Chapter 26
Itu mungkin adalah musim panas pertama yang terlama sepanjang sejarah bagiku. Angin yang berhembus berubah semakin dingin, dan dedaunan semakin banyak yang mengering dan rontok, mengotori trotoar, jalanan, dan atap-atap rumah.
Sejak mencuri dengar percakapan Seth dan Ethan di Montane Park waktu itu, aku amat bersyukur karena tidak sekelas dengan Ethan di kelas tambahan. Aku tidak tahu bagaimana harus menunjukkan wajahku di hadapan cowok itu. Usahaku untuk datang lebih pagi dan pulang lebih cepat daripada siapapun dipicu karena lokerku yang berada persis berada di sebelah loker Ethan. Sebisa mungkin aku menghindari kemungkinan berpapasan dengan cowok itu di sana, di kelas, di kantin, di koridor, di lapangan parkir, di manapun.
Aku tahu Seth menyadari kecanggungan ini, namun dia—seperti Seth si baik hati yang selalu menghargai siapapun—tidak menyuarakan kecurigaannya dan memutuskan bersikap biasa. Seolah tak terjadi apa-apa. Ditambah, dia, Chuck, dan Leanna sudah tahu bahwa aku dan Ethan menyudahi 'pacaran' kami.
Namun selain di sekolah, aku masih harus memikirkan masalah lain. St. Carollus. Rose bertanya-tanya mengapa aku mengunjunginya di Minggu pagi sekarang, bukan Sabtu pagi bersama Ethan. Dan aku harus mengarang-ngarang alasan bahwa rumahku sedang direnovasi dan aku harus membantu kedua orangtuaku membereskan halaman belakang di hari Sabtu, yang sebetulnya cuma pekerjaan ringan.
Aku juga tidak menceritakan masalah apa yang kudengar di Montane Park kepada Leanna. Aku tahu Leanna akan menanyakan hal-hal yang hingga saat ini menghantui pikiranku; apakah perkataan Seth benar? Apakah Ethan berpura-pura pacaran denganku dengan tujuan lain selain memperalatku? Apakah aku memang menyukai Ethan Dodson?
Karena itu, Senin pertama setelah liburan musim panas akhirnya berakhir, aku diserang kegugupan. Bukan hanya karena ujian tinggal beberapa hari lagi.
Tetapi karena kelas Matematika.
Untuk pertama kalinya semenjak liburan, aku harus berada satu ruangan dengan Ethan Dodson. Kami memang tidak duduk semeja—aku mengambil kursi di bagian depan bersama Nancy Finch yang sekelas denganku dan Leanna di kelas Seni—sementara Ethan seperti biasa masuk paling akhir dan duduk di bagian belakang kelas. Dan sepanjang pelajaran tengkukku pegal luar biasa karena terus-terusan mengingatkan diriku untuk tidak menoleh ke belakang.
Aku baru bisa bernapas lega ketika bel pergantian kelas akhirnya berbunyi. Nancy pergi lebih dulu karena dia harus ke ruang guru untuk menyerahkan esai Sejarahnya yang sudah terlambat. Ketika aku menyampirkan ranselku dan baru bangkit hendak keluar, seseorang menarik tasku.
"Ke sini sebentar." suara khas Ethan terdengar dari belakangku, dia menarikku ke luar kelas. Lagi-lagi. Seperti yang dulu sering dilakukannya. Menyeret-nyeretku ke suatu tempat tanpa menanyaiku dulu.
"Apa—" aku tergagap saat mendapati cowok itu membawaku berbelok di ujung koridor dan menarikku masuk ke dalam ruang laboratorium yang saat itu sedang kosong. Di dalam, dia menggabrukkan ranselnya ke atas salah satu meja dan mendudukkan diri di depanku.
Sekadar catatan, sudah agak lama aku tidak berhadap-hadapan secara langsung dalam jarak kurang dari semeter dengan Ethan Dodson, mungkin sejak waktu itu di rumah sakit. Ethan—sialnya—tampak semakin keren. Mungkin karena dia memotong rambutnya sedikit. Atau karena jaket hitamnya yang belum pernah kulihat dipakainya. Atau murni karena kegugupanku semata.
"Menghindariku?" tanyanya, lagi-lagi dengan suara maskulin bernada dingin dan menghakimi itu. Nada yang persis sama seperti yang digunakannya saat dia bertanya 'Nggak lulus kursus mengemudi?' padaku waktu itu di lapangan parkir pada hari pertamaku di Redville High... well, setelah aku membenturkan pintu mobilku ke mobilnya.
Aku memperhatikan wajahnya. Bekas lebam-lebamnya sudah nyaris tak terlihat lagi, "Apa maksudmu?" aku balas bertanya.
"Sejak liburan kau sama sekali nggak bicara padaku." katanya, "Kenapa?"
Aku tidak langsung menjawab. Akhirnya tiba juga saat ini. Aku tersudut.
"Bukannya ini sudah berakhir?"
"Apanya?"
Aku memberanikan diri balas menatap mata birunya, "Soal kita yang 'pacaran'. Jadi untuk apa bicara denganmu?"
Ethan terdiam sejenak.
"Soal Rose?" dia menatapku tajam, "Apakah itu juga sudah berakhir?"
"Soal itu, aku sudah berjanji akan membantumu. Jadi... aku masih datang."
"...di hari Minggu." sambung Ethan, semakin memojokkanku, "Kenapa?"
Kali ini aku tak bisa menyahut.
"Rose kebingungan. Dan membuat Rose kebingungan nggak termasuk kategori 'membantuku'." katanya tajam.
Aku bergerak gelisah. Aku yakin kelasku sudah dimulai bermenit-menit yang lalu, tetapi urusan yang menghadangku saat ini lebih mendesak.
"Oke, aku menyerah." desahku putus asa, "Aku nggak kepingin menemuimu. Aku perlu berkonsentrasi untuk ujian, dan sejujurnya... apa yang terjadi setelah konser itu membuatku kebingungan juga. Jadi kumohon pertimbangkan juga perasaanku."
Aku meraih gerendel pintu hendak keluar, kata-kata Ethan berikutnya menghentikanku.
"Kau juga membuatku bingung. Jadi kurang lebih kedudukan kita sama."
Aku terhenti. Aku menoleh padanya. Apa maksudnya?
"Aku?" ulangku takut salah dengar, "Membuatmu bingung? Dalam hal apa, persisnya?"
Cowok itu mengangkat bahunya enteng, "Sebagai permulaan, karena muncul tiba-tiba dengan wajah dan nama yang sama dengan mantan cewekku."
Aku melongo mendengarnya.
Jawaban macam apa itu?!
"Itu sangat nggak adil." protesku berang, "Aku nggak meminta agar rupa dan namaku dijadikan sama dengan cewekmu. Lain halnya denganmu. Kau bersikap kepadaku seolah-olah aku ini mantan cewekmu yang hidup lagi. Kau pernah bilang sifatku bertolak belakang dengan cewekmu, tetapi lalu kau menonjok Seth di konser itu. Nah?"
"Karena dia menciummu." sahut Ethan sederhana.
Aku menghela napas keras, "Dia menciumku. Bukan mencium Chloe Winchester, demi Tuhan."
Aku menunggu sahutan dari Ethan. Kupikir cowok itu akan menyunggingkan cengiran sok seperti yang biasa diperlihatkannya, tetapi...
Dia menatapku lurus-lurus.
"Jadi itu yang membuatmu bingung?" tanyanya, "Apakah aku menganggapmu Chloe Madison atau Chloe Winchester?"
Aku menatapnya takjub. Dia betul-betul serius menanyai soal itu? Sekarang?
"Kayaknya ini sudah waktunya bagimu untuk mengakui itu. Soalnya Seth jelas-jelas sudah mengakui bahwa dia menganggapku kakaknya." ungkapku blak-blakan. Masa bodoh lah.
Ethan tampak terkejut.
"Benarkah? Dia mencium 'kakaknya', dan... mengajaknya ke prom?"
"Dari mana kau tahu dia mengajakku?" tanyaku berpura-pura dungu, "Lagipula dia mengajakku sebagai teman..."
"Sebagai teman?" Ethan menyipit, "Bukankah barusan kau bilang dia menganggapmu sebagai kakak?"
Aku tergagap, "Jangan mengalihkan topik. Ini masih tentangmu dan sikapmu yang membingungkan."
Ethan menghela napas, "Aku sudah pernah bilang padamu, kau memang mirip Chloe Winchester. Secara fisik. Tetapi semakin mengenalmu, semakin jelas pula bahwa kau nggak mirip dia."
Aku tak menangkap maksudnya, "Jadi?"
Dia melompat turun dari meja, meraih ranselnya, dan menghampiriku—yang masih berdiri di dekat pintu dengan tangan berada di gerendel—dan menjawab, "Kau hanya perlu tetap bicara denganku jika kau masih ingin meyakinkanku bahwa kau bukan Chloe Winchester. Hingga suatu saat aku nggak perlu lagi memanggilmu 'Mad-Madison' atau 'Maddy'. Cukup 'Chloe', karena di saat itu kau akan tahu aku bukan memanggil orang yang berbeda, tetapi memanggilmu."
Kemudian Ethan meletakkan tangannya di atas tanganku yang menyentuh gerendel pintu dan memutarnya hingga membuka, meninggalkanku sendirian di ruangan itu.
Jantungku berdegup keras. Butuh beberapa detik bagiku untuk menyadarkan diri dan menyusulnya ke koridor, dan berseru kesal padanya, "Untuk apa aku repot-repot melakukannya?"
Ethan menoleh dan menyunggingkan cengiran menyebalkan itu, "Karena sekarang kau menyukaiku, kan?"
🍁
Jujur, nulis percakapan antara Chloe dan Ethan itu exhausting as hell.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro