Bagian 1
Disclaimer
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Media © Creator
Story © Panilla_IceCream
.
.
.
Warning!
OOC, Lot of Typos, Bad EBI, Unlogic, Absurd, dll.
.
.
.
Enjoy Reading!
"Ah, terima kasih, Akashi—"
"Kemarikan surat itu dulu, (name)," potong Akashi cepat. Semakin lama menghabiskan waktu, otaknya tidak bekerja, itu akan menurunkan performa kinerjanya.
(Name) mengangkat bahunya sejenak dan melangkahkan kakinya mendekati Akashi. "Ini," ujar (name) sembari mengulurkan tangannya—memberi surat itu pada Akashi.
Akashi mendekatkan amplop surat itu pada hidungnya untuk mencium aroma surat tersebut.
"Kakakmu berada di suatu tempat yang banyak terdapat zat-zat kimia ... mungkin pekerjaannya berkaitan dengan hal tersebut, apa aku benar?" tanya Akashi.
(Name) mengerjapkan matanya, dan kemudian menaikkan bahunya. "Aku tak tahu, aku sudah lama tak berjumpa dengannya," jawab (name).
Akashi mengangguk kecil dan memberi kode pada Midorima untuk mendekat padanya.
"Shintaro, kau seorang dokter, bukan? Kau tahu bau apa ini?" ujar Akashi sambil menyodorkan surat itu pada Midorima.
Midorima pun mendekatkan amplop surat itu ke hidungnya dan mengendus bau dari surat tersebut. "Bau ini ... manis. Benzena, nanodayo? ujar Midorima. Pria berambut hijau itu lantas mengembalikan surat tersebut pada Akashi.
"Benzena?" tanya (name) tak mengerti.
"Zat kimia yang mudah terbakar," jelas Akashi, "kapan terakhir kali kau berkirim surat atau berkomunikasi dengan kakakmu?"
(Name) memegang dagunya dan nampak berpikir sejenak.
"Ini surat kedua. Kakakku tidak pernah memberitahu alamat tempat tinggalnya, sehingga aku tak bisa membalasnya. Seingatku beberapa hari ini."
"Hmm ... ini menarik," gumam Akashi.
"Kakakku ... meninggalkanku bertahun-tahun yang lalu," lirih (name), melanjutkan ceritanya.
"Maaf?" tanya Midorima.
"Saat aku pulang dari sekolah, orang tuaku dalam keadaan terbunuh. Aku tak menemukan keberadaan kakakku. Kupikir, ia juga tewas. Berkat suratnya, aku mengetahui ia masih hidup—di suatu tempat."
Akashi mendengarkan cerita dari kliennya itu seraya membuka amplop dengan cekatan.
"Boleh kubaca?" tanya Akashi.
(Name) meresponnya dengan anggukan. Akashi pun membuka lipatan-lipatan kertas itu.
Dear (name),
Apa kabar? Aku harap kondisimu baik-baik saja.
Ini surat keduaku, ya? Maafkan aku yang jarang mengirim surat padamu. Salahkan kesibukanku.
Ah, aku sangat merindukanmu dan ingin bertemu denganmu.
Bisa kau ke tempat ini?
353931, 1394444
Kita akan bertemu saat 'ke-12 figur diangkat'.
Kau pintar, (name), kau akan bisa memecahkannya.
Sampai ketemu, (name).
Kakakmu.
"Menarik," gumam Akashi seraya melengkungkan bibirnya ke atas. "Menurutmu, angka ini apa, (name)?" tanya Akashi sambil menunjuk surat yang terbuka pada kliennya.
(Name) melihat surat itu dengan saksama. "Menunjukkan tempat? Sebuah lokasi?" jawab (name) ragu-ragu.
"Itu koordinat, nanodayo," jawab Midorima cepat sambil menaikkan kacamatanya.
"Bagus, kau memang asisten yang pintar, Shintaro," puji Akashi.
"Aku bukan asisten—"
"Koordinat ini adalah Tokyo Tower," ujar Akashi memotong ucapan Midorima setelah pria itu meneliti angka-angka yang tertera pada suratnya.
"Tapi aku akan menemanimu, (name)," sambung Akashi.
(Name) menatap Akashi intens—tanda ia tak paham dengan perkataannya. "Apa kau bisa simpulkan ini benar-benar dari kakakmu? Kau bahkan tak pernah bertemu dengannya, bukan? Bisa saja orang ini berniat mencelakaimu," jelas Akashi.
"Akashi benar, nanodayo," ujar Midorima sembari menaikkan kacamatanya.
"Tapi—" Ucapan (name) terpotong dengan ketukan pintu yang terdengar keras.
Akashi berdehem sejenak, "Masuk!"
Pintu pun terbuka, dan terlihat raut wajah Aomine yang tegang.
"Ada apa, Daiki?" tanya Akashi.
"Ada kasus pembunuhan, Akashi."
Akashi menaikkan alisnya,
"Pembunuhan biasa atau ada hal yang lain?"
Aomine menelan ludahnya sesaat,
"Anggota dewan terbunuh oleh peluru. Tetsu saat itu sedang mengikuti orang yang kau curigai. Tapi orang itu mengetahui bahwa dirinya diikuti. Kuroko tertembak di pahanya—"
"Tunggu, itu berarti Tetsuya mengetahui pembunuhnya? Bukankah itu mudah?" potong Akashi.
Aomine menggelengkan kepalanya, "Tetsu tak mengetahuinya, karena orang itu mengenakan topeng untuk menutupi wajahnya. Lagipula dia tak tahu, pelakunya benar 'dia' atau bukan," jelas Aomine.
Midorima memasang raut wajah seriusnya dan menatap rekan merahnya itu. Akashi berpangku tangan dan menghela napas sejenak.
"Baiklah, kita akan turun ke TKP."
Baru saja Akashi akan beranjak, (name) menghalanginya.
"Bagaimana denganku, Akashi?" tanya (name), "aku tak bisa di sini sendiri."
"Di sini lebih aman, nanodayo," sela Midorima.
Akashi nampak menimbang sejenak. Kemudian pria merah itu menarik lengan (name).
"Akan lebih aman kalau aku yang melindungimu langsung, (name). Jika pemikiranku tak salah, kakakmu ada kaitannya dengan ini."
Mata [eye colour] (name) melebar mendengar perkataan Akashi.
"Apa? Kakakku bukan kriminal—"
"Bisa kau jelaskan, kenapa kau sangat yakin kalau kakakmu bukan seorang kriminal? Kau bahkan tak pernah berjumpa dengannya bertahun-tahun. Intuisiku berkata demikian."
(Name) merasa tertohok dengan perkataan Akashi yang masuk akal, tapi tetap saja menuduh orang lain itu jahat, bukan? Midorima dan Aomine menatap (name) khawatir.
"Itu berlebihan, Akashi," timpal Midorima.
Akashi mendengus kesal, "Aku absolut, Shintaro."
°°°
(Name) menutup mulutnya dengan telapak tangan saat melihat kondisi mayat yang ada di TKP. Lubang peluru bersarang di beberapa bagian tubuh mayat tersebut.
"Akashi-san, ini peluru yang Anda minta," ujar seorang petugas pada Akashi sambil menyerahkan plastik bening berisi peluru yang langsung diterima oleh Akashi.
"Akashi," panggil Midorima, "nampaknya peluru tersebut mengandung racun."
"Eh?" tanya (name) tak mengerti.
"Kau benar, Shintaro."
"Bagaimana kalian bisa tahu?" tanya (name).
"Mudah saja. Nah, kita akan mengetahuinya saat uji lab dan otopsi nanti," jelas Akashi.
Aomine menatap kantong plastik berisi peluru yang dibawa oleh Akashi dan berucap,
"Kalibernya sama dengan peluru yang ada di paha Kuroko. Namun, pihak rumah sakit mengatakan tak ada racun di tubuh Kuroko."
"Kerja bagus, Daiki. Aku akan menunggu hasil otopsi," jawab Akashi.
Aomine pun izin untuk kembali bertugas.
"Akashi, bagaimana kau bisa tahu kalau peluru itu beracun?" tanya (name) saat Aomine sudah meninggalkan mereka.
"Mudah saja. Peluru itu masuk di tempat yang tidak terlalu vital, bahu. Tapi darah yang keluar tidak terlalu banyak dan genangannya hanya berada di satu tempat—dengan kata lain, korban tidak banyak bergerak. Jelas sekali dia mati karena kandungan racun yang ada di peluru itu," jelas Akashi panjang lebar dengan raut wajah yang datar.
(Name) mengangguk paham, kemampuan Akashi memang sangat hebat.
"Ini belum seberapa, (name). Ah, sebaiknya kita mengunjungi Tetsuya, benar begitu, Shintaro?"
Midorima menaikkan kacamatanya sambil menganggukkan kepalanya. Baru akan beranjak dari tempat itu, (name) mendengar suara tembakan yang mengenai dinding tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Akashi!" seru (name).
Gadis itu cepat-cepat berlindung di balik tubuh Akashi sambil memegangi mantel yang Akashi kenakan dengan erat.
"Tidak apa," bisik Akashi untuk menenangkan kliennya itu.
"Mereka bodoh sekali," gumam Akashi, "Shintaro, perintahkan beberapa anggota kepolisian untuk berjaga-jaga di luar."
°°°
"Kau bodoh?" geram seorang pria pada rekannya. Mereka tengah ada di atap gedung.
"Gomen," ujar seorang pria dengan tubuh jangkung—mungkin pada atasannya.
"Sudah aku katakan, jangan tembak gadis itu, kau hanya perlu mengawasinya. Tch, detektif sialan itu ...," geram si atasan.
Saat dia melihat banyak polisi ke luar dari tempat pembunuhan itu, dia segera menarik tangan si bawahan untuk pergi dari tempat itu agar tak ketahuan.
°°°
"Tak ada apapun di luar, Akashi," ujar Midorima.
Akashi masih asyik berkeliling di TKP dan mengacuhkan Midorima.
"Akashi?" panggil Midorima lagi.
Midorima mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dan tak menjumpai (name) di mana pun.
"(Name) di mana, nanodayo?"
Akashi berhenti berjalan dan menatap asisten hijaunya itu.
"Aku menyuruh Daiki menemaninya membeli minum. Aku masih memikirkan kasus ini," jawab Akashi.
Iris heterochrome-nya menjumpai kartu dengan lambang mawar biru di pojok ruangan.
"Shintaro," panggil Akashi, "kau ingat pembunuhan anggota dewan beberapa minggu yang lalu? Kau ingat kartu ini?"
Midorima mendekati Akashi dan nampak terkejut melihat kartu yang dipegang Akashi.
"Mereka lagi," gumam Midorima, "pergerakan mereka sangat rapi, nanodayo. Sulit untuk menangkap mereka."
Akashi memijit kepalanya. 'Musuh'nya kali ini bukan kriminal biasa.
"Kita ke tempat Tetsuya, sekarang. Aku akan menyuruh Daiki menyusul bersama (name)."
°°°
"Akashi-kun?" panggil pemuda berambut biru muda saat mendapati Akashi Seijuro di kamarnya.
"Bagaimana keadaanmu, Tetsuya?" tanya Akashi.
"Baik. Ah, kau sudah ke TKP?" tanya Kuroko Tetsuya—pemuda yang saat ini terbaring di kamarnya itu.
"Sudah. Aku tidak menemukan bukti yang berarti. Hanya kartu, dan peluru yang beracun," jelas Akashi.
Kuroko menghela napas, "pelakunya bukan 'orang' yang kau maksud, Akashi-kun."
"Bagaimana mungkin?" tanya Midorima.
"Orang yang menembakku mengenakan topeng. Dan dari hasil pengamatanku selama ini, 'orang itu' tak pernah bertemu dengan orang berperawakan besar seperti yang sudah menembakku."
"Orang suruhan?" gumam Akashi.
"Bisa jadi, nanodayo."
"Aku tertipu oleh kartu sialan itu," geram Akashi sambil memijit keningnya sendiri.
"Kalau tak salah, 'orang yang kau maksud' mengincar seorang pianis. Aku tak tahu pianis itu, mungkin tak terlalu terkenal," sambung Kuroko.
"Mereka mengincar (name)," lirih Akashi, "tapi untuk apa?"
"Akashi, sebaiknya kau beristirahat. Mungkin kau lelah hingga kau bisa tertipu dengan kartu itu, nanodayo."
"Ya," jawab Akashi, "sebaiknya kita melindungi (name) sampai ia aman dan kita mendapat petunjuk."
"Maksudmu?"
"Ia akan tinggal bersama kita."
To Be Continue
Yup! Chapter 1 akhirnya selesai juga.
Pendek? Maafkan Pani hiks ;;3;; ke depannya akan Pani panjangin~
Genre ini sedikit sulit untuk Pani, huehehe. Pani butuh melakukan riset dan berpikir lebih dalam.
Oleh karena itu, jadwal publish book ini adalah seminggu sekali—Pani akan apdet setiap hari Minggu.
Oh, mind to vomment and follow?
Cheers,
Panilla IceCream
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro