanna ngakak.
"Kau masih kocak!"
"Sudah selesai reuninya, Nona-nona?" Chuck menyeruak di antara aku dan Leanna. Seth menariknya ke belakang.
"Biarkan saja dulu. Mereka kan sudah tiga tahun nggak ketemu."
"Baiklah, kutunggu di mobil." Chuck mendesah dan berjalan menuju mobilnya.
Leanna memutar bola matanya, tidak menggubris Chuck, "Kapan kau punya waktu luang, Chloe?"
"Mungkin Sabtu ini. Kau ingin mentraktirku?" tebakku setengah berharap.
"Kita harus keluar kota. Belanja. Membuatmu semakin keren." Leanna memerhatikanku dari atas ke bawah. Aku melotot kaget.
"Aku nggak mau rambutku jadi burgundy mencolok." tolakku ngeri. Leanna tertawa.
"Nggak se-ekstrem itu! Mungkin aku bisa meminjam mobil ayahku untuk ke sana, nggak mungkin mengajak Chuck. Ini khusus cewek."
Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Nggak perlu. Kita bisa pakai mobilku."
Belum pernah aku melihat Leanna menganga selebar itu. Aku melirik Nissan-ku dan dia memekik senang.
"Astaga! Dari mana kau mendapatkan ini?" Leanna berlari menuju mobilku antusias dan aku mengikutinya.
"Dad. Dia bilang selama ini selalu Claire, sedangkan aku nggak pernah minta apa-apa, jadi dia putuskan memberiku ini."
"Akhirnya, keadilan. Selama ini selalu adikmu yang merengek minta dibelikan macam-macam. Well, nggak perlu khawatir lagi. Aku telepon kau nanti."
Leanna mengedip padaku dan menghampiri Chuck menuju mobilnya. Sementara Seth menghampiriku.
Astaga, aku tak percaya aku telah melupakan cowok setengah malaikat ini selama beberapa menit.
"Kau pulang dengan adikmu?" Seth bertanya sambil melirik Claire yang ternyata telah bersandar di pintu mobil dengan wajah bosan. Rautnya seketika berubah ketika melihat Seth. Claire melambai padanya. Seth balas melambai.
"Yeah. Perlu tumpangan?" tanyaku meledek, dengan jantung berdebar. Seth menggeleng sopan.
"Mm, trims. Kau parkir persis di sebelahku."
"Kau bersama Ethan?" aku menebak kaget. Pasalnya truk hitam tergores Ethan-lah yang parkir di sebelahku. Namun lagi-lagi dia menggeleng.
Aku terperangah.
Seth ternyata pemilik Porsche silver mulus itu.
"Whoa..." aku mendesah kagum. Aku adalah cewek paling beruntung sepanjang sejarah. Si anak baru yang duduk di kelas Inggris dengan Ketua Murid cute dan ramah dengan Porsche silver-nya terparkir manis di sebelah mobilku.
"Jangan masuk ke mobilmu sebelum kami pergi." aku memperingatkan Seth sambil melirik penuh makna ke arah Claire yang masih menebar senyum pada Seth.
"Kenapa? Dia akan suka padaku?" kekeh Seth sambil menatapku geli.
"Dia akan suka padamu, dan mobilmu." ralatku sambil meringis.
🍁
"Oke, Sabtu ini kujemput kau. Aku sudah paham rutenya." kataku di telepon ketika Leanna selesai menjabarkan jalan menuju rumahnya, malam itu.
"Ngomong-ngomong, aku masih kepikiran soal Seth." Leanna tiba-tiba menyeletuk dari seberang telepon. Aku mendengus.
"Kau naksir padanya?"
"Hei! Chuck mungkin bisa jadi sangat menyebalkan untuk hal-hal tertentu, tapi kami masih mesra, tahu." protesnya, "Lagipula aku, Chuck, dan Seth sudah seperti Tiga Sekawan sejak kelas satu. Tapi aku belum pernah melihat Seth begitu cepat akrab dengan cewek. Apalagi duduk dekat-dekat dengannya."
Aku membeku.
"Jika kau sedang membicarakanku, maka aku berani bertaruh itu hanya sesuatu yang dilakukan Seth demi citra baik. Aku murid baru. Dia ketua murid. Segalanya wajar dan normal."
"Yeah. Mungkin. Soal citra baik dan segalanya. Tapi Seth yang selama ini kukenal belum pernah minta duduk bareng di kantin dengan cewek baru manapun sebelumnya. Maksudku, Kirsten, kapten pemandu sorak yang juga punya kerjaan sampingan sebagai model itu saja nggak bisa ngobrol dengannya lebih dari lima menit."
Aku hanya diam.
Toh nggak mungkin Seth naksir padaku.
Iya... kan?
🍁
Leanna's back!
Selamat datang kembali teman transparan ;)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro