Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kisah Si Pendengar - Bagian 01

Di luar panas sekali. Mentari sepertinya sedang berusaha untuk membumihanguskan Bumi beserta semua penghuninya. Mungkin itu yang dipikirkan oleh mereka-mereka yang tidak memiliki tempat untuk berteduh. Manusia-manusia yang hanya bisa berkelesah dengan takdir yang sudah digariskan dengan sama rata.

“Aldo!” Seseorang meneriakkan namaku. “Aku membutuhkan bantuanmu!”

Segera, aku berlari dari balik meja untuk menghampiri salah satu lorong yang mulai dipadati oleh pasien. Usai melewati mereka dengan membuang beberapa detik, aku akhirnya melihat pria yang tadi memanggilku untuk sebuah pertolongan. Ia sedang sibuk memegang tangan seseorang yang mengenakan pakaian putih bergaris biru. Pria itu menggenggam salah satu pasien lelaki.

“Apa yang terjadi?!” Aku bertanya di tengah usaha bersimpuh untuk membantu. “Pasien ini kenapa?”

Pria tadi sepertinya tidak memiliki waktu untuk dibuang lebih banyak. Segera setelah aku membantu menahannya, ia segera menyuntikkan sebuah cairan melalui nadi di sekitar leher. Pasien itu mulai melemah hingga akhirnya jatuh kehilangan kesadaran. Melihat pasien yang lain memperhatikan penuh tanya, aku spontan berdiri, membersihkan debu yang sekiranya menempel di pakaian, lalu berkata, “Tidak apa-apa, kalian bisa kembali melakukan kegiatan yang terhenti tadi.”

“A-a-apa yang t-terjadi pa-pada Rizki?” Salah seorang pasien pengidap autisme bertanya lebih dulu. “Apa di-dia baik-baik s-saja?”

Aku mengangguk. “Rizki hanya lupa meminum obatnya. Ia tidak apa-apa, kok,” jawabku sembari tersenyum. Sebenarnya aku tidak mengetahui apa yang terjadi, karena itulah aku berbohong. Itu adalah hal terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah kepanikan massal di dalam rumah sakit.

“Kukira ada apa,” respons pasien dengan riwayat penyakit kecemasan, “aku takut ada yang terjadi dengan Rizki, soalnya tadi dia tiba-tiba jatuh dan berteriak-teriak seperti itu.”

“Tidak ada apa-apa, Echa, Rizki hanya lupa meminum obatnya.” Aku merepetisi kalimat yang sama. “Sekarang kamu bisa kembali melanjutkan kegiatanmu lagi.”

Kemudian, satu per satu penghuni lorong mulai pergi meninggalkan. Di saat hampa, pria yang menjabat sebagai psikiater itu langsung berkata, “Bantu aku memindahkannya ke ruang isolasi.”

Kami mengangkatnya bersamaan dan menaruhnya di ranjang ruang isolasi. Setelahnya, kami meninggalkan Rizki di ruangan berdiameter 4x5 tersebut. Beberapa pasien yang masih penasaran, tentu menunggu kami untuk bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi pada Rizki. Namun, jawaban yang kamu berikan tetap sama. Kami mengatakan kalau pria pengidap autisme itu belum meminum obatnya sehingga emosinya meledak-ledak seperti itu.

“Sebenarnya apa yang terjadi, Dokter Rafli?”

Ia terkekeh. “Kubilang panggil saja aku Rafli, kita sama-sama pegawai di sini, jangan terlalu kaku, oke?”

“Baiklah, Rafli. Jadi apa yang terjadi sampai-sampai Rizki kumat seperti itu?”

Rafli melihat kondisi luar ruangan melalui sekotak jendela yang menempel di pintu. “Sepertinya baru-baru ini ada sesuatu yang memicu trauma Rizki. Sudah lama ia tidak bertindak seperti tadi,” jawabnya.

Sesuatu yang memicu trauma?

Apa itu?

“Aku tidak tahu pasti hal apa itu. Rizki terkadang merasa heboh karena sesuatu, tapi itu semua bisa teratasi setiap ia meminum obatnya. Namun, ini berbeda. Dan jelas-jelas ini bisa berbahaya, mengingat bagaimana Rizki masih berusaha untuk menerimanya.” Ralfi mengatakannya seakan-akan paham apa yang baru saja kukatakan dalam hati. “Yang jelas kita harus segera menemukan alasannya, Aldo.”

Aku mengangguk. “Untuk sementara ini, kita biarkan Rizki berada di ruang isolasi. Kalau ada yang bertanya, katakan saja apa yang baru kukatakan,” jelas Rafli, lalu berjalan meninggalkan ruangan.

Lagi, yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk. Seorang perawat sepertiku tidak boleh sembarangan menciptakan asumsi. Terlalu bahaya kalau-kalau salah mendiagnosis. Semua pengambilan keputusan selalu diserahkan pada direktur atau para psikiater di rumah sakit ini. Rumah Sakit Jiwa Nusapen. Terletak tidak jauh dari luar Batavia.

Alih-alih mengenyam pendidikan lebih lanjut, aku memutuskan untuk bekerja di rumah sakit ini.  Aku tidak lagi memiliki biaya untuk menempuh pendidikan. Ayah dan ibu tewas karena dibunuh oleh penjajah, sedangkan aku disebut beruntung karena berhasil kabur dari rumah. Padahal, saat itu ibu hanya memintaku untuk pergi ke luar rumah sebentar. Entah itu dulu atau sekarang, aku sangat tidak paham bagaimana konsep beruntung yang dimaksud.

Diberi kesempatan hidup hanya untuk menderita? Yang benar saja.

Dan, sekarang, di sinilah aku berada. Menatap lorong berisikan orang-orang yang memiliki penyakit kejiwaan beragam macam. Dulu, kupikir kerjaannya akan mudah karena hanya merawat orang-orang yang tidak lagi dikatakan waras. Namun, semuanya benar-benar di luar prediksi ketika aku menjalani minggu-minggu pertama bekerja di sini. Dan bagiku, perlahan-lahan keinginanku untuk hidup seakan berkobar kembali.

Aku harus hidup untuk membantu mereka yang tidak diciptakan sebaik diriku. Mungkin itulah jawaban terkuat yang kupegang selama ini, sampai-sampai membuatku selalu senang setiap pagi berkunjung dan merasa lesu kala rembulan menggantung. Setiap malam, aku harus kembali pulang ke rumah yang kosong. Tidak ada siapa pun yang mengharapkan kedatanganku, berbeda dengan di rumah sakit, di mana ada beberapa orang yang mengharapkan kehadiranku.

Suatu hari, pasien dengan penyakit PBA (Pseudobulbar Affect) datang ke rumah sakit ini. Pasien memiliki gangguan emosi yang terbilang acak, sampai-sampai kita tidak mampu menyinkronkan begitu saja antara bagaimana ia terlihat dengan bagaimana sebenarnya yang ia rasakan.

Namanya Ayu van Dherg. Gadis berdarah campuran Batavia-Belanda itu dikirimkan oleh keluarganya ke rumah sakit ini sebagai upaya penyembuhan. Orang tuanya terkejut ketika melihat Ayu berteriak marah di saat orang lain memuji kepiawaiannya bermain biola. Atau menangis di saat melihat orang lain tertawa. Atau tertawa di saat menghampiri pemakaman seseorang.

“Namamu Aldo?” Ia menghampiriku di siang hari yang sejuk. “Aku mau bertanya padamu.”

Aku menengadah dan menatap gadis berambut kuning itu. “Apa yang mau kamu tanyakan, Ayu?”

“Kenapa kamu berbohong?” Ayu menangis tiba-tiba, mengundang tatapan dari beberapa pasien untuk memperhatikan kami. “Aku tidak suka kamu,” lanjutnya, seketika tertawa kencang. Sedetik kemudian, ia menunjukkan wajah datar dan meninggalkanku dengan tatapan sangsi yang diberikan orang-orang.

Seorang perawat perempuan datang menghampiriku. “Apa, kenapa Ayu mendatangimu?”

Aku yang masih termangu akan perkataan Ayu, tidak mampu menjawab pertanyaan yang perawat itu ucapkan. Apa yang dia maksud dengan berbohong? Seingatku, aku jarang berinteraksi dengannya. Tapi kenapa dia tiba-tiba mengatakan aku berbohong dan tidak menyukaiku?

Saat itulah, semangat hidupku yang kembali berkobar, mulai diterpa oleh angin keraguan. Pertemuanku dengan Ayu membuat jawab yang sudah lama kuyakini, menjadi gentar akan kredibilitas kepastian.

Ayu, gadis pengidap PBA, mulai masuk ke dalam hidupku dan memperlihatkanku kenyataan-kenyataan yang tidak pernah kuperhatikan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro