Kisah Sebuah Luka yang Berteriak Senyap - Bagian 03
“Gimana, kamu suka gak sama paket yang kukirim kemarin?” tanya Asri antusias. “Kita udah sering ketemu berdua gini, kamu masih aja keliatan kaku begitu. Kenapa, sih?”
Aku diam. Memang benar, ini sudah kali kelima kami bertemu hanya berdua. Tanpa kehadiran Arfi yang seharusnya tahu perihal ini. Pada awalnya aku memang tertarik dengan Asri, tapi semuanya berubah saat ia menghubungiku lebih dulu melalui pesan Instagram yang berbunyi, “Kok Arfi gak pernah cerita punya sahabat kayak kamu, ya?”
Malam itu aku senang. Baru saja siang tadi bertemu dan merasa suka, malamnya ia langsung menghubungiku lebih dulu. Aku tahu Asri itu kekasih Arfi, makanya tidak ada sedikit pun niat untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai segala tentang dirinya. Namun, semuanya di luar prediksi saat Asri yang justru mencari tahu tentangku.
“Pandu, jawab dong ....” Asri merengek, berhasil mengundang perhatian beberapa orang yang juga sedang menikmati kopi mereka masing-masing. “Kamu takut Arfi tahu?”
Aku mengangguk. Seram sekali membayangkan kalau Arfi tiba-tiba datang memergoki. Sulit sekali untuk membuatnya percaya perkataanku. Pasalnya, mereka yang dibutakan oleh cinta selalu sulit membedakan mana yang benar dan tidak. Malah tidak jarang mengesampingkan kebenaran kalau-kalau kebenaran itu berlawanan dengan orang yang dicintainya.
“Kamu gak perlu takut gitu,” kata Asri, tersenyum manis. Dadaku berdetak sedikit kencang. “Arfi gak bakal tau kalau kita ketemu, kok. Dia juga gak tahu kalau aku lebih suka sama kamu.”
Tunggu.
“Apa?”
“Kenapa?” Asri mengangkat alis. “Apanya yang kenapa?”
“Tadi kamu bilang apa?”
Wajahnya kemudian merona merah. “Aku lebih suka sama kamu,” jelasnya.
Detak jantungku semakin menguat. Sial, semoga saja tidak terdengar sebegitu jelasnya. Aku takut ini menimbulkan masalah yang sangat-sangat kuhindari.
“Maaf, tapi aku gak bisa.” Asri terkejut mendengar jawabanku. “Kamu udah punya Arfi, sahabatku. Aku gak mau hubungan kita rusak karena kesalahpahaman ini,” kataku.
Asri mengerucutkan bibirnya. Netranya perlahan-lahan mengalirkan setitik air mata.
“Hei, Asri, kamu kenapa?”
Ia tidak menanggapi, hanya diam dan menangis. Jelas itu melahirkan asumsi perspektif dari beberapa orang di sekitar. Dan itu menghasilkan bisik-bisik tak enak mengenai diriku yang membuat seorang perempuan menangis.
Sial.
“Andai aku kenal kamu lebih dulu, pasti aku lebih milih kamu.”
Itulah kalimat terakhir yang terucap di antara kami. Setelahnya Asri meninggalkanku seorang diri bersama tatapan tajam pasang-pasang mata yang lain. Aku mengembuskan napas mengabaikan. Selama tujuh detik, aku menstabilisasi pernapasan, sebelum akhirnya memasang senyum dan meninggalkan kedai.
Malamnya, aku sedang bersantai di atas kasur saat Arfi mengirimku sebuah pesan.
Arfian Dinantra: Du, gimana kabar?
Pandu Satya: b aja, kenapa, Fi?
Dia tidak menjawab pesanku dengan kata-kata, melainkan sebuah gambar tangkapan layar berisikan percakapannya dengan Asri. Di sana terlihat kalau Asri mengatakan bahwa aku berusaha mendekatinya. Asri bahkan mengirim sebuah rekaman suara, yang Arfi deskripsikan sebagai tangisannya karena rasa takut.
Pandu Satya: fi, lo jangan salah paham. bukan kayak gitu, sumpah. gue bener-bener bisa ngejelasin. sumpah lo harus dengerin dulu dari sudut gue.
Arfian Dinantra: Coba lo jelasin, gue pengin denger.
Pandu Satya: kita ketemu aja di lesehan tempat biasa nongkrong.
Arfian Dinantra: Oke, gue otw sekarang.
Kami pun bertemu di tempat lesehan biasa kami bertemu. Arfi sudah datang lebih dulu. Wajahnya merah padam. Aku mendatanginya segera tanpa berasumsi apa-apa. Namun, ketika jarak kami semakin dekat, Arfi bergerak ke arahku dan menarik lenganku menuju tempat yang lebih sepi.
“Jelasin apa maksud lo deketin Asri.” Ia berkata langsung pada intinya. “Gue kira lo sahabat gue, tapi kenapa mainnya begini?”
Aku tidak paham. “Fi, sumpah. Nih, lo baca dulu.” Kuberikan ponselku yang menampilkan laman pesan Instagram-ku dengan Asri.
Ia membacanya cepat.
“Gimana? Lo percaya sama gue, 'kan?”
Arfi masih menatapku sangsi. “Gue tahu lo suka sama Asri dari pertama kali lo ngeliat dia. Mata lo takjub gitu waktu pertama ketemu,” katanya.
“Gue gak ada niatan buat ambil Asri dari lo!”
“Berarti lo gak nyangkal kalau lo suka sama Asri, 'kan?” sanggahnya. “Gila lo, Pan.”
Jujur aku tidak ingin berbohong. Hal yang diawali oleh keburukan tidak akan pernah menuai kebaikan. Jadi percuma saja aku berbohong saat ini hanya untuk memupuk kebenciannya.
“Gue tau ini bukan salah lo sepenuhnya, tapi gue kecewa karena lo masih aja ikutin apa mau dia, di saat lo tau kalau dia itu udah sama gue!” Arfi membentak hebat. “Lo anjing tahu, gak?”
Aku tersentak. Hatiku berdenyut nyeri. Kumenangis tanpa derai air mata. Kalimat terakhirnya seakan-akan menghancurkan persahabatan kami yang sudah tercipta selama ini.
“Fi, demi apa pun, omongan lo itu keterlaluan,” kataku, “gue emang gak ngelak kalau gue suka sama Asri, tapi bukan berarti gue berusaha ngedeketin dia. Gue tau dia udah bareng sama lo, makanya gue gak deketin dia.”
“Terus maksud lo apa, hah? Asri lebih milih lo yang hidupnya luntang-lantung gak jelas gini, dibanding gue yang seenggaknya punya masa depan sedikit lebih cerah?”
Perkataannya itu benar-benar sudah tidak disaring lagi. Betapa kejamnya dirimu atas diriku, melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepada sahabatnya sendiri hanya karena perempuan yang bahkan belum lama saling mengenal.
“Bangsat! Apa-apaan lo bawa-bawa hidup gua?!”
Arfi terkekeh meledek.
“Gue berusaha dateng ke sini buat jelasin kesalahpahaman ini. Gue kira ini bisa dilurusin, tapi nyatanya lo lebih percaya sama Asri dibanding sahabat lo sendiri!” kataku, penuh emosi. “Lo tuh baru kenal sama dia sebentar, Fi!”
Mata Arfi membelalak. “Ya terus?!”
Aku diam tanpa respons.
“Gue bakal menghabisi masa hidup gue itu sama istri, bukan sahabat. Pikir dong, Tolol!”
“Anjing ... lo tuh bukan suami-istri! Ngomong lo kejauhan buat orang yang baru pacaran beberapa hari!”
Perdebatan kami yang penuh makian itu, berhasil menarik beberapa orang untuk menghampiri. Mereka kebingungan perihal apa yang terjadi, tapi enggan melemparkan pertanyaan. Jadi hanya memperhatikan dari kejauhan.
“BANGSAT LO!” Arfi memukul rahangku keras. Aku tersungkur jatuh, tubuhku langsung ditindih oleh Arfi yang menyatu dengan emosi. “TAI TAI TAI!” katanya, seraya melayangkan pukulan yang bertubi-tubi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro