Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rêverie

Setelah melewati Romi di meja piket tadi pagi, aku seperti ikan sarden sepanjang hari. Tubuhku ada di sini, tapi kepalaku ada di tempat lain. Pikiranku ada untuk orang lain.

Guru Bahasa Belandaku masih menjelaskan tentang bab baru yang kami pelajari hari itu. Tapi buku catatanku hanya terisi beberapa kata-kata yang tak sengaja kudengar. Sisanya adalah baris-baris kertas yang kosong –cerminan dari pikiranku selama di kelas ini.

Sesampainya aku di rumah, Ayah dan Ibu tampak sedang berbincang di dapur. Ayah bertanya bagaimana les Bahasa Belandaku. Aku hanya berkata bahwa semuanya baik-baik saja dan pamit menuju kamarku. "Aku agak capek, Yah."

Ayah dan Ibu hanya mengangguk. Aku menaiki tangga menuju kamar, membuka pintu dan menyalakan air conditioner. Aku merebahkan badanku di atas kasur, berusaha memejamkan mata. Namun mataku nyalang melihat langit-langit.

Sekilas, aku melihat ponselku. Tak ada SMS satupun.

*

Selasa, 12 Februari 2008

Aku datang pagi-pagi sekali seperti biasa: menghindari Ayahku, cepat-cepat berjalan ke sekolah dan disambut oleh pak Nanang tepat pada pukul 6.15 pagi.

Aku menengadah ke atas dan merasakan mataku rasanya hampir mencelat keluar.

Jendela ruang musik tergeser.

Aku bahkan tak sempat menjawab pertanyaan Pak Nanang tentang bagaimana kabarku hari ini. Aku hanya melambai singkat kepadanya dan berlari ke atas. Sambil berlari, aku menjawab pertanyaan Pak Nanang dalam hati: aku tak bisa berkonsentrasi sejak kemarin. Aku memikirkan kesalahanku karena sejak awal tidak mengatakan yang sebenarnya pada Romi. Aku memilih 'aman' bukan apa yang seharusnya kulakukan. Romi berhak untuk tahu. Aku tahu, namun aku tak mengatakannya.

Aku menghentikan langkahku yang berlari setelah sampai di jalan kecil menuju ruang musik. Aku memelankan langkahku. Romi masih terus memainkan Reverie dari Claude Debussy. Matanya sebentar-sebentar terpejam, lalu melihat kembali ke arah jemari-jemari tangannya yang menari-nari.

Dari samping, rambut Romi tampak semakin ikal. Kepalanya yang terus menunduk membuat rambutnya tampak turun.

Aku memutuskan untuk masuk dan duduk di lantai, bersila sambil melihatnya bermain piano. Tepat ketika ia sampai di not terakhir, ia melihat ke bawah tempatku bersila. Ia ikut bersila di hadapanku, dengan punggung bersandar pada kaki piano.

Kami hanya bertatapan, tak ada yang memulai percakapan.

Haruskah aku minta maaf? Aku sudah meminta maaf kepadanya kemarin. Tapi, sejak tadi Romi tak juga bicara.

"Gue nggak tahu Sof, gue harus ngomong apa." Romi menggaruki kepalanya dan semakin menyandarkan punggungnya pada piano.

"Maksudnya?"

"Gue nggak ngerti kenapa lo nggak bilang ke gue. Gue ngerasa gue jadi orang bodoh, enggak tahu apa-apa."

"Gue enggak mau ikut campur, makanya gue enggak cerita ke lo."

"Terus, apa yang dia bilang ke lo, Sof?" tanya Romi. Terselip nada sengit di pertanyaannya. Hal itu membuatku menghela napas.

"Ya, sama kayak Darius. Dia bilangnya dia enggak diperhatiin ama lo. Lo hanya peduli sama musik, bukan sama dia atau sama kalian berdua."

Romi terdiam sejenak dan kembali bertanya, "Lalu, menurut lo siapa yang benar?"

Aku menelan ludah. "Kenapa gue harus jawab ini?" Pertanyaan tersebut terlontar tanpa sempat kupikirkan. Efek Romi dan ruangan ini muncul di saat yang salah. "Menurut gue, kalian berdua salah. Karena kalian enggak komunikasikan ini."

"Sama dengan elo?"

Aku tersentak. "Maksudnya?"

"Sama dengan elo, yang juga enggak komunikasikan apa-apa tentang cita-cita lo jadi pemain piano ke Bokap lo?" Romi bertanya dengan wajah sangat datar, seolah dingin adalah satu-satunya emosi yang ia miliki.

"Kenapa jadi bawa-bawa gue dan Bokap gue, ya?" aku bisa merasakan terselipnya rasa terluka di suaraku.

"Lo bilang ini masalah komunikasi, kan? Sekarang, gue tanya, lo udah komunikasikan soal cita-cita lo ini ke Bokap lo? Lo terus-terusan nurut Les Belanda untuk bisa ambil Hukum di sana, tapi lo enggak bilang kalau lo sebenarnya maunya piano kan?"

"Lo enggak tahu kondisi gue dan Bokap gue, Rom. Dan, bukannya tadi kita lagi bicarakan Kikan dan lo ya? Kenapa jadi menyerang gue?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku takut aku sebentar lagi akan menangis. Aku tahu aku tak sepenuhnya berada di posisi yang benar, namun Romi tak perlu menyerangku sampai seperti itu.

"Argh!" Romi meringis pelan sambil menutup wajahnya. Ia mengacak rambutnya dan berkata pelan, "Maaf, Sof."

Aku hanya mengangguk.

Kepalaku masih terus memikirkan apa yang harus kukatakan untuk membalas permintaan maafnya, ketika seorang staf kebersihan sekolah datang untuk menyapu dan terkaget melihat adanya dua orang yang sedang bersila di ruang itu. Ia begitu terkaget, seolah seperti melihat hantu. Ia terlonjak kaget dan berteriak agak keras.

Wajahnya yang terlalu terkejut spontan membuat kami berdua ikut tertawa.

Aku terkejut. Aku memalingkan kepalaku yang melihat ke pintu kepada Romi. Romi masih tertawa.

Kami bertatapan dan akhirnya tertawa kembali.

"Lo tahu, dari kemarin, gue mikir banyak banget. Gue kepikiran apa aja yang udah gue lakuin buat Kikan sampai dia begini. Dan, betul kata lo, gue juga salah..." Romi merebahkan badannya di atas lantai. Ia menutup kedua matanya dengan lengan kanannya.

Aku meluruskan kakiku dan berkata, "Well, at least, ada yang lo pelajari kan?"

"Iya, gue belajar kalau pacaran itu enggak segampang di film-film. Bukan cuma sering pergi berdua, tapi juga benar-benar mikirin hal untuk kita berdua, bukan sendiri-sendiri."

Jawaban Romi membuatku mengangguk pelan, sepakat.

"Ngomong-ngomong, lo tahu kan kalau rebahan di permukaan rata itu bagus banget buat kesehatan?" Romi mengangkat wajahnya yang tertutup lengan kanannya dan melihat ke arahku.

"Oh ya?" tanyaku kembali.

"Iya, coba deh," Romi menunjuk lantai tempatku bersila. Aku akhirnya ikut merebahkan tubuhku di atas lantai.

Kami sama-sama melihat langit-langit ruang musik. Tak ada di antara kami yang bersuara. Hanya ada dinginnya udara dari lantai yang menembus kulit tubuh kami, dan diam yang menyenangkan di antara kami berdua.


__________________________________________

Hi guys,

Romi dan Sofia muncul lagi , di ruang musik, dengan lagu Debussy yang dimainkan Romi.

Setelah masalah dengan Kikan-Darius ini selesai, dan Sofia juga sudah berdamai dg Romi, apa kira-kira semuanya sudah selesai ya?

Sering ada pepatah yang mengatakan sebelum ada badai, biasanya ada ketenangan yang tak biasa. Kira-kira apa akan ada hal yang tak menyenangkan bagi mereka ya?

Ikuti terus kisah Recalling the Memory ya :) Share juga ke teman-temanmu tentang cerita ini ya :)


Btw, aku sudah siapkan playlist Recalling the Memory -di dalamnya ada lagu-lagu yang kujadikan writing soundtrack selama menulis kisah ini, juga piece-piece yang dimainkan Romi dan Sofia. Ada yang belum lengkap, tapi untuk sementara bisa nikmati ini dulu ya :)

Berikut adalah linknya:

https://open.spotify.com/user/shevanithalia/playlist/0v7eS4YjQlMuOwD0ZYvagU

Follow juga Twitterku di  @dearsheva dan blogku di dearsheva.wordpress.com


See you on the next update :)

-Sheva

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro