Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Menghabiskan Sabtu Bersama -Part 2

Setelah berkemas, kami membayar biaya sewa ruang piano di kasir dan bergerak menuju Cikini dengan motor Romi. Ini adalah kali kedua aku diboncengi Romi, namun ini pertama kalinya kami pergi di luar jam sekolah. Dan bukan ke OPUS atau ke tempat lesku setiap Jumat. Bukan juga ke kedai es campur.

Sepanjang perjalanan, kami masih mengobrol tentang permainan piano kami. Tapi, sesampainya di Blue Romance, pembicaraan kami berubah.

Kami mendapat tempat duduk di sebuah meja untuk dua orang dekat papan bertuliskan Sanctuary Wall. Di papan itu, terdapat beberapa potongan karya, baik puisi atau kutipan-kutipan cerita yang disukai customer. Papan itu tak terlalu penuh, namun menarik untuk dilihat.

Romi berjalan kembali dari kasir sambil membawa menu yang dijepit pada sebuah papan kecil. "Oke, lo suruh gue coba kopi, kan? Kopi apa yang harus gue coba?"

"Coba latte kali ya? Ringan. Nanti lo pakaikan gula aja yang banyak kalau kepahitan," ujarku sambil menunjuk kepada tulisan Latte di menu.

"Oke. Gue tadi udah kenyang roti, tapi masih pengen makan. Kita pesan apple pie yuk?"

"Ah, nggak mau, nggak suka apel," tukasku cepat. Membayangkan apel yang keras sudah membuatku kesal dan wajahku mengernyit.

"Sebutir apel setiap hari itu bagus, Sofia. Dan apelnya apple pie tuh lembut, lho. Emang nggak pernah coba?" tanya Romi. Ia sontak tertawa saat melihatku menggeleng. "Gini deh, gue kan udah nurut ya coba kopi. Lo nurut gue, cobain apple pie. Deal?"

Dua cangkir latte dan dua piring kecil berisi apple pie yang baru saja dipanaskan tak lama diantar oleh sang barista ke meja kami. Wangi apple pie tersebut sangat harum. Di atas lapisan pienya, terdapat gula yang berkilat-kilat. Membuat apple pie itu tampak sedap. Tapi tetap saja, di dalamnya adalah potongan buah apel.

"Gue coba latte, dan lo coba apple pienya barengan. Oke?" Romi lagi-lagi melakukan deal seraya ia memasukkan gula sachet ke dalam kopinya. Hal itu membuatku menusukkan garpu kecil ke atas apple pie dan berusaha memotongnya, walau enggan.

Ketika Romi menyeruput latte-nya, aku juga memasukkan potongan apple pie tersebut ke dalam mulutku. Dan ternyata, rasanya tak seburuk yang kukira.

"Enak kan?" tanya Romi.

Aku mengangguk-angguk. "Enggak keras ya? Kopinya gimana?"

"Ringan, ya. Manis," jawab Romi sambil kembali menyeruput latte-nya.

Kami bicara tentang kebiasaan kami bersila selama bermain piano. Walau telah disediakan kursi-kursi di ruang musik ataupun di OPUS, "melantai" menjadi kegiatan yang kami sepakati sangat menyenangkan. Terutama setelah memainkan banyak piece seperti latihan kami hari ini.

Sabtu sore itu sangat menyenangkan. Percakapan dengan Romi tak terasa sudah berlangsung lama sejak kami sampai di Blue Romance pukul tiga sore. Matahari sore menyelinap masuk lewat ventilasi jendela Blue Romance, meninggalkan semburat-semburat jingga di lantai Blue Romance yang berwarna gelap.

Tak terasa, sudah pukul setengah enam sore. Kami lalu pergi menuju bagian belakang bioskop di TIM dan mendapati beberapa orang memadati penayangan Janji Joni tersebut. Romi bercerita bahwa ia melewatkan Janji Joni di bioskop, padahal ia pernah melihat trailernya dan tertarik untuk menonton. Dengan adanya penayangan ini, kami bisa menonton untuk pertama kalinya. Filmnya sangat menghibur, dan membuat kami tahu tentang adanya profesi pengantar rol film yang dilakukan Joni. Juga membuat kami sedikit sedih namun juga senang pada bagian akhir film tersebut.

Film selesai pada kira-kira pukul setengah delapan malam. Sepanjang perjalanan kami pulang dengan motor Romi, kami terus membicarakan film tersebut. Kami masih tertawa mengingat-ingat adegan adanya ibu hamil yang harus ditolong Joni saat ia masih dalam misi mengantar rol film yang sedang berjalan.

Sesampainya aku di depan rumah, aku berterima kasih pada Romi yang telah mengantarku sambil menyerahkan helm yang kukenakan kepadanya.

"Sama-sama..." jawab Romi. "Gue seneng hari ini, kita banyak ketawa abis latihan."

Aku mengangguk sambil tersenyum. Sambil melambaikan tangan, aku melihat motor Romi berlalu dari depan gerbang rumahku. Ketika aku membuka gerbang rumahku, aku tersentak pada apa yang kulihat di halaman depan rumahku yang terletak di sebelah kanan. Aku tak bisa melihatnya dari luar karena terhalang dinding depan rumah.

Aku pikir aku sedang bermimpi. Aku melihat pianoku sudah ada di halaman. Kaki bagian depannya tampak menancap dalam tanah halaman rumahku.

Jantungku terasa berhenti sejenak. Aku segera masuk ke dalam ruang dan mendapati Ayah sedang terduduk di ruang makan.

"Masuk ke sini, Sofia," suara Ayah terdengar pelan namun geram. Ibu tampaknya sudah berada di kamar. Ia pasti diminta Ayah untuk tidak ikut campur.

Aku menelan ludah. Pikiranku melayang kepada piece Rachmaninoff yang harus kuhapal itu, kepada tiga piece lain yang membuatku percaya diri.

Haruskah kepercayaan diriku hilang hanya karena keinginan Ayah yang tak bisa melunak? Haruskah aku berbohong lagi kali ini, hanya untuk bisa bermain piano sesuka hati?

Melihat pianoku ada di halaman depan, kepercayaan diriku yang tadi terbendung di OPUS seolah jatuh berhamburan di lantai meja makanku.

_________________________________

Hi Guys,

Aku akan banyak update dalam minggu ini. Sekali update akan bisa 2-3 chapter sepertinya. Semoga cerita-cerita ini ke depannya bisa membuat kalian puas ya dengan kisah Sofia dan Romi.

Masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Stay tune ya di Recalling the Memory! Follow juga Spotify playlist untuk semua piece yang featured di cerita ini, di https://t.co/x05oRvD8dQ

See you on the next update(s)!

Terima kasih.


-Sheva

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro