Chapter 21
"Aku nggak bisa pergi."
"Apa?"
Suara parau Leanna terdengar dari seberang. Wajahku pastilah begitu telihat syok sampai-sampai Rose berhenti menuang tehnya di cangkir Mrs. Toots—boneka kelincinya—dan menatapku aneh. Kami sedang bermain pesta teh di kamar Rose di St. Carollus sore itu, hari Sabtu.
"Tapi kau sudah janji."
"Yeah, janji yang kubuat ketika aku sedang sehat." Leanna menyahut. terdengar suara membersit. Flu-nya memang kedengaran parah, "Lagipula aku nggak wajib menghadirinya, jika kau tahu maksudku."
"Yeah, tapi aku nggak mau kelihatan tolol menonton mereka sendirian di tengah-tengah penonton..."
"Dengar. Aku mengerti. Aku akan mengusahakannya."
Aku mendesah lega. Sejujurnya, aku mengajak Leanna karena ide menonton konser sendirian—walau dari backstage sekalipun—merupakan ide yang sedikit menakutkan, "Trims. Aku akan mentraktirmu minuman hangat..."
Leanna membersit hidungnya lagi, "Terserah."
Lalu sambungan diputus. Aku bengong sejenak menatap layar ponselku. Lalu aku mendongak menatap Rose.
"Kau bisa mengajakku." saran gadis kecil itu sok pengertian. Aku tersenyum meminta maaf.
"Di sini tertulis 'lima belas tahun ke atas'..." aku menunjukkan brosur konser yang kubawakan untuk Rose, "Lagipula aku ragu kau bakal suka sebagian besar lagu yang dibawakan. Isinya teriak-teriak melulu..."
"Hei, band-ku nggak teriak-teriak."
Suara protes yang terdengar dari belakangku itu berasal dari Ethan, yang rupanya sudah berdiri di pintu. Dia kelihatan lain, mungkin karena dia sudah sembuh total dari flunya dan tampak segar. Atau mungkin efek gaya rambutnya, karena rambut gondrong sebahunya yang belakangan sering dikuncir kuda asal kini dibiarkan tergerai. Dia juga mengenakan jaket kulit cokelat gelap, kaus, dan celana jins terbaiknya. Satu bahunya bersandar pada kusen pintu, dengan dua tangan yang dimasukkan ke saku celana. Ethan menatapku dengan ekspresi tak setuju. Dia tampak...
"Kau tampak keren." Rose menyuarakan pikiranku.
"Trims." Ethan melangkah masuk ke dalam ruangan dan berdiri persis di belakangku. Aku bahkan tidak mengerti mengapa hal sesederhana itu mampu membuat tengkukku merinding dan wajahku mendadak menghangat, "Dan si keren ini datang untuk menjemput salah satu tamu kehormatan pesta teh Putri Brooke yang tersohor..."
"Sudah kubilang," Rose mengangkat satu tangannya untuk menghentikan Ethan dengan gaya bersahaja, "Cukup 'Rose' saja."
"Dimengerti." Ethan menghampiri Rose dan mengangkat gadis itu ke gendongannya. Rose terkikik. Aku mengutuk diriku sendiri dalam hati karena sempat merasakan setitik kecemburuan menyaksikan pemandangan itu.
Astaga, kendalikan dirimu, Chloe!
"Kau boleh mengajaknya." kata Rose sambil menatapku, seolah aku memang betul-betul memerlukan restu darinya. Cengiran Ethan mengembang.
"Aku berjanji akan mengembalikannya dalam keadaan utuh." katanya.
"Kau pernah meminjam Mr. Toots dan mengembalikannya dengan satu telinga yang nyaris copot." protes Rose, membuatku terbelalak.
Ethan melirikku sekilas sebelum menjawab, "Aku sudah pernah bilang padamu, Kevin yang meminjamnya dan membuatnya tersangkut di pohon. Aku harus mengambilnya dan membawanya pulang padamu karena dia begitu ketakutan."
"Aku akan membuat perhitungan dengan Kevin." Rose mengerucutkan bibirnya.
"Oh, dia tidak pantas mendapatkannya..." Ethan lagi-lagi melirikku penuh arti, "...karena memang itu tujuannya. Dia ingin mendapat perhatianmu."
"Oh." reaksi Rose sungguh manis, kedua pipinya bersemu. Diam-diam aku sebal mendapati diriku mengagumi kemampuan Ethan menyanjung gadis kecil polos itu.
"Nah," Ethan menurunkan Rose dari gendongannya, "Bolehkah kami berangkat sekarang?"
"Tentu." Rose tersenyum padaku, "Dadah, Maddy!"
Maka lima menit kemudian, aku sudah berada di tempat parkir St. Carollus, dengan Ethan yang membukakan pintu penumpang mobilnya untukku dengan gaya berlebihan.
"Pantas saja Rose tergila-gila padamu." komentarku menyindir sembari mengulum senyum pada Ethan, "Kau tahu betul cara memperlakukan cewek."
"Silakan, My Lady." katanya bernada main-main, "Ingatkan aku terus untuk tetap membuat telingamu berada di tempatnya sampai kita pulang nanti."
Aku gagal menahan tawa.
Kami berdua tiba di lokasi konser sekitar empat puluh menit kemudian. Namun sebagai salah satu anggota band pengisi, Ethan mengemudikan mobilnya melewati pintu masuk belakang dan parkir di tempat khusus yang sudah disediakan untuknya. Ketika kami turun, aku dapat melihat palang yang dipindahkan petugas barusan bertuliskan 'Northern Dollars'. Kupikir keren juga.
Aku mengikuti Ethan berjalan menuju area dengan banyak tenda-tenda putih. Keadaan sudah cukup ramai. Panitia-panitia berseragam kaus hitam dengan walkie-talkie di tangan dan bertampang cemas banyak berlalu lalang di sekitar kami.
Ketika kami tiba di tenda Northern Dollars, aku melihat wajah-wajah familiar di dalamnya. Ted Kyle menyapaku. Juga dua cowok yang mengangguk padaku dari sofa, mereka sering duduk bareng dengan Ethan di kantin. Namun aku tidak mengenali satu orang yang sedang memainkan stiknya di atas drum khayalan. Ethan mengenalkan mereka semua padaku—mereka George, Christopher, dan Joe—dan mereka tidak seburuk yang kubayangkan. Aku sudah memikirkan tindik, tato seluruh badan, bir, dan tampang-tampang mengantuk. Nyatanya, mereka normal-normal saja... dan cukup ramah. Aku tahu, aku memang kuper.
Sekitar satu jam sebelum acara dimulai, Vanessa—pacar Ted—masuk ke dalam tenda dan memberikan ciuman memberi semangat kepada Ted. Aku tidak melihat George. Menurut Joe, George memang selalu menghilang sebelum tampil, namun dia yakin sempat melihatnya menyelinap ke tenda kosong di belakang bersama seorang cewek yang mengurus bagian perlengkapan band.
Lima belas menit sebelum acara dimulai—dan George sudah kembali ke tenda dengan wajah sumringah—aku mulai merasakan atmosfer ketegangan yang menguar di udara. Panitia sudah menyembulkan kepalanya ke dalam tenda dan berseru agar mereka bersiap-siap dan itu merupakan tanda bagiku untuk segera ke pintu masuk penonton, lagipula mungkin Leanna sudah menungguku. Tetapi keluar dari tenda itu begitu saja rupanya tidak semudah yang kupikirkan. Aku belum mengucapkan apa-apa kepada Ethan. Dia terlihat serius dengan gitarnya memainkan sebaris bagian lagunya yang menurut Ted masih terdengar 'datar', dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja untuk ngacir ke depan. Akan canggung sekali.
Maka, aku menghampiri Ethan yang sedang memainkan gitarnya. Aku menyentuh bahunya—dia mendongak ketika aku melakukannya—dan aku mengecup pipi cowok itu, agak lama untuk memastikan bahwa Ted dan yang lainnya sempat melihat kami.
Ketika yakin mereka sudah melihat kami, aku menjauhkan wajahku sedikit untuk berbisik di telinganya, "Chemistry."
Lalu aku menegakkan badanku kembali, tersenyum ceria kepada Ethan seraya berkata, "Semoga sukses."
Dan aku berbalik meninggalkan tenda. Aku tidak sempat mengamati reaksi Ethan... tepatnya, aku takut. Dan sepertinya memang lebih baik bagiku untuk tidak melakukannya, karena hanya dengan mengecup pipi Ethan saja bisa membuat jantungku berlompatan heboh di bawah rongga dadaku hingga rasanya dapat kapan saja meloncat keluar melalui tenggorokanku. Bagaimana jadinya bila aku lebih lama lagi memandang mata biru pucat itu? Mungkin aku bakal meleleh.
Dan sembari berusaha mengendalikan jantungku, aku menunggu Leanna di dekat gerbang masuk dengan gelisah. Band pertama sudah nyaris tampil dan belum ada tanda-tanda kemunculan cewek itu. Ketika aku sedang mencoba menghubungi Leanna untuk yang entah keberapa kalinya, suara seseorang yang kukenal memanggilku.
"Chloe!"
Aku nyaris menjatuhkan ponselku ketika kulihat Seth berada di sana, berlari-lari kecil menghampiriku seraya melambai. Dia berhenti persis di hadapanku, mengambil napas sejenak, lalu memandangku dengan ekspresi sumringah.
"Aku nggak tahu kau juga datang!" katanya ceria, terlihat sempurna seperti biasanya.
"Seth?" aku bengong memperhatikannya.
Dia memasang tampang bingung, "Kenapa?"
"Harusnya aku yang tanya." kataku murni kebingungan, "Apa yang kau lakukan di sini?"
Seth mengangkat alisnya, "Well... nonton konser." dia mengeluarkan satu tiket dari saku celananya dan menyerahkannya kepada penjaga pintu untuk dirobek, "Banyak murid Redville yang ke sini untuk melihat Northern. Kau tidak mau masuk?"
Aku mengikuti Seth masuk—tanpa menyerahkan karcis karena aku mengenakan gelang VIP—dan menyipit memandangi Seth, "Kau ingin nonton Northern Dollars?" tanyaku curiga.
Seth terhenti. Dia menatapku dengan ekspresi meminta maaf, yang tentu saja, sangat imut. "Oke, aku menyerah. Leanna menyuruhku menggantikannya. Flunya makin parah."
Aku tahu Lee pasti merencanakan sesuatu.
Tetapi bagaimana mungkin dia bisa setega ini denganku? Maksudku, oke, aku tahu dia sakit dan sebagainya... tetapi mengapa harus Seth? Mengapa dia tidak menyuruh Chuck? Oke, mungkin dia meminta Chuck tapi ditolak mentah-mentah olehnya karena kebencian cowok itu pada Ethan... tapi tetap saja. Situasinya akan menjadi sangat canggung.
Aku hanya mampu menatap punggung Seth dengan merana sementara dia berjalan di depanku mendekati kerumunan yang sudah berkumpul di depan panggung. Mendadak loud speaker mendengung menyala memperdengarkan bunyi menghentak intro lagu band pembuka untuk malam itu dan lampu panggung menyala. Aku memperhatikan Seth agak cemas.
"Apa kau yakin ini nggak apa-apa?" tanyaku, "Suaranya sangat keras..."
"Chloe." Seth memandangku dengan ekpresi bosan campur geli, "Berhenti memperlakukanku seperti itu."
"Oke, sori."
Kami menyaksikan sepanjang penampilan band pertama dari barisan penonton paling belakang—permintaanku, karena aku tidak mau kami, well... Seth, berada terlalu dekat dengan speaker di sisi-sisi panggung. Aku khawatir jantungnya akan bereaksi buruk. Tetapi Seth tampak santai. Maksudku, dia tidak terlihat seperti tipe yang benci keramaian. Bahkan, beberapa murid Redville yang datang malam itu untuk menonton Northern menghampiri kami dan menyapa Seth. Mula-mula satu-dua orang. Lama-lama semakin banyak. Dan di penghujung penampilan band pertama, barisan belakang penonton sudah didominasi oleh murid-murid Redville yang ramai.
Ketika akhirnya lampu panggung kembali padam selama beberapa menit—untuk memberi waktu pada penampil selanjutnya melakukan persiapan, seorang cowok dari kerumunan Redville yang kukenal bernama Paul Manson memberitahu kami, "Salah satu staff bagian pencahayaannya temanku. Akan kuminta dia menyinari kita selama Northern tampil."
Lalu dia melesat keluar dari kerumunan, berbicara sebentar dengan petugas keamanan yang mengangguk dan mengizinkannya masuk. Aku berpandangan dengan Seth. Kemudian sama-sama nyengir.
Tak butuh waktu lama bagi Northern untuk melantunkan nada pembuka yang menjanjikan bagiku. Well, rupanya bagi nyaris seluruh penonton, karena sekitar kami mendadak hening. Ponsel-ponsel yang sedari tadi dipakai untuk mengambil foto selfie diturunkan. Dan aku punya perasaan bahwa hampir semua orang di sini sudah tahu kualitas Northern, dan... ada semacam perasaan berdebar yang timbul sesaat sebelum kau menyaksikan sesuatu yang menurutmu akan bagus.
Intronya selesai. Drum mulai dipukul dengan irama menanjak. Dan lampu panggung kembali dinyalakan. Benderang. Dan aku melihat yang mataku pertama tangkap—Ethan.
Ethan berdiri di sisi kiri panggung, memainkan gitar listriknya dengan santai, namun fasih. Khas dirinya. Melihatnya di bawah siraman cahaya panggung dan dikelilingi penonton yang bersorak riuh—terutama dari area belakang—sulit memercayai bahwa dia cowok yang sama dengan yang selama ini selalu mengerjaiku, yang pernah menuduhku menggores mobilnya, melempar hidungku dengan bola basket, atau mengajakku mengumpulkan jamur.
Cowok itu tampak begitu berkarisma dan percaya diri. Dia sedang berada di elemennya sekarang. Menikmati waktu-nya.
Vokalisnya lumayan. Sangat lumayan, malah. Sejujurnya aku tidak menyangka penampilan band lokal Redville akan sebagus ini. Maksudku, mereka hanya kumpulan cowok-cowok SMA. Aku menduga akan terlalu banyak ego dan aksi heboh. Tetapi tidak. Mereka stabil dan memukau.
Kurasa aku terlalu terhanyut dengan penampilan Northern Dollars malam itu, hingga aku tidak terlalu memerhatikan saat Seth menyerukan sesuatu di telingaku—untuk mengatasi suara bising.
"Apa?" tanyaku tak mendengarnya.
"Atas." Seth menunjuk tribun kosong di belakang kami, "Lebih jelas dari situ."
Maka aku mengikutinya naik ke atas. Hanya beda beberapa jengkal. Namun Seth benar, aku tidak harus bersusah payah menghindari kepala-kepala orang-orang jangkung di depanku lagi. Pemandangannya lebih jelas.
Kemudian lagu berakhir. Aku bersorak sama kerasnya dengan kerumunan Redville di depan kami. Dan ketika Ethan memainkan melodi intro lagu kedua—yang sepertinya sudah dikenal baik oleh tim Redville—begitu Seth menyebutnya—aku tak bisa menyembunyikan antusiasmeku.
Tepat saat itu, cahaya benderang menyinari kami. Paul Manson mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi ke arah seseorang di tribun atas yang tersembunyi di kiri-kanan panggung. Kemudian tim Redville mulai bertingkah seperti pendukung-pendukung norak manapun, bersorak dan bersiul dan seseorang menyerukan keras-keras, "Kami cinta padamu, Northern Dollars!"
Aku terbahak. Rupanya seruan tadi berhasil menarik perhatian seluruh anggota Northern, termasuk Ethan. Dia melihat kami, nyengir, lalu matanya menemukanku—yang cukup mudah karena aku berada lebih tinggi dari yang lainnya—dan cengirannya mengembang semakin lebar.
Aku hendak melambaikan tanganku padanya, tetapi aku merasakan lenganku ditarik ke samping.
Kemudian, tahu-tahu, seseorang menciumku.
Butuh beberapa saat untuk mencerna kejadian ini. Seseorang baru saja menciumku. Di bibir. Dan aku sedang memandangi wajahnya yang sangat dekat dengan wajahku sekarang.
Dan itu wajah Seth.
🍁
*shook pikachu face*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro