Kisah Seorang Perantau di Keasingan - Bagian 03
“Di dalam cermin.”
Kalimat itu mencelus keluar tatkala Adika menyudahi sesi ceritanya. Seluruh sosok yang duduk melingkar bersamanya, spontan menoleh ke arah Gistra dengan tampak kebingungan.
“Apa maksudmu?” Seorang wanita berkacamata mulai mengeluarkan suaranya. “Aku paham maksud dari cerita yang Adika sampaikan, tapi tidak dengan tanggapan yang kau berikan.”
Gistra berdecak. “Sebentar-sebentar. Bukankah ada baiknya memperkenalkan diri lebih dulu, supaya kita mampu berbicara dengan santai?” katanya.
Wanita berkacamata itu melirikkan matanya ke kanan dan kiri secara berulang. Ia menggaruk tengkuk dengan wajahnya yang meredup merah perlahan-lahan. “Namaku Melisa. Aku seorang pegawai kantoran biasa di Kota Hujan.” Setelahnya, hening datang mendistraksi pembicaraan. Kurang lebih sampai dua puluh satu detik, sampai akhirnya Melisa mengulangi pertanyaannya. “Jadi apa maksud dari 'di dalam cermin' yang kau katakan tadi?”
Adika termenung. Alih-alih mendahulukan kegelisahannya yang selama ini membelenggu dirinya perihal Hirya, kini ia memilih untuk menenggelamkan diri untuk berdiskusi bersama diri sendiri tentang kemungkinan terbesar yang berindikasi sebagai jawaban atas pertanyaannya sendiri.
“Adika, apa kau juga memerlukan penjelasan?”
Arsitektur itu tidak menjawab.
“Hei, Adika,” ulang Gistra. Melisa yang duduk di sebelah Adika, menggoyangkan tubuhnya dengan lembut. Dan itu berhasil menarik Adika untuk keluar dari pelukan sang bingung. “Apa kau mendengar perkataanku?”
Mata Adika sedikit membulat lebar. Dimiringkannya sang kepala untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak mendengar. “Apa?”
“Perlukah kau penjelasan dari tanggapan yang kuberikan tadi?” Dengan sabar Gistra meladeni Adika yang dikuasai ketidakpahaman. “Jawabannya dapat mencakup rasa ingin tahumu mengenai alasan tentang eksistensimu di ruangan ini.”
“Rasanya aku sudah memegang jawaban,” katanya, “tapi masih bersifat abu. Jadi, tolong bantu aku menegaskan warna dari kepastian yang sedang kucari.”
“Kamu ingat terakhir kali kalau kau tiba-tiba terbangun dan melihat kawanmu, Hirya, terikat dan teriak meronta. Jujur ini sangat menarik. Namun, untuk memahami dengan apa yang kumaksud dari 'di dalam cermin', kau harus membayangkan bahwa kau sedang bercermin. Bisakah?”
Adika menutup matanya, kemudian mengangguk.
“Apa yang kau lihat di dalam cermin itu?”
“Diriku.”
“Ya, benar. Setiap kali kita bercermin, kita pasti akan melihat pantulan kita sendiri.”
“Aku tetap tidak mengerti maksudmu,” kata Adika.
Gistra menghela napasnya. “Terkadang, jawaban yang dicari tentang kegelisahan pribadi sukar ditemukan apabila hanya bergantungan pada individu yang lain. Kaulah satu-satunya sosok yang paling memahami konteks permasalahan sehingga kegelisahan tersebut timbul. Hanya saja, kita terlalu ragu karena merasa jawabannya sebatas abu. Sampai-sampai rasa ragu mendekap kita begitu erat hingga sulit dilepaskan, lalu mengharapkan bantuan orang lain untuk melepaskan. Namun, apakah pernah terpikir kalau pelukan sang ragu itu sebenarnya dilakukan oleh dirimu sendiri? Kedua tangan yang mendekap diri di atas kendali gelisah. Alih-alih melepaskannya sendiri, kau justru lebih mengharapkan bantuan dari orang lain untuknya.”
Penjelasan panjang dari Gistra membuat Adika membuka netranya. Tidak ada kejut akibat serangan cahaya yang masuk ke dalam matanya karena ruangan ini bernuansa remang-remang sejuk. Lalu tanpa sadar, napas Adika berubah sesenggukkan.
Adika menangis. Tanpa air mata.
Melisa paham bahwa ada kesedihan mendalam yang keluar dari tubuhnya. Euforia sendu itu jelas melahirkan rasa empatinya dengan menepuk-menepuk pundak Adika untuk menenangkan. “Hei, aku minta maaf.”
Namun, Adika enggan menanggapi. Pikirannya terlalu ricuh usai kemungkinan yang paling dihindarinya menjadi kenyataan. Wajah kedua orang tua yang menanti kepulangannya di Kota Kembang sana menjadi faktor terkuat kesedihannya kian menguar.
“Adika, jangan terlalu menyalahkan dirimu. Kau tidatk tahu bahwa malam itu kau akan tewas. Mungkin orang tuamu merasa kehilangan, tapi berusahalah untuk tidak bersedih. Kau anak yang berbakti selama hidupmu. Mereka pasti bangga akan hal itu.”
“Ya, benar. Hidup dan mati tidak sejalan dengan kemauan kita,” tambah Melisa, “itu sudah kehendak Sang Penguasa.”
Seiring detik bergulir, Adika berubah menjadi sedikit tenang. Kini ia berusaha menstabilkan pernapasannya yang dipenuhi rasa sesak.
“Jadi ... aku sudah mati?”
Adika melirik Gistra, Melisa, dan tiga orang yang lain. Meskipun mereka mengangguk tidak seirama, Adika paham bahwa mereka memiliki kesepakatan yang sama.
“Lalu, bagaimana dengan Hirya? Kalau saja aku tahu aku sudah mati saat itu, pasti tidak akan kutinggalkan begitu saja. Lebih baik kuhantui empat bajingan berengsek itu sampai-sampai merasakan hidup yang seperti mati.”
Gistra terkekeh. “Inilah kenapa aku mengatakan bahwa ini sangatlah menarik.”
“Kenapa?” Lelaki berkumis tipis di samping kanam Gistra menautkan kedua alisnya. “Apa kematian seseorang itu merupakan hiburan bagimu, huh?”
“Tidak-tidak.” Gistra menggeleng. “Bukan begitu.”
“Lantas?” serobot Melisa.
Tampaknya, kini Melisa dan lelaki berkumis tipis itu sedang berusaha menyerang Gistra dengan melakukan pembelaan kepada Adika. Namun, untuk apa?
“Sebelum kalian berenam datang, sesi sebelumnya mempertemukanku dengan sosok bernama Hirya Gemintang Raga. Dia menceritakan kisah yang berkaitan dengan kisahmu, Adika. Hanya saja lebih buruk dibanding kepunyaanmu. Memorinya benar-benar penuh penyesalan.”
“Jadi ... Hirya juga sudah ....” Adika menggantung kalimatnya usai menyadari jawabannya sendiru. “Sialan.”
Gistra mengangguk. “Iya. Hirya meminta maaf padamu. Dia sangat-amat menyesal telah melakukan hal bodoh yang membuat kalian berdua tewas. Namun, ia lebih menyesal karena alasan dari kematianmu, Adika. Bagaimana pun, kau perlu mengetahuinya meskipun sangatlah buruk. Aku tidak ingin kau menjadi sosok bergentayangan. Kau tidak pantas memperlama penderitaanmu di Bumi ini kalau-kalau bisa langsung pergi menuju kedamaian sana.”
“Apa itu?” kata Adika ragu. “Katakanlah, aku akan berusaha untuk tegar.”
“Hirya tewas karena kepalanya ditembak oleh satu dari penjahat itu. Namun, kau ....” Gistra berusaha memilah kata yang tepat, jadi ia menjeda kalimatnya sementara waktu. “Kau tewas karena kelelahan. Kau melihat Hirya yang berteriak-teriak itu beberapa detik usai napas terakhirmu diembuskan. Andai saja kau melihat ke arah mana mata Hirya ditujukan ... mungkin kau bisa melihat dirimu yang tengah digulir bergantian oleh para manusia bejat itu.”
Seketika, seperti ada sesuatu yang menghantam dada Adika. Melisa pun langsung memeluk lelaki di sampingnya untuk menenangkan. Gistra juga ingin menyesal, tapi tidak mungkin ia menyembunyikan fakta yang seharusnya Adika ketahui.
“Sial ... itu benar-benar buruk. Maafkan aku, Adika,” ujar lelaki berkumis tipis.
Wanita lain di sisi kiri Gistra pun ikut bicara, “Hei, Adika, aku tahu kita belum saling mengenal, tapi aku percaya kau itu orang hebat yang sudah membanggakan kedua orang tuamu.”
Kalimat itu disetujui oleh semua penghuni ruangan. Adika rasanya lelah untuk merasa gelisah. Ia pun hanya tersenyum dan berkata, “Tidak apa.”
“Ah, iya, kenapa Hirya datang lebih dulu dibandingkan Adika?” Lelaki berkumis tipis melempar tanya pada Gistra--yang justru dibalas tatapan dingin. “Ah, maaf-maaf, namaku Pandu. Aku seorang pekerja lepas.”
Gistra tidak langsung menjawab. Ia tahu kalau ini adalah detik-detik yang sulit bagi Adika yang baru menyadari bahwa dirinya sudah mati. Setidaknya beberapa menit sudah cukup untuk menyembuhkan luka miliknya.
“Karena Adika tidak tahu kalau dirinya sudah mati. Jadi ia tetap berkelana mencari bantuan untuk Hirya selama satu bulan di perbatasan dunia hidup dan mati, se--”
“Satu bulan?!” Pandu terkesiap mengetahuinya. “Gila, perasaan tadi Adika tidak bercerita selama itu.”
Mendengarnya, Gistra mengangguk paham. “Memang. Waktu kita dengan mereka berada di posisi yang berbeda. Satu jam di dunia ini, sama dengan sepuluh hari di dunia manusia. Mungkin Adika tidak sadar bahwa ia hanya berkeliling di perbatasan, sehingga jarang menemui orang atau arwah yang lain. Beruntung ia melihat kalian dan bergerak ke sini.”
“Begitu ....”
“Iya. Sedangkan Hirya, ia sadar dirinya tewas setelah ditembak. Jadi ia tidak berkeliling dan langsung ditujukan ke mari. Ke gedung ini untuk bertemu denganku. Dalam sehari, aku biasa menerima tiga sampai empat kelompok. Kalian adalah kelompok keempat. Waktu berjalan berbeda dengan dunia manusia, jadi tidak usah dipikirkan mengenai bagaimana detik berjalan menjadi menit di dunia ini.”
Semuanya mengangguk.
“Sial ... untung sekarang aku sudah mati, jadi bisa santai untuk mengatakan kalimat ini.” Melisa tiba-tiba membelokkan arah pembicaraan. “Manusia benar-benar ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibanding ciptaan-Nya yang lain, termasuk dalam hal kebengisan, keburukan, dan segala kenegatifan yang lain.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro