
Bagian 9
Disclaimer
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Mulmed © Original Artist
Story © Panilla IceCream
Warning~!
OOC, Typos, Bad EBI, dll
•••Enjoy•••
"Tapi dari mana mereka tahu, nanodayo?" tanya Midorima sembari menaikkan kacamatanya yang sedikit bergeser dari posisinya, tak peduli kalau keadaan mereka saat ini tengah terdesak.
"Karena orang yang kita cari itu pintar, tentunya dia sudah memperkirakan hal ini," balas Akashi.
Netra heterokromnya memandang ke sekelilingnya.
"Lagipula ...," lanjut Akashi seraya menggantungkan ucapannya, "sebelum kita masuk lewat sini, ada cermin yang menangkap bayangan kita. Kita sangat ceroboh kali ini ..., maaf aku tak menyadarinya."
Refleks, Aomine, Midorima, dan Kuroko pun ikut memandang ke sekeliling mereka. Benar saja, mereka menjumpai beberapa cermin yang terpasang di lorong, bahkan ada di dekat mereka pula.
"Kalau begitu, posisi kita terdesak, Akashi-kun," jelas Kuroko.
"Ya, walau kita mengetahui posisi musuh seperti yang kita lihat sekarang, tetapi posisi kita lah yang dirugikan," sambung pria berkulit tan itu, "kita tak tahu ada berapa jumlah pasti dari orang-orang yang berjaga di pos itu."
Akashi memejamkan iris heterokromnya sejenak.
"Kalau dia pintar, seharusnya dia akan tetap di sana dan menghalangi jalan kita ke lift," gumam Akashi.
Lelaki berambut crimson itu menghela napas sejenak, kemudian mengeluarkan Glock-17 miliknya dari saku pakaian yang dia kenakan.
"Tetsuya, kau bisa cek peluru yang jatuh darinya atau menempel di dinding sebelah sana?" tanya Akashi tanpa menoleh pada rekan baby blue-nya itu.
Kuroko gelagapan sejenak, tetapi pada akhirnya dia menaati perintah pria itu dan menyipitkan kedua matanya untuk melihat ke peluru yang berada cukup jauh darinya.
"M-60, Akashi-kun."
Senyuman tipis terukir di wajah Akashi.
"Daiki, kau menggunakan kevlar*, 'kan?"
Aomine mengangkat alisnya sejenak, tak paham dengan arah pembicaraan pria yang memiliki netra heterokrom itu.
"Huh? Tentu saja, aku anggota kepolisian."
"Bagus," jawab Akashi, "aku akan membuatnya menghabiskan peluru—yang kupikir hanya tersisa lima—kemudian kau maju menahannya, bagaimana?"
Aomine membulatkan matanya. Rekan sekaligus atasannya ini ... benar-benar kurang ajar.
"Terserah kau saja."
[][][]
Kobori berdecak kesal, pergerakannya melambat karena dia harus memapah Kise yang dibalut kakinya karena terkena tembakan peluru dari Tsugawa.
"Benzena atau nitrat tadi hanya bisa menahannya," gerutu Kobori, "dia akan kembali."
[Name] terkekeh, terutama saat ia melihat perubahan mimik Kise yang kini menunjukkan raut wajah kesal.
"Kau membuat Kise marah, lho, Koji-nii," ujar [name].
Pos keamanan yang mereka cari sudah dekat, dan akhirnya mereka pun bersembunyi di balik dinding untuk menyusun rencana.
"Kise, kau bisa menembak?" tanya [name].
Kise mengangkat bahu sembari berujar, "Entahlah, aku belum pernah mencobanya."
Kobori dan [name] saling pandang sejenak.
"Uh, begini ... aku dan kau bisa bela diri," jelas [name], "tetapi keadaanmu sedang tak memungkinkan."
[Name] pun menyerahkan FN-57 milik Tsugawa yang dibawanya itu pada Kise.
"Jika ada sesuatu, tembak saja," ujar Kobori, "kupikir mereka juga sudah mengerti kalau aku memberontak—tapi bisa saja belum."
Kise menggenggam pistol semi-otomatis itu erat.
"Aku berharap pada opsi yang kedua, ssu."
[Name] tertawa kecil dan menepuk bahu milik lelaki berambut pirang itu.
"[Name]," panggil Kobori, "setelah kita berhasil lolos, aku akan memberi tahu sesuatu padamu."
[Name] menaikkan sebelah alisnya, tak paham akan perkataan Kobori. "Apa yang kau ... maksud?" tanya [name]. Kobori mengulas senyuman tipis di wajahnya sembari berujar, "Dilihat dari gelagatmu, kau belum membaca isi surat pertama."
Tubuh [name] menegang sesaat. Mimik wajahnya berubah sendu.
"Aku ...." [Name] menggantungkan ucapannya dan menatap iris cokelat milik Kobori. Ia menghela napas sejenak kemudian menggelengkan kepalanya.
Kobori menatap intens adik dari sahabatnya itu sembari menepuk singkat puncak kepalanya. "Dan soal surat yang kedua, itu juga dari kakakmu. Tanggalnya sudah dekat, dia tak akan mau diajak bertemu kalau tidak di tanggal itu," jelas Kobori.
[Name] tak merespon, tetapi indera pendengarannya menangkap perkataan Kobori, dan Kobori rasa hal itu sudah cukup.
"Aku tak mengerti apa yang kalian bicarakan, tapi bisakah kalian cepat, ssu? Nyawa kita tengah di ujung tanduk, ssu!" gerutu Kise, merasa kesal dengan kedua orang di dekatnya yang tampak sedang membuang-buang waktu mereka yang berharga.
Kobori menghela napas, sedikit menundukkan kepalanya. Dia sedikit mengintip ke arah pos penjagaan.
"[Name], aku akan maju duluan. Nanti akan kuberi kode untukmu maju dan menyerang."
[Name] mengangkat sebelah alisnya.
"Oke, aku mengerti. Kise, nanti cukup ikuti saja."
Kise mendengkus samar. "Aku sudah tahu itu, [name]-cchi."
[][][]
"Kapan kita sampai di gedung, huh?" tanya pria jangkung bermata sedikit sipit dan berambut cokelat pada rekannya yang berada di mobil yang sama.
"Tak bisakah kau bersabar sedikit, Susa-san?" ujar rekannya itu.
Susa cepat-cepat menambahi, "Jangan mengatakan maaf—"
"Sumimasen, Susa-san! Maaf aku sudah berkata buruk padamu! Sumi—"
"Hentikan itu, Sakurai," jawab Susa sembari menghela napas dan memijat keningnya.
Dia merasa jengah dengan salah seorang anak buahnya itu, karena dia sering sekali mengatakan 'maaf'. Namun, hasil kerja Sakurai sangat baik—
Susa jadi mengerti, alasan [name] menemui Akashi Seijuro yang baru dia ketahui juga merupakan seorang detektif. Sakurai juga bisa memata-matai [name], adik Kasamatsu Yukio, tanpa menimbulkan rasa curiga.
"Jadi, Tsugawa sudah menahan [name]?" tanya Susa.
Sakurai mengangguk cepat.
"Nah, Kasamatsu, aku akan segera bertemu denganmu ...," gumam Susa.
[][][]
"Paman."
Pria yang dipanggil paman itu menoleh sejenak, setelahnya si 'paman' itu mengulas senyum di wajahnya.
"Kenapa, Kasamatsu?"
Kasamatsu menghela napas dan mengendikkan bahunya.
"Aku mengkhawatirkan [name] ...."
Tepukan di bahu dirasakan oleh pria berambut hitam itu.
"Kau yang biasanya marah-marah, bisa terlihat khawatir juga, huh? Serahkan semuanya pada Kobori di sana," ujar sang 'paman'.
Kasamatsu menundukkan kepalanya sejenak dan berujar, "Kuharap mereka baik-baik saja, Aida-san."
[][][]
Akashi menghitung mundur, dan sesaat kemudian dia memamerkan Glock-17 miliknya ke musuh dan menembakkannya ke sembarang arah.
Seperti dugaan pria berambut merah itu, musuh langsung balas menembaknya, tetapi Akashi sudah menarik tangannya dan berlindung kembali di balik dinding.
"Shintaro, kau juga tembaklah!" bisik Akashi dengan sedikit menggerutu.
"Sebenarnya aku punya yang lebih bagus, nanodayo."
Aomine, Kuroko, dan Akashi menatap pemuda berambut hijau itu.
"Bom asapku akan berguna, nanodayo."
Ketiga pria itu menghela napas bersamaan.
"Kenapa kau tak bilang dari tadi, Midorima/Midorima-kun/Shintaro?"
Midorima menaikkan kacamatanya yang sedikit bergeser dari tempatnya semula, kemudian mengeluarkan tabung kecil yang merupakan smoke bomb itu dari kantong kecil yang terpasang di ikat pinggangnya.
"Kalian—terutama kau, Akashi—tak bertanya padaku mengenai ini, nanodayo."
[][][]
Kobori menghampiri pos penjagaan, membuat beberapa orang di sana menoleh dan menatapnya.
"Kau sudah menangkap tahanannya, Kobori-san?" tanya seorang pria, rekan kerja Kobori dan Tsugawa.
"Ya, sudah," jawab Kobori singkat.
Pria berambut cokelat itu memperhatikan rekan kerjanya satu per satu, menghitung jumlah mereka semua.
"Kenapa hanya ada dua orang di sini—ditambah aku dan Tsugawa?" tanya Kobori.
Sakamoto, salah satu dari dua orang itu berujar, "Kau lupa, Kobori? Kita sedang mempersiapkan rencana yang ada di gedung pertemuan yang dalam waktu dekat akan dilaksanakan itu, tentu saja akan menggunakan banyak tenaga. Maka dari itu Susa-san akan kemari membawa rekan-rekan kita pula. Oh, yang lain berjaga di bawah, dan di dekat ruang persenjataan."
Kobori menggaruk kepalanya yang tak gatal, sementara [name] yang tengah mengintip menjadi salah tafsir dan langsung berlari mendekati Kobori dengan diikuti Kise di belakangnya.
Sakamoto membulatkan matanya melihat dua tahanan yang tiba-tiba ada di dekat Kobori, menjadikannya berpikiran negatif mengenai rekan kerjanya itu.
"Kobori? Apa maksudnya ini?"
Kobori menghela napas, mengingat adiknya Kasamatsu itu sering gegabah dan terburu-buru jika dalam kondisi yang super tegang.
"Maaf, Sakamoto, Akahoshi."
Kobori langsung maju dan meninju wajah Sakamoto, sementara [name] langsung mengeluarkan tendangannya ke pria yang dipanggil Akahoshi oleh Kobori. Kise berjaga-jaga, siapa tahu ada orang lain naik ke lantai dua atau Tsugawa sudah kembali dari 'insiden api'nya.
[][][]
Akashi membidik dengan sembarangan dari balik dinding dan nampaknya dia mengenai seseorang, karena dia bisa mendengar suara rintihan. Tetapi tak lama, dia disambut oleh peluru—yang untung saja Akashi sudah mengamankan tangannya terlebih dahulu. Orang yang memegang pistol jenis M60 itu terdengar berteriak, meminta bantuan temannya.
Langsung saja Midorima melemparkan bom asap ke arah lawan.
"Mereka membawa granat, Bung!"
Kepulan asap pun tak lama kemudian keluar dari bom asap yang dilemparkan Midorima tadi. Aomine dengan langkah yang besar dan cepat pun maju sambil menembakkan peluru dari pistolnya, memanfaatkan kondisi lawan yang tengah goyah karena bom asap yang dibawa Midorima. Akashi pun turut serta 'bermain' dengan Glock-17 miliknya, juga Midorima yang kemudian mengeluarkan Government 1991 dan ikut menembak bersama Aomine dan Akashi.
Kuroko dengan memanfaatkan hawa keberadaannya yang tipis, mendekati salah seorang lawan dan sesudahnya memukul tengkuk lawannya—untuk membuatnya tak sadarkan diri.
"Sekarang, ke elevator!" seru Aomine sambil tetap menembak dan membuat ketiga teman-temannya berlari ke arah lift.
To Be Continue
Kevlar = rompi anti peluru.
M6 = revolver
FN-57, Glock-17 = pistol semi otomatis.
Colt 91, Government 1991 = pistol biasa ... if i'm not mistaken.
Sorry untuk overduenya T_T Pani tengah sedikit sibuk di RL, tapi akan Pani usahakan kembali produktif dan tepat waktu ^^
Well, semoga kalian suka dengan chapter ini dan semoga juga chapter ini sedikit menjawab rasa penasaran kalian~
And, maaf kalau ... pendek seperti biasa. Well, daku akan terus berusaha menaikkan jumlah words T_T doakan aku.
Akhir kata, Danke~ Terima kasih atas support kalian untuk buku ini ^^
Cheers,
Panilla Ais Krim
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro