
Pertemuan Pertama
Aku tahu betul nama Romi Anjasdwino. Ketua klub gitar, sering main futsal di lapangan dan membawa-bawa bola futsal ke koridor, dan salah satu nama yang sering disebutkan para guru, teman-teman, dan adik kelasku.
Aku semakin sering mendengar namanya ketika ada sebuah acara acoustic sessions yang diadakan OSIS SMA Tirtacahya. Ia berhasil mengundang beberapa artis ternama dan juga band-band akustik dari sekolah lain untuk bergabung dalam acara itu. Hasil penjualan tiket acara tersebut disumbangkan kepada beberapa rumah anak yatim yang ada di daerah Jakarta Selatan.
Namun, sampai sejauh mana kita bisa menyebut kita mengenal seseorang? Apakah dengan mengetahui semua itu, aku mengenal Romi? Tidak.
Kami tak pernah benar-benar bicara satu sama lain. Hingga hari ini.
Romi menggiring bola futsal itu ke tengah ruangan dan menghentikannya kembali dengan kakinya. Belum sempat aku membalas perkataannya, ia menunjuk Bleki dan mengangkat alisnya, seolah meminta izinku untuk memainkannya.
"Lagu yang tadi lo mainin itu dari film Jepang, kan, ya? Dulu kakak cewek gue suka banget nonton itu, dan gue suka pas tokoh utamanya mainin lagu yang lo mainin tadi..." Romi melangkah pelan mendekati tuts piano itu, memainkan beberapa not awal lagu Close to You hanya dengan tangan kanannya saja. Bola futsal yang sedari tadi dimainkan kakinya bergulir menuju di lantai, tak lagi ia pedulikan.
Aku membuka mulutku, berusaha untuk membalas perkataannya yang menurutku terlalu banyak informasi, ketika ia tiba-tiba berkata, "...Eh, nebeng duduk boleh ya? Pegel abis main futsal," Romi tertawa lagi sambil menghentikan permainan pianonya itu.
Aku mendongak, melihat cengirannya yang seolah tak merasa bersalah karena mengganggu 'pemanasan' permainan pianoku.
Ini orang langsung main nebeng-nebeng duduk aja. Sok akrab amat.
Namun, aku mengabaikan suara dalam hatiku itu dan secara otomatis merubah posisi dudukku. Aku segera menggeser posisi dudukku hingga di tepi paling kiri kursi piano, memberi jarak di tengah-tengah kursi dengan posisi duduk Romi yang ada di tepi paling kanan.
Aku sering merasa tidak enak kepada orang lain. Jihan dan Sarah sering menasehati kebiasaanku ini. Mereka bilang bahwa aku harus bisa mengungkapkan apa yang kurasakan, walau itu berarti menyakiti hati orang lain. Jika aku tidak suka, aku punya hak untuk mengatakannya. "Orang lain tuh nggak bisa tebak-tebak pikiran kita. Jadi, lo harus bisa bilang apa yang ada di pikiran lo." Begitulah kata-kata mereka.
Tetapi, hari ini aku mengetahui satu hal: tidak semua pikiran kita harus segera diungkapkan. Jika aku langsung meminta Romi untuk pergi dari ruangan ini dan tidak menggangguku, atau berkata "Lo nggak bisa duduk di sini. Gue lagi main.", aku tidak bisa melihat kedua tangannya yang begitu piawai menari di atas tuts hitam dan tuts putih Bleki.
Aku berharap wajahku tidak menunjukan ekspresi kagum yang tampak bodoh, tapi aku benar-benar terkejut melihat kedua tangannya seolah memiliki ingatan terhadap not-not lagu itu. Gerakan tangannya tak mengira-ngira. Ia tahu pasti not mana yang harus ia tekan. Tak ada keraguan. Ia mungkin sudah sering memainkan lagu ini.
Ternyata bukan hanya drum, dia juga bisa main piano. Aku berdecak kagum dalam hati. Aku tahu ia bisa main gitar dan drum, namun untuk pertama kalinya, aku baru tahu ia bisa main piano. Dan, aku tahu ini terdengar konyol, namun aku juga terkejut karena kedua tangannya tampak bagus di atas piano.
"Lo...udah sering main lagu ini?" tanyaku setelah ia hampir menyelesaikan bagian chorus dari lagu tersebut.
"Hmm, nggak juga sih. Sebenarnya ngga gitu hapal juga lagunya, tapi gue hapal banget bagian awalnya itu. Yang ini..." ia memainkan kembali bagian awal lagu itu –not-not indah yang seolah membawa pemainnya, dan juga pendengarnya seolah berada di atas puncak bukit yang tinggi, menikmati angin yang menerpa wajah mereka dengan lembut.
Ini orang merendah apa gimana sih? Tangannya tadi jelas-jelas kayak nggak mikir gitu pas main piano.
"Lagu ini kayak bikin gue ngerasa gimana gitu. Kayak..." mata Romi menerawang ke atas langit-langit ruang musik. Tangan kirinya ia letakkan di tengah-tengah kursi piano yang kami duduki, sementara tangan kanannya terangkat pelan-pelan ke atas. Ia terdiam sesaat mencari kata yang tepat.
"Melayang?"
"Nah! Itu dia kata yang bener," ia mengacungkan telunjuknya persis ke depan wajahku, seperti seorang dokter yang baru saja mengatakan apa penyakit pasien di hadapannya.
Aku mengangguk-angguk setuju. "Gue selalu mikir kayak gue ada di atas bukit kalau lagi main lagu ini. Kayak sejuk gitu, damai. Berasa tenang. Rasanya kayak segalanya tuh mungkin. Apalagi kalau lagi mainnya pas malam-malam," sahutku yang disambut dengan senyum lebar Romi dan anggukannya yang berulang-ulang.
Kok aku jadi banyak bicara, ya?
"Lo nggak ikut orkestra sekolah ya? Gue nggak pernah liat lo latihan orkestra kayaknya," tanya Romi sambil memainkan kembali lagu itu dari awal.
Aku menggeleng. "Dulu hampir ikutan, tapi nggak jadi," jawabku singkat. Aku memalingkan pandanganku dari kedua tangan Romi –yang entah mengapa membuatku tak berhenti memandang kedua tangannya lekat-lekat, seolah tangannya terbuat dari emas –dan melihat bahwa hujan di luar semakin lama semakin deras. Aku melirik jam tanganku, melihat bahwa sebentar lagi pukul lima sore akan segera tiba. Aku sudah harus bersiap-siap pergi dari ruang musik ini.
Namun, mataku tetap melihat kedua tangannya itu dan sekilas melihat raut wajahnya yang tampak santai memainkan Bleki. Aku teringat pemandangan yang kulihat di koridor beberapa waktu lalu, bagaimana kedua tangannya begitu mahir memainkan gitar. Juga, pada hari itu, saat aku melihatnya memainkan drum secara spontan. Hanya dengan komando singkat soal tempo yang harus dimainkan, ia bisa memainkan drum dengan penuh semangat.
Aku ingat betul hari itu. Hari di mana diam-diam, aku memanggil laki-laki yang tak benar-benar kukenal itu sebagai Lelaki Midas –si raja dalam dongeng yang membuat segala sesuatu yang ia sentuh menjadi emas.
Aku tak begitu mengenalnya. Namun melihatnya memainkan piano, aku seperti melihat seolah apapun yang ia sentuh bisa menjadi sesuatu yang bernilai.
Senar gitar yang ia petik menghasilkan lagu-lagu yang menyenangkan. Seperangkat drum yang ia tabuh menghasilkan hentakan nada-nada yang memacu semangat. Dan tuts-tuts piano itu seolah tunduk padanya juga. Seolah tuts-tuts piano itu juga ikut bersantai bersamanya.
"Close to You..."
"Kenapa?" tanya Romi, berhenti memainkan piano. Romi menyipitkan mata dan tiba-tiba melihat bajunya yang masih basah karena keringat dan air hujan. " Eh, sori lho gue keringetan, biasa abis main bola..."
Aku tidak tahu harus merespons apa selain tersenyum kecil. "Ngg, lagu dari serial Jepang itu judulnya 'Close to You'... Itu lagu untuk serial, bukan film..." kataku sambil mengangguk-angguk sendiri. Merasa rikuh. Aku tahu, sekarang sudah saatnya aku pulang.
Bukan. Bukan karena Romi bau atau hujan yang makin deras di luar. Aku bisa merasakan mata Romi yang memandangku dari samping. Dan entah mengapa aku jadi bertanya-tanya, apa yang ia lihat. Bagaimana penampilanku dari samping? Sampai kapan Romi akan menatapku seperti itu?
"Makasih ya. Gue udah cari-cari judulnya dari lama, dan lo sekarang ngasih tau gue... Lo suka ke sini pagi-pagi juga, ya? Kadang pagi-pagi gue suka denger ada suara piano dari sini..."
Aku tidak bisa berkata apa pun selain mengangguk. Sejujurnya, aku cukup kaget ada yang memperhatikan "ibadah pagi"ku itu.
Selama setahun terakhir ini, terutama dengan tekanan dari Ayahku untuk melupakan impianku menjadi pianis dan memilih jurusan Hukum untukku kuliah nanti membuatku semakin sering menghindari Ayah. Aku datang ke sekolah lebih pagi agar aku bisa memainkan piano di ruang musik ini. Kesendirian di ruang musik ini membuatku bisa sejenak melupakan tekanan Ayah kepadaku.
Aku segera mencangklongkan tas merahku, mengeluarkan sebuah payung saku berwarna kuning dan berjalan keluar sembari melambaikan tangan pada Romi, melangkah cepat.
Jantungku masih berdegup kencang, bahkan ketika ia sudah ada di pekarangan sekolah. Degup jantungku berlomba dengan hujan yang semakin deras. Aku terus melangkahkan kakiku menjauh dari sekolah, ketika aku menyadari satu hal: aku tahu nama Romi. Kami telah berbicara hari ini, bahkan tertawa bersama.
Tapi, aku tak yakin apakah ia tahu namaku.
________________________________________________________________
Hai semua! :)
Jadi, inilah pertemuan pertama Sofia dan Romi, hehehe! Pertemuan yang sederhana, tapi nggak bisa dilupakan sama Sofia (dan juga Romi). *cie*
Terima kasih buat Ardelia Karisa (yang menulis "After You've Gone" juga di Belia Writing Marathon -check it out guys!), yang kasih aku "pencerahan" untuk upload video lagu"Close to You" di cerita ini. Semoga kalian juga bisa menikmati cerita ini sambil dengerin lagunya, ya. :)
Aku akan update cerita berikutnya di hari Sabtu. Kalau kalian ada ide, saran, atau kritik, please komen di bawah ini :)
Update-an "Recalling the Memory" berikutnya adalah hari Sabtu! Nantikan kelanjutan kisah Sofia-Romi, dan kemunculan beberapa tokoh baru yang semakin menambah warna cerita ini :D
Terima kasih!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro