Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kisah Si Pendengar - Bagian 03

Hubunganku dengan Ayu mulai membaik setelah perbincangan kami di bangku taman. Ternyata ia gadis yang asik, meskipun aku tidak paham bagaimana menyinkronasi isi hati dan ucapannya itu. Kadang ia tertawa, kadang ia menangis, dan kadang tidak mengekspresikan apa-apa.

Usut punya usut, ternyata ayah Ayu merupakan bangsawan penting dari Netherland sana. Ayu berasumsi bahwa derajat ayahnya itulah yang juga membuat dirinya dilemparkan ke sini. Seorang bangsawan memiliki keturunan gila? Yang benar saja. Lelucon kerajaan sekali. Namun, itulah yang selama ini diyakini oleh Ayu. Padahal bisa saja ia mengundang seorang ahli kejiwaan dari Netherland untuk mengobatinya, tapi ia malah memilih untuk memasukkan Ayu ke tempat ini. Entah untuk diobati atau dibuang, Ayu masih menerka jawaban atas dua kemungkinan itu.

“Jadi, sudah berapa lama kamu kerja di sini, Aldo?” Gadis itu tiba-tiba mengagetkanku dari belakang. “Kulihat-lihat sepertinya kamu masih berusia muda, benar?”

Aku mengiyakan opininya. “Iya, aku yang termuda di sini. Usiaku baru dua puluh satu tahun. Dan aku sudah kerja di sini sejak ... kurang dari lima belas tahun. Mulanya aku ditawarkan pekerjaan oleh seorang pimpinan rumah sakit karena katanya ia melihat potensi dari dalam diriku. Kemudian, ya, entah karena potensi yang dimaksud atau sekadar keberuntungan, aku lolos tes uji perawat. Jadi kira-kira sudah ... enam sampai tujuh tahun aku bekerja di sini.”

Ayu mangguk-mangguk. Langkahnya bergerak menuju ke hadapanku. “Aldo, temani aku makan,” pintanya. Aku tentu harus menuruti permintaan pasien, lagi pula ada perawat lain di balik meja utama ini.

“Tentu.”

Sepanjang melintasi lorong, aku berjalan mengekori Ayu. Gadis itu berjalan dengan anggun bersama rambut indahnya. Sesekali menoleh ke arahku, ia menyimpulkan senyum indah di wajahnya. Aku ... terpesona, kurasa.

Sesampainya di ruang makan, kami langsung duduk di salah satu meja dekat jendela. Makanan sudah terletak di antara kami yang duduk berhadapan. Hanya satu piring, milik Ayu. Tugasku hanya menemaninya makan, bukan untuk menyantapnya bersama-sama.

“Tapi kalau dipikir-dipikir,” kata Ayu, “kamu beruntung juga bisa bekerja di Rumah Sakit Nuspen ini, bukan? Netherland sangat menjaga keberadaan rumah sakit ini. Bisa dibilang kalau ini adalah rumah sakit jiwa terbaik di negara ini.”

Aku terkekeh. “Beruntung?” Ayu mengangguk, mulutnya sibuk mengunyah kudapan yang disediakan. “Sebenarnya konsep beruntung menurutmu itu seperti apa?”

Sesaat setelah bertanya, Ayu langsung menegak minumnya untuk mempercepat proses pencernaan. Ia terlihat bersusah payah menelan apa pun itu yang berusaha melewati kerongkongannya. “Apa, bagaimana?” katanya.

“Konsep keberuntungan menurutmu, seperti apa?”

Sebelum menjawabnya, Ayu menuangkan air yang ada di dalam teko ke pada gelasnya yang sudah kosong. Tidak untuk langsung diminum, mungkin hanya sebagai penjeda yang memberinya waktu untuk berpikir.

“Kamu lihat teko ini?” Aku menoleh ke arah objek yang ia sebutkan. “Bisakah aku menyebutnya sebagai teko ajaib?”

Entahlah. Aku tak tahu.

“Teko ini bisa saja kusebut sebagai ajaib karena memiliki kemampuan untuk menyatukan kita di meja yang sama. Coba kamu pikir, sebelum obrolan di taman, apakah kita akan jadi sedekat ini?”

“Tidak ...?” jawabku, ragu. “Tapi kalau begitu, bukanlah bangku taman adalah benda yang lebih bagus untuk disebut ajaib, dibandingkan teko ini?”

Ayu mengeluarkan air mata. “Memang bangku taman adalah benda yang sangat penting. Tapi itu hanya diibaratkan sebagai penghancur tembok yang sebelumnya memisahkan kita. Tidak ada jaminan kalau kita akan menjadi dekat atau tidak ketika tembok itu dihancurkan. Namun, teko ini adalah bukti terbaru yang menyaksikan bahwa kita berjalan saling mendekati, setelah pembatas di antara kita dihancurkan.”

“Lalu apa yang dimaksud dengan ajaib ... dan juga apa hubungannya dengan pertanyaanku mengenai konsep beruntungan?”

“Hm ....” Ayu tidak menjawab sementara waktu. Gadis itu mengetuk jemarinya ke meja berulang kali. “Yang aku tahu, keajaiban itu adalah sesuatu yang sulit dijelaskan oleh akal. Jadi kalau kusebut, teko ini adalah bukti yang sudah kukatakan tadi, itu tidak bisa dijelaskan oleh akal, bukan? Kejadian ini adalah masa depan bagi diri kita yang kemarin. Kita tidak mampu menerka apa yang mungkin terjadi hari ini kalau kita belum menjalaninya. Lagi pula, bukan teko ini saja, tapi seluruh benda mati yang ada di sekitar kita. Hanya saja, teko ini adalah benda yang paling dekat dengan kita saat ini.”

Aku semakin tidak paham ke arah mana Ayu berusaha mengendalikan pembicaraan.

“Aku tahu kamu sulit memahami perkataanku.” Kini ia tertawa. “Terlihat jelas dari bagaimana wajahmu berekspresi.”

Perlahan, aku mengangguk.

“Baiklah, kusingkat seperti ini. Aku menyebut teko ini sebagai teko ajaib, ialah karena teko ini berfungsi sebagai sesuatu yang mengakrabkan kita. Menjadi akrab adalah hal yang tidak bisa kita prediksi sebelumnya. Dari sekian banyak benda yang ada, kamu kebetulan mengajakku berdiskusi ketika teko ini berada di sekitar kita. Dan aku terbantu untuk menjawab pertanyaanmu berkat keberadaan teko itu juga. Benar-benar ajaib, bukan?”

Sepertinya sedikit demi sedikit, aku mulai memahami maksud yang ingin disampaikan olehnya. “Jadi, maksudmu, keajaiban teko ini adalah karena bisa menyatukan kita yang bahkan sebelumnya tidak pernah terpikirkan bisa menyatu?”

Ayu mengangguk spontanitas.

“Dan ... bagaimana dengan beruntung?”

Gadis itu menjentikkan dua jarinya. “Dari sekian banyak benda yang ada di sekeliling kita, kenapa harus teko ini?”

“Aku tidak tahu.”

“Ya, begitulah jawabanku terhadap konsep keberuntungan. Aku tidak pernah tahu kenapa keberuntungan bisa datang. Yang kutahu, kalau keberuntungan itu datang secara ajaib, sebuah tiba-tiba yang telah ditentukan. Mungkin dari sekian banyak teko, kita bisa saja mendapatkan teko yang lain, tapi teko bergagang rusak inilah yang beruntung digunakan oleh kita.

“Beruntung itu bukan hanya sebatas bernasib baik semata. Tapi juga kepada bagaimana keberuntungan tersebut bisa membuat diri kita merasa pantas akan sesuatu. Di saat ingin menyerah karena cacat, mungkin saja beruntung karena masih ada yang percaya bisa berguna. Tidak semua keberuntungan dapat disadari secara jelas.”

Perkataan Ayu mulai melantur. Aku sudah tidak paham lagi apa yang ingin disampaikan olehnya, jadi lebih baik kuiyakan saja semua perkataannya itu.

“Baiklah-baiklah, aku sudah paham.”

Ayu memasang wajah datar, seakan-akan ketertarikannya terhadap pertanyaanku lenyap begitu saja. Ia kembali menyantap makanan yang tersisa di atas piring dengan tenang. Aku dapat merasakan kalau ia sedikit kecewa dengan reaksiku setelah mendengar jawaban panjangnya itu.

Lagi juga, aku tidak begitu mengerti.

Kalau menanggapinya dengan serius, bisa-bisa aku makin tidak mengerti dan hanya menimbulkan beban pikiran yang sebaiknya kuhindari selagi mampu. Itu adalah jalan terbaik bagi kami berdua. Aku yang enggan menambah beban pikiran, serta penjelasan Ayu yang terbilang sia-sia karena penolakanku.

“Ayu, maaf aku--”

“Tidak perlu. Mungkin saat ini kamu tidak ingin memahaminya, tapi suatu saat kamu akan mengerti,” timpalnya, mematahkan kalimat penyesalan yang berusaha kuucapkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro