Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sofia, Romi dan Herman

Romi melangkah menuju Bleki dan memainkan piece piano yang tak pernah kudengar sebelumnya. Aku menerka bahwa itu adalah lagu Ebony and Ivory yang ia sebutkan barusan.

Bagiku, lagu itu bukan lagu yang membuatku ingin memainkan pianonya. Namun, aku bisa merasakan bahwa aku tidak akan bisa melupakan lagu itu.

Lagu yang, walau liriknya tak menyatakan hal tersebut, seolah berkata bahwa aku dilarang berkecil hati. Karena semua peran sama pentingnya. Tuts hitam atau tuts putih. Ebony atau ivory. Primo atau secondo. Romi atau aku.

Setelah melihatnya menyelesaikan lagu itu, aku mengambil tempat duduk di sampingnya. Aku meletakkan kedua tanganku di atas Bleki dan bertanya, "Slovanic Dances?"

Romi mengangguk.

Tanganku dan tangan Romi perlahan mulai memainkan piece tersebut. Tangan kami masih sering bertubrukan saat tangan kiriku harus berpindah ke "wilayah" tuts Romi dan saat tangan kanannya berpindah ke "wilayahku". Namun, perasaan khawatir yang muncul saat Sabtu lalu mulai memudar dari diriku.

Mataku tak berhenti melihat pergerakan tangan kami yang masih kaku, namun aku tidak merasa gusar ataupun takut. Aku merasa bahwa kami bisa membereskan hal ini. Mungkin pada akhir minggu ini, tangan kami sudah bisa lebih lentur.

Saat kami berhenti pada not terakhir, Romi berseru pelan, "Wih! Udah lancar lho kita!"

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Sisa sore itu kami habiskan dengan mencoba melatih kelenturan tangan kami untuk piece tersebut. Beberapa anak tampak berlari menuju tempat penyimpanan alat olahraga. Dan untuk sekilas, aku tampak melihat seseorang melihat kami dari depan pintu ruang musik.

Aku menoleh pelan dan menemukan Herman ada di depan pintu.

Aku tak bisa menerka raut wajahnya. Apa yang berusaha ia tunjukkan dari raut wajahnya itu? Ia tampak terkejut. Tapi ia juga tampak, entahlah. Kecewa?

Herman akhirnya pergi dari pintu depan ruang musik. Beberapa teman-teman Romi dari kelas Herman yang melewati ruang tersebut juga tampak berhenti di depan ruang musik.

"Woi, ngapain Rom? Bukannya lo main gitar?" salah satu anak kelas Herman, kurasa namanya Indra (jangan salahkan aku jika aku bisa lupa beberapa nama anak-anak angkatanku. Seperti yang Jihan pernah katakan kepadaku, aku agak ansos di sekolah).

"Masih main gue. Cuma ini gue mau ikutan lomba." Romi berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Indra.

"Asli, gue baru tahu lo bisa main piano," celetuk seorang teman Indra yang satu lagi. Ia melongok ke dalam dan melihatku sekilas, namun ia tampak tak begitu peduli.

"Iya, nah gue masuk kategori empat tangan. Sofia jadi partner gue," jawab Romi sambil mengulurkan seluruh tangan kanannya untuk menunjukku yang berada di belakang Bleki.

"Oh, jadi kalian rencana mau ikut lomba piano empat tangan?" Herman kembali muncul di antara kumpulan teman-temannya yang sedang mengobrol dengan Romi. Pada tangan kanannya terdapat sebuah bola futsal.

"Iya, Man. Wih, lo tahu juga piano empat tangan? Hahaha!" tanya Romi sambil tertawa bersama Herman.

"Tahu, dong. Dulu gue pernah beberapa kali baca-baca artikel tentang piano dan nonton-nonton resital juga..." jawab Herman sambil melirik ke arahku dan tersenyum.

Aku tak tahu harus merespon apa. Aku hanya menunduk.

"Oh..." Romi mengangguk-angguk. "Baru tahu gue. Lo nggak mau belajar?"

Herman menggeleng-geleng. "By the way, nggak mau coba latihan juga sama Indira? Dia kan anggota orkestra sekolah dan megang piano juga."

Apa Herman berusaha membuat aku dan Romi gagal berlatih? Mengapa aku merasa menemukan alasan itu di pertanyaan Herman tadi.

Romi menggeleng. "Gue ama Sofia udah kompak, kok. Kapan-kapan lihat kita main deh di sini. Apa kita perlu adain resital kecil-kecilan ya, Sof? Kayaknya seru." Romi menatapku sambil tersenyum. Herman yang berada di belakangnya melihatku dengan wajah yang cukup serius.

"Ah, kaga ah. Ngga doyan gue denger piano. Udah yuk, main guys. Besok masih try out kale!" seru Indra sambil melambaikan tangannya ke Romi.

"Main dulu ya, Rom. Sof." Herman mengangguk ke arah Romi dan diriku. Ia berjalan melalui Romi disusul oleh teman Herman yang satu lagi.

Romi kemudian menoleh kepadaku dan bertanya, "Lo kenal Herman?"

Aku mengangguk yang akhirnya disambut oleh tawa kecil Romi. "Kenapa?" tanyaku.

"Gue kira lo nggak kenal dia sih. Soalnya lo sendiri pernah bilang lo jarang bergaul ama anak-anak kelas lain. Tapi ternyata lo banyak kenal anak juga." Romi mengambil tas ranselnya yang berada dekat pintu dan melemparnya pelan ke arah kaki Bleki.

"Cuma kebetulan kenal," jawabku.

Aku mencoba beberapa not dari piece Waltz of the Flowers sebelum akhirnya Romi mengajakku pulang. Aku berkata bahwa aku bisa pulang sendiri, namun Romi memintaku untuk tidak menolak karena hari ini ia membawa motor.

"Tawaran baik orang nggak boleh ditolak," Romi mencangklong ransel Jansport miliknya dan keluar dari ruang musik. Berjalan di belakangnya, aku melihat postur tubuhnya yang jangkung. Membuat dirinya, ditambah dengan kata-katanya yang terkadang bijak dan ajaib, tampak lebih tua dari usianya yang seharusnya.

Entah apa yang ia baca setiap hari. Ia berkata bahwa ia senang menghabiskan waktu memainkan piano dan mengulik gitar. Tapi, apakah ia senang membaca buku atau majalah? Atau, siapa pianis pertama yang membuatnya jatuh cinta dengan piano? Apakah ia punya film yang ia sukai? Bagaimana pandangannya tentang musik dan hidup?

Dari beberapa minggu ini sering bercakap-cakap dengannya, aku tahu pandangannya tentang musik dan hidup. Tentang cita-cita dan bagaimana orang tuanya sangat mendukung cita-citanya menjadi pianis profesional.

Namun mengapa ia selalu merasa tidak enak menolak permintaan orang lain? Mengapa ia masih terus bermain gitar untuk klub gitar sekolah jika cita-citanya adalah menjadi pianis?

Aku ingin menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan lebih tahu mengenai pikirannya. Aku ingin tahu mengapa ia selalu punya cara untuk membuat harapanku kembali, membuat semangatku menjadi pemain piano profesional kembali menguak.

Aku menghalau pikiranku itu ketika Romi menoleh kepadaku dan menyerahkan helm berukuran lebih kecil miliknya. "Nih, pakai."

"Rom..." kataku sambil mengambil helm tersebut dari tangannya.

"Hmm?" sahut Romi sambil mengenakan helm miliknya dan melihat ke arahku.

"Kikan ke mana?"

"Dia bilang dia ada urusan OSIS buat bakti sosial sama si Darius. Sebentar lagi kan serah terima jabatan sama anggota OSIS yang baru. Acara bakti sosial ini jadi yang terakhir. Darius kan Seksi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, jadi bakalan berurusan sama dia. Kayaknya lagi pergi ke panti asuhan di Jatinegara... Kenapa?"

Aku hanya mengangguk. "Gapapa."

Dari mata kananku, aku merasa dilihat oleh seseorang. Dari tempat parkir motor yang terletak di pekarangan depan, aku melihat Herman melihatku dari pinggir lapangan. Ia terengah-engah sehabis bermain futsal namun matanya tampak terus melihat ke arahku. Seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi ia berdiri sangat jauh dariku.

___________________

Hai guys,

Wednesday is here. Berarti saatnya kisah Sofia dan Romi kembali digelar *buka tiker*

Kali ini belum ada lagu yang ku-update di update kali ini. Berikutnya semoga akan ada piece ketiga yang dimainkan Romi dan Sofia untuk aplikasi beasiswa itu ya.


Masih ingat Herman kan? Dia muncul lagi , nih. Menurut kalian, Herman masih suka nggak sama Sofia? Tampaknya dari gelagatnya sih, masih ya? Hehehe

Gimana ya kelanjutannya? Tunggu hari Sabtu ya!

Happy reading and thank you!

-Sheva

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro