Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pukul Enam Pagi


Senin, 28 Januari 2008

Aku benar-benar tidak bisa tidur semalaman. Aku datang ke sekolah lebih pagi tanpa sempat mencicipi French toast buatan Ibu atau minum segelas susu. Sesampainya di sekolah, gerbang sekolah bahkan masih ditutup. Pak Nanang bahkan belum mengganti pakaiannya menjadi seragam kerja.

"Ini masih jam 6 lho, Sopi... Pagi amat..." Pak Nanang membuka gerendel pintu gerbang dan menggeser roda pintu gerbang itu, mempersilakanku untuk masuk.

Aku hanya tersenyum singkat kepada Pak Nanang, meminta izin untuk bisa langsung pergi ke ruang musik. Aku bahkan tidak berminat untuk mengerjakan beberapa nomor dari latihan soal Kimia yang sebagian sudah kukerjakan pada hari Sabtu dan Minggu kemarin.

Aku berniat memainkan 3 piece yang sudah kutetapkan sebagai piece yang akan kumainkan untuk aplikasi beasiswa. Namun, ada 1 piece yang belum benar-benar kulatih. Hari ini, aku akan mencoba untuk memainkan ketiga piece tersebut berulang-ulang hingga mencapai presisi yang kuinginkan.

Aku membuka jendela ruang musik, menyusun beberapa lembar music sheet pada penyangga dan mulai memainkan piece pertama dari Tchaikovsky. Judulnya adalah Souvenir de Hapsal, Op. 2, No. 3: Song Without Words. Aku mempelajari piece ini pertama kali saat aku duduk di kelas 1 SMA. Baru saja aku memainkan beberapa bagian nada awal, angin yang masuk ke ruangan mulai menerbangkan lembar-lembar music sheet tersebut yang belum sempat kujilid.

Lembar-lembar itu jatuh ke lantai dan aku melihat Romi berada di depan pintu. Tangan kirinya mencangklong tas ranselnya. Ia tampak terkejut melihatku berada sepagi itu di ruang musik.

"Kok, pagi banget, Sof?" tanya Romi sambil berjongkok mengambil lembar-lembar music sheet yang bertebaran di lantai.

"Gue mau ikut beasiswa Jeanne Wang Foundation itu. Dan gue kan, nggak pinter kayak lo, jadi gue harus latihan yang banyak..." ujarku sambil ikut berjongkok untuk membantu Romi memunguti kertas-kertas tersebut.

Romi melempar kertas-kertas itu kembali ke udara, membuat semua music sheet itu terlempar ke berbagai sudut ruangan. Aku terkejut dan segera melihat ke arah jendela. Untunglah tidak ada music sheet yang terlempar ke luar.

"Hei! Kok dilempar, sih?" tanyaku dengan nada tinggi, tak terima atas apa yang dilakukan Romi.

"Kalau dari awal lo selalu merasa lo nggak pintar, nggak usah latihan aja sekalian. Itu cuma ngecilin diri lo sendiri, nggak membawa apa-apa," tukas Romi dengan ekspresi wajah yang belum pernah kulihat sama sekali –sudut-sudut wajahnya menegang, seolah menahan kesal.

"Tapi gue emang harus latihan yang banyak, baru bisa, karena..."

"Tuh, baru dibilang, lo udah merendah lagi. Buat apa, sih, lo bilang kalau lo nggak pintar?"

Aku tertawa. "Rom, nggak usah dibahas. Gue hanya mencoba realistis."

Romi menggaruki kepalanya sambil tertawa. Ia lalu terduduk di lantai sambil memeluk kedua lututnya dan memelototiku. Aku tak pernah melihatnya terlihat begitu galak. Romi selalu sibuk melempar senyum dan tertawa, atau terlihat serius. Tapi ia tak pernah terlihat marah pada sesuatu.

"Lo tahu, Sofia, lo tuh mirip banget sama kakak gue. Selalu pesimis, tapi gue tahu itu cuma alasan dia untuk nggak mencoba. Dia mau masuk ITB, tapi nggak mau coba Ujian SPMB*. Alasannya? Karena dia takut nggak lulus. Lo tahu apa yang gue bilang?" Romi menunjuk lantai ruang musik yang ada di seberang tempat ia duduk, mengisyarakatkan aku untuk duduk juga.

Aku menggelengkan kepalaku sambil duduk bersila di hadapannya. Aku menarik-narik keliman rokku untuk memastikan lututku cukup tertutupi.

"Gue hanya bilang, "Coba dulu"..." jawabnya sambil tersenyum. Ia menghela napas, seolah mengatakan suatu hal yang sangat berat. Ia mengambil selembar music sheet terdekat dengan lututnya dan berkata, " 'Coba dulu'. Dua kata itu selalu kita sepelekan. Padahal dua kata itu mampu membawa kamu selangkah lebih dekat ke mimpi kamu."

Aku tersentak pada kata "kamu" yang Romi ucapkan. Romi memberikan selembar music sheet yang ia pegang kepadaku dan berkata, "Coba dulu. Nggak usah bilang karena 'gue kurang pintar' atau 'gue kurang bisa'. Dan, jangan pikirkan apa lo akan berhasil atau nggak. Lo hanya perlu coba."

Aku mengambil music sheet yang ia berikan. Rupanya itu adalah halaman pertama dari piece Tchaikovsky yang sudah kutandai dengan tinta dari pulpen biru di beberapa bagian –tanda di mana tanganku harus lebih lentur.

Entah mengapa, setelah mendengar kata-kata itu meluncur dari mulut Romi, rasanya aku ingin menangis. Mataku terasa panas.

Sejak semalam, aku merasa tidak yakin akan bisa berhasil lolos seleksi Jeanne Wang Foundation. Setelah mengirimkan demo, partisipan yang berhasil masuk akan dipanggil untuk seleksi tahap kedua di Suntory Music Hall, Tokyo. Partisipan yang berhasil melalui seleksi di Tokyo akan diwawancara perwakilan Jeanne Wang Foundation untuk mendapatkan cap approval menjadi penerima beasiswa dari mereka dan akan menjadi murid Juilliard.

Aku tidak yakin bisa berhasil melewati seleksi sebanyak itu. Dan pagi ini, dengan akuratnya, Romi mampu mengingatkanku apa yang harus kulakukan: mencoba terlebih dahulu, tanpa memikirkan seperti apa hasil akhirnya.

Aku menggeleng kepalaku pelan, berusaha menarik air mataku yang hampir tumpah. Aku mengumpulkan segenap tenagaku dan mencari topik lain. "Eh, kok lo udah datang sepagi ini sih?"

Romi tertawa kecil sembari menyandarkan tubuhnya ke dinding ruang musik. "Ingat nggak apa yang gue bilang? Great minds think alike. Mungkin karena itu kita jadi sama-sama datang pagi..."

Jantungku rasanya berhenti sejenak jika Romi tidak melanjutkannya dengan suara tawanya yang renyah dan berkata, "Nggak deng. Gue cuma nggak bisa tidur aja semalam. Jadi malah mandi subuh-subuh..."

Pagi rupanya benar-benar masih pagi di sekolah kami. Staf kebersihan baru saja datang membawa pengki dan sapu, berniat untuk membersihkan ruang musik. Ketika ia mendapati kami, ia langsung mundur selangkah dan berjalan menuju ruangan lain.

Dari dalam ruangan, aku bisa melihat deretan pepohonan di pekarangan sekolah dihinggapi burung-burung yang bersiul-siul kecil.Warna pagi yang sebenarnya mulai merebak di sudut langit.

Aku mencoba merekam lekat-lekat apa yang kulihat pagi ini: pepohonan dan burung-burung di pekarangan sekolah, udara pagi yang sejuk dan menelusup masuk ke dalam ruang musik, Bleki dan sheet musik yang bertebaran di lantai, aku yang duduk bersila di lantai dan Romi yang sekarang merebahkan badannya di lantai ruang musik. Seolah tak peduli apakah ruang itu belum dibersihkan atau tidak.

"Kenapa lo nggak bisa tidur? Nonton?" tanyaku setelah beberapa saaat terdiam. Aku menunggu jawabannya dan sesaat melihat ke arah sepatu Converse putihku dan melirik ke sepatu Converse putih milik Romi.

Romi menggeleng. Matanya terus menatap langit-langit ruang musik. "Semalam gue di OPUS, dibantu temen, rekam demo aplikasi Jeanne Wang Foundation itu. Gue mau mencoba peruntungan gue, untuk jadi 1 dari 3 pianis solo yang diterima mereka."

Kami berdua terdiam beberapa saat. Warna pagi yang sudah berwarna jingga mulai berubah menjadi kebiruan.

"Gue juga. Gue juga mau mencoba," timpalku sambil melihat ke luar jendela.

Aku beranjak dari tempatku bersila dan memunguti setiap lembar music sheet yang bertebaran. Romi beranjak dari tempatnya berbaring dan ikut membantuku. Semua lembar yang terkumpul ia letakkan pada penyangga music sheet Bleki. Aku menyusunnya satu per satu dan mulai memainkan piece tersebut dari awal kembali.

Romi menyandarkan tubuhnya pada Bleki dan menopang dagu dengan tangan kanannya. Aku berusaha untuk tidak teralihkan sepasang mata Romi yang terus melihat permainan pianoku.

"Sof, bawa lembar-lembar aplikasi beasiswa itu nggak?" tanya Romi setelah aku menyentuh not terakhir dari piece tersebut.

"Bawa. Kenapa?" jawabku. Romi memberi isyarat untuk menyerahkan lembar-lembar tersebut.

Aku meraih tasku, lalu kembali duduk di kursi piano dan memberikan selembar map pemberian Ibu Yeni kepadanya. Romi meraih map tersebut, membuka lembar spesifikasi persyaratan aplikasi beasiswa tersebut dan menemukan sesuatu yang membuatnya tersenyum. Ia mengambil posisi di samping kiriku, memaksa diriku menggeser posisi dudukku.

Ia lalu menurunkan lembar tersebut, menyodorkannya padaku sambil tersenyum lebih lebar.

________________________________

Hai semua,


Sebelumnya, mohon maaf yang sebesar-besarnya karena update kali ini terlambat banget. Ada beberapa hal yang harus dibereskan sehingga upload kali ini jadi lebih lama dari biasanya.

Update sebelumnya yang berjudul "Titik Balik" adalah bagian di mana diri Sofia terpacu dengan sendirinya. Namun, pada bagian "Pukul Enam Pagi" ini, kali ini adalah bagian di mana diri Sofia semakin disemangati Romi.

Ruang musik, piano, pukul enam pagi , delapan tahun yang lalu--semua ini ingin diingat Sofia lekat-lekat. Momen apa sih yang selalu kalian ingat sampai sekarang? Masih ingat nggak kapan dan di mana? :)

Nah, di bagian akhir, ada sesuatu yang membuat Romi tersenyum. Kira-kira apa ya?

Tunggu jawaban-jawaban dan kisah Sofia-Romi berikutnya di update berikutnya, ya. Masih dengan dua tokoh ini, dan juga kehadiran tokoh-tokoh lainnya.

Terima kasih! Selamat membaca. Kutunggu comment dan votenya juga ya :)

-Sheva

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro