Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kisah Sebuah Luka yang Berteriak Senyap - Bagian 04

“Kamu tuh, kenapa bisa sampai berantem sama Arfi, sih?!”

Mulut ibu tetap saja berkicau meski tangannya mengobati luka-luka di wajahku. Tadi, ketika pulang, ibu kaget sekali melihat keadaan tubuhku yang memar penuh luka. Jiwa keibuan memang tidak pernah bisa dihapuskan. Empatinya berbentuk, tapi tanpa menghilangkan karakteristik pribadinya yang gemar berbicara.

Aku hanya tertawa menanggapi. “Ah!” Lalu sadar kalau bibirku tidak bisa ditarik lebih jauh lagi karena luka yang ada.

“Meskipun dia emang lebih berhasil dibanding kamu, tetep aja Ibu gak suka sama pergaulan dia,” tutur ibu, “minum-minum kayak begitu, manfaatnya apa, sih?!”

“Entahlah, Bu ....” Aku menggeleng. “Waktu itu juga sempat kutanyai, katanya cuma buat pelampiasan aja, sih.”

Ibu sudah selesai mengobati wajahku. Ia merapikan peralatan medisnya kembali ke tempat semula. Matanya menatap mataku. “Pandu, kamu itu anak Ibu satu-satunya. Ibu memiliki banyak harapan padamu. Jadi wajar-wajar aja kalau Ibu ini ngeselin di mata kamu. Itu Ibu lakukan demi kebaikan kamu,” katanya.

Keesokan harinya, aku terbangun dengan wajah yang kebas. Saat melirik jam, ternyata masih pagi sekali, pukul setengah lima lewat dua puluh satu detik. Tidurku terganggu akibat keberisikan yang ada di luar. Suara ayah dan ibu yang berdebat hebat.

Ketika melongok ke luar, pergerakan ayah dan ibu membeku seketika. “Tuh, liat anakmu. Lulus kuliah setelah enam tahun, habis itu kerjanya makan-tidur-main aja!” bentak ayah.

Aku tersentak.

“Dia juga anak kamu, Mas!” Ibu menampar ayah. “Dia darah daging kamu!”

Ayah meludah sembarang arah. Diusapnya bagian pipi yang berdenyut merah. “Berani kamu sama suamimu sendiri?”

Badan ibu gemetar, teringat jelas bagaimana rasa takut mendominasi tubuhnya. Aku berjalan dan berdiri di tengah-tengah antara mereka berdua. “Apa-apaan, sih, ini?!”

“Anak gagal,” panggil ayah, “kenapa ikut campur urusan kami?”

Mendengarnya aku tersenyum—sakit. Bagaimana mungkin kata-kata itu keluar dari mulut seseorang yang membawaku ke dunia ini? Aku tidak pernah diharapkan untuk lahir. Mereka yang membuatku lahir setelah diberi kesempatan oleh Tuhan. Tapi apa ini? Kenapa seakan-akan kehidupanku ini tidak pernah diharapkan?

Ayah mendorong tubuhku ke samping hingga menubruk meja makan. Ibu bergegas mendekatiku dengan tangisnya.

“Hah ... sialan,” keluh ayah. “Tak heran aku memiliki anak yang gagal. Ibunya saja seperti ini!”

Aku bangkit dan menghantamkan tinju ke hidung ayah. Keseimbangan ayah goyah sementara waktu. Ia bergerak mundur beberapa langkah sambil memegangi hidungnya yang mengucurkan darah.

“Ayah boleh mengataiku semau Ayah. Tapi jangan pernah menyakiti hati Ibu!”

Lagi kulemparkan tinju mengarah wajahnya. Namun, ayah mengelak. Ia berhasil menghindar dan malah memukul badan tepat di ulu hati. Aku terbatuk. Luka bekas bertengkar dengan Arfi kemarin belum benar-benar sembuh, dan sekarang harus menimbun luka yang baru.

“Dasar anak kurang ajar!”

Tubuhku terjatuh karena terlampau lemas. Ayah menindih tubuhku dengan tetap memukuli wajahku. Aku tidak bisa menyerang balik, hanya mampu bertahan menutupi wajah. Akan tetapi, itu tidak membuat ayah berhenti menghujami lenganku dengan pukulan.

“ANAK BANGSAT!”

Saat itu, kukira ayah sudah lelah. Emosinya sudah terlampiaskan semua. Namun, ketika membuka mata, kulihat tangan ayah sudah memegang asbak yang terbuat dari kaca. Aku termangu. Detik-detik sebelum benda itu dihantamkan ke arahku, aku sempat melirik ibu yang hanya diam tak bergerak.

Kepalaku pening. Berat untuk membuka mata. Bersamaan dengan ayah yang panik tangannya dipenuhi lumuran darah, kesadaranku perlahan menghilang. Tangisan ibu sudah berteriak meracaukan segala hal. Suara yang terakhir kali kudengar bukanlah tangisan ibu yang menggema, melainkan banyaknya langkah kaki yang menghampiri. Setelahnya, mataku terpejam tak sadarkan diri.

>[•]<


Aku terbangun di ruangan beraroma familiar: obat dan alkohol. Dengan selang infus dipasangkan pada wajah, aku berusaha menggerakkan tubuhku yang kaku. Namun, tidak bisa. Tenagaku belum cukup kuat untuk itu. Jadi yang bisa kulakukan hanyalah memandang ke segala sudut yang masih terjangkau oleh tatapanku. Tidak ada siapa-siapa di ruang persegi ini. Hanya aku dan beberapa alat medis yang tidak kuketahui namanya, serta bebauan khas rumah sakit pada umumnya.

Suasana gelap yang ditampilkan oleh pemandangan di balik jendela menandakan bahwa ini sudah malam. Namun, aku tidak tahu hari ataupun tanggalnya. Dan aku tidak terlalu memusingkan hal tersebut.

Yang ingin kutahu hanyalah kenapa aku masih diberi kesempatan untuk hidup? Apakah Tuhan memberi waktu lebih lama bagiku untuk mengenal jati diriku yang sebenarnya, atau hanya untuk mempertahankan garis takdir yang tidak boleh diabaikan begitu saja?

Entahlah.

Aku tertawa kemudian. Saat itu aku merasa miris pada hidupku sendiri. Jadi tidak ada salahnya menertawakan diri sendiri, tidak akan ada orang lain yang merasa terluka akibat tawa yang kita suarakan.

Rasa penasaran tiba-tiba datang mengenai seberapa hebatnya diriku sampai-sampai Tuhan memberi cobaan berat seperti ini. Sering aku mendengar kalau Tuhan memberi cobaan sesuai kapasitas hambanya. Aku pun penasaran, memang kapasitasku ini sehebat apa?

Pertama, aku tidak diberi keberkahan otak yang pandai, uang yang banyak, ataupun wajah yang rupawan. Tiga keuntungan tertinggi yang membantu seseorang menaiki tangga stratifikasi sosial itu tidak satu pun kumiliki.

Kedua, dikecewakan satu-satunya sahabat yang begitu dibutakan oleh kata cinta. Jujur aku paling tidak mengerti pada permasalahan ini, tapi rasa ditinggal pergi oleh orang yang sangat-amat dipercaya itu terlalu sakit. Percayalah.

Lantas, yang terakhir, hal yang kuanggap sebagai cobaan seumur hidup: dilahirkan melalui benih orang berengsek yang bahkan kian hari kusadari bahwa ia tidak menginginkanku. Sejak awal, kalau begitu untuk apa aku hidup?

Oh, atau, kenapa aku masih diberi kesempatan hidup di saat tidak ada yang begitu mengharapkanku? Bahkan ibuku sendiri, yang kuyakini rasa takutnya terhadap ayah lebih besar, daripada rasa sayangnya kepadaku.

Tuhan menginginkanku untuk tetap hidup, sebagaimana takdir yang sudah Ia gariskan.

Namun, bukankah terlalu egois untuk mempertahankan jiwa yang sudah lelah akan kehidupannya?

Tidak-tidak.

Jangan.

Pemikiran itu harus segera kuhapuskan.

Sudah sakit seperti ini, masih saja mencari masalah dengan Yang Kuasa. Gini-gini aku juga masih takut dengan yang dinamakan sebagai azab atau semacamnya. Jadi lebih baik tidak mencari gara-gara.

Lagi, aku tertawa.

Dari balik selang pernapasan, bibirku menyunggingkan senyumnya penuh sembunyi.

Lebih kencang dari sebelumnya.

Juga lebih miris dari sebelumnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro