Kisah Si Beruntung dan Sang Keadilan - Bagian 05
Alisa diam cukup lama. Dan itu membuat Gistra serta yang lain kebingungan penuh tanya. Kiranya sudah lima menit ia terdiam. Bukan waktu yang efisien bagi seseorang untuk menjeda ceritanya. Itu terlalu lama.
“Alisa, kenapa berhenti?” tanya Melisa.
Gadis itu menatap perempuan berkacamata yang jelas terlihat lebih berumur dibanding dirinya. “Aku bingung bagaimana lagi harus menceritakannya.”
“Ceritakan saja apa adanya.” Gistra menyahut. “Tidak perlu bingung. Setidaknya berusahalah bercerita sampai kita mengetahui alasanmu mengakhiri hidupmu.”
Alisa mengembuskan napasnya.
“Setelah mendengar pembicaraan Sheri dan Fia, tentu liburanku berubah menjadi lebih berat. Bahkan sepulang liburan pun, aku masih mempertanyakan perkataan yang Sheri ucapkan malam itu. Pernyataan mengenai keberadaan seseorang yang bahagia dan seseorang yang sengsara itu disebut keadilan. Tidak semuanya boleh bahagia dan tidak juga semuanya bisa sengsara. Konsep adil seperti itu mengganggu pikiranku.
“Aku kemudian bertanya-tanya pada diri sendiri. Kalau memang keberadaanku ini di dunia itu hanya sebagai penyeimbang kehidupan—yang mana seseorang harus merasa derita kala aku bahagia, kalau begitu bukankan sudah terlihat jelas bahwa hal itu tidaklah adil? Aku merasa mentalitasku terganggu akan kebingungan itu. Pun bertanya pada papa atau mama, mereka hanya akan memintaku untuk bersyukur atas apa yang Tuhan berikan. Kalau begitu, bukankah sedikit ironis karena secara tidak langsung itu berarti mensyukuri derita orang lain?”
Alisa meluapkan keluh-kesahnya. Ia berusaha untuk mengontrol emosinya agar tidak larut berapi-api. Berulang kali tarik-embus napas, tetap saja percikan api kekesalan selalu hadir tatkala sepatah kata diucapkan.
“Terus kenapa kamu mengakhiri hidupmu yang menyenangkan itu?” kata Pandu, dengan aksentuasi penuh ejek. “Lebih baik jalani hidup saja, toh memang sudah ditakdirkan begitu. Orang lain juga pasti memiliki takdirnya sendiri, kita tak perlu repot memikirkan takdir mereka. Takdir sendiri saja tidak tahu akan berjalan bagaimana, ini sok-sokan untuk mengurusi takdir orang lain.”
Perkataan Pandu menyulut emosi Alisa untuk meledak. Gadis itu bangkit dari kursinya setelah menggeberak meja dengan kencang. “Hei, Om Berkumis Tipis! Aku sudah bilang kalau aku tidak pernah berharap untuk hidup! Meskipun diberi kenikmatan yang begitu berlimpah, tetap saja hidupku itu hanyalah sebelah sisi yang tidak kehadirannya merugikan sisi yang lain!”
Gistra mendorong kursinya ke belakang. Ia berdiri menatap Alisa dan Pandu bergantian. Katanya, “Tenanglah. Ada hal penting yang harus aku katakan.”
Alisa menarik kursinya dan kembali duduk.
“Tapi sebelum itu, bisa tolong jelaskan alasanmu melakukan itu, Alisa?” lanjut Gistra, melempar pertanyaan. “Aku ingin mendengar intinya saja.”
Gadis itu mengembuskan napasnya. “Aku ingin menanyakan hal itu kepada Tuhan. Aku tahy kalau Ia adalah Maha Segalanya. Jadi aku ingin menanyakan hal itu,” jawabnya, benar-benar langsung pada inti.
Kalimat yang Alisa lempar benar-benar membuat semua yang ada di sana termangu enggan percaya. Gadis remaja seperti itu memiliki pemikiran yang begitu mendalam hingga melakukan hal yang bodoh dengan mengakhiri hidupnya.
“Aku melakukan ini demi mendapatkan jawaban langsung dari Sang Pencipta. Terserah mau dikata bodoh atau apa, lagi pula itu adalah hidupku, bukan hidup orang lain. Kalau kalian menyalahkanku akan hal itu dengan menyayangkan kelakuanku, nanti kita bisa sama-sama menanyakannya pada Tuhan mengenai kenapa mereka yang ingin ingin hidup lebih lama, hanya diberi waktu pendek, sedangkan mereka yang tidak ingin hidup lama, diberi waktu yang panjang,” tukasnya.
Gistra mengangguk paham. Ia mengambil secarik kertas dari balik jubah abu terang yang dikenakan. Dibacanya sebentar tulisan yang tertuang di sana. “Tapi di sini, kematianmu bukan disebabkan oleh bunuh diri, Alisa. Di sini tertulis bahwa kamu mati karena kecelakaan,” katanya.
Alisa terkejut.
“Kenapa kamu bisa keliru mengenai kematianmu sendiri? Kamu tidak seperti Adika yang tidak mengetahui kalau dirinya sudah mati.” Gistra menanyakan hal yang mengubah arah pembicaraan. “Kalau kamu memang benar tewas karena bunuh diri, kamu tidak akan mungkin berada di sini. Jiwamu pasti selamanya akan terjebak di dunia manusia tanpa bisa ke mana-mana sampai hari akhir tiba.”
Mendengar itu, semuanya sadar bahwa apa yang Gistra ucapkan itu benar. Seseorang yang membunuh dirinya sebelum waktu yang ditentukan, tidak bisa bebas meninggalkan dunia manusia seperti jiwa-jiwa yang lainnya.
“Aku ... aku ....”
“Tenanglah, Nak Alisa.” Pak Andi menepuk bahu Alisa sebelah kiri. “Sekarang coba rilekskan pernapasanmu, lalu coba ingat-ingat kenapa kamu bisa mati,” ujarnya.
Alisa memejamkan kedua bola mata. Ia menjambak rambutnya frustrasi. "Aku tidak ingat.”
Melisa menoleh ke arah Gistra. “Hei, apa tidak bisa kalau kamu saja yang mengatakannya? Kamu tentu memiliki berkas tentang kita semua, bukan?”
Gistra mengiyakan.
“Kalau begitu, lebih baik kamu saja yang mengatakannya. Jangan membuat seseorang mengingat-ingat kejadian yang tidak ingin diingatnya. Itu lebih sakit dari apa pun dibandingkan luka yang ada,” kata Melisa.
“Hah ....” Gistra mengeluh. “Baiklah-baiklah. Alisa, sekarang tenangkan dirimu dan dengarkan penjelasanku.”
Gadis itu membuka kedua netra dan melirik Gistra dengan pandangan hampa.
“Memang kamu menyayat kedua tanganmu untuk mempersingkat waktu hidup, tapi itu tidak berhasil. Kamu selamat setelah dibawa kedua orang tuamu ke rumah sakit. Beruntung mereka cepat menemukanmu. Setelah dirawat beberapa saat, kamu diperbolehkan untuk pulang. Namun, sebelum itu, kamu mendengarkan perdebatan kecil papa dan mama mengenai kesehatan jiwamu.
“Saat di mobil, kamu bertanya, 'aku beneran gila?' dan itu mengejutkan papa dan mamamu. Hal itu membuat mereka berusaha menjelaskan sebanyak mungkin, termasuk papamu yang sedang mengendarai mobil. Papamu mengemudi karena ingin membuktikan padamu bahwa ia juga selalu siap untuk menemanimu kemana saja. Dan sialnya, itu malah membuat fokusnya terbagi. Kalain pun menabrak truk kontainer dari arah yang berlawanan. Kamu mati saat itu juga.”
Alisa mengembuskan napasnya tak percaya. “Well, jadi aku kematianku ditunda hanya untuk mendengarkan perdebatan papa dan mama mengenai kejiwaanku.” Ia tertawa. “Yah, setidaknya itu tidak menghalangi tujuanku untuk bertanya pada Tuhan,” lanjutnya.
“Itu juga kalau Ia memaafkanmu,” sahut Pandu.
“Tuhan itu Maha Pemaaf, Pandu.” Adika menanggapi. “Setahuku nanti, kita akan bertemu dengan-Nya ketika sudah melewati dunia perlintasan ini. Benar begitu?”
Adika mengangguk sedikit ragu. “Kudengar seperti itu.”
“Wah ... kalau begitu, aku akan jadi orang pertama yang menunggu kelanjutan cerita Rou dan Ratu Ella!” kata Melisa antusias. “Entah itu di dunia sana, ataupun kehidupan selanjutnya, aku akan menantikan cerita itu, Alisa!”
Alisa terkekeh kecil.
“Saya juga menunggunya, Nak Alisa,” ucap Pak Andi.
“Iya-iya, kuusahakan, ya!”
Gistra merasa tenang sekarang. Tersisa Melisa dan Pandu yang belum bercerita untuk sesi kali ini. Entah kisah apa yang akan mereka jealskan, yang pasti ia paham kalau semuanya pasti memiliki keterkaitan yang kuat terhadap manusia. Bagaimana pun, mereka juga dulunya manusia. Hanya saja sekarang menjadi sesosok arwah, jadi tidak ada yang salah dengan menceritakan tentang makhluk yang dulu pernah mereka jalani.
------------------------------------------
angel number 951 is a message to serve your soul mission with passion, enthusiasm, and confidence.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro