Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Scifer • Pengakuan (Monster)

Bedah Buku

Pengakuan (Monster)

Karya

arvrafli

Blurb

Seorang pemuda bergabung dengan prajurit khusus untuk melindungi negaranya dari monster. Tetapi, apakah monster itu benar-benar ada?

Kilas Balik

Menulis cerpen adalah sebuah tantangan baru bagi saya.

Ketika saya dihadapkan dengan pilihan untuk menulis sebuah cerpen, spontan saya akan menolaknya. Namun, ketika saya mendadak dipilih untuk menulis cerpen dalam Event Kemanusiaan yang diselenggarakan Black Pandora Club beberapa waktu lalu (lagi pula saya juga tidak bisa berdalih lagi), mau tidak mau saya harus menerimanya.

Selama sepekan saya mencoba menguras otak saya untuk berpikir apa yang akan saya tulis sebagai bahan yang akan diajukan untuk acara tersebut, hasilnya nihil. Namun, beberapa hari sebelum tenggat waktu, saya teringat sebuah kutipan dari sebuah komik fiktif dalam serial Station Eleven, "To the monster, we're the monster". Yang mana, baris tersebut saya adaptasi sebagai kalimat dalam cerpen saya dan saya akui saya cukup menyukainya.

Dari sanalah lahir rencana awal untuk menulis cerpen tentang pengakuan seorang remaja yang tinggal di pemukiman miskin Meksiko bernama Rafael setelah kembali sebagai satu-satunya orang yang kembali hidup-hidup dari permainan survival dengan imbalan satu juta dolar. Dengan rencana menulis seperti kesaksian dalam film dokumenter, saya ingin menghadirkan pengakuan Rafael yang harus menyingkirkan nuraninya demi uang satu juta dolar. Akan tetapi, ketika sebagian cerpen saya tulis, saya stuck. Akhirnya sehari sebelum deadline, dengan mengadaptasi ide cerita ini dari salah satu episode Black Mirror yang berjudul Men Against Fire, lahirnya cerita ini (dalam versi low budget).

Resensi


"Bagi kita, merekalah monsternya. Tetapi hagi para monster, kitalah monsternya."

Saya akui kalimat tersebut cukup menarik dijadikan sebagai pembuka. Di awal paragraf sendiri, si narator mengajak kita merenungkan eksistensi kita sebagai seorang manusia ketika dihadapkan dengan eksistensi monster. Narator ragu-ragu akan eksistensinya, yang mana ia mendaftar pasukan khusus yang bertujuan untuk melenyapkan eksistensi para monster itu sendiri. Lantas ia mulai mempertanyakan apa bedanya kita dengan monster jika kita sendiri bertindak seperti monster juga?

Namun menjelang pertengahan menuju akhir, terasa ada yang kurang. Dan saya tahu di mana kurangnya seperti dialog terasa hambar dan agak kurang berbobot untuk ukuran sebuah cerpen. Seperti ketika si tokoh utama mencoba menemui Dokter Walsh, tapi ia malah dihadang seorang perawat. Yang terasa amat aneh dan canggung. Juga di bagian menjelang penutup. Selain itu, karena penulisan yang buru-buru, banyak yang kalau dikembangkan sedikit lagi, mungkin bisa lebih baik.

Tertanda,

Oscar / Arvrafli

Review

1. Syifa

GILA TAPI GANTUNG BANGET!!

Kurang lebih aku nangkep deh maksudnya apa meski tersirat banget pesannya. Cuman itu diakhir kek kurang narasi dari korbannya yang jelasin misalnya mereka dari kaum apa gitu yang mau dimusnahin total dari peradaban bumi (misalnya). Trus hapus juga dialog "...Inilah blablbla" dari perempuan yang jadi korban itu, kesannya jadi cringe. Sisanya mantep betul.

Komentarku kayaknya begini aja deh. Tapi asli dystopianya masuk.

2. Ram

*Thrilling, misterius, dan penuh kejutan.*

Ketika pertama kali menyentuh opening line-nya, saya jadi teringat sebuah paradoks yang menarik antara dua persepsi dan sudut pandang yang berbeda, dan saya rasa, tema dehumanisasi yang dibawakan Oscar dalam cerpen ini berhasil menggambarkan kompleksitas moral serta propaganda pemerintah dalam konteks perang.

Saya sendiri adalah penikmat atmosfer yang tegang dan suram, terutama saat MC dan kelompoknya menjelajahi hutan dan menemukan pondok jerami yang misterius. Ada ketegangan yang konstan di sana, perasaan waspada tentang sesuatu mengerikan yang mungkin bersembunyi di dalam kegelapan.

Namun, ada beberapa titik di mana cerita bisa lebih dikembangkan, terutama dalam mengeksplorasi latar belakang dan alasan di balik konflik tersebut. Cerita ini juga terkesan ditulis dengan tergesa-gesa sehingga sedikit menghilangkan kenikmatan dalam membacanya. Saya harap, penulis sudi untuk mempertimbangkan penambahan beberapa detail lebih lanjut agar dapat memperkaya pengalaman membaca dan menambah kedalaman narasinya.

Overall, "Pengakuan (Monster)" adalah cerita yang sangat kuat dan menggugah pikiran saya. Dan saya rasa, cerita ini sangat cocok bagi mereka yang menyukai tema-tema seputar pertanyaan moral dan penuh kejutan.


3. Kahn Ivoræ

[Toughts on] : Cerita Pendek ini adalah semacam refleksi diri manusia saat ini. Kamu percaya, secara membabi buta pada apa yang semata-mata hanya kamu lihat dan dengar dan bagaimana kebodohan itu menabrak alam kesadaran mereka lama setelahnya. Penulis mengarang dengan apik—tidak kurang, tidak lebih. Namun sayangnya menunggu pemicu dari bom waktu dari Cerita Pendek ini sia-sia. Kenapa? Mengapa? Bagaimana? Apa yang telah dilakukan secara tidak benar—konflik apa—hingga mereka bisa disebut sebagai Monster dari pihak Protag? Kenapa Monster ini perlu dilenyapkan?? Rasanya alasan soal karena Monster ini menyerang penduduk setempat kurang memuaskan. Akar masalahnya. Aku ingin tahu akar masalah yang sesungguhnya.

[Favorite Line] : "Kita hanyalah kaki tangan yang berkuasa dan kacung pemerintahan"

4. Gilang Gazi

Satu kata : Cinema!!

"Bagi kita, merekalah monsternya. Tetapi hagi para monster, kitalah monsternya."

Terkutip kalimat senada dari Nietzche, "Jika Anda menatap jurang terlalu lama, maka jurang akan menatap balik ke arahmu". Pengakuan (monster) adalah rentetan kisah dengan sudut pandang yang segar, juga membekaskan emosi yang tak kunjung pudar. Perjalanan sang protagonis yang terasa abu-abu pada mulanya – yang kian lama menggelap dan memantik detonator bom twist yang menyesakkan.

Miris, tersusul getir dan digenapi oleh perasaan tumpat, demikian adanya rasa yang tertingga setelah mengeja titik pada huruf terakhir. Arvrafli – si penulis sukses mereplikasi tutur dehumanisasi penuh kegetiran, mempermainkan dua kontrol primal manusia yaitu fear dan hope pada karakter-karakternya dan mengeksekusi konflik dengan konklusi tanpa ampun. Ironis, bahkan pahit. Namun, cara bertutur inilah yang menginisiasi roaller coaster rasa yang campur aduk di benak para pembaca.

Diksi-diksi yang lugas dengan penulisan detail narasi yang cermat. Penulis dengan cakap meramu berbagai hint atau petunjuk yang kelihatan samar – padahal sejatinya terang benderang. Gaya berceritanya nyaman diikuti, selayaknya paduan yang seimbang antara aksi dan sains fiksi. Hal yang patut dikembangkan ialah penokohan protagonis yang kurang jangkap, terutama terkait dorongan dan transformasinya. Adapun kekurangan lain terletak pada logika cerita yang masih berlompatan, dipersingkat dan ada baiknya diperdalam kembali. Akan tetapi, hal tersebut tidak akan mengurangi pengalaman membaca yang penuh dinamika kegetiran dan mempertanyakan peran kita sebagai manusia dalam sebuah kelompok sosial.

Akhir kata, siapa yang membiarkan Arvrafli memasak?

4. Cacingrama

Sebuah tema yang lumayan anti-mainstream di Indonesia. Dengan mempermainkan psikologi pembaca, cerpen ini bermain.Secara penokohan sangat simple. Karena di cerpen, kita memang tidak perlu yabg gimana-gimana banget.

Jika kamu menyukai ceroen psikologikal dengan tema yang humanis namun tetap nendang. Novel ini jagonya!

Salam manis,

Scifer

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro