Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kisah Setitik Peluh yang Mengeluh - Bagian 06


“Selesai.” Melisa menyandarkan tubuhnya pada tubuh kursi. “Itu adalah cerita terakhir yang kuingat. Selebihnya, aku tak tahu apakah cukup penting untuk diceritakan ... atau tidak,” katanya.

Lima penghuni ruangan yang sama berusaha mencerna apa maksud dari cerita yang baru saja Melisa sampaikan. Mereka tidak menemukan satu pun korelasi yang membuat jiwanya harus terjebak di dunia perbatasan ini. Kucing peliharaan, rumah hantu, permainan daring, transformasi hewan, serta sebuah bunga yang unik. Apa-apaan dengan itu semua?

“Aku tidak paham ceritamu.” Pandu menyuarakan keluhannya lebih dulu. “Ceritamu itu melompat-lompat seperti katak yang bingung dengan arah tujuannya sendiri, Mel.”

“Ya, kali ini aku menyetujui perkataan Om itu,” sahut Alisa. “Aku juga tidak mengerti.”

Gistra mengangguk. Ia menatap Adika dan Pak Andi, sebagai dua orang yang belum mengeluarkan tanggapannya. “Bagaimana, Pak Andi? Adika? Apa ada yang ingin dikatakan?”

Mereka menjawabnya dengan bahasa tubuh yang mengindikasikan jawaban sebagai tidak. Gistra kembali melipat kertas yang sedari tadi dipegang olehnya dan menaruhnya di tempat semula. Ia menghirup napasnya sedikit panjang, dan mengembuskannya secara perlahan, seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikan.

“Kenapa, Gistra, ada apa?” seru Melisa kala melihat kekhawatiran yang terpampang di raut wajahnya. “Apa ceritaku seburuk itu, hm?”

“Bukan.” Lelaki itu menggeleng. “Hanya saja aku sedikit terganggu dengan beberapa ceritamu itu.”

“Ceritaku yang mana?”

Gistra terdiam. Hanya untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kembali menjawab, “Ceritamu mengingatkanku pada salah satu kenangan menyedihkan yang pernah kurasakan ketika masih menjadi manusia.” Kalimat itu secara tentu saja membuat penghuni yang lain terkejut.

“Jadi kamu dulu itu manusia?!” seru Pandu.

“Wah, benar-benar ....” Pak Andi menanggapi. “Saya kira kamu memang diciptakan Tuhan langsung menjadi pendengar, tanpa harus repot-repot mengalami kesusahan dengan menjadi manusia.”

Mereka langsung melontarkan kalimat-kalimat ketidakpercayaan selama beberapa menit lamanya. Gistra hanya diam tak menanggapi. Ia menjambak rambutnya pelan karena merasa bodoh telah mengatakannya tanpa disadari. Pertemuan kali ini rasanya akan jadi sedikit lebih panjang dari yang diperkirakan.

“Lalu, kenapa kamu bisa jadi seperti ini, Gistra? Kenapa jiwamu harus terperangkap di dunia perbatasan ini dan mendengarkan emosi-emosi arwah yang lainnya? Tidak mungkin tiba-tiba kamu ditugaskan menjadi pendengar seperti ini.” Adika berbicara panjang lebar. Keduanya duduk berhadapan, membuat masing-masing dari tatapan mereka saling mengunci satu sama lain. “Sepertinya kamu tidak dapat menghindar lagi untuk menceritakan kisahmu sendiri,” tuturnya, mengakhiri asumsi.

“Hah ... baiklah.”

Kekalahan Gistra disambut gembira oleh para penghuni ruangan. Untuk sejenak, mereka mengabaikan cerita yang baru disampaikan oleh Melisa. Perempuan berkacamata itu terlihat menyembunyikan kesedihannya melalui tawa bahagia. Namun, tetap saja, semua kebahagiaan itu adalah palsu tatkala menyadari seseorang menampilkan senyumnya dengan tatapan mata yang sendu. Memang terkadang tatapan tidak dapat menurut untuk menyembunyikan perasaan. Keduanya terlalu jujur perihal membicarakan kenyataan.

Gistra menyadari hal tersebut. Ia langsung menenangkan kegaduhan yang sempat tercipta akibat dirinya dan kembali mengalihkan topik pada Melisa dengan cerita hidupnya.

“Tidak apa, Gistra,” seru Melisa. “Aku tahu aku sedikit berbeda, jadi pengabaian adalah hal yang biasa aku dapatkan. Di mana pun aku berada, orang-orang terbiasa tidak memedulikan keberadaanku.”

Selain Gistra, penghuni yang lain langsung menengok gesit ke arah Melisa. “Hei, kenapa kamu berpikiran seperti itu, Mel?” kata Pak Andi. “Kami di sini tidak mungkin tidak memedulikan keberadaanmu.”

“Bohong!” sanggah Melisa, sedikit memajukan badannya. “Kalian itu kenapa suka sekali berbohong, sih?”

Semuanya terdiam.

“Adika, kamu berbohong pada dirimu sendiri dengan menolak kenyataan yang kuyakin telah kamu ketahui. Pak Andi, Bapak berbohong pada tulisan-tulisan Bapak, selain Menyerupa Ikan Bandeng di Kota Bandung karena Bapak sendiri sebenarnya menuliskan mereka semua dengan penuh paksa. Alisa, kamu bohong kalau kamu berniat bunuh diri hanya karena ingin meneggakkan konsep keadilan, yang padahal itu sudah sangat menguntungkan kehidupanmu, kamu hanya penasaran dengan perasaan yang lain selain kebahagiaan. Dan, kamu, Pandu--”

“Cukup, Melisa!” Gistra sedikit berteriak. Tentu saja itu mengejutkan. “Berbohong atau tidaknya mereka, itu bukan urusan yang bisa kamu campuri. Kamu ini hanya individu asing bagi kehidupan mereka, kenapa juga harus repot-repot mengurusinya, hah?”

“Ya karena selalu diabaikan, aku menjadikan manusia sebagai alat untuk kuperhatikan. Selain Sore, permainan di ponsel, serta teman yang mungkin kalian anggap sebagai halusinasiku, aku juga menjadikan observasi manusia sebagai pelarianku untuk menghibur diri sendiri.”

Perkataan Melisa memang sedikit keterlaluan, tapi para penghuni ruangan rasa-rasanya setuju dengan perkataannya. Lagi pula, kekesalan Melisa juga tercipta akibat keapatisan mereka terhadap ceritanya. Andai kata tadi tidak terfokus pada latar belakang Gistra, mungkin mereka bisa saling berdiskusi mengenai kisah itu.

“Lalu ... aku?” Pandu merasa perlu mengetahui pemikiran Melisa yang sesungguhnya. “Bagaimana denganku?”

“Jangan.” Gistra memperingati. “Jangan dilanjutkan.”

Pandu menolaknya. “Tidak apa-apa, Gistra. Ini memang kesalahan kami. Melisa sudah mengungkapkan perasaannya pada mereka yang sudah bercerita, kecuali aku seorang. Jadi, bagaimana denganku?”

Melisa menatap lelaki yang duduk penuh senyum penyesalan di sebelahnya. “Kamu berbohong dengan berkata ingin hidup lebih lama untuk meminta maaf pada ibumu. Sebenarnya, kamu ingin hidup lebih lama dari itu. Kamu tidak ingin meninggalkan ibumu demgan ayahmu yang brengsek seperti itu, bukan?”

Senyum Pandu memudar.

Keadaan ruangan menjadi senyap tak bersuara. Masing-masing penghuni berkelumat dengan penyesalan yang bermain-main kepala mereka. Rasanya penyesalan itu sangatlah mengganggu kenyamanan hatinya.

“Maaf.” Melisa turut menyesal. “Maaf aku kelepasan seperti ini, aku ... benar-benar tidak bermaksud. Aku minta maaf.”

Perempuan itu menangis tanpa air mata.

“Sudahlah, Mel.” Adika menepuk bahu kanan Melisa. “Tidak apa-apa. Ini memang murni kesalahan kami, kok. Sewaktu kami bercerita, kamu tidak pernah sedikit pun berusaha mengubah alur pembicaraan. Tapi bodohnya, kami malah melakukan hal itu saat kamu berbicara.”

“Iya, Melisa, itu tidak apa,” kata Pak Andi.

Pandu dan Alisa saling menatap, sebelum akhirnya saling mengejek. Sadar tingkah mereka saat ini tidak dapat disebut benar, keduanya langsung meminta maaf.

“Jadi ... bagaimana?” kata Pandu, bingung. “Kita sekarang harus bagaimana?”

Alisa menggedikkan bahunya. “Entahlah. Pun aku ingin berbicara, aku masih ragu dengan pemahamanku sendiri.”

“Gistra?” Pandu menoleh ke arahnya. “Tolong jelaskan kepada kami.”

Paham dengan apa yang dimaksud, Gistra mengusap kedua telapak tanganya sebanyak empat kali.

“Melisa adalah penderita gangguan kesehatan mental. Ia memiliki tingkat kecemasan dan halusinasi yang parah. Sebelum akhirnya tewas, Melisa ditakdirkan untuk terkena skizofrenia untuk melihat hal-hal yang selama ini diam-diam ia inginkan.”

“Tunggu, ditakdirkan terkena skizofrenia?” Alisa menyanggahnya. “Apa maksudnya?”

“Manusia hidup sudah memiliki garis takdirnya masing-masing. Dan terkena skizofrenia adalah garis takdir yang harus ditemui oleh Melisa sebelum ia harus meninggalkan kehidupannya sebagai manusia,” jawab Gistra. “Melisa menyembunyikan gangguan mentalnya karena ia sudah yakin, walaupun orang lain mengetahuinya, itu tidak berarti mereka akan berhenti mengabaikan keberadaannya begitu saja. Jadi ia sangat berusaha menyembunyikannya.

“Maaf, Melisa, semisal kamu merasa tidak dipedulikan, atau bahkan diperlakukan adil di mana pun kamu berada. Aku tidak mampu menentang garis takdir yang sudah dengan tegas mengendalikan kehidupanmu.”,

Perempuan itu tersenyum. “Tidak apa-apa. Terima kasih, ya. Sekarang perasaanku sedikit lega setelah mendengarnya. Kalian juga. Terima kasih sudah mengizinkanku mengungkapkan perasaan yang sedari tadi menyakitiku dari dalam.”

Semuanya memaklumi.

“Jadi, bagaimana, Melisa? Apa ada yang ingin kamu jelaskan lagi, atau itu sudah cukup.”

Melisa menggeleng. “Tidak, Gistra. Sudah selesai. Itu adalah cerita terakhir yang kuingat. Terima kasih sudah menjelaskannya lebih dalam,” tuturnya, lalu kembali menyandarkan sang badan kepada tubuh kursi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro