
Permulaan
Ayah dan Ibu berkata bahwa adikku meninggal secara mendadak. Usianya sudah empat bulan, namun hidupnya tak lama. Dokter tak bisa menjelaskannya. Kematian secara mendadak ini tidak hanya memakan nyawa adikku, tapi juga banyak bayi-bayi lain.
Yang kutahu, kematian adikku itulah yang membuat adanya jarak antara Ayah dan Ibu. Jarak yang mereka coba isi dengan rutin makan keluarga, dengan pergi bersama-sama ke suatu tempat, dengan diskusi tentang cat dinding mana yang terbaik untuk ruang keluarga.
Walau Ayah dan Ibu tetap seperti orang tua pada umumnya, Ibu selalu merasa bersalah dengan hilangnya nyawa adikku. Rasa bersalah yang membuat Ayahku selalu mengendalikan Ibu. Membuatnya menjadi pendengar terbaik di rumah ini, jarang melawan dan menurut kata Ayah.
Mengapa aku bisa tahu semua hal ini? Mungkin karena aku anak tunggal. Menjadi anak satu-satunya di keluarga ini membuatku lebih banyak melihat dan mendengar.
Terkadang aku membayangkan, jika aku punya adik, aku bisa banyak bercerita dan berbagi perasaan dengannya. Di rumah ini, aku bisa membaginya dengan Ayah dan Ibu –tapi semua mulai berubah sejak larangan Ayah itu. Maka aku membagikan perasaanku dengan piano.
Namun melihat kemarahan Ayah tadi, aku ragu aku masih bisa memainkannya sampai tahun-tahun ke depan. Aku takut ia akan menolak rencanaku.
Coba dulu.
Ucapan Romi itu kembali ada di pikiranku. Aku menghela napas –setengah karena lega, dan juga karena tak tahu apakah memang inilah yang harus kucoba.
*
Jumat, 15 Februari 2008
"Kebayang nggak sih kalau nilai kita kayak 4,20, dan dikit lagi udah dapat nilai minimal? Udah tinggal 0,05 lagi, men, dan BYARRR! Enggak lulus, makasih ya, silakan ngulang..." Dimas memeragakan hal tersebut di dalam kelas saat jam istirahat. Dimas mampir ke kelas kami. Aku tertawa sambil mengambil keripik yang disodorkan Sarah yang mengambil tempat duduk di sampingku.
"Makanya, yang bener belajarnya. Masa try out Matematika dapat 4?" celetuk Sarah sambil menyodorkan keripiknya kepada Dimas yang mulai manyun kembali karena diingatkan akan nilai try out yang jelek.
"Bukannya lo belajar ya waktu itu?" tanya Gilang yang duduk di meja Jihan. Jihan duduk di kursinya dengan posisi menyamping. Kami berempat melihat Dimas yang berdiri di samping mejaku yang kursinya diduduki Sarah. Wajahnya kusut karena try out yang jeleknya benar-benar anjlok.
"Belajar, sih... Tapi enggak konsen."
"Kenapa?" tanya Sarah.
"Mikirin kamu aja sih..." Dimas mulai melancarkan aksi-aksi gombalnya yang malah dibalas dengan pandangan jijik dari Sarah.
"Enggak usah bohong, palingan keasikan nonton apaan tauk di televisi," ujar Sarah yang disahut dengan tawa Gilang dan Dimas yang sewot.
Tak lama Jihan memandang ke arahku yang duduk di belakangnya dan berkata, "Lo hari ini dan kemarin tumben enggak datang pagi? Enggak latihan dulu ama si Ayang?" Jihan menyeringai jahil.
"Siapa Ayang?" tanyaku sambil merogoh keripik dari kantung keripik milik Sarah lagi.
"Romi lahhhh, siapa lagiiiii...," Jihan berkata dengan gemas. Mendengar nama Romi disebutkan, aku langsung menengok ke arah meja Kikan. Ia taka da.
"Kenapa lo gitu?" tanya Jihan lagi.
"Ya kalau kedengaran kan enggak enak... Lagian gue enggak pacaran kali ama Romi. Lo kan tahu itu," jawabku sambil menelan sisa-sisa keripik yang mendadak terasa hambar di lidah.
"Iya sih, tapi udah banyak yang mikir lo pacaran ama dia, sih. Soalnya banyak angkatan kita juga tahu lo sering latihan piano ama dia..."
"Nggak sering kok..." bantahku . "...Kemarin pagi sama sore juga enggak latihan. Tadi pagi juga."
"Lah? Biasanya lo udah ngilang jam pagi dan sore lho. Ampe kita-kita dilupakan..." sentil Jihan lagi.
Belakangan ini, Jihan dan Sarah sering mengirimkan SMS yang mengingatkan agar tidak lupa berkumpul dengan mereka. Kemarin mereka bahkan menyuruhku membuka Yahoo Messenger yang jarang kubuka, agar kami bisa mengobrol bertiga. Mereka mengingatkanku bahwa mereka mendukung apapun yang ingin kulakukan, dan kami tetap menghabiskan waktu bersama-sama.
"Jihan, udah deh... Mana bisa sih gue lupain kalian. Romi kan teman buat main piano. Buat beasiswa nanti," aku berkata dengan tegas. "Dan ada kalanya kok gue enggak latihan sama dia, kayak hari ini."
"Eh iya? Jalan yuk hari ini, kalau gitu? Ke Citos?" ajak Jihan dengan nada penuh semangat.
"Minggu depan try out kali, Jihan. Entar aja abis try out.Sabtu kita ngumpul aja, belajar yuk... Duh, keripik gue abis..." timpal Sarah sambil meremas bungkus keripiknya.
"Iya, lagian gue hari ini harus review Bahasa Belanda juga. Rabu kemarin gue enggak les soalnya..."
"Eh iya, Rabu lo enggak ada, enggak masuk juga. Lo sakit?" tanya Gilang.
"Bukan, Lang. Dia bolos pergi ke OPUS ama si Romi..." potong Jihan sambil tertawa karena aku melotot kepadanya saat ia menyebutkan nama Romi cukup kencang. "...Udah sih nggak ada yang denger. Lo bisa jadi enggak sering latihan, tapi sekalinya latihan, bisa sampai seharian. Hati-hati cinlok," Jihan kembali tertawa.
Jihan memang paling getol menggodaiku saat Herman mendekatiku. Maka, aku tidak heran jika rutinitasku dengan Romi ini sering ia jadikan bahan untuk menggodaiku. Tak lama setelah istirahat berakhir, seluruh murid diminta berkumpul di aula karena akan ada acara pembubaran OSIS.
Acara pembubaran OSIS tersebut hanyalah acara serah terima jabatan berupa membagikan selempang jabatan kepada pemegang jabatan selanjutnya, baris berbaris dan foto bersama. Aku tak mengerti mengapa murid-murid yang bukan anggota OSIS sepertiku harus melihatnya selama tiga tahun terakhir.
Ketika acara pembubaran OSIS tersebut sudah selesai, kakiku berniat menghampiri Romi. Namun, aku menghentikan langkahku.
Romi menghampiri Darius dan Kikan yang berdiri berdampingan. Ia lalu menyalami mereka dan berkata sesuatu –sepertinya mengucapkan terima kasih.
Aku teringat percakapan kami dua hari lalu, dan melihat pemandangan tersebut, aku merasa senang. Romi melakukan apa yang seharusnya ia lakukan: tak berusaha mengumbar jiwa permusuhan lebih lanjut.
Aku terus memandang Romi dari kejauhan, sampai akhirnya Gilang menepuk bahuku dan berkata, "Wei, bukannya lo mau review Bahasa Belanda?"
Aku mengangguk lalu menengok ke arah Romi. Rupanya ia sedang menengok ke arahku. Ia lalu melambai dan membuat kesepuluh jemarinya seolah menekan tuts-tuts piano di udara. Dari mulutnya, ia melapalkan pertanyaan yang kuhindari dua hari ini: Latihan?
Aku tersenyum sambil menggeleng. "Mau les..." jawabku pelan, yang aku yakin ia pasti tak dapat mendengarnya dari jarak kami yang dipisahkan kerumunan adik-adik kelas kami.
Romi lalu melapalkan sepotong kata berikutnya namun aku tak bisa melihat gerak mulutnya lagi. Aku pergi meninggalkan aula, mengambil tasku di dalam kelas dan berjalan menuju rumah. Sesampainya di kamar, aku melihat ponselku. Terdapat sebuah pesan dari Romi yang muncul di layar menu.
Melihat namanya sebagai pengirim pesan selalu membuatku tergesa-gesa membuka ponselku. Di sana hanya terdapat sepotong kalimat ajakan yang membuatku tersenyum lebar, walau aku harus review Bahasa Belanda seharian hari ini.
Baru 2 hari nggak les, tapi tangan udah ngga enak nih. Hari Minggu kita latihan ya di OPUS, dari pagi, biar puas J
Aku membalas pesan tersebut: Oke, Romi. Dari jam 9 pagi? Sip.
Tak lama, ponselku bergetar lagi: Oke. Besok lo ada les ya ama anak-anak?
Dan hari ini adalah awal mulanya puluhan pesan dari Romi masuk ke ponselku.
_______________________
Hi guys,
Terima kasih sudah mengikuti Recalling the Memory terus yaaa. Cerita ini masih terus berlanjut, karena masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab nih.
Episode ini adalah episode di mana kita tahu kapan Romi dan Sofia jadi sering mengobrol, tidak hanya saat latihan, tapi juga lewat SMS --ya dulu jaman SMS, hehehe, belum ada Whatsapp atau LINE. Kalau dulu mau chat, harus pake Yahoo Messenger, sekarang mah udah nggak kepake :")
Anyway, aku akan update juga dalam minggu ini. Mohon berikan comment dan vote untuk episode ini ya, dan mohon semangatnya juga :D
Terima kasih! Happy reading.
-Sheva
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro