8. Kepergian Nina
Hana telah mewaspadai para tetangganya. Ia juga berkenalan dan berbincang, demi mencari tahu tentang si pengirim surat secara tidak langsung selama tiga hari terakhir. Akan tetapi, ia tidak menemukan apa pun. Para tetangganya tidak menunjukkan hal-hal yang mencurigakan.
"Sampai saat ini, gak ada yang terlihat mencurigakan. Apa memang surat itu dikirim oleh orang luar?" tanya Hana pada dirinya sendiri. Ia benar-benar bingung dan frustrasi. Surat teror itu terus berdatangan padanya. Tidak hanya membuat cemas, tetapi pesan yang tertulis dalam surat tersebut membuatnya celaka. Tempo hari, kakinya terluka akibat petasan yang datang secara tiba-tiba. Hana yakin bahwa petasan itu berasal dari si pengirim surat.
"Aku benar-benar cemas. Orang ini tidak main-main. Tanpa segan ia melukaiku. Sepertinya dia memiliki dendam padaku." Monolog Hana lagi.
Dering telepon mengalihkan fokus Hana. Ia mengambil ponsel tersebut dari dalam sakunya lalu menggeser ikon telepon bewarna hijau dan meletakkannya di telinga.
"Iya, Bi. Ada apa?"
Wajah Hana seketika berubah pucat pasi setelah mendengar penuturan dari bibinya. Bibirnya bergetar hebat. Air matanya luruh tanpa bisa dibendung sama sekali.
"H-Hana akan pulang sekarang," ucapnya lalu menutup panggilan tersebut.
Hana beranjak dari tempat duduknya. Dengan cepat ia mengambil dan mengenakan jaket sebelum memakai helm. Ia siap berangkat. Akan tetapi, ada Alden yang membuatnya mengurungkan niat sejenak.
"Hana, kamu mau ke mana? Kamu terlihat khawatir," kata Alden memasang wajah bingung.
"Aku harus pulang sekarang, Den. Adikku meninggal," jawab Hana sambil menghapus air matanya yang kembali jatuh.
"Innalilahi. Bagaimana bisa?"
"Aku gak tahu. Aku harus pulang sekarang juga," kata Hana lagi.
Alden berdiri menghadang di depan Hana yang siap melajukan motornya.
"Aku harus pergi sekarang, Den. Aku gak punya waktu untuk meladenimu."
"Biarkan aku ikut. Suasana hatimu sangat kacau. Aku takut kamu celaka jika berkendara sendirian."
Hana setuju dan membiarkan Alden membawa motornya. Sedangkan ia duduk di belakang.
Perjalanan pulang ke kampung halaman itu memakan waktu lebih dari dua jam. Setibanya di sana, rumah Hana sudah dipenuhi banyak orang yang datang melayat.
"Nina!" Hana berteriak sambil berlari menghampiri Nina yang terbaring tanpa nyawa dengan tubuh yang telah tertutup kain.
Hana menangis histeris. Ia tidak pernah menyangka bahwa adiknya akan pergi secepat itu. Meninggalkannya dan ibunya yang masih dalam keadaan sakit.
"Nina, kenapa kamu tinggalin kakak dan ibu secepat ini?" Hana masih terus menangis. Kepergian adiknya benar-benar membuatnya syok.
Seorang wanita mengelus pelan punggung Hana. "Ikhlaskan kepergian adikmu, Han," katanya.
Air mata Hana masih terus berjatuhan sampai sang adik selesai dimakamkan. Matanya bahkan terlihat sedikit membengkak karena tangisnya belum juga reda sampai sekarang.
"Sudah, Han. Ikhlaskan kepergian adikmu. Dia sudah tenang di alam sana sekarang," kata Alden.
"Tapi ini terlalu mendadak, Den," sahut Hana sesenggukan.
"Kematian memang mendadak, Han. Gak ada seorang pun yang tahu kapan nyawa kita akan diambil kembali. Sudah waktunya bagi adikmu untuk pergi sekarang. Kamu jangan bersedih terus. Meskipun adikmu telah pergi, tetapi kenangan-kenangannya masih ada dalam hatimu dan tersimpan rapat. Kamu harus bangkit. Demi dirimu sendiri dan juga ibumu. Kehidupan gak akan berhenti sampai di sini saja, Han," tukas Alden berusaha mengembalikan semangat dan kepercayaan diri Hana. Wanita itu terlihat sangat kacau sekarang.
"Kamu tahu apa sih, Den? Kamu gak tahu gimana perasaanku. Aku telah ditinggal ayah, dan sekarang ditinggal adikku juga? Di saat yang bersamaan, ibuku juga sakit. Kamu gak pernah tahu gimana perasaanku, Den!" cetus Hana tanpa bisa mengontrol emosinya.
"Bukan begitu maksudku. Aku ingin kamu bangkit dan gak terpuruk dalam kesedihan. Aku tahu kamu merasa kehilangan, tapi bukan berarti kamu menganggapnya sebagai akhir dunia."
Hana bangkit dari posisi duduknya. "Semua ini berat untukku, Den," ucapnya lalu pergi.
Alden menatap sedih punggung Hana yang mulai menjauh.
***
Kehilangan Nina membuat Hana sangat terpukul. Rasa sedih itu terus menghinggapinya. Membuatnya tidak bersemangat melakukan apa pun. Hana lebih memilih mengurung diri di kamar.
"Hana, makan, yuk." Seseorang berucap seraya mengetuk pintu. Hana bergeming di tempatnya tanpa berniat menjawab sama sekali. Untuk bergerak saja ia tidak ingin, apalagi jika makan. Ia sama sekali tidak memiliki selera makan.
"Hana, ini ibu."
Suara sang ibu membuat Hana melirik ke pintu yang tertutup rapat itu.
"Ibu tahu kamu sedih kehilangan Nina, tapi kamu tidak bisa begini terus. Kehidupanmu harus berjalan. Ada masa depan yang harus kamu perjuangkan, dan ada ibu yang membutuhkanmu. Ibu tidak ingin kehilangan lagi, Hana. Cukup ayah dan adikmu saja. Ibu tidak ingin kamu seperti ini. Kembalilah menjadi Hana ceria yang selama ini ibu kenal," tukas sang ibu dari balik pintu.
Hana masih diam di tempatnya. Ia melihat sekelilingnya. Ada banyak foto Nina dalam kamar tersebut, karena memang saat ini, ia berada dalam kamar adiknya. Nina baru saja pergi, tetapi rasa rindunya terhadap sang adik sudah semakin besar.
"Aku ngapain sih sebenarnya?" Hana bertanya pada diri sendiri setelah ia menatap foto keluarga yang terpajang di dinding itu.
Potret keluarga yang ada dalam bingkai tersebut kini hanya menyisakan dirinya dan ibunya saja. Sedangkan ayah dan adiknya telah pergi lebih dulu meninggalkan mereka. Sebagai anak sulung, Hana memikul terlalu banyak beban, tetapi ia harus tetap kuat agar dapat bertahan.
"Ibu benar. Aku harus bangkit. Saat ini, hanya tinggal aku dan ibu saja. Jika bukan aku, siapa lagi yang akan mengurus ibu? Aku juga egois. Bukan hanya aku yang kehilangan, tetapi ibu juga. Seharusnya aku tahu itu." Hana bergumam seraya bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah keluar meninggalkan kamar Nina dan menghampiri ibunya.
"Bu, maafin Hana, ya. Hana benar-benar egois. Seharusnya Hana tahu bahwa bukan hanya Hana saja yang merasa kehilangan, tetapi Ibu juga. Jelas Ibu yang paling sedih atas kepergian Nina." Hana berucap sambil mencium punggung tangan ibunya.
Wanita itu mengelus pelan puncak kepala Hana. "Tidak apa-apa. Ibu tahu bagaimana perasaanmu," katanya lembut. "Akan tetapi, kita tidak bisa berlarut-larut dalam kesedihan. Kita harus bangkit dan kembali melanjutkan hidup."
Hana mengangguk. "Iya, Bu. Meskipun berat, Hana tetap akan bertahan. Bagaimanapun juga, ada Ibu yang harus Hana banggakan."
"Nah, benar seperti itu. Kamu telah kembali menjadi Hana yang cerita. Ibu harap kamu tetap seperti ini, ya. Jangan murung lagi."
"Siap, Bu. Hana janji, gak akan murung lagi," balas Hana.
"Sepertinya kamu harus minta maaf dengan temanmu itu. Ibu dengar dari bibimu, kamu memarahinya, ya?"
"Iya, Bu. Tanpa sadar Hana berucap ketus pada Alden. Hana harus minta maaf padanya."
"Kamu gak perlu minta maaf."
Suara itu sukses membuat Hana dan ibunya melihat pada sumber suara.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro