7. Waspada
Kertas yang berisi pesan itu diremas kasar oleh Hana. Ia melemparnya ke sembarang arah sambil mengomel kesal.
"Gila! Itu orang benar-benar ingin mencelakaiku!" ungkap Hana kesal. Hari ini, ia mendapatkan surat teror lagi. Surat dalam amplop berwarna merah yang kembali datang ke rumahnya di pagi hari. Selalu seperti itu. Surat tersebut adalah surat ketiga yang didapatnya.
"Aku harus waspada pada orang-orang yang berada di sekitarku. Siapa pun bisa menjadi si pengirim surat itu." Hana berucap serius pada dirinya sendiri. Jika surat itu bukanlah surat iseng, maka ia harus ekstra waspada.
Ketukan di pintu membuat Hana menoleh pada sumber suara. Ia beranjak dari tempatnya lalu membuka pintu tersebut. Seorang wanita terlihat berdiri di depan pintunya.
"Kamu Hana, si tetangga baru itu 'kan?" Wanita itu bertanya memastikan.
Hana mengangguk pelan. "Iya, Bu. Saya baru tinggal di sini," jawab Hana seadanya.
"Saya membawakanmu makanan. Sebagai ucapan selamat datang, yah, meskipun telat," jelas wanita itu seraya menyodorkan rantang yang sejak tadi dipegangnya.
Hana mengulas senyum tipis. "Terima kasih, Bu, tapi seharusnya Ibu tidak perlu repot-repot," kata Hana tidak enak.
"Saya tidak merasa direpotkan. Kamu terima saja makanan dari saya ini. Dijamin aman kok. Saya tidak memasukkan sesuatu yang berbahaya dalam masakan saya," jelas wanita itu lagi.
Hana menganggukkan kepala pelan. "Terima kasih, Bu," ucapnya sambil menerima rantang yang disodorkan padanya. "Akan saya kembalikan rantang ini setelah dicuci nanti."
"Tidak apa-apa. Santai saja. Rumah saya tepat berada di sebelah rumahmu. Kembalikan kapan pun saya tidak masalah."
"Baik, Bu. Terima kasih."
Hana menatap kepergian wanita yang memberikannya makanan sebagai ucapan selamat datang itu. Ia melangkah masuk ke rumah lalu meletakkan rantang tersebut di atas meja. Rantang bewarna putih itu ditatap lama olehnya sebelum ia menghela napas panjang nan berat.
"Aku jadi was-was. Apakah makanan ini benar-benar tidak berbahaya?" tanya Hana sambil melihat makanan dalam rantang tersebut. Ia baru saja mendapatkan surat teror. Hal tersebut membuatnya harus lebih waspada. Termasuk pada para tetangga, yang bahkan belum dikenalnya.
Hana melihat ke luar jendela. Rumah wanita yang baru saja memberinya makanan itu dapat terlihat jelas. Seorang anak perempuan juga terlihat bermain di pekarangan rumah bersama dengan ayahnya.
"Apakah mungkin jika keluarga ibu itu yang menerorku?" Hana kembali bertanya. Namun, dengan cepat ia menggelengkan kepalanya. "Enggak mungkin. Mereka bahkan gak kenal aku. Begitu juga sebaliknya. Alasan untuk menerorku tidak ada."
Pertanyaan itu dijawab oleh Hana sendiri. Ia beranjak dari tempatnya lalu mendudukkan diri kembali ke tempat semula. Ia melihat soto ayam dalam rantang tersebut. Perutnya mulai keroncongan. Memang, pagi ini ia belum sarapan. Mendadak selera makannya hilang setelah mendapati surat teror yang tidak diinginkan itu.
"Makanannya mubazir kalau dibuang gitu aja. Lagipula, ibu itu gak terlihat memiliki niat buruk. Yah, berdoa aja semoga gak ada apa-apa dalam soto ini." Hana berucap pada diri sendiri sebelum menyendok soto ayam tersebut dan mencicipinya sedikit. Rasanya yang enak membuatnya langsung bergerak ke dapur untuk mengambil piring dan nasi.
Rasa khawatir tentu masih menyelimuti Hana. Sekali pun ia tidak pernah melupakan rasa khawatir atas surat teror yang datang ke rumahnya pagi ini. Namun, ia mencoba untuk berpikir positif dan memilih menghabiskan soto ayam yang diberikan tetangganya itu.
Setelah menghabiskan soto ayam tersebut, Hana melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia harus pergi bekerja hari ini. Kemarin, baru saja ia mendapatkan pekerjaan. Menjadi petugas kasir di sebuah mini market.
"Lakukan yang terbaik, Hana. Sekalipun surat itu datang terus-menerus dan menerorku, aku gak boleh patah semangat," ucap Hana pada diri sendiri sebelum berjalan keluar meninggalkan kediamannya.
Surat teror yang datang pagi ini ke rumah bernomor 94 itu berisi pesan yang memperingatkan Hana untuk hati-hati. Bahwa bukan hanya pekerjaan saja yang bisa direnggutnya dari Hana, tetapi keselamatannya juga. Hal tersebut membuat Hana harus berkendara dengan hati-hati. Jangan sampai pesan yang dituliskan si pengirim surat itu benar terjadi.
"Fokus, Hana. Berkendara dengan pelan gak apa-apa. Asal kamu selamat," ucap Hana dalam hati. Ia terus menajamkan indera penglihatannya sambil melihat sekelilingnya.
Akhirnya, setelah perjalanan yang lama dan melelahkan, Hana sampai di mini market dengan selamat. Ia menghela napas lega sambil melepaskan helm.
"Alhamdulillah sampai dengan selamat.
Kedua kaki itu dibawa melangkah memasuki mini market. Tanpa basa-basi lagi, ia langsung memposisikan diri di pos kasir.
***
"Banyak yang datang hari ini. Aku lumayan capek." Hana bergumam sambil merenggangkan tubuh. "Bu, saya pulang duluan, ya."
Hana melangkah keluar dari mini market setelah berpamitan pada ibu pemilik. Selain itu, jam kerjanya juga sudah habis. Ia tidak ingin berlama-lama berada di sana, karena Hana akan mulai melakukan penyelidikan pada tetangga-tetangganya. Ia akan bertanya tentang si pengirim surat beramplop merah tersebut.
Perjalanan Hana dari mini market ke rumah memakan waktu lebih lama dari sebelumnya. Adanya kecelakaan membuat langkahnya tersendat. Ia harus memutar balik kendaraannya ke arah yang berbeda.
"Sekalipun aku takut, aku gak akan menyerah begitu saja. Aku akan mencari siapa si pengirim surat teror itu," ucap Hana dengan gigi yang bergemeretak. Ia kesal, sebab, kecelakaan sebelumnya hampir menyeretnya juga. Ia hampir celaka.
Aksi penelusuran dan pencarian informasi itu dimulai dengan tetangga yang sebelumnya memberikan makanan. Hana mengetuk pintu rumah bewarna merah maroon itu.
"Permisi." Hana berucap sopan.
Tidak lama, seorang wanita membukakan pintu untuk Hana. "Ah, Hana. Ada apa?" tanya wanita itu sedikit bingung.
"Saya hanya ingin mengembalikan rantang ibu. Saya tidak bisa membalasnya, tapi saya memberikan beberapa bungkus roti untuk ibu dan keluarga." Hana menyerahkan rantang dan sekantung plastik berisi roti pada wanita tersebut.
"Kamu repot-repot sekali, Hana. Ibu tidak mengharapkan balasan apa pun," ucap wanita itu segan.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya ikhlas memberinya. Ada satu hal yang ingin saya tanyakan juga pada ibu."
Ucapan Hana sukses membuat wanita itu mengkerutkan kebunnya. "Apa yang ingin kamu tanyakan?"
Hana menarik napas dalam lalu mengembuskan napasnya perlahan. "Apakah Ibu pernah melihat seseorang yang mencurigakan di sekitar rumah Hana?" tanyanya to the point.
"Orang yang mencurigakan? Sekali pun Ibu tidak pernah melihat adanya seseorang yang datang ke rumahmu. Kecuali laki-laki yang sempat mengantarmu pulang hari itu. Ya, hanya dia yang Ibu tahu. Itu pun bukan orang yang mencurigakan. Dia temanmu 'kan?"
Hana mengangguk. "Iya, Bu," jawabnya. Laki-laki yang dimaksud wanita itu adalah Alden.
"Memangnya ada apa, Hana?" Apakah ada seseorang yang mengganggumu?"
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro