Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 19

Kalau kau tanya kegiatan favoritku di kala libur musim panas, maka itu bukanlah bepergian ke negara-negara eksotis, begadang di klub-klub keren, atau window shopping di pusat perbelanjaan. Mungkin itu bagi Claire. Lagipula Mom juga bukannya hobi mengajakku ke mall, karena pasti kami selalu kehabisan bahan pembicaraan dan ujung-ujungnya aku nongkrong di toko buku terdekat sementara dia berkeliling sendirian melihat-lihat baju.

Bagiku, libur musim panas adalah pergi lari pagi bersama ayahku. Ya, aku memang membenci kegiatan olahraga yang melibatkan bola dan kelenturan fisik, tetapi tidak dengan berlari. Di tempat tinggal kami sebelum Redville, kota kami memiliki taman publik yang luas dan bagus, sangat ideal untuk kegiatan berolahraga. Cuacanya juga hampir selalu mendukung. Cerah tak berawan. Seperti yang pernah kubilang padamu, rumah-rumah kami yang sebelumnya selalu 'tipe Claire'. Rumah-rumah musim panas.

Jumat pagi, minggu pertama musim panas di Redville. Aku terbangun karena secercah sinar menyilaukan menembus kelopak mataku yang tertutup. Aku melindungi wajahku dengan selimut sambil mengerang, namun seseorang menariknya kembali.

"Wakey-wakey."

Aku merasakan jempol kakiku ditarik-tarik seseorang.

"Bangun dan bersinarlah."

Aku berjuang mengangkat kelopak mataku yang terasa seberat satu ton. Aku melirik jam kecil di meja sebelah ranjangku. Masih pukul tujuh. Apa yang Dad lakukan? Sejak pindah ke Redville, dia belum pernah lagi membangunkanku sepagi ini di hari libur. Toh kami belum menemukan taman yang bagus. Maka aku mengerang.

"Dad, pergilah..."

"Sesulit inikah membangunkanmu tiap pagi, Maddy?"

Dad jelas-jelas tidak pernah memanggilku 'Maddy'.

Aku tersentak membuka mataku. Mengerjap-ngerjap. Dan siapa yang kulihat di kaki tempat tidurku nyaris membuat jantungku melompat keluar dari rongganya.

Cowok jangkung berambut hitam gondrong dan berjaket kulit sedang balas menatapku melalui sepasang mata biru pucatnya.

"AAAAAAAHHHHH!!!" aku melotot dan berteriak, melonjak terduduk dan dengan geragapan membungkus tubuhku dengan selimut sementara Ethan Dodson hanya menyaksikan sembari menutupi kedua telinganya sambil meringis.

"Ibumu bilang aku boleh—"

"Keluar!"

"Hei! Aku bukannya kepingin—"

"KELUAR!"

Ethan tak berani berkata apa-apa lagi. Dia langsung berbalik dan ketika cowok itu sudah menghilang di balik pintu, aku merosot lemas sejadi-jadinya. Apa yang Ethan Dodson lakukan sepagi ini di kamarku?! Aku hanya memakai atasan tipis dan celana katun pendek! Ngapain sih Mom menyuruhnya naik ke atas?! Dia melihatku dan posisi tidurku yang serampangan! Aku bisa mati!

Sambil mengutuk Ethan, Mom, dan diriku sendiri, aku melompat turun dari ranjangku dan berlari menyambar pakaian 'pantas' untuk kukenakan. Lalu aku menghambur keluar dan masuk ke kamar mandi, menyikat gigiku buru-buru, mencuci muka, dan mengikat rambutku yang berantakan. Lalu aku melihat pantulan wajahku di cermin sekali lagi, memastikan sudah tak ada hal memalukan yang tertinggal di sana untuk jadi bahan tertawaan cowok brengsek yang dengan lancangnya sudah masuk kamarku tanpa izin.

Aku menuruni tangga dengan berisik sementara samar-samar dapat kudengar suara Claire mengobrol dengan Ethan di ruang makan. Claire! Di situasi normal, cewek itu tidak bakalan terbangun di hari liburnya bahkan jika perang dunia ketiga terjadi persis di sebelah rumah kami. Aku memasuki ruangan dan bertemu pandang dengan Dad. Dia bahkan tampak lebih bingung dariku. Pertama, karena Claire untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya mencatatkan rekor bangun sepagi ini di hari libur. Kedua, karena ada anak cowok tak dikenal mendatangi rumahnya sepagi ini di hari libur.

"Klo!" Claire melotot antusias melihatku hingga sepasang matanya membulat seukuran bola tenis, "Lihat siapa yang mengunjungimu!"

"Jam tujuh pagi di hari libur sekolah..." aku menekankan, "...luar biasa."

"Aku yang memberinya izin masuk kamarmu, jadi jangan salahkan Ethan." Mom meletakkan panekuk selai nanas di hadapan Ethan sembari menatapnya sumringah. Aku berusaha meminta dukungan Dad, tetapi dia malah pura-pura sibuk membaca koran.

Ethan hanya nyengir menatapku tanpa rasa bersalah sama sekali, "Aku sudah bilang ayah dan ibumu kalau aku kepingin mengajakmu mengumpulkan jamur..."

Sedikit jus tumpah dari mulutku, "Mengumpulkan—apa?"

"Yeah..." Claire mengernyit jijik, "Ih..."

"Kalau mau kalian boleh ikut." Ethan menawarkan Mom, Dad, dan Claire. Sesuai dugaan, Claire dan Mom saling bertukar pandang dan mengirimkan telepati. Sementara Dad menutup korannya dengan tertarik.

"Kau tahu tempat yang bagus?" tanyanya semangat. Ethan mengangguk.

"Tentu saja." katanya, "Aku juga sudah membawa peralatannya di bagasi trukku."

Izinkan aku mengingatkan diriku sejenak bahwa cowok yang barusan mengajakku dan keluargaku 'mengumpukan jamur' adalah cowok yang sama dengan yang pernah menuduhku merusak mobilnya dan melempar hidungku dengan bola basket.

Aku bahkan sudah tidak menegur atau membalas pesan yang dikirimkan cowok itu sejak hari di mana dia mengakui dia memperalatku. Aku juga berangkat dan pulang sendiri tanpanya setiap hari Sabtu untuk menemui Rose, dan hanya berkomunikasi secukupnya dengan cowok itu di depan Rose, demi memenuhi janji yang kubuat.

Dad, sesuai dugaan, selalu tertarik dengan hal-hal baru yang berhubungan dengan alam. Karena itu bahkan tanpa menanyakan pendapatku, dia langsung menerima ajakan Ethan. Sementara Mom dan Claire sibuk mencari alasan untuk menolak.

Maka jadilah, sepuluh menit kemudian Dad sudah duduk di kursi sebelah supir di Ford Ranger hitam milik Ethan, berpakaian lengkap, sementara aku duduk di belakang, sibuk menerka-nerka motivasi Ethan dengan was-was. Aku tahu cowok itu dapat merasakan tatapan curigaku yang tak putus-putus di punggungnya, namun dia tidak menunjukkannya karena sibuk mengobrol dengan Dad. Entah bagaimana, sepertinya obrolan mereka nyambung. Aku khawatir Dad mulai menyukai Ethan.

Ngomong-ngomong, cowok itu mengikat kuda rambutnya hari ini. Rambut hitamnya sudah semakin panjang. Dia semakin terlihat seperti Nuno Bettencourt muda, versi lebih jangkung.

"Chloe!" Dad tiba-tiba memanggilku di tengah-tengah percakapannya yang seru dengan Ethan saat kami melewati gerbang Redville, "Mengapa kau nggak pernah cerita punya pacar yang hobi menjelajah alam?"

"Oh, masa...?" aku menyahut dengan nada sedatar mungkin, "Aku sendiri bahkan nggak tahu dia cowokku..."

Terjadi keheningan canggung saat aku mengatakannya, aku menghela napas dan melanjutkan ogah-ogahan, "...cowokku yang hobi mengumpulkan jamur. Kupikir kau sibuk nge-band dan main basket atau apa."

Aku tidak percaya aku baru saja menyelamatkan reputasi cowok itu. Ethan menatapku melalui spion tengah, mata birunya berkilat. "Masih banyak hal tentangku yang nggak kau ketahui, Miss."

Aku bersandar ke kursiku, memaki diriku sendiri atas kebodohanku.

Tak sampai setengah jam kemudian, kami tiba di wilayah yang belum pernah aku atau ayahku datangi sebelumnya. Itu wilayah hutan kota, sepanjang jalan kami hanya melihat deretan pepohonan birch berkayu putih yang membatasi jalan. Aku tercengang mendapati tempat seindah itu ternyata berada tak terlalu jauh dari Redville. Menurut keterangan Ethan, wilayah ini merupakan lokasi berkemah favorit warga setempat. Dia sendiri tahu mengenai hal ini karena pernah berkemah di daerah situ.

Mobil Ethan berbelok di gerbang masuk kawasan hutan, roda-rodanya berderak saat mereka meninggalkan jalan beraspal dan melintasi tanah berkerikil. Terdapat sebuah bangunan yang tampak seperti rumah kayu besar sebagai kantor pendaftaran, dan beberapa mobil terlihat parkir di pelatarannya. Kami bertiga turun, aku dan Dad mengikuti Ethan yang berjalan memasuki rumah itu. Di dalam ada beberapa turis yang sedang melihat-lihat peralatan trekking, dan di sudut ruangan terdapat meja resepsionis. Wanita paruh baya yang duduk di belakangnya mendongak ketika mendengar bel pintu berbunyi, dan mengangkat alisnya tinggi sekali saat dia melihat Ethan masuk.

"Tumben sekali." komentar si wanita. Aku memperhatikannya. Dia sangat cantik untuk ukuran wanita seusianya. Rambutnya gelap pekat, dipotong model bob sederhana namun dapat membingkai wajah ovalnya dengan begitu sempurna. Dan ketika dia melihatku, sepasang mata birunya yang menakjubkan itu membelalak.

"Chloe...?" ujarnya syok.

Aku membeku, menatap wanita itu dan Ethan bergantian. Ethan segera menyadari situasi dan menjelaskan.

"Ini Chloe Madison... well... 'Maddy', seperti yang kuceritakan padamu." katanya, kemudian dia menunjuk ayahku, "Ini Mr. Madison, ayah Maddy."

"Billy saja, please." kata ayahku ramah seraya menjabat tangan si wanita. Wanita itu tersenyum, namun tampaknya dia masih agak terpana dengan kehadiranku.

"Maddy, Billy, ini Gina Dodson. Ibuku." Ethan memperkenalkannya, membuatku ternganga lebar. Sekarang akhirnya aku tahu darimana Ethan mewarisi rambut hitam lurus dan mata birunya!

"Oh, ya Tuhan. Mr. Dodson benar-benar beruntung." gumamku keceplosan, membuat Mrs. Dodson agak terkejut. "Maaf, bukan maksudku... uh, hanya saja aku nggak pernah menyangka wakil kepala sekolah kami punya istri yang begitu cantik... maksudku, sebaiknya aku diam."

Dad menatapku keheranan sementara Ethan nyengir lebar. Dad bertanya, "Kau kenapa sih?"

Entahlah, Dad! Entah mengapa aku jadi begini gugup!

Masalahnya Gina Dodson seperti versi wanita dari Ethan. Dengan umur yang lebih tua. Pokoknya begitulah. Mereka sangat mirip, dan keduanya sama-sama memiliki aura keren yang sama. Dan aku juga tidak menyangka ibunya bekerja di sini sebagai manajer staf. Menurut penjelasan Ethan, dia hanya menggantikan resepsionis yang cuti liburan minggu ini.

"Senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Maddy." kata Mrs. Dodson setelah berhasil menguasai dirinya, dia mengitari meja resepsionis dan menyalamiku, "Maafkan aku, aku sempat berpikir kau ini... maksudku, kau sangat mirip..."

"Chloe... yang satunya. Aku tahu." aku balas menjabat tangannya, "Sudah banyak yang bilang kami kayak kembaran."

Aku tahu aku berhutang penjelasan kepada ayahku, karena nampaknya hanya dia yang kebingungan mendengarkan percakapan kami.

Lima belas menit kemudian Mrs. Dodson membantu kami menurun-nurunkan peralatan dari bagasi mobil Ethan. Dad sudah membawa keranjang tempat meletakkan jamur nanti, dia mengenakan rompi dan topi favoritnya sementara aku hanya bermodal ransel berisi botol air dan boots mendaki yang sudah lama mendekam di dasar lemari pakaianku. Ethan juga mengenakan boots, hanya saja punyanya terlihat agak lusuh, pertanda sudah sering digunakan.

"Aku kepingin sekali menemani kalian, tetapi jam kerjaku baru dimulai." sesal Mrs. Dodson. Sepuluh menit kemudian, wanita itu melambai dan menyerukan agar kami berhati-hati sementara kami memasuki jalur setapak dengan papan kayu yang bertuliskan 'Jalur Mendaki Montane City Forest'.

Selama kami mengikuti jalan berkerikil menuju bagian hutan yang lebih dalam, yang terlihat adalah hamparan semak rumput dan batang-batang pohon birch yang putih dan langsing. Dedaunan hijau dan kuning di atas kami berdesir-desir tiap kali angin bertiup, membuat jantungku berdebar senang. Sudah lama aku tidak merasakan sensasi di alam terbuka seperti ini sejak kepindahan kami ke Redville. Dan di rumah-rumah kami sebelumnya, kegiatan alam yang seringnya kami lakukan adalah lari, trekking di tebing dekat pantai, atau memancing di perairan dangkal. Menembus hutan untuk mencari jamur adalah jenis yang baru bagiku dan ayahku.

"Apakah ada beruang?" tanyaku sementara Ethan dan Dad berjalan mendahuluiku.

"Ada, tetapi wilayahnya berbeda. Dijaga polisi hutan dan dibatasi pagar kawat tinggi karena masuk lingkungan konservasi. Bagian ini memang diperuntukkan bagi turis dan pendaki. Jadi kau nggak perlu cemas bertabrakan dengan beruang." jelas Ethan.

Kami berjalan sekitar sepuluh menit hingga akhirnya meninggalkan jalanan berkerikil. Yang ada sekarang hanyalah setapak tanah kecil yang nyaris tertutupi guguran daun kecokelatan. Aku mengagumi hamparan kayu-kayu putih di sekelilingku.

Ethan, yang rupanya menyadari semangatku dan ayahku, berkata, "Pemandangannya akan semakin indah menjelang pertengahan musim gugur. Dedaunannya berubah kuning-keemasan. Ibuku dan para pengawas hutan bakal sangat sibuk pada musim-musim ini, karena jumlah pengunjung meningkat sementara setapaknya tertutupi guguran daun yang kuning sehingga tampak seperti lautan koin emas. Aku terkadang diseretnya untuk membantu." dia tertawa, "Di musim semi, bunga-bunga bermekaran di antara semak-semak. Ada satu bagian hutan yang ditumbuhi begitu banyak lavender, sehingga rasanya seperti melihat padang berwarna ungu."

Aku terpana mendengarkannya, "Apakah kau sering ke sini di musim gugur?"

Ethan terdiam.

"Yeah," jawabnya akhirnya, "Dulu."

Ethan berjalan mendahuluiku sementara langkahku melambat. Aku tahu aku seharusnya sudah mampu memprediksi jawaban-jawaban bernada ganjil semacam itu. Aku memperhatikan punggung Ethan. Alih-alih kejengkelan, yang timbul kali ini adalah perasaan nyeri aneh di ulu hatiku. Aku mendongak menatap langit dan dedaunan yang bergemerisik di puncak-puncak pohon, lalu mendesah.

Apakah aku nggak sengaja menyentuh topik sensitif?

"Lihat, sepertinya aku menemukan sesuatu!" aku menarik bagian belakang jaket Ethan dan menunjuk asal ke arah rerumputan, sengaja membiarkan ayahku berjalan duluan di depan kami sembari sibuk menyisiri tanah. Aku menarik Ethan berjongkok bersamaku, dan setelah memastikan Dad berada di luar jangkauan pendengaran, aku bertanya tajam, "Apa-apaan ini?"

Ethan mengernyit memandangku, "Apa?"

"Cukup di hadapan Seth." aku merapatkan rahangku kesal, "Cukup di hadapan Seth kau mempermainkanku."

"Begitukah penilaianmu terhadapku?" Ethan bertanya jengkel.

Aku menghela napas letih, "Kau yang mengakui sendiri kalau kau menggunakanku, Ethan Dodson. Sekarang untuk apa repot-repot mengajakku dan ayahku 'mengumpulkan jamur' ke tempat di mana kau pernah berkencan dengan Chloe Winchester?" lalu aku menambahkan sinis, "Oh, jangan bilang Seth akan datang untuk menonton dalam lima menit sambil bawa popcorn—"

Ethan mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat agar aku berhenti dan berkata kesal, "Ralat. Aku nggak pernah bilang aku 'menggunakanmu'. Dan aku nggak ingat pernah bilang aku pernah ke sini dengan Chloe."

Aku mendesah lagi, "Jangan pikir aku nggak mengerti maksudmu. Kau bilang dulu kau sering ke sini saat musim gugur..."

"Yeah," mata biru pucat Ethan menatapku, "...dulu. Dengan Seth dan Chuck."

Aku mengerjap, "Oh."

"Yeah. Oh." Ethan menirukanku, sudut bibirnya naik menyebalkan.

"La-lalu... apa tujuanmu mengajakku ke sini?" gagapku, karena dugaanku bahwa Ethan mengajakku ke sini untuk nostalgia kencannya dengan CW terbukti salah.

Ethan mengangkat bahunya enteng.

"Membangun ulang chemistry antara kau dan aku?"

Cowok itu nyengir lalu bangkit dan mengulurkan tangannya padaku, "Ayolah, matahari keburu tinggi sebelum kita tiba di perairan."

"Perairan? Perairan apa?" aku berusaha keras mengabaikan degup jantungku yang memburu saat menyambut uluran tangan Ethan. Dia menarikku berdiri dan hanya tersenyum misterius.

Kurang lebih satu jam kami menelusuri hutan dan memetik jamur. Keranjang ayahku sudah nyaris terisi penuh, sementara milikku setengahnya saja belum. Sejujurnya, kegiatan ini lebih terasa seperti acara khusus cowok antara ayahku dan Ethan alih-alih agenda 'membangun chemistry' seperti yang dikatakannya tadi, karena sepanjang perjalanan Ethan lebih banyak mengobrol dengan ayahku, sementara aku tertinggal di belakang, mengamati mereka sambil agak jengkel karena merasa diabaikan.

Aku sedang berjongkok untuk memetik entah jamur keberapa untuk kumasukkan ke dalam keranjang ketika Dad yang berada tak jauh dariku mendadak berseru, "Chloe! Ke sini dan lihatlah!"

Aku bangkit dan buru-buru menghampirinya. Area yang kudatangi lebih sejuk dibandingkan bagian-bagian hutan lainnya dan tanah yang kupijak semakin lembap. Dan aku terhenti karena pemandangan yang kulihat membuatku terkesiap.

Kami rupanya telah tiba di perairan yang dikatakan Ethan tadi. Alih-alih sungai, itu memang lebih tepat disebut perairan, karena apa yang terhampar di hadapan kami adalah aliran air yang tidak terlalu deras di antara bebatuan dan ranting-ranting pohon. Airnya sangat dangkal dan jernih, dan gemericiknya terdengar begitu jelas. Bukan tidak mungkin dalam beberapa puluh tahun lagi, jika volume air yang mengalir dari hulu bertambah, perairan cantik ini akan berubah menjadi sungai.

"Aku tak pernah membayangkan ada tempat secantik ini berada hanya beberapa jarak jauhnya dari Redville." ayahku menghirup udara di sekitar kami yang beraroma segar.

Aku mengagumi pemandangan di hadapanku dan menarik napas dalam-dalam. Aromanya memang sangat menyegarkan. Campuran bau manis antara tanah basah, lumut, dan kayu lembap, "Yeah." desahku kagum, "Sangat cantik."

"Jika kita mengikuti arah alirannya hingga ke hilir, kita akan tiba di semacam danau yang menyerupai ceruk kecil, tersambung dengan sungai betulan. Tetapi hulunya lebih bagus lagi, tempat itu seperti rawa-rawa berair jernih dengan bebatuan kerikil yang berderak menyenangkan di bawah kakimu saat kauinjak." Ethan memberitahu kami.

Aku mendesah takjub. Aku berjongkok dan mencelupkan jemariku ke dalam aliran air yang dingin dan menggelitik, sementara Dad berkata pada Ethan, "Ayo ke kita ke hulu."

"Perjalanan ke hilir tidak terlalu jauh, mungkin hanya setengah jam. Tetapi kita harus mendaki kurang lebih dua jam untuk mencapai hulu." jelas Ethan, "Nggak kusarankan untuk mendaki sekarang. Kita seharusnya membawa peralatan dan bekal yang lebih..."

"Berikutnya kita ke sana." aku berdiri, tersenyum bersemangat, "Aku akan bawa biskuit karamel."

"Dan cokelat yang banyak." Ethan menambahkan, nyengir menatapku.

Dad memandangiku dan Ethan yang saling bertukar cengiran bergantian. Kemudian dia meringis, "Entah mengapa aku punya perasaan aku nggak dilibatkan dalam rencana kalian." katanya sembari menatapku penuh arti.

Sebagai reaksi salah tingkahku, aku berjongkok dan menyibukkan diri memunguti batu-batu berbentuk unik yang akan kubawa pulang untuk kusimpan di kamar, sementara ayahku berseru kepada udara, "Aku akan mencari jamur lagi di sebelah sana, beritahu kalau sudah selesai, ya!"

Kemudian Dad meninggalkanku berdua saja dengan Ethan. Jika dia tahu bahwa sesungguhnya cowok ini hanya menggunakanku untuk memancing kejengkelan mantan sahabatnya, aku bertaruh dia nggak bakal bertingkah sok-pengertian seperti sekarang!

Bahu Ethan menyapu bahuku saat dia ikut berjongkok di sebelahku. Matanya tertuju pada batu yang sedang kuamat-amati, tetapi suaranya—yang sialnya, terdengar sangat dekat dan sangat maskulin—berbisik kepadaku.

"Kapan?" tanyanya pelan.

"Apa?" tanyaku.

"Ke hulu." Ethan mendekatkan kepalanya, "Kapan kita ke sana? Jangan beritahu ayahmu. Aku agak pelit kalau itu menyangkut biskuit karamel dan Mars Bars."

Aku terkunci dalam mata biru itu. Aku tak pernah bisa berhasil meloloskan diri dari sepasang mata itu. Berhenti jadi idiot, Chloe! "Inikah salah satu trikmu untuk 'membangun chemistry' denganku?"

Kuperhatikan Ethan tengah mengamat-amati wajahku. Maka aku melakukan hal yang sama. Pandangannya agak menerawang. Alisnya yang tebal membingkai matanya dengan mengagumkan. Aku memperhatikan kulit di puncak hidung mancungnya serta di kedua pipinya, yang agak kecokelatan karena terpapar matahari.

"Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain, Maddy." aku memperhatikan bibir Ethan bergerak mengucapkan kata-kata itu.

"Well... tentukanlah sendiri, kalau begitu. Waktu terbaik untuk melakukannya. Mendaki... maksudku." aku dapat mendengar diriku meracau. Bibir Ethan entah mengapa begitu menyita perhatianku.

"Waktu terbaik adalah penghujung musim panas."

"Kalau begitu..."

"Segera."

Kami mengucapkan kata 'segera' bersamaan. Kami berpandangan. Mata bertemu mata. Aku tak berani bergerak. Perasaanku mengatakan, jika bergerak, maka aku akan menghancurkan momen ini. Aku menunggu entah apa yang akan dilakukan Ethan. Angin yang berhembus dari sela-sela pepohonan mengacaukan rambutku, menutupi wajahku.

Sebelum aku sempat melakukan apa-apa, tangan Ethan terulur kepadaku. Dan aku sama sekali tak berani bernapas saat aku merasakan jemarinya menyapu pelipisku, menyingkirkan helaian-helaian rambut yang menjatuhi sisi wajahku dan menyelipkannya ke balik telingaku. Dia tak segera menyingkirkan tangannya. Jemarinya masih menyentuh rambutku.

Dan wajahnya semakin dekat, membuat jantungku berlompatan heboh.

Aku memejamkan mata dan menunggu.

Lima detik.

Sepuluh detik.

Tidak terjadi apa-apa.

Lalu aku merasakan Ethan menurunkan tangannya. Aku membuka mataku, kebingungan.

Apa—

"Ini juga..." dia berkata seraya menjauhkan wajahnya, "...membangun chemistry."

Kemudian dia bangkit dan berjalan meninggalkanku sendirian di tepi air, mematung dengan posisi berlutut canggung seperti orang tolol.

Jika saja saat ini ada beruang yang muncul dan menyerang cowok itu dari belakang, aku tidak akan peduli. Aku malah akan menontoni beruang itu mengunyah kepala besar Ethan Dodson dengan puas, karena cowok paling brengsek sedunia itu pantas mengalaminya. Persetan cokelat dan biskuit karamel!

🍁


Demi chemistry :/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro