Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kisah Setitik Peluh yang Mengeluh - Bagian 01



Pekerjaan kantor selalu membuatku pulang terlalu larut. Seakan-akan membiasakan rutinitas baruku yang sudah bekerja sebagai karwayan kantoran selama dua tahun lamanya. Terlebih lagi karena aku hanya tinggal di kota ini seorang diri. Andai kata tidak memiliki UMR yang besar, mungkin aku lebih memutuskan untuk bekerja di kampung halamanku di Jogja sana.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota, aku mengontrak sebuah rumah di sekitaran Kalideres dan mengadopsi seekor kucing dengan corak hitam-putih di tubuhnya untuk dijadikan teman. Ia kunamai sebagai Sore. Kucing kampung yang kutemukan ketika pulang kerja di sore hari. Setelah beberapa bulan bersama, sepertinya hubungan kami sudah lebih dari kata baik.

Sore dapat diibaratkan seperti pengisi daya untuk segala lelah yang kudapati di kantor. Entah itu perihal senioritas, pekerjaan, ataupun lingkup pertemanan.

Ini sudah pukul setengah dua belas malam. Aku bergegas masuk untuk segera mengistirahatkan diri. Ketika pintu terbuka, Sore sudah duduk menanti tepat di depan pintu. Ia mengeong saat melihat kepulangan diriku. Aku mengelus bulu lembut yang ada di kepalanya, lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju kamar.

Tubuhku rasanya penat, kehabisan energi. Ditambah lagi dengan permasalahan di kantor tadi pagi.

“Eh, lo tahu si Melisa itu?”

Kalimat itu masih dapat teringat dengan jelas. Suara seorang gadis yang sedang melempar tanya perihal diriku kepada orang lain. Aku mengurungkan niat untuk keluar dari bilik kamar mandi karena tiba-tiba merasa tidak ingin. Jadi kudengarkan saja akan dibawa ke mana arah percakapan mereka itu.

“Si cewek mata empat yang sok kecakepan itu?” balas suara yang lain. “Kenapa emang dia?”

“Ih, ituloh, masa lo belom denger, sih?” Tidak ada jawaban. Mungkin satu dari mereka menggelengkan kepalanya atau bagaimana. “Denger-denger nih, dia kalau malem tuh kerjanya ngelonte, makanya selalu sengaja ngerjain kerjaan lelet biar bisa pulang malem gitu.”

Setelahnya, percakapan itu hanya dilanjutkan dengan kalimat-kalimat yang dilebih-lebihkan. Aku diam saja mendengarkan. Ketika mereka akhirnya pergi, aku pun keluar dari bilik dan kembali ke meja kerja yang sudah disesaki oleh banyak tumpukan kertas.

Siang tadi aku dapat merasakan kalau pegawai yang lain menatapku penuh selisik dengan berbisik. Namun, aku tidak begitu memikirkannya. Aku memang pergi ke kota ini dengan alasan mencari uang, tapi bukan berarti aku harus mendapatkannya dengan cara yang kotor.

Rumah ini adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa menemui kata pulang yang tenang.

“Sore, kamu sudah makan, 'kan?” Aku mencari keberadaannya ketika keluar dari kamar mandi. “Sore?” panggilku.

Setelah berkeliling selama beberapa menit, aku menemukan Sore sedang bersembunyi di kolong kasur. Hidungku mencium bau yang tidak asing. Sore mengeong, lalu pergi. Saat itulah aku melihat tumpukkan kotoran kucing yang berbau mematikan.

Tuhan, aku lelah.

Aku ingin segera tidur.

Tapi, mau tidak mau kotoran itu harus segera kusingkirkan. Kalau tidak, bisa-bisa aku sulit tidur karena bau yang dihasilkannya. Usai menyemprotkan parfum ke segala sudut, baunya mulai ditutupi oleh wewangian kopi. Ya, kopi adalah sahabatku yang lain. Terutama saat sedang berkelumat dengan pekerjaan di kantor.

Namun, sepertinya tadi aku mengonsumsi terlalu banyak kopi. Menjaga mata tetap terbuka, tapi memaksa tubuh yang sudah kehabisan stamina.

Ketika kembali ke kamar setelah mengunci pintu, aku malah melihat Sore yang asyik mencakar boneka beruang kesayanganku. Aku spontak berteriak, “JANGAN!” dan langsung merebut boneka itu darinya. Sore bergerak ke arahku dan berusaha untuk meraih boneka itu. Ia mencakar kakiku dengan kukunya yang tidak begitu panjang, tapi tetap saja bisa merusak jahitan-jahitan yang ada di kain boneka.

Aku terlampau kesal.

Baru kali ini Sore berhasil merusak boneka tersebut. Biasanya boneka itu kusembunyikan di balik lemari kaca dan hanya dikeluarkan ketika ingin tidur. Namun, tadi aku kelupaan untuk menyembunyikannya saat hendak mengunci pintu.

Aku menggendong Sore dan menaruhnya di ruang tengah. Ia mengeong dan menimbulkan suara berisik dengan mencakar badan pintu. Sudah lama sekali ia kubiarkan tidur di luar kamar seperti ini.

Mematikan lampu, aku sudah siap pergi bertemu ketenangan. Kupeluk erat boneka beruang yang lembut itu. Rasa nyaman sudah berhasil membuai kesadaranku untuk segera bertemu damai.

Namun, Sore lagi-lagi mengeong. Tidak lagi diikuti cakaran yang menganggu, tapi disusul dengan suara pecahan beberapa keramik yang jatuh saling beradu.

Astaga, Sore.

Aku butuh tidur.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro