Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kisah Seekor Ikan di Arus yang Berlawanan - Bagian 03

Selesai.

Pak Andi mengakhiri ceritanya begitu gantung. Tentu hal itu menimbulkan tanya yang mengepul dari lima kepala lainnya. Namun, Pak Andi seakan tidak merasa bertanggung jawab untuk menyudahi kelumat kalimat yang hinggap di tubuh mereka.

“Sebentar-sebentar.” Pandu mengawali. “Sudah selesai?” katanya, sangsi.

Tidak ada jawaban yang disuarakan oleh Pak Andi. Ia hanya menarik kedua sudut bibirnya seraya mengangguk perlahan. Kisah itu memang masih berusaha menyembunyikan beberapa kejadian di dalamnya. Kiranya itulah alasan mengapa Pak Andi menceritakannya dengan alur yang berantakan.

“Pak, aku tidak mengerti,” keluh Melisa.

Adika ikut mengangguk setuju. “Iya, aku pun tidak paham dengan apa yang tadi Bapak ceritakan,” jelasnya, kemudian mengembuskan  napas sedikit berat.

“Iya! Aku penasaran kenapa percakapan Yossi yang terakhir harus dari balik pintu? Memang apa yang terjadi, sih? Terus juga maksud dari puisi Bapak itu apa?” tanya Pandu bertubi-tubi. “Aku bingung. Benar-benar bingung.”

Kerisauan yang menimpa Melisa, Adika, dan Pandu, hanya ditanggapi oleh Pak Andi dengan ketenangan. Ia tidak sama sekali menjawab satu pun dari sekian banyak pertanyaan yang didapatkan. Suasana di sekitar tiba-tiba mengurangi kadar kebahagiaannya. Pak Andi kembali sendu, menatap punggung meja dengan tanpa fokus yang pasti.

“Pak ....” Gistra berdeham kemudian. “Bisakah menyelesaikan ceritanya lebih dulu? Katakanlah, tidak apa-apa. Memendam semuanya pun kini percuma, hanya sia-sia karena kita telah tiada.”

Napas Pak Andi tiba-tiba terdengar penuh isak. “Andai saja dulu saya memiliki seseorang untuk menjadi pendengar, mungkin tidak akan seberat ini perasaan yang ditampung,” bisiknya.

Adika spontan mengusap bahu Pak Andi. Katanya, “Pak, Bapak mempunyai Yossi sebagai pendengar. Sadar atau tidak, terkadang mata kita itu tertutup karena masih saja mencari-cari hal yang sebenarnya selalu ada di dekat kita.”

Kini semua terdiam. Gistra, Melisa, Pandu, dan Adika masih mengharapkan kelanjutan cerita dari Pak Andi yang diselimuti sedih. Serta seorang perempuan lainnya yang hampir dilupakan keberadaannya di antara mereka.

“Baiklah. Saya akan berusaha,” jawab Pak Andi pada akhirnya. “Cerita tadi masih belum lengkap ... karena, ya, ada beberapa bagian yang tidak dapat saya katakan. Namun, kali ini, izinkan saya untuk kembali mencoba.”



|->•<-|



Beberapa hari sebelum kejadian berbicara terhalang daun pintu itu, Yossi menemukan naskah saya. Naskah Menyerupa Ikan Bandeng di Kota Bandung yang selalu saya simpan rapat-rapat, siapa sangka ditemukannya dengan mudah karena keteledoran saya yang menaruh dengan sembarang.

Sore itu saya kembali ke rumah dengan melihat keadaan Yossi yang memegang kertas itu dengan tangis. Ia terkejut ketika menyadari kepulangan saya.

Pada awalnya, tidak ada sedikit pun curiga mengenai naskah rahasia itu. Namun, ketika melihat kertas-kertas familiar itu berada di genggamannya, saya spontan merebut kertas tersebut dan sedikit berteriak, “DI MANA SOPAN SANTUN KAMU?!”

Saya yang tersulut emosi, meninggalkan Yossi yang tersentak penuh heran. Setelahnya, tidak ada lagi komunikasi yang terjalin di antara kami. Hanya diam seakan tidak menyadari keberadaan masing-masing. Kami memaksa larut sebagai abai. Hidup berdua di atap yang sama, tetapi pada dimensi yang berbeda. Suasana rumah tidak pernah sesemu ini semenjak memisahkan diri dari paman dan bibi. Ini kali pertama kami bersikap saling diam tanpa ingin melempar acuh.

“Kang ....”

Yossi sering memanggil. Namun, saya menghindar. Terlalu takut untuk mengetahui apa yang ada di kepalanya, terlebih lagi setelah membaca naskah itu. Saya takut pemahamannya berujung pada muara yang keliru dengan beranggapan bahwa dirinya adalah beban yang mempertahankan kehidupan yang sudah tidak saya inginkan.

Setiap malam, Yossi pasti datang mengetuk pintu kamar. Tentu tidak saya tanggapi--yang berakhir dengan ia selalu bercerita dari balik daun pintu. Kali pertama setelah sekian waktu tanpa bercerita Yossi berkata, “Aku minta maaf kalau ternyata Akang pernah mengalami masa sesulit itu. Aku hanya bisa paham, tapi tidak akan pernah bisa untuk merasakan apa yang Akang rasakan. Hidup di arus yang berlawanan memang seringkali dijadikan objek kebencian. Terlebih lagi saat memutuskan untuk menyusuri alur yang berlawanan dengan kebanyakan orang.”

Saat itu saya berjalan menuju pintu. Bukan untuk membuka dan bertemu dengannya, melainkan untuk duduk bersandar pada tubuh sang pintu. Setidaknya jarak mendekatkan hati yang mulai berubah asing. Selalu seperti itu, pada waktu-waktu di mana Yossi berdialog penuh monolog.

Ingin rasanya berbincang dengan Yossi seperti dulu, tapi ego begitu berkuasa hingga membutakan diri. Saya mendiami adik perempuan saya itu hingga akhirnya meninggalkan kehidupan di dunia. Tidak ada kesempatan untuk membalas satu pun perkataannya.

Sial, memang.

Itulah mengapa, saya belum bisa pergi dengan tenang; saya bingung harus berkata apa ketika bertemu di kehidupan selanjutnya nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro