
Slovanic Dances, Op. 72, no. 2 in E Minor
Selasa, 29 Januari 2008
Kemarin adalah hari yang cukup melelahkan. Selain karena tak bisa tidur, aku membuat keputusan besar pada pagi harinya di ruang musik untuk ikut beasiswa itu bersama dengan Romi. Di tengah jam pelajaran, Kikan mengatakan sesuatu yang mengganggu hatiku sepanjang hari kemarin. Ditambah dengan munculnya Romi di koridor ruang musik sementara Kikan dan Darius sedang berduaan di balkon dekat ruang musik –dan aku ada di tengah-tengah semua itu.
Belum sempat aku membiarkan Romi melihat Kikan dan Darius –seorang anak dari kelas IPA 1 yang tak begitu kukenali meneriakkan nama Romi. Rupanya Romi dipanggil oleh guru olahraganya kembali karena Romi yang menjadi ketua kelas belum mengisi daftar absensi para murid.
Sesaat, aku merasa bingung apa yang harusnya kulakukan dan bukan urusanku untuk kulakukan. Semalam aku bahkan tidak bisa fokus belajar ujian Matematika yang akan diadakan hari ini. Pikiranku terus memikirkan apakah seharusnya aku mengatakan apa yang kudengar dari Kikan pada Romi atau tidak.
Pagi ini, aku baru saja sampai di lantai dua ketika Romi memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan melihat dirinya baru saja memangkas rambutnya. Rambutnya yang ikal menjadi lebih tertata rapi. Bagian rambut yang menutupi telinganya sudah tidak ada, dan sepasang telinganya bisa terlihat dengan jelas. Ia tampak segar, dengan rambut baru dan tawanya saat memanggil namaku.
"Lama-lama biasa juga gue bangun-bangun pagi gini latihan. Gue kemarin udah sempat cari beberapa piece buat four hands category kita. Nanti coba dilihat ya, enak nggak dimaininnya," ujar Romi sambil menepuk-nepuk ransel yang ia cangklongkan pada tangan kanannya.
Aku mengangguk sekadarnya. Kakiku terus melangkah pelan menaiki anak-anak tangga.
Satu. Dua.
"Masih ngantuk, Sof?"
Aku menghentikan langkahku, menarik napas dan mengembuskannya kuat-kuat, membuat Romi mengernyit.
"Rom, misalnya nih, lo tahu teman lo diselingkuhin. Tapi yang nyakitin teman lo bilang ke lo, kalau dia akan ngomong langsung ke teman lo suatu saat. Mungkin bukan sekarang. Lo akan tetap bilang duluan nggak ke teman lo itu?" aku menatap matanya lekat-lekat , memberanikan diri menyingkirkan segala perasaan rikuhku setiap menatap sepasang mata milik Romi. Aku butuh jawaban yang jelas dari mulutnya dan kedua matanya.
"Siapa sih? Anak 3 IPA 3?" Romi menggaruki bagian belakang kepalanya, membuat rambut di belakangnya sedikit berantakan.
Aku menggeleng. "Ada, teman gue. Lo gimana?" tanyaku dengan nada sedikit tidak sabar.
"Hmm, gue akan ngomong terus terang sih sama teman gue. Kalau gue teman dia yang baik, gue akan membuktikan kalau gue teman yang baik dengan ngomong sejujurnya," jawab Romi. Matanya serius. Seserius saat ia mengatakan kepadaku untuk lebih percaya pada diri sendiri.
Kami akhirnya sampai ke ruang musik. Romi mengeluarkan sebuah map bening berisi sheet musik dari dalam tasnya dan memberikannya padaku. Aku duduk di kursi Bleki dan menaruhnya di gagang penyangga. Pilihan piece dari Romi adalah Slavonic Dances, Op. 72, No. 2 in E Minor.
"Lo mau coba jadi primo? Gue jadi secondo ya?" tanya Romi sambil mengambil tempat duduk di sebelah kiriku –posisi bagi pemain kedua dalam permainan piano four hands.
"Boleh aja, dicoba." Aku menjejerkan tiga sheets tersebut dan memainkannya setelah dikomando oleh Romi. Aku mengikuti setiap langkah yang diberikan pada sheet musik –memberi tekanan pada nada-nada yang harus lebih tinggi, dan bagian yang dimainkan Romi lebih kepada bagian-bagian yang lembut.
Lagu ini digubah oleh seorang penggubah musik asal Ceko yang bernama Antonín Leopold Dvořák. Ia bukan penggubah musik yang terlalu terkenal sampai ia menggubah Slovanic Dances di tahun 1800-an. Aku tak pernah memainkan piece ini sebelumnya, dan baru mengetahuinya ketika Romi menjelaskan siapa penggubah piece ini dan latar belakangnya.
Saat memainkannya, tangan kiriku sempat bertubrukan dengan tangan kanan Romi. Karena belum terbiasa berbagi satu piano untuk dimainkan dengan dua orang, otomatis gerakan tangan kami belum terlalu terlatih. Aku berharap Romi tidak mengetahui betapa gugupnya aku ketika tangan kami sempat bertubrukan tadi.
Setelah selesai mencoba memainkan lagu itu, Romi bertanya, "Cocok nggak buat dimainkan buat aplikasi beasiswa?"
Aku mengiyakan dan berjalan menuju jendela dan menggeser jendela itu, untuk membiarkan angin sejuk masuk ke dalam ruangan. Aku berharap angin pagi itu bisa menenangkan pikiranku dari bayang-bayang mata Romi tadi –teman baruku yang mengharapkan adanya kejujuran dan tak ada yang disembunyikan darinya.
"Kenapa, Sof? Lagi ada masalah?" tanya Romi yang masih terduduk di kursi Bleki. Tangannya memainkan sebuah lagu dari Coldplay yang berjudul The Scientist. Bagian awal lagu itu memiliki nada piano yang khas –membuat lagu itu sangat mudah dikenali sejak detik pertama.
Aku menoleh kepadanya dan menggeleng, menyandarkan tubuhku di dinding jendela itu. Angin sejuk mulai membelai rambut dan telingaku, seolah memintaku berkata jujur kepada Romi mengenai Kikan dan Darius. Namun, sebaliknya aku malah berkata sesuatu yang lain. "Gue hanya agak pesimis bisa lolos. Sepertinya pesaing kita banyak."
Romi terkekeh sambil mengangguk-angguk. Nada piano The Scientist itu tetap tidak berubah walau bahu Romi menandak-nandak saat terkekeh mendengar perkataanku. Bahkan di saat ada yang lucu, tangannya seolah bisa tetap serius.
"Lo kurang percaya diri ya, ternyata?" Romi bertanya, tanpa disaring sama sekali. Membuat wajahku memerah dan langsung tertawa lepas, mengangguk mengiyakan pertanyaannya.
"Lo belum punya rasa percaya diri karena kita pun belum latihan bareng, kan? Dan beneran deh. Kepercayaan diri itu sulit didapat. Tapi apa yang sulit bukan berarti tidak bisa didapatkan."
Aku tercenung mendengar deretan kata itu.
"Lo yakin lo pemain piano, Rom? Kok kata-kata lo bagus, kayak penulis," candaku sambil melihat kembali ke halaman depan SMA Tirtacahya. Beberapa anak sudah masuk melewati pintu gerbang. Pak Nanang tampak tersenyum kepada mereka satu per satu.
Romi tertawa. "Baru gue denger lo bercanda, Sof. Biasanya kan kita ngomongnya piano mulu, superserius."
Aku menoleh kepadanya dan melihat Romi berhenti memainkan The Scientist setelah mendengar candaanku.
Apa aku sudah bisa dianggap teman oleh Romi? Salahkah jika aku berkata terus terang kepada Romi?
"Rom..."desakan hatiku untuk berterus terang seolah menggedor-gedor, memintaku mengatakannya segera kepadanya.
"Ya?" jawab Romi sambil melanjutkan nada The Scientist yang sempat terhenti.
"Gue beberapa minggu lalu lihat Darius sama Kikan di Grand Indonesia. Lo ke sana juga?"
Kedua tangan Romi berhenti dan menoleh kepadaku. Matanya kembali seperti saat kami di tangga tadi: berubah menjadi sangat serius.
_________________________________
Hai guys,
Berikut adalah update terbaru dari "Recalling the Memory". Rupanya desakan hati Sofia untuk jujur kepada Romi mengalahkan keraguannya untuk ngga bilang apa-apa.
Kira-kira gimana ya respons Romi? Apa yang akan Romi lanjutkan selanjutnya ya?
Nah, update ini juga menandai piece pertama yang Sofia dan Romi latih untuk mendaftar aplikasi beasiswa di Jeanne Wang Foundation. Piece Slovanic Dances ini pelan dan lembut. Aku juga kasih link four hands piano dari permainan piano Slovanic Dances ini di update kali ini. Semoga bisa membuat kalian membayangkan lagu seperti apa yang dimainkan Sofia dan Romi ya :)
Ditunggu comment dan votenya ya :) Thank you and Happy reading!
-Sheva
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro