Kisah Setitik Peluh yang Mengeluh - Bagian 03
Saat tersadar, aku berada di suatu tempat yang tidak kukenali. Juga dengan pakaian yang kukenakan. Aku terbangun penuh bingung di balik bebatuan besar. Melihat sekeliling, hanya tampak tumbuhan dan beberapa bebatuan yang lain. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Tunggu.
Sejak kapan aku memegang dua bilah pedang di kedua tanganku? Dan ... apa maksud dari dua kantong tambahan di pinggul kanan-kiri ini? Juga apa maksud dari pakaian putih-biru seperti seragam sekolah ini?
Ah, sepertinya aku harus mencari tahu tentang itu semua. Tapi pada siapa?
Aku bangkit dan segera memulai langkah. Di depan sana tampaknya ada sesuatu yang bergerak. Setelah berlari kecil, aku justru tersentak saat mengetahui sosok yang kudatangi. Itu ... monster? Seperti kadal raksasa, tapi berdiri tegap memegang tombak.
Langkahku tak juga berhenti. Seraya membenarkan kacamata, aku terus maju memastikan apa yang terlihat.
Namun, baru saja lima langkah, sosok itu melempar tombaknya ke arahku. Aku berhasil menghindar dengan melempar tubuh. Ia kembali melempar tombak kedua, aku berguling untuk mengelak. Jarak kami semakin dekat, tapi monster itu tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya memaku di posisinya berdiri dengan terus-terusan melemparkan tombak.
Aku menggenggam kedua pedang kuat-kuat dan langsung menyabet tubuhnya beberapa kali. Bar kotak berwarna merah di atas kepalanya mulai berkurang setiap aku menebas pedang. Namun, tombaknya pun tak jarang menyayat kulitku. Aku mengeluh sakit, tapi ... penanda yang kukira sebagai darahnya itu tersisa sedikit.
Benar saja, setelah berputar dengan pedang yang direntangkan, sosok itu melenyap. Luka-luka di tubuhku sembuh seketika.
Sial, apa yang sebenarnya terjadi?!
Dari balik tebing batu, aku mendengar suara orang yang berbicara. Aku yakin itu manusia. Pasalnya monster tadi tidak mengatakan apa-apa, selain melempar tombaknya.
Setelah sampai di tempat tersebut, pemandangan yang terlihat ialah pertarungan. Lima orang sedang beradu menggunakan senjatanya masing-masing. Dan ... hei, ada yang bisa menggunakan sihir? Sebenarnya aku ini ada di mana?!
Kuhampiri satu orang yang sedang berkeliling di sekitar tower bercahaya biru, lalu bertanya, “Kita di mana? Kenapa kalian bertengkar?”
Gadis pembawa payung itu berhenti bergerak. Ia menatapku intens. Katanya, “Tentu saja di area pertarungan, makanya kita bertarung. Kau ini kenapa, sih?” Ia langsung pergi menghampiri area pertarungan, sedang aku terdiam saja di bawah lindungan tower.
“Butuh bantuan!”
Suara itu terngiang dari langit. Aku mencari keberadaan penyuara kalimat tersebut. Namun, tidak ada apa-apa selain gelombang awan putih yang menempel di sana.
“Ayo berkumpul untuk gang!”
Rasanya aku harus mengikuti kemauan suara misterius itu. Kalau tidak, bisa-bisa ia meneriakkan hal yang lain?
Di hadapanku, ada lima orang yang bertarung. Dua bar berwarna hijau dan tiga berwarna merah. Bar darah di atas kepala mereka memiliki persentase yang beragam. Milikku masih penuh. Aku menguatkan genggaman pedang dan masuk menuju tempat pertempuran. Gadis yang tadi kutemui melemparkan payungnya untuk membantu, ketika ada seorang pria berpedang besar menghampiri diriku.
“Dasar darat!” seru seorang lelaki bertubuh mekanik yang sedari tadi menyemburkan api. “Beban.”
Aku tidak paham. Yang kutahu, saat mereka yang memiliki bar hijau kembali menuju tower, aku juga mengikuti mereka. Namun, tubuhku tersentak tak bisa digerakan ketika dikejutkan oleh seseorang berperisai besar.
“Mundur!” Suara misterius itu datang lagi.
Ketika berhasil bergerak menuju tower, tubuhku ditembak oleh seorang perempuan pemegang sniper. Sakit. Sakit sekali. Darahku sekarat. Saat gadis berpayung ingin menghalangi peluru yang melaju ke arahku, itu semua sudah terlambat. Peluru terakhir sudah mengenai tubuh, yang langsung membuatku lemah tak berdaya.
Lagi, suara misterius itu datang. Tepat di saat tubuhku menabrak tanah, ia berbunyi, “You have been slain.”
>[•]<
Aku yakin kalau aku baru memejamkan mata selama tiga detik. Tapi kenapa tiba-tiba napasku seperti dibatasi. Dan apa maksud dari aroma-aroma obat yang menguar malu-malu?
Mataku akhirnya terbuka. Cahayanya remang, tidak seperti terakhir kali. Aku melirik ke sebelah kanan dan mendapati teman sekantorku, seorang perempuan berjaket putih, yang sedang berbicara bersama lelaki berjas putih. Tubuhku terlampau lemas, jadi tidak mampu mengumpulkan tenaga untuk melontarkan kata.
“Jadi apa yang sebenarnya terjadi dengan pasien?” Lelaki itu bertanya. “Saya perlu mengetahui rinciannya agar tidak salah mengambil kesimpulan,” katanya.
Temanku mendekap mulutnya menggunakan tangannya sendiri. Meskipun tidak terlihat jelas, tapi aku sadar kalau ia menangis dan menggeleng berulang. “Kami ... kami ....”
“Ketika kalian membawa pasien dalam keadaan sadar, ia terus berontak. Pasien mengalami depresi dan sudah bertingkat hingga berhalusinasi akut. Kami pun memberinya obat bius untuk menenangkan. Kamu juga perlu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi hingga bisa separah itu.”
Sepertinya lelaki itu adalah dokter yang merawatku. Tapi ... apa maksud dari ucapannya itu? Aku mengalami halusinasi? Orang tadi aku benar-benar bertarung melawan monster dan bertemu gadis berpayung serta lelaki bertubuh mekanik. Justru yang mengherankan itu kenapa aku sekarang bisa berbaring tak berdaya di ranjang ini.
Gila sekali.
Rumah kosong, arena pertempuran, lalu rumah sakit. Naskah hidup seperti apa yang sebenarnya sedang kukerjakan ini? Atau jangan-jangan sebenarnya aku memiliki kekuatan untuk berteleportasi?
Ah, tidak-tidak.
Itu mustahil.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi.
“Kami ....” Temanku mulai berbicara. “Kami hanya ingin mengerjainya saja. Kami tidak tahu kalau Melisa mempunyai riwayat gangguan mental seperti itu. Kami juga panik saat melihatnya pingsan dan bangun dalam keadaan panik yang berlebihan. Bahkan saat membawanya ke sini, kami tidak dapat mengerti perkataannya.”
Dokter itu mengangguk. “Itu berbahaya, Mbak. Jangan pernah melakukan suatu perbuatan usil pada orang yang tidak kita kenali seluk-beluknya. Contohnya pasien ini. Bisa-bisa rasa takut dan paniknya berubah semakin parah sebagai anxiety disorder dan halusinasinya menjadi skizofrenia,” katanya.
“Kami tidak bermaksud begitu, Dok.” Temanku kembali menangis. “Apa tidak ada cara untuk menyembuhkannya?”
“Kita bisa bekerja sama untuk mencegah pasien memperparah halusinasinya.”
Aku mengangkat telapak tanganku dan berusaha menggapai mereka berdua. Temanku itu sadar. Ia langsung menghampiri dan menggenggam tanganku.
“Mel, maafkan kami, Mel. Sungguh kami tidak bermaksud menjadikanmu seperti ini!”
Aku tersenyum. Tentu tidak dapat terlihat karena tertutupi masker oksigen. “Gak ... gak apa ... apa ....”
Temanku tetap menangis.
“Ma ... mana yang lain?”
“Di luar,” jawabnya, “mereka nunggu di luar karena cuma boleh satu orang yang masuk ke ruangan ini.”
Lagi, dengan bodohnya, aku tersenyum.
“Aku ... boleh ... minta tolong?”
Ia mengangguk.
“Tolong rawat kucingku ... Sore ... selama aku dirawat di sini.”
“Iya, pasti. Aku akan merawatnya!”
“Lalu ....” Suaraku semakin sulit dikeluarkan. “Tolong ....”
“Lalu, lalu apa, Mel?” tanggapnya.
Aku menghela napas dan berkata, “Bilang ke yang lain ... kalau ... aku baik-baik aja.”
Lima detik kemudian, pintu terbuka. Gadis berpayung yang tadi berperang denganku datang mengunjungi. Aku terus menatapnya penuh kekehan. “Kau repot-repot datang ke sini ....”
“Kagura,” serunya, “namaku Kagura.”
Aku mengangguk. “Iya ... Kagura ....”
Dua orang yang lebih dulu berada di dalam ruangan, saling melempar tatapannya penuh tanya. Mereka kebingungan melihatku berbincang dengan Kagura. Dokter kemudian sigap menyuntikkan sesuatu ke arah cairan infusku.
Sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya, aku melihat Kagura tersenyum dan dokter yang berkata, “Pasien masih harus beristirahat.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro