Chapter 18
Resmi sudah kebencianku terhadap Ethan Dodson. Jika dipikir-pikir, insiden 'menggores' pintu mobilnya di hari pertamaku di Redville High bukanlah apa-apa dibandingkan apa yang diperbuatnya sekarang.
Aku menceritakan soal kelakuan Ethan di Swanton Shore pada Leanna, dan Leanna mengataiku bodoh. Memang benar. Aku tidak membantahnya. Dia menyuruhku untuk segera menelepon Seth dan menjelaskan kesalahpahaman ini. Tetapi jempolku terhenti saat hendak menekan nada panggil pada nomor kontak Seth di ponselku. Bagiku kata-kata Seth sudah cukup mewakili perasaannya.
"Terserah. Kau nggak butuh izinku."
Kata-kata itu terngiang di kepalaku dan membuatku melempar ponselku ke atas kasur dengan kesal, batal melakukan apapun yang disuruh Leanna.
"Terserah?" gerutuku seraya menatap jengkel diriku melalui cermin lemari, "Yeah. Memang siapa yang butuh izinnya?"
Keesokannya, aku nongkrong di lapangan parkir sejak pagi-pagi buta. Aku bahkan menghambur masuk ke kamar Claire dan membangunkannya dengan tak berperasaan agar kami bisa tiba lebih awal ke sekolah. Dinilai dari tampang Claire saat dia duduk di kursi penumpang di sebelahku, aku yakin dia siap mencekikku kalau saja sedang tidak terlalu mengantuk.
Aku mengetuk-ngetukkan kakiku ke aspal dengan tak sabar, berdiri bersedekap menyandar ke kap mobilku seraya memperhatikan lapangan parkir yang perlahan semakin terisi penuh—Claire sudah ngacir duluan ke dalam dengan langkah mengentak-entak jengkel—dan aku akhirnya menemukan yang kutunggu-tunggu.
Aku berjalan dengan langkah lebar-lebar menuju Ford Ranger hitam yang baru saja menyelip masuk di antara dua kendaraan tak jauh dari mobilku. Begitu melihat cowok itu dan rambut hitam gondrongnya mencuat keluar dari balik pintu, aku menumpahkan emosiku yang sudah tertahan semalaman.
"Aku nggak paham apa yang kau rencanakan sebetulnya..." desisku marah tanpa ba-bi-bu, membuat Ethan terlonjak mundur ke mobilnya kebingungan, "...tapi aku sudah lelah diseret-seret olehmu!"
"Whoa..." Ethan menatapku terpana, kedua tangannya terangkat ke atas dengan sikap menyerah. Beberapa orang yang berada di sekitar situ jadi memperhatikan kami, "...selamat pagi juga, untukmu."
Aku mengabaikan sikap sok basa-basi Ethan, "Tolong cari alat balas dendam lain."
Lalu aku berbalik, berjalan menuju gedung dengan telinga berdenging akibat emosi yang menggelegak. Aku dapat mendengar Ethan menyusulku, tetapi aku bergeming, "Balas dendam? Untuk apa aku balas dendam?"
"Oh, entahlah..." sahutku ketus, "...mungkin hanya pikiranku saja karena merasa seperti kau menggunakanku untuk memancing emosi Seth—"
Ethan akhirnya berhasil menyamakan langkah denganku. Aku berusaha menduluinya, namun tetap saja kalah dengan kaki-kakinya yang panjang.
"Memancing emosi?" ulang Ethan.
Aku meliriknya sinis, "Pada taraf ini, harusnya kau sadar aku sudah tahu masalah masa lalumu dan dramamu dengan Seth. Mungkin saja kau menyimpan dendam-dendam kesumat padanya yang—"
"Sudah jadi rahasia umum. Aku malah bakal heran jika kau belum mengetahuinya." sahut Ethan, masih merendengiku sementara kami memasuki gedung. Dia mengatakannya dengan enteng, namun aku dapat menangkap kekakuan pada nada suaranya, "Seharusnya dia yang balas dendam padaku. Aku nyaris membuatnya kehilangan kaki. Dan aku membunuh kakak perempuannya."
Jujur saja, sampai ke titik ini aku merasa perkataanku agak keterlaluan, karena jadi membuat Ethan menyinggung topik sensitif itu. Aku memperhatikan cowok itu sementara dia membuka kunci lokernya, tak yakin apakah sebaiknya aku mengutarakan hal yang sudah lama kepingin kutanyakan padanya.
"Mengapa kau begitu menyalahkan dirimu atas apa yang terjadi terhadap Chloe Winchester?" tanyaku perlahan.
Hiruk pikuk murid yang lalu lalang di koridor di sekitar kami seolah teredam. Cowok itu tidak langsung menjawab. Dia terdiam sejenak sebelum kembali menguasai dirinya. Dia mengangkat bahu asal, "Aku memang salah."
"Ethan, itu kecelakaan." tegasku.
"Yeah, karenaku." Ethan menyisiri rambut hitamnya, ekspresinya datar.
"Kau nggak mem—"
Aku terdiam. Kau nggak membunuh Chloe Winchester! Itu yang ingin kukatakan, namun tak kuasa kulakukan.
Ethan mengambil buku Fisika Lanjutan dari dalam lokernya dan menyurukkannya ke perutku, membuatku terpaksa membawanya sementara dia membanting pintu lokernya dan berbalik untuk kemudian merangkulku sepanjang koridor menuju kelas Mr. Dennings. Sontak tatapan-tatapan tertuju pada kami, terutama padaku. Karena... Ethan Dodson dan Mad-Madison? Sejak kapan? Maksudku, semua orang praktisnya tahu kami saling benci sejak insiden di hari pertamaku.
Aku berusaha menepis tangan Ethan, tetapi dia malah merangkulku semakin erat. Lalu dia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik dengan gerakan mulut yang samar, "Aku akan terus menyeret-nyeretmu sampai orang itu kepingin meninjuku."
Aku hanya bungkam ketika Ethan menggiringku masuk kelas Fisika. Ketika kami sudah duduk semeja, aku menatap cowok itu tajam.
"Jadi aku benar." ujarku pelan.
Ethan, yang sedang memperhatikan Mr. Dennings cuap-cuap di depan kelas dengan pandangan kosong, menoleh.
"Apanya?"
"Karena wajahku, kau menggunakanku... bukan untuk balas dendam pada Seth. Kau ingin memancing Seth." aku mendengus pelan. Bodohnya aku. "Kau ingin dia membencimu."
Fokus Ethan kini sepenuhnya teralih padaku. Mata biru pucatnya menatapku lurus, lalu dia tersenyum miring, "Boleh juga kepalamu."
Rahangku terkatup kesal, "Teganya kau."
Senyuman Ethan tak memudar. Dia malah tampak semakin tertantang menghadapi kemarahanku, "Salahkan dirimu yang terlalu mirip mantan cewekku."
Aku kebakaran, "Salahku?"
Sekarang cowok brengsek ini memutuskan bahwa rupa wajahku adalah salahku? Kenapa nggak sekalian saja dia kembali ke masa lalu untuk melabrak Mom dan Dad agar tidak usah berhubungan seks jadi aku nggak perlu terlahir?!
Buih-buih kemarahan menggelegak hingga ke ubun-ubunku. Sungguh mengherankan aku masih dapat menahan diri untuk tidak mencekik cowok itu detik ini juga, atau mencucuk matanya yang menatapku dengan sorot congkak. Dia telah memperalatku, menyalah-nyalahkanku atas wajahku yang mirip dengan wajah mantan ceweknya, dan mengacaukan tatanan rencanaku untuk mengubah gambaran diriku di hadapan seantero Redville dengan membuat orang-orang mengira kami berpacaran. Ethan Dodson berangkulan dengan si cewek baru yang kebetulan sangat mirip mantan ceweknya.
Aku tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana terhadap Ethan. Aku jadi ragu model rambut baruku ini bahkan berpengaruh sama sekali.
"Kalian bahkan punya nama yang sama." lanjut cowok itu setengah berbisik, membuatku semakin naik darah.
"Jadu sekarang namaku juga salah." aku terkekeh takjub.
"Maksudku, itu juga faktor yang nggak mudah diabaikan."
"Kalau memang kepingin memperalatku sejak awal, kenapa repot-repot memanggilku 'Maddy'?" todongku dengan nada luar biasa dingin.
"Karena kau mad—gila." katanya, mendekatkan wajahnya. Dari ekor mataku aku dapat menangkap gerakan Mr. Dennings yang tengah berkeliling membagi-bagikan hasil tes percobaan Fisika kami minggu lalu. Kami sama-sama terdiam ketika Mr. Dennings melewati meja kami. Ethan mendapatkan lembaran tesnya. Sembilan puluh empat. Aku menerima hasil tesku. Enam puluh dua. Ethan melirik skorku dan berkata lagi, "Sejujurnya, itu yang membuatku agak dilema. Karena kecuali nama dan wajah, kalian begitu berbeda dalam berbagai hal."
Aku berusaha mengabaikan Ethan dengan berusaha berkonsentrasi pada hasil tesku yang babak belur, namun gagal. Rasa penasaran mengkhianatiku.
"Seperti hasil tes ini?" dengusku, berusaha membuat suaraku terdengar masa bodoh alih-alih tertarik.
"Well, salah satunya. Chloe Winchester gadis yang feminin, penyabar, dan pintar. Dia nggak pernah mengendarai mobilnya sendiri dan sembrono dalam melakukannya. Jika kau paham maksudku." dia memulai dengan kilat jahil pada matanya, "Dia juga bukan cewek yang temperamental. Contohnya, dia nggak pernah melabrak orang pagi-pagi di lapangan parkir. Atau 'nyaris' melupakan janjinya di akhir pekan karena ketiduran..."
"Oh. Dan sekarang aku jadi 'versi gagal' mantan cewekmu. Wow." simpulku, pada titik ini hanya merasa lelah alih-alih marah.
Ethan tidak langsung menjawab. Dia memutar-mutar pensil mekaniknya dengan jemarinya dan kembali mengarahkan pandangan ke depan kelas, "Setidaknya kau nggak 'gagal' soal Rose."
Aku memutar bola mata.
"Satu-satunya kesamaanku dengan CW. Yipiii. Akhirnya." komentarku dingin.
"Kita nggak akan pernah tahu." ujar Ethan. Melihat wajahku yang terkernyit, dia melanjutkan, "Chloe belum pernah ke St. Carollus."
Aku terdiam.
"Kau bercanda."
"Nggak." cowok itu menatap punggung tanganku, "Lebih tepatnya... aku nggak sempat mengenalkannya dengan Rose."
Percakapan kami terpaksa berakhir di situ karena Mr. Dennings berdeham di dekat meja kami, membuat aku dan Ethan sama-sama terlonjak. Entah apakah hanya aku yang baru sadar, tetapi rupanya kami berbicara sangat dekat satu sama lain sedari tadi, karena bahu dan lengan kami yang praktisnya tadi menempel kini saling menjauh.
Aku memikirkan perkataan Ethan selama kelas Fisika saat kami sudah berpisah di koridor setelah bel usai pelajaran.
Dia nggak pernah sempat mengajak CW ke St. Carollus untuk menemui Rose. Apakah itu berarti dia mengajakku sebagai tebusan 'hutangnya' pada Chloe? Atau dia berusaha menegaskan satu hal padaku; bahwa aku paling tidak unggul soal...
Aku buru-buru menggeleng untuk mengenyahkan pikiran absurd itu. Mendadak saja, rasanya kepingin sekali menemui Putri Rose Charlotte Florian Brooke dan meminta nasehatnya yang bijak. Karena sepertinya, aku memang mad—gila karena masih memiliki toleransi terhadap seorang cowok brengsek bermata biru yang baru saja menginjak-injak harga diriku.
🍁
Gimana? Pindah ke Team Seth? *wink-wink*
Ethan is a jerk, tbh.
But a reasonable jerk.
Plus, Maddy can't make up her mind.
#lelah
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro